- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#154
149 Wendigo
Sebelum pergi kami membakar dua mayat wendigo tadi. Membunuh Wendigo memang tidak butuh alat khusus, karena sebenarnya mereka adalah manusia yang berubah menjadi kanibal, karena pengaruh iblis di dalam hati nya. Mereka melakukan perjanjian dengan setan dan menjadi wendigo untuk beberapa tujuan. Yah, tentu mereka harus makan. Dan makanan mereka adalah tubuh manusia.
Kobaran api masih terlihat besar karena kami menyiram mereka dengan bensin. Om Gio melirik padaku, dan menatap Kak Rayi yang masih menatap kami bergantian. Aku tau tatapan Om Gio itu, memiliki maksud. Setelah menarik nafas panjang, aku berjalan mendekati Kak Rayi yang berdiri di dekat motor nya. Aku berdeham, dia yang awalnya duduk di atas kuda besi nya, lantas berdiri.
"Aku ... tadi itu, mereka ...," jelasku sambil menunjuk dua mayat yang sudah dia bunuh dan kami bakar bersama. Agak gugup.
"Mereka itu apa?"
"Wendigo," sahutku menatap Kak Rayi ragu ragu. Biasanya reaksi orang jika aku mengatakan itu akan menganggap ku gila. Dan aku sudah siap dikatai orang gila.
"Apa? Wendigo? Apa itu?"
"Hm, iya, Kak. Monster. Begitu aku Menyebutnya. Yah, salah satu monster yang ada di dunia ini. Mungkin banyak orang yang nggak tau, kalau makhluk itu beneran ada. Sebagian menganggap mereka cuma mitos. Tapi buktinya ... See? Ya itulah mereka."
"Dan kamu? Kenapa bisa tau?"
"Nabila sudah berurusan dengan makhluk-makhluk seperti itu sejak dia kecil. Gue, papa nya, dan beberapa teman kami memang pernah berhadapan dengan beberapa iblis seperti itu." Om Gio menambahkan.
"Anda?"
"Gio. Om nya Nabila," jelas Om Gio sambil mengulurkan tangannya ke Kak Rayi, dan Kak Rayi pun membalas uluran tangan itu. Mereka saling berkenalan secara resmi, dan akhir nya muncullah banyak pertanyaan dari mulut Om Gio seolah menginterogasi Kak Rayi.
"Gagal deh kita nonton pertandingan itu," kataku memotong pembicaraan mereka, menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.
"Pertandingan apa?"
"WWF."
"Kamu nonton itu?" tanya Kak Rayi dengan ekspresi terkejut.
"Iya, seru habisnya."
Ponsel Om Gio berdering, dia menjauh dari kami dan menerima panggilan itu. Sementara aku dan Kak Rayi masih mengobrol, dan membahas tentang kesukaanku terhadap tontonan itu.
"Baru kamu, perempuan yang suka sama tontonan seperti itu, Bil," katanya sambil terkekeh. "Aku pikir kamu ini perempuan yang lebih suka, eum ... film Korea atau ...."
"Suka juga kok."
"Oh begitu."
Om Gio kembali lagi, ia terlihat tergesa-gesa. "Bil, kita ke rumah sakit!" ajaknya.
"Kenapa?"
"Mama kamu."
Tubuhku langsung lemas saat Om Gio mengatakan itu. Aku mengangguk dan berpamitan dengan Kak Rayi. Tidak ada lagi keinginan apa pun, selain bertemu Mama. Mama koma, sejak aku kecil. Dan selama ini Mama hidup dengan bantuan alat di rumah sakit. Sudah 9 tahun Mama tidak sadarkan diri. Dokter sebenarnya ingin melepas semua alat bantu yang menempel di tubuh mama, tetapi Papa tidak mengizinkan hal itu. Papa selalu beranggapan kalau Mama akan kembali sadar dan berkumpul lagi dengan kami. Sementara aku?
Entahlah, aku tidak tau apa yang sebenarnya aku inginkan. Bagiku, keluargaku sudah berantakan sejak dulu. Sejak saat itu.
Om Gio parkir di depan rumah sakit, walau sebenar nya tempat ini bukanlah tempat parkir yang seharus nya, tetapi kami tidak punya waktu lagi. Aku berlari lebih dulu menuju kamar rawat mama. Suasana di rumah sakit sudah sepi, namun masih ada beberapa aktivitas di sini. Tempat ini merupakan salah satu tempat yang akan terus hidup selama 24 jam. Beberapa pasien yang datang kulihat ada di pintu masuk.
Aku segera naik menggunakan tangga, karena lift terlihat lama. Aku sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui kondisi mama sekarang. Sampai akhirnya aku sampai di sebuah kamar, di dalam sudah ada dokter yang sedang menangani mama. Aku masuk begitu saja, dan sempat dihalangi oleh suster yang ada di dalam. Ia menyuruhku keluar, sementara dokter menatapku dan akhirnya membolehkan agar aku tetap di dalam. "Mama kenapa?"
"Waktu kematian 02.00." Kalimat tersebut benar-benar meruntuhkan hatiku. Tubuhku luruh ke lantai, air mata mulai banjir membasahi pipi. Kudengar langkah kaki dari luar dan ikut masuk ke dalam, Om Gio menyusulku dan menanyakan hal yang sama.
Tanpa berkata apa pun, Om Gio ikut jongkok di lantai dan segera menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis tergugu dan memeluk Om Gio erat. Tubuh Mama sudah terbujur kaku, selimut menutup tubuh Mama sampai ke kepala. Aku makin histeris dan berlari ke ranjang di mana mama masih terbaring.
Aku membuka selimut yang menutupi wajah mama, memeluknya sambil terus memanggilnya. Om Gio mendekat dan berusaha menenangkan ku. Tapi aku tidak mau mendengar nya kali ini, aku masih sakit, aku benar benar kehilangan. 9 tahun mama terbaring terus di atas ranjang, berharap suatu saat nanti dia terbangun, dan nyatanya kini justru pil pahit yang harus aku telan.
___________
Rumah sudah mulai ramai, aku hanya diam di kursi dekat jenazah mama terbaring. Pagi ini juga kami akan segera memakamkan mama. Hanya tinggal menunggu Papa pulang. Semalam Om Gio bilang kalau Papa sudah diberi kabar. Dan dalam perjalanan pulang.
Aku hanya duduk diam, terkadang menyambut uluran tangan atau pelukan dari saudara atau teman papa dan mama. Selebihnya Om Gio yang menemani mereka. Rasanya aku tidak ingin bertemu orang-orang itu, mereka terlalu banyak drama. Mengucapkan kalimat bela sungkawa namun dandanannya sungguh tidak layak untuk berada di rumah duka. Biasanya ada beberapa wanita sosialita yang berusaha mendekatiku, dengan segala kalimat manis mereka yang sama sekali tidak menyentuh hatiku. Aku tau kalau mereka hanya ingin mencari perhatianku, karena ingin menggantikan posisi mama di hatiku. Papa ku memang tampan, dan banyak wanita yang menginginkannya. Bahkan aku tidak tau, apa yang papa lakukan di luar sana.
"Kamu yang tabah, kalau ada masalah dan ingin ngobrol, cerita saja sama tante," ujar salah satu teman bisnis papa. Pakaiannya begitu fashionable, dengan make up tebal dan membuatku muak..
"Saya lebih baik ngobrol dengan Bi Wati daripada sama tante!" kataku ketus.
Seseorang muncul dari balik pintu, diam dan mulai masuk ke dalam. Wanita di depanku ini segera berdiri dan menyambut papa. Aku segera mendekat ke jenazah mama, merapikan mama karena berkali-kali banyak orang yang membuka penutup wajahnya dengan dalih ingin melihat wajah mama untuk terakhir kalinya.
"Bil, maafin papa. Papa ...."
"Mama sudah meninggal, Pa. Jadi papa bisa menikah lagi," sindirku dengan melirik ke wanita tadi. Ia tersenyum senang mendengar kalimatku.
"Kamu ngomong apa sih?! Kenapa bicara seperti itu?"
Tanpa menjawab apa pun, aku pergi dari tempat itu kembali ke kamar. Tidak lagi peduli dengan panggilan papa yang menggema ke penjuru rumah. Dan membuat keadaan terasa makin tidak nyaman. Mama sudah tiada. Aku yakin papa makin jarang pulang lagi sekarang. Dan aku sudah biasa seperti ini. Mungkin nanti aku harus mulai membiasakan diri tidak melihat papa untuk waktu yang lama.
_____
Ini hari ketiga sejak kematian mama. Papa sudah mulai sibuk bekerja sejak hari kedua mama meninggal. Bahkan dia tidak tau kalau aku tidak masuk sekolah sejak kemarin. Hari ini Om Gio tidak ada di rumah, dan aku memutuskan pergi keluar rumah mencari udara segar.
Saat aku sudah di halaman rumah, sebuah pesan masuk membuatku tercengang.
[Hai, Bil. Kamu belum masuk sekolah juga? Besok ada ujian, kamu datang?]
Ah, benar juga. Besok memang waktu nya ujian taekwondo. Dan aku tidak boleh melewatkan kesempatan itu.
Tanpa aku sadari, rupanya Kak Rayi mengirimiku pesan sebelumnya. Bahkan saat hari pertama mama meninggal.
[Bil, aku dapat nomor kamu dari Zidan. Turut berduka cita, ya, Bil. Kamu yang kuat, ya. Kamu sabar. Jangan lupa makan.]
[Are you oke?]
[Bil, apakah wendigo itu menular? Ada yang aneh sama Faza.]
Itu adalah pesan-pesan yang dikirimkan Kak Rayi padaku. Dan aku tertarik pada pesan tentang Kak Faza.
[Kak Faza kenapa?] Pesan itu kukirimkan pada Kak Rayi, sambil berjalan ke jalan raya di depan. Namun tiba-tiba telepon ku berdering dan ada nomor Kak Rayi yang belum sempat kusimpan tadi.
"Ya, kak?"
"Kamu baik-baik aja?"
"Eum, aku baik. Maaf, aku nggak sempat balas pesan Kak Rayi, kemarin ... Sibuk. Nggak sempat pegang handphone."
"Iya, aku ngerti. Cuma mau memastikan aja keadaan kamu."
"Kak Faza aneh kenapa?"
"Oh iya, nafsu makan dia agak aneh, Bil. Dia sekarang banyak makan. Nggak seperti biasanya."
"Tapi nggak makan orang, kan?"
"Eum, entahlah. Mungkin iya, mungkin juga enggak. Sekarang aja, dia nggak masuk sekolah."
"Kak Rayi bisa jemput aku sekarang? Kita ke rumah Kak Faza."
"Sekarang?! Bisa. Bisa. Aku jemput kamu sekarang."
"Eh, tapi kan masih sekolah?"
"Gampang. Aku bisa bolos. Tunggu."
Telepon di matikan secara sepihak. Dan akhirnya aku pun menunggu Kak Rayi datang. Duduk di pos satpam depan rumah. Bersama Pak Dio yang sedang membersihkan rumput liat dekat gerbang. Pak Dio tidak banyak mengobrol, tapi dia sempat menyapa, dan menanyakan kabar ku hari ini. Pak Dio juga menawarkan diri mengantarku, namun aku menolaknya.
"Eh, tapi, Kak Rayi tau rumahku nggak, ya? Kok tadi nggak nanya sekalian." Aku bergumam sendiri. Dan menyempatkan diri menengok benda pipih di tanganku sekarang. "Ah, nanti juga telepon kalau dia bingung."
Tapi dalam beberapa menit, tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti di depan gerbang rumahku. Aku langsung dapat mengenali nya. Apalagi saat dia membuka penutup kaca helm. "Yuk."
Aku beranjak dan mendekat. "Kok kak Rayi tau rumahku? Memangnya aku udah bilang, ya?"
"Aku tau dari Zidan." Ia memberikan helm cadangan dan aku pun segera memakainya.
Kami berdua naik motor menuju rumah Kak Faza. Sebenarnya aku tidak yakin kalau Kak Faza berubah menjadi wendigo. Tetapi dari penuturan Kak Rayi yang melihat sikap Kak Faza aneh, sebaik nya aku memeriksa nya. Dan lagi, rasanya aku sedang ingin memukul wajah seseorang sekarang. Mama ku meninggal dan aku makin sering bertengkar dengan Papa. Membuatku kesal dan frustrasi.
"Za. Faza!" panggil Kak Rayi sambil mengetuk pintu rumah besar itu. Saat kami sampai di halaman rumah Kak Faza, aku merasakan hawa aneh yang ada di sekitar rumah ini. Sesuatu yang gelap dan pekat. Sementara Kak Rayi mengetuk pintu rumah itu, aku justru berjalan melihat-lihat halaman rumah ini.
Tempat ini memang rindang, sejuk, karena banyak pohon-pohon besar di sekitarnya. Namun, aku merasa tidak nyaman berada terlalu lama di sini. Ada sesuatu yang jahat yang kurasakan di sini, terlebih di dalam rumah itu. Aku menatap rumah besar di depan ku, di mana Kak Rayi terus mengetuk dan memanggil nama Kak Faza.
Sampai akhirnya Kak Rayi menyerah, ia lantas menoleh padaku. Menaikkan kedua bahunya ke atas dengan kedua tangan berada di pinggang. "Mungkin dia pergi, Bil. Padahal dia nggak masuk sekolah hari ini. Dan waktu aku chat dia tadi, katanya di rumah. Huh." Kak Rayi terlihat putus asa.
Sebuah bayangan terlihat di balik jendela rumah itu, seseorang muncul dan membuatku menggeser tubuh sedikit, agar dapat melihat sosok itu dengan jelas. Kak Rayi yang melihatku memperhatikan ke dalam rumah itu, lantas menoleh ke belakang. "Lah ini Faza!" serunya.
Pintu dibuka perlahan, Kak Faza muncul dari celah pintu yang tidak dibuka sepenuhnya. Ia hanya terlihat mengintip dari dalam. Aku penasaran, dan ikut mendekat ke Kak Rayi. Kedua sahabat itu tampak sedang mengobrol saing menanyakan kabar, sementara itu Kak Faza terlihat kacau. Wajahnya suram dan sikapnya terlihat aneh, tidak seperti biasanya.
"Gue boleh masuk nggak, Za? Kebetulan lagi sama Nabila nih, kita khawatir sama keadaan lu."
Kak Faza diam beberapa saat seolah ragu untuk membuka pintu rumahnya itu. Tetapi Kak Rayi terus memohon dengan banyak cara agar kami dibolehkan masuk ke dalam. Aku tau kalau mereka berdua adalah sahabat karib, karena saat kami latihan taekwondo mereka selalu bersama, bahkan saat sparing, mereka selalu menjadi pasangan yang tangguh. Jika mereka bertarung, kami harus menunggu waktu lama agar salah satu dari mereka kalah.
Pintu dibuka lebar-lebar, kini wajah Kak Faza terlihat jelas. Pucat, dengan lingkar hitam di matanya. Bibirnya terlihat putih, memang dia terlihat aneh tidak seperti biasanya. Dan aku yakin ini bukan wendigo. Ada sesuatu yang lain, dan aku akan segera mengetahuinya, itu pasti.
Kami berjalan masuk ke dalam, suasana rumahnya terlihat sepi. Sepertinya dia sepertiku, sering sendirian di rumah karena orang tuanya yang sibuk bekerja. Siapa yang tidak tahu siapa Kak Faza, dia salah satu murid yang populer di sekolah. Yah, mereka berdua lebih tepatnya. Bahkan banyak siswi-siswi di kelasku yang tergila-gila pada mereka berdua. Dan, kalau di kantin mereka akan menjadi pusat perhatian orang-orang. Terutama kaum hawa. Kak Rayi memiliki sebuah geng di sekolah. Selain Kak Faza, ada Kak Roger, dan Kak Bintang.
"Duduk," suruh Kak Faza pada kami. Kini kami berada di kamarnya. Hawa di dalam kamar terasa pengap, jendela tidak dibuka entah sudah berapa lama. Aromanya tidak sedap, dan bahkan korden masih tertutup rapat. Kak Rayi lantas berjalan ke arah jendela. "Gila, lu. pengap banget. Se-mager itu, kah? Buat buka jendela saja nggak mau," sindir Kak Rayi.
Begitu korden di buka, Kak Faza menjerit. "Tutup!"
Sontak aku dan Kak Rayi saling lempar pandang dan merasa aneh dengan sikap Kak Faza. Keadaan Kak Faza makin tidak tenang, dia gelisah. Dan seperti ketakutan. "Za, lu nggak apa-apa?" tanya Kak Rayi ragu, tangannya masih berada di ujung korden. Korden yang terbuka setengah, kini perlahan ia geser kembali, dan kini ia buka cepat korden jendela tersebut.
Sinar matahari pun segera masuk ke dalam kamar. Kak Rayi juga membuka jendela agar udara dari luar masuk. Anehnya Kak Faza terlihat makin cemas, dia terlihat ketakutan. Kak Faza menarik selimut dan menutupi tubuhnya.
"Za? Lu kenapa sih?!" tanya Kak Rayi lagi, lalu mendekat.
"Yi, gue takut. Dia ... nggak biarin gue pergi dari rumah ini, dia selalu mengikuti ke mana pun gue pergi!" katanya dengan wajah panik. Kak Rayi menoleh padaku. Ia terlihat kebingungan.
Suara benda terjatuh membuatku beralih ke lemari pakaian. Tidak hanya aku saja yang mendengar, tetapi Kak Rayi dan Kak Faza juga mendengarnya. Bahkan Kak Faza makin beringsut dan menutup semua tubuhnya dengan selimut. Aku penasaran, dan mulai melangkahkan kaki menuju lemari besar itu.
"Nabila!" panggil Kak Rayi, aku menoleh dan dia justru menggeleng. "Nggak apa-apa, Kak," kataku meyakinkannya.
"Jangan!" Jangan dibuka!" raung Kak Faza yang masih berada di balik selimut. Aku menjadi ragu, namun rasanya ada sesuatu yang memang harus aku tau, dan jika aku tidak membuka lemari itu, maka semua akan terus abu-abu.
Kak Rayi mendekat padaku, kami saling pandang. Dan mengangguk. Saat sampai di depan pintu lemari pakaian itu tanganku menjulur ke pegangan pintu, sebelum membuka lemari itu, aku menatap Kak Rayi terlebih dahulu. Kak Rayi meraih stik golf yang berada di dekat lemari dan bersiap memukul sesuatu yang mungkin sedang bersembunyi di dalam sana.
Hawa dingin makin terasa pekat, namun di belakang kami justru suasana terasa panas, bahkan sejak kami masuk ke kamar ini. Aku sempatkan menggenggam tanganku sendiri, untuk mengurasi sensasi dingin dari dalam.
"Dingin, ya?" tanya Kak Rayi yang memang merasakan hal yang sama.
Tanganku sedikit bergetar, jantungku berdegup dengan ritme cukup cepat. Nafasku terasa pendek, entah lah, rasanya seperti udara di sekitar kami mulai menipis. Aku tidak tau apakah Kak Rayi juga merasakan hal yang serupa atau hanya aku saja.
Ujung jemariku sudah menempel pada pegangan lemari, kini dengan hati-hati aku mulai membuka pintu lemari pakaian tersebut. Bunyi derit kayu terdengar nyaring. Kak Rayi yang berada di sampingku sudah bersiap untuk mengayunkan stik golf tersebut, tetapi yang kami temukan hanya ruang gelap di dalam dengan beberapa gantung pakaian.
"Nggak ada apa-apa, Bil?" tanya Kak Rayi, lalu lebih mendekat dan menyibak pakaian Kak Faza yang menggantung di sana. Ia lantas menoleh ke temannya, "Za, Nggak ada apa-apa kok,"ujarnya masih membiarkan pintu lemari terbuka.
Tapi aku melihat sesuatu yang lain, mataku mulai membulat sempurna. Karena sebuah bayangan terlihat muncul di belakang Kak Rayi. Aku mulai mundur perlahan, tatapan mata tak lepas dari sesuatu di belakang Kak Rayi.
"Bil, kenapa?" tanyanya yang melihatku aneh.
"Kak ... awas!" kataku langsung menarik tangan Kak Rayi. Kami terjatuh ke lantai dengan posisi dia ada di atas tubuhku. Namun bayangan yang tadi ada di dalam lemari pakaian, kini mulai menampakkan wujudnya lebih jelas. Dia terlihat seperti manusia yang memakai penutup kepala. Semua yang berada di dalam kain besar itu menutupi semua tubuh di dalamnya. Kak Rayi memindahkan tubuhnya dan kini berada di sampingku dengan posisi sama. Kami terlentang dan terus menatap bayangan hitam itu.
Tiba-tiba dia mendekat dengan cepat ke arah kami, kami menjerit karena merasakan sesuatu menabrak tubuh kami. Dingin dan panas yang bercampur menjadi satu. Tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Aku dan Kak Rayi saling tatap, dan mencari di mana sosok tadi. "itu tadi apa?" tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng, karena memang benar-benar tidak tau.
"Za! Elu liat nggak tadi?" tanya Kak Rayi menoleh ke ranjang di belakang kami. "Za? Faza?!" panggilnya lagi. Aku menoleh dan ternyata Kak Faza tidak ada di ranjang. Dan anehnya posisi ranjang itu masih rapi. Padahal kami ingat betul kalau tadi Kak Faza ada di atas ranjang dengan menutup tubuhnya memakai selimut, dan seharusnya jika dia pergi keadaan ranjangnya akan berantakan. Tetapi anehnya semua terlihat rapi. Kak Rayi berdiri, ia terus menatap kebingungan ke arah tempat tidur itu. Tangannya kemudian menjulur padaku dan membantuku berdiri.
Kami menyapu pandang ke setiap sudut ruangan ini. Hening. Kak Rayi juga kebingungan melihat keadaan kamar ini. Satu pertanyaan dalam benak kami, dan aku yakin Kak Rayi juga bertanya - tanya di dalam hati nya sendiri. "Ke mana Kak Faza."
Dering telepon memecah kesunyian, Kak Rayi segera meraih benda pipih yang ia simpan di saku celana nya. "Kenapa, Tang?"
"...."
"Gue lagi di rumah Faza."
"...."
"Dia tadi nggak masuk sekolah, maka nya gue tengokin. Sikap dia aneh belakangan ini."
"...."
"Loh kalian jadi ke camping kemarin?"
"...."
"Yang bener?!"
"...."
Wajah Kak Rayi pucat, dia mengakhiri panggilan telepon itu, sementara aku masih mendengar suara di balik telepon itu masih memanggil nama nya. Kak Rayi justru menatap ku nanar. "Bil ..."
"Kenapa, Kak?" tanya ku bingung.
Dia tidak menjawab, malah kembali menatap ranjang Kak Faza. Wajahnya pucat dengan sorot mata kosong. Aku mendekat dan menempatkan diriku berada di depan nya. Menghalangi tatapan mata nya yang terus menatap ke satu tempat tadi. "Kak, ada apa? Cerita sama aku."
"...."
"Siapa yang telepon tadi?"
"Bintang."
"Terus?"
"Seminggu lalu mereka berencana camping, tapi karena aku nggak bisa, aku minta sama mereka buat undur saja acara itu. Tapi ternyata mereka tetap camping ke hutan weekend kemarin." Kak Rayi menarik nafas nya berat.
"Oke, lalu?"
"Bintang bilang, kalau Faza hilang. Dia sama Roger baru sampai rumah tadi pagi. Jadi ... tadi siapa, Bil?" tanya Kak Rayi berbisik, ia terlihat ketakutan dan jujur, aku juga sedikit bergidik ngeri mendengarnya. Aku meraih tangan Kak Rayi, dan mengajak nya pergi dari rumah ini. "Kita ke rumah Kak Bintang saja, ya? Biar kita dengar cerita mereka langsung, dan kita pasti temukan Kak Faza."
Kobaran api masih terlihat besar karena kami menyiram mereka dengan bensin. Om Gio melirik padaku, dan menatap Kak Rayi yang masih menatap kami bergantian. Aku tau tatapan Om Gio itu, memiliki maksud. Setelah menarik nafas panjang, aku berjalan mendekati Kak Rayi yang berdiri di dekat motor nya. Aku berdeham, dia yang awalnya duduk di atas kuda besi nya, lantas berdiri.
"Aku ... tadi itu, mereka ...," jelasku sambil menunjuk dua mayat yang sudah dia bunuh dan kami bakar bersama. Agak gugup.
"Mereka itu apa?"
"Wendigo," sahutku menatap Kak Rayi ragu ragu. Biasanya reaksi orang jika aku mengatakan itu akan menganggap ku gila. Dan aku sudah siap dikatai orang gila.
"Apa? Wendigo? Apa itu?"
"Hm, iya, Kak. Monster. Begitu aku Menyebutnya. Yah, salah satu monster yang ada di dunia ini. Mungkin banyak orang yang nggak tau, kalau makhluk itu beneran ada. Sebagian menganggap mereka cuma mitos. Tapi buktinya ... See? Ya itulah mereka."
"Dan kamu? Kenapa bisa tau?"
"Nabila sudah berurusan dengan makhluk-makhluk seperti itu sejak dia kecil. Gue, papa nya, dan beberapa teman kami memang pernah berhadapan dengan beberapa iblis seperti itu." Om Gio menambahkan.
"Anda?"
"Gio. Om nya Nabila," jelas Om Gio sambil mengulurkan tangannya ke Kak Rayi, dan Kak Rayi pun membalas uluran tangan itu. Mereka saling berkenalan secara resmi, dan akhir nya muncullah banyak pertanyaan dari mulut Om Gio seolah menginterogasi Kak Rayi.
"Gagal deh kita nonton pertandingan itu," kataku memotong pembicaraan mereka, menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.
"Pertandingan apa?"
"WWF."
"Kamu nonton itu?" tanya Kak Rayi dengan ekspresi terkejut.
"Iya, seru habisnya."
Ponsel Om Gio berdering, dia menjauh dari kami dan menerima panggilan itu. Sementara aku dan Kak Rayi masih mengobrol, dan membahas tentang kesukaanku terhadap tontonan itu.
"Baru kamu, perempuan yang suka sama tontonan seperti itu, Bil," katanya sambil terkekeh. "Aku pikir kamu ini perempuan yang lebih suka, eum ... film Korea atau ...."
"Suka juga kok."
"Oh begitu."
Om Gio kembali lagi, ia terlihat tergesa-gesa. "Bil, kita ke rumah sakit!" ajaknya.
"Kenapa?"
"Mama kamu."
Tubuhku langsung lemas saat Om Gio mengatakan itu. Aku mengangguk dan berpamitan dengan Kak Rayi. Tidak ada lagi keinginan apa pun, selain bertemu Mama. Mama koma, sejak aku kecil. Dan selama ini Mama hidup dengan bantuan alat di rumah sakit. Sudah 9 tahun Mama tidak sadarkan diri. Dokter sebenarnya ingin melepas semua alat bantu yang menempel di tubuh mama, tetapi Papa tidak mengizinkan hal itu. Papa selalu beranggapan kalau Mama akan kembali sadar dan berkumpul lagi dengan kami. Sementara aku?
Entahlah, aku tidak tau apa yang sebenarnya aku inginkan. Bagiku, keluargaku sudah berantakan sejak dulu. Sejak saat itu.
Om Gio parkir di depan rumah sakit, walau sebenar nya tempat ini bukanlah tempat parkir yang seharus nya, tetapi kami tidak punya waktu lagi. Aku berlari lebih dulu menuju kamar rawat mama. Suasana di rumah sakit sudah sepi, namun masih ada beberapa aktivitas di sini. Tempat ini merupakan salah satu tempat yang akan terus hidup selama 24 jam. Beberapa pasien yang datang kulihat ada di pintu masuk.
Aku segera naik menggunakan tangga, karena lift terlihat lama. Aku sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui kondisi mama sekarang. Sampai akhirnya aku sampai di sebuah kamar, di dalam sudah ada dokter yang sedang menangani mama. Aku masuk begitu saja, dan sempat dihalangi oleh suster yang ada di dalam. Ia menyuruhku keluar, sementara dokter menatapku dan akhirnya membolehkan agar aku tetap di dalam. "Mama kenapa?"
"Waktu kematian 02.00." Kalimat tersebut benar-benar meruntuhkan hatiku. Tubuhku luruh ke lantai, air mata mulai banjir membasahi pipi. Kudengar langkah kaki dari luar dan ikut masuk ke dalam, Om Gio menyusulku dan menanyakan hal yang sama.
Tanpa berkata apa pun, Om Gio ikut jongkok di lantai dan segera menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis tergugu dan memeluk Om Gio erat. Tubuh Mama sudah terbujur kaku, selimut menutup tubuh Mama sampai ke kepala. Aku makin histeris dan berlari ke ranjang di mana mama masih terbaring.
Aku membuka selimut yang menutupi wajah mama, memeluknya sambil terus memanggilnya. Om Gio mendekat dan berusaha menenangkan ku. Tapi aku tidak mau mendengar nya kali ini, aku masih sakit, aku benar benar kehilangan. 9 tahun mama terbaring terus di atas ranjang, berharap suatu saat nanti dia terbangun, dan nyatanya kini justru pil pahit yang harus aku telan.
___________
Rumah sudah mulai ramai, aku hanya diam di kursi dekat jenazah mama terbaring. Pagi ini juga kami akan segera memakamkan mama. Hanya tinggal menunggu Papa pulang. Semalam Om Gio bilang kalau Papa sudah diberi kabar. Dan dalam perjalanan pulang.
Aku hanya duduk diam, terkadang menyambut uluran tangan atau pelukan dari saudara atau teman papa dan mama. Selebihnya Om Gio yang menemani mereka. Rasanya aku tidak ingin bertemu orang-orang itu, mereka terlalu banyak drama. Mengucapkan kalimat bela sungkawa namun dandanannya sungguh tidak layak untuk berada di rumah duka. Biasanya ada beberapa wanita sosialita yang berusaha mendekatiku, dengan segala kalimat manis mereka yang sama sekali tidak menyentuh hatiku. Aku tau kalau mereka hanya ingin mencari perhatianku, karena ingin menggantikan posisi mama di hatiku. Papa ku memang tampan, dan banyak wanita yang menginginkannya. Bahkan aku tidak tau, apa yang papa lakukan di luar sana.
"Kamu yang tabah, kalau ada masalah dan ingin ngobrol, cerita saja sama tante," ujar salah satu teman bisnis papa. Pakaiannya begitu fashionable, dengan make up tebal dan membuatku muak..
"Saya lebih baik ngobrol dengan Bi Wati daripada sama tante!" kataku ketus.
Seseorang muncul dari balik pintu, diam dan mulai masuk ke dalam. Wanita di depanku ini segera berdiri dan menyambut papa. Aku segera mendekat ke jenazah mama, merapikan mama karena berkali-kali banyak orang yang membuka penutup wajahnya dengan dalih ingin melihat wajah mama untuk terakhir kalinya.
"Bil, maafin papa. Papa ...."
"Mama sudah meninggal, Pa. Jadi papa bisa menikah lagi," sindirku dengan melirik ke wanita tadi. Ia tersenyum senang mendengar kalimatku.
"Kamu ngomong apa sih?! Kenapa bicara seperti itu?"
Tanpa menjawab apa pun, aku pergi dari tempat itu kembali ke kamar. Tidak lagi peduli dengan panggilan papa yang menggema ke penjuru rumah. Dan membuat keadaan terasa makin tidak nyaman. Mama sudah tiada. Aku yakin papa makin jarang pulang lagi sekarang. Dan aku sudah biasa seperti ini. Mungkin nanti aku harus mulai membiasakan diri tidak melihat papa untuk waktu yang lama.
_____
Ini hari ketiga sejak kematian mama. Papa sudah mulai sibuk bekerja sejak hari kedua mama meninggal. Bahkan dia tidak tau kalau aku tidak masuk sekolah sejak kemarin. Hari ini Om Gio tidak ada di rumah, dan aku memutuskan pergi keluar rumah mencari udara segar.
Saat aku sudah di halaman rumah, sebuah pesan masuk membuatku tercengang.
[Hai, Bil. Kamu belum masuk sekolah juga? Besok ada ujian, kamu datang?]
Ah, benar juga. Besok memang waktu nya ujian taekwondo. Dan aku tidak boleh melewatkan kesempatan itu.
Tanpa aku sadari, rupanya Kak Rayi mengirimiku pesan sebelumnya. Bahkan saat hari pertama mama meninggal.
[Bil, aku dapat nomor kamu dari Zidan. Turut berduka cita, ya, Bil. Kamu yang kuat, ya. Kamu sabar. Jangan lupa makan.]
[Are you oke?]
[Bil, apakah wendigo itu menular? Ada yang aneh sama Faza.]
Itu adalah pesan-pesan yang dikirimkan Kak Rayi padaku. Dan aku tertarik pada pesan tentang Kak Faza.
[Kak Faza kenapa?] Pesan itu kukirimkan pada Kak Rayi, sambil berjalan ke jalan raya di depan. Namun tiba-tiba telepon ku berdering dan ada nomor Kak Rayi yang belum sempat kusimpan tadi.
"Ya, kak?"
"Kamu baik-baik aja?"
"Eum, aku baik. Maaf, aku nggak sempat balas pesan Kak Rayi, kemarin ... Sibuk. Nggak sempat pegang handphone."
"Iya, aku ngerti. Cuma mau memastikan aja keadaan kamu."
"Kak Faza aneh kenapa?"
"Oh iya, nafsu makan dia agak aneh, Bil. Dia sekarang banyak makan. Nggak seperti biasanya."
"Tapi nggak makan orang, kan?"
"Eum, entahlah. Mungkin iya, mungkin juga enggak. Sekarang aja, dia nggak masuk sekolah."
"Kak Rayi bisa jemput aku sekarang? Kita ke rumah Kak Faza."
"Sekarang?! Bisa. Bisa. Aku jemput kamu sekarang."
"Eh, tapi kan masih sekolah?"
"Gampang. Aku bisa bolos. Tunggu."
Telepon di matikan secara sepihak. Dan akhirnya aku pun menunggu Kak Rayi datang. Duduk di pos satpam depan rumah. Bersama Pak Dio yang sedang membersihkan rumput liat dekat gerbang. Pak Dio tidak banyak mengobrol, tapi dia sempat menyapa, dan menanyakan kabar ku hari ini. Pak Dio juga menawarkan diri mengantarku, namun aku menolaknya.
"Eh, tapi, Kak Rayi tau rumahku nggak, ya? Kok tadi nggak nanya sekalian." Aku bergumam sendiri. Dan menyempatkan diri menengok benda pipih di tanganku sekarang. "Ah, nanti juga telepon kalau dia bingung."
Tapi dalam beberapa menit, tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti di depan gerbang rumahku. Aku langsung dapat mengenali nya. Apalagi saat dia membuka penutup kaca helm. "Yuk."
Aku beranjak dan mendekat. "Kok kak Rayi tau rumahku? Memangnya aku udah bilang, ya?"
"Aku tau dari Zidan." Ia memberikan helm cadangan dan aku pun segera memakainya.
Kami berdua naik motor menuju rumah Kak Faza. Sebenarnya aku tidak yakin kalau Kak Faza berubah menjadi wendigo. Tetapi dari penuturan Kak Rayi yang melihat sikap Kak Faza aneh, sebaik nya aku memeriksa nya. Dan lagi, rasanya aku sedang ingin memukul wajah seseorang sekarang. Mama ku meninggal dan aku makin sering bertengkar dengan Papa. Membuatku kesal dan frustrasi.
"Za. Faza!" panggil Kak Rayi sambil mengetuk pintu rumah besar itu. Saat kami sampai di halaman rumah Kak Faza, aku merasakan hawa aneh yang ada di sekitar rumah ini. Sesuatu yang gelap dan pekat. Sementara Kak Rayi mengetuk pintu rumah itu, aku justru berjalan melihat-lihat halaman rumah ini.
Tempat ini memang rindang, sejuk, karena banyak pohon-pohon besar di sekitarnya. Namun, aku merasa tidak nyaman berada terlalu lama di sini. Ada sesuatu yang jahat yang kurasakan di sini, terlebih di dalam rumah itu. Aku menatap rumah besar di depan ku, di mana Kak Rayi terus mengetuk dan memanggil nama Kak Faza.
Sampai akhirnya Kak Rayi menyerah, ia lantas menoleh padaku. Menaikkan kedua bahunya ke atas dengan kedua tangan berada di pinggang. "Mungkin dia pergi, Bil. Padahal dia nggak masuk sekolah hari ini. Dan waktu aku chat dia tadi, katanya di rumah. Huh." Kak Rayi terlihat putus asa.
Sebuah bayangan terlihat di balik jendela rumah itu, seseorang muncul dan membuatku menggeser tubuh sedikit, agar dapat melihat sosok itu dengan jelas. Kak Rayi yang melihatku memperhatikan ke dalam rumah itu, lantas menoleh ke belakang. "Lah ini Faza!" serunya.
Pintu dibuka perlahan, Kak Faza muncul dari celah pintu yang tidak dibuka sepenuhnya. Ia hanya terlihat mengintip dari dalam. Aku penasaran, dan ikut mendekat ke Kak Rayi. Kedua sahabat itu tampak sedang mengobrol saing menanyakan kabar, sementara itu Kak Faza terlihat kacau. Wajahnya suram dan sikapnya terlihat aneh, tidak seperti biasanya.
"Gue boleh masuk nggak, Za? Kebetulan lagi sama Nabila nih, kita khawatir sama keadaan lu."
Kak Faza diam beberapa saat seolah ragu untuk membuka pintu rumahnya itu. Tetapi Kak Rayi terus memohon dengan banyak cara agar kami dibolehkan masuk ke dalam. Aku tau kalau mereka berdua adalah sahabat karib, karena saat kami latihan taekwondo mereka selalu bersama, bahkan saat sparing, mereka selalu menjadi pasangan yang tangguh. Jika mereka bertarung, kami harus menunggu waktu lama agar salah satu dari mereka kalah.
Pintu dibuka lebar-lebar, kini wajah Kak Faza terlihat jelas. Pucat, dengan lingkar hitam di matanya. Bibirnya terlihat putih, memang dia terlihat aneh tidak seperti biasanya. Dan aku yakin ini bukan wendigo. Ada sesuatu yang lain, dan aku akan segera mengetahuinya, itu pasti.
Kami berjalan masuk ke dalam, suasana rumahnya terlihat sepi. Sepertinya dia sepertiku, sering sendirian di rumah karena orang tuanya yang sibuk bekerja. Siapa yang tidak tahu siapa Kak Faza, dia salah satu murid yang populer di sekolah. Yah, mereka berdua lebih tepatnya. Bahkan banyak siswi-siswi di kelasku yang tergila-gila pada mereka berdua. Dan, kalau di kantin mereka akan menjadi pusat perhatian orang-orang. Terutama kaum hawa. Kak Rayi memiliki sebuah geng di sekolah. Selain Kak Faza, ada Kak Roger, dan Kak Bintang.
"Duduk," suruh Kak Faza pada kami. Kini kami berada di kamarnya. Hawa di dalam kamar terasa pengap, jendela tidak dibuka entah sudah berapa lama. Aromanya tidak sedap, dan bahkan korden masih tertutup rapat. Kak Rayi lantas berjalan ke arah jendela. "Gila, lu. pengap banget. Se-mager itu, kah? Buat buka jendela saja nggak mau," sindir Kak Rayi.
Begitu korden di buka, Kak Faza menjerit. "Tutup!"
Sontak aku dan Kak Rayi saling lempar pandang dan merasa aneh dengan sikap Kak Faza. Keadaan Kak Faza makin tidak tenang, dia gelisah. Dan seperti ketakutan. "Za, lu nggak apa-apa?" tanya Kak Rayi ragu, tangannya masih berada di ujung korden. Korden yang terbuka setengah, kini perlahan ia geser kembali, dan kini ia buka cepat korden jendela tersebut.
Sinar matahari pun segera masuk ke dalam kamar. Kak Rayi juga membuka jendela agar udara dari luar masuk. Anehnya Kak Faza terlihat makin cemas, dia terlihat ketakutan. Kak Faza menarik selimut dan menutupi tubuhnya.
"Za? Lu kenapa sih?!" tanya Kak Rayi lagi, lalu mendekat.
"Yi, gue takut. Dia ... nggak biarin gue pergi dari rumah ini, dia selalu mengikuti ke mana pun gue pergi!" katanya dengan wajah panik. Kak Rayi menoleh padaku. Ia terlihat kebingungan.
Suara benda terjatuh membuatku beralih ke lemari pakaian. Tidak hanya aku saja yang mendengar, tetapi Kak Rayi dan Kak Faza juga mendengarnya. Bahkan Kak Faza makin beringsut dan menutup semua tubuhnya dengan selimut. Aku penasaran, dan mulai melangkahkan kaki menuju lemari besar itu.
"Nabila!" panggil Kak Rayi, aku menoleh dan dia justru menggeleng. "Nggak apa-apa, Kak," kataku meyakinkannya.
"Jangan!" Jangan dibuka!" raung Kak Faza yang masih berada di balik selimut. Aku menjadi ragu, namun rasanya ada sesuatu yang memang harus aku tau, dan jika aku tidak membuka lemari itu, maka semua akan terus abu-abu.
Kak Rayi mendekat padaku, kami saling pandang. Dan mengangguk. Saat sampai di depan pintu lemari pakaian itu tanganku menjulur ke pegangan pintu, sebelum membuka lemari itu, aku menatap Kak Rayi terlebih dahulu. Kak Rayi meraih stik golf yang berada di dekat lemari dan bersiap memukul sesuatu yang mungkin sedang bersembunyi di dalam sana.
Hawa dingin makin terasa pekat, namun di belakang kami justru suasana terasa panas, bahkan sejak kami masuk ke kamar ini. Aku sempatkan menggenggam tanganku sendiri, untuk mengurasi sensasi dingin dari dalam.
"Dingin, ya?" tanya Kak Rayi yang memang merasakan hal yang sama.
Tanganku sedikit bergetar, jantungku berdegup dengan ritme cukup cepat. Nafasku terasa pendek, entah lah, rasanya seperti udara di sekitar kami mulai menipis. Aku tidak tau apakah Kak Rayi juga merasakan hal yang serupa atau hanya aku saja.
Ujung jemariku sudah menempel pada pegangan lemari, kini dengan hati-hati aku mulai membuka pintu lemari pakaian tersebut. Bunyi derit kayu terdengar nyaring. Kak Rayi yang berada di sampingku sudah bersiap untuk mengayunkan stik golf tersebut, tetapi yang kami temukan hanya ruang gelap di dalam dengan beberapa gantung pakaian.
"Nggak ada apa-apa, Bil?" tanya Kak Rayi, lalu lebih mendekat dan menyibak pakaian Kak Faza yang menggantung di sana. Ia lantas menoleh ke temannya, "Za, Nggak ada apa-apa kok,"ujarnya masih membiarkan pintu lemari terbuka.
Tapi aku melihat sesuatu yang lain, mataku mulai membulat sempurna. Karena sebuah bayangan terlihat muncul di belakang Kak Rayi. Aku mulai mundur perlahan, tatapan mata tak lepas dari sesuatu di belakang Kak Rayi.
"Bil, kenapa?" tanyanya yang melihatku aneh.
"Kak ... awas!" kataku langsung menarik tangan Kak Rayi. Kami terjatuh ke lantai dengan posisi dia ada di atas tubuhku. Namun bayangan yang tadi ada di dalam lemari pakaian, kini mulai menampakkan wujudnya lebih jelas. Dia terlihat seperti manusia yang memakai penutup kepala. Semua yang berada di dalam kain besar itu menutupi semua tubuh di dalamnya. Kak Rayi memindahkan tubuhnya dan kini berada di sampingku dengan posisi sama. Kami terlentang dan terus menatap bayangan hitam itu.
Tiba-tiba dia mendekat dengan cepat ke arah kami, kami menjerit karena merasakan sesuatu menabrak tubuh kami. Dingin dan panas yang bercampur menjadi satu. Tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Aku dan Kak Rayi saling tatap, dan mencari di mana sosok tadi. "itu tadi apa?" tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng, karena memang benar-benar tidak tau.
"Za! Elu liat nggak tadi?" tanya Kak Rayi menoleh ke ranjang di belakang kami. "Za? Faza?!" panggilnya lagi. Aku menoleh dan ternyata Kak Faza tidak ada di ranjang. Dan anehnya posisi ranjang itu masih rapi. Padahal kami ingat betul kalau tadi Kak Faza ada di atas ranjang dengan menutup tubuhnya memakai selimut, dan seharusnya jika dia pergi keadaan ranjangnya akan berantakan. Tetapi anehnya semua terlihat rapi. Kak Rayi berdiri, ia terus menatap kebingungan ke arah tempat tidur itu. Tangannya kemudian menjulur padaku dan membantuku berdiri.
Kami menyapu pandang ke setiap sudut ruangan ini. Hening. Kak Rayi juga kebingungan melihat keadaan kamar ini. Satu pertanyaan dalam benak kami, dan aku yakin Kak Rayi juga bertanya - tanya di dalam hati nya sendiri. "Ke mana Kak Faza."
Dering telepon memecah kesunyian, Kak Rayi segera meraih benda pipih yang ia simpan di saku celana nya. "Kenapa, Tang?"
"...."
"Gue lagi di rumah Faza."
"...."
"Dia tadi nggak masuk sekolah, maka nya gue tengokin. Sikap dia aneh belakangan ini."
"...."
"Loh kalian jadi ke camping kemarin?"
"...."
"Yang bener?!"
"...."
Wajah Kak Rayi pucat, dia mengakhiri panggilan telepon itu, sementara aku masih mendengar suara di balik telepon itu masih memanggil nama nya. Kak Rayi justru menatap ku nanar. "Bil ..."
"Kenapa, Kak?" tanya ku bingung.
Dia tidak menjawab, malah kembali menatap ranjang Kak Faza. Wajahnya pucat dengan sorot mata kosong. Aku mendekat dan menempatkan diriku berada di depan nya. Menghalangi tatapan mata nya yang terus menatap ke satu tempat tadi. "Kak, ada apa? Cerita sama aku."
"...."
"Siapa yang telepon tadi?"
"Bintang."
"Terus?"
"Seminggu lalu mereka berencana camping, tapi karena aku nggak bisa, aku minta sama mereka buat undur saja acara itu. Tapi ternyata mereka tetap camping ke hutan weekend kemarin." Kak Rayi menarik nafas nya berat.
"Oke, lalu?"
"Bintang bilang, kalau Faza hilang. Dia sama Roger baru sampai rumah tadi pagi. Jadi ... tadi siapa, Bil?" tanya Kak Rayi berbisik, ia terlihat ketakutan dan jujur, aku juga sedikit bergidik ngeri mendengarnya. Aku meraih tangan Kak Rayi, dan mengajak nya pergi dari rumah ini. "Kita ke rumah Kak Bintang saja, ya? Biar kita dengar cerita mereka langsung, dan kita pasti temukan Kak Faza."
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5