- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#153
148 SMA Mortus
Bayu kulempar jauh sampai jatuh di atas kursi bekas yang memenuhi gudang ini. Ia meringis kesakitan sambil memegang punggungnya. "Lepaskan dia!" ancamku menunjuk Zidan, salah satu teman sekelasku yang kini menjadi ring tinju mereka. Wajahnya babak belur, dan terlihat sudah tidak berdaya.
Tiga orang lainnya mulai mendekat. Dan terjadilah perkelahian di antara kami. Aku sangat tidak suka melihat sikap mereka selama ini di sekolah. Bertindak seenaknya dan menyiksa murid lain yang tidak mereka suka karena alasan sepele.
Satu pukulan mentah di leher kakak kelasku itu, membuatnya terhunyung jatuh ke lantai. 4 orang itu akhirnya tak berdaya lagi, bahkan untuk bangun saja mereka kesulitan. Aku mendekat ke Zidan dan membantunya berdiri. "Kamu bisa jalan, kan? Aku nggak mungkin gendong kamu turun ke bawah!" kataku menegaskan.
"Bisa kok, Bil. Thanks, ya." Kubantu Zidan berjalan, karena kaki kanannya terluka. Kami turun ke lantai bawah dan segera kubawa dia ke taman sekolah yang berada di belakang kelas kosong, yang sudah lama tidak terpakai.
"Aku beliin kamu minum dulu, sama cari obat. Tunggu di sini."
Ini baru pukul 11 siang. Dan aku yang seharusnya berada di kelas, justru terlibat masalah di luar. Sebenarnya aku tidak sengaja melihat Zidan diseret oleh mereka ke gudang lantai dua tadi. Awalnya aku ingin ke toilet untuk mencuci muka. Sejak sejam lalu aku sangat mengantuk, karena semalam aku tidur larut akibat menonton film. Tapi rupanya aku malah melihat sesuatu yang menarik, ketimbang harus duduk di kelas dan mendengar ocehan Bu Herlina yang membosankan.
Zidan bukan anak nakal atau sering berbuat ulah, justru dia anak baik-baik. Dia bahkan salah satu murid pintar di kelasku. Tampangnya yang bodoh memang sangat pas menjadi sasaran empuk hinaan orang. Yah, tipe anak culun sekolah memang pantas ia sandang. Tapi dia sebenarnya anak yang baik.
"Nih, minum dulu," kataku sambil mengulurkan botol air mineral dingin yang tadi kubeli di kantin.
"Thanks, Bil. Kok kamu nggak di kelas?" Ia meneguk air mineral itu.
"Iya. Kamu sendiri, ada masalah apa sama mereka? Kenapa kamu dipukuli gini?" tanyaku sambil menunjuk wajahnya yang kacau.
"Karena aku kemarin nganterin pulang Clara," sahut Zidan sambil menempelkan botol tersebut ke sudut bibirnya.
"Clara pacarnya Bayu?"
Dan anggukan Zidan membuatku geleng-geleng kepala. Kini aku tau alasan dia menjadi bulan-bulanan Bayu dan teman-temannya. Bayu merupakan salah satu gangster di sekolah yang cukup ditakuti beberapa orang. Mereka adalah kakak kelas kami.
Diskusi kami terhenti, saat aku mendengar jeritan minta tolong yang terdengar cukup dekat dari tempat kami duduk. "Denger, nggak?" tanyaku pada Zidan sambil terus menajamkan pendengaran.
"Iya, kayaknya di aula deh, Bil. Cek, yuk?" ajaknya.
Kami segera berlari menuju aula yang terletak di tengah sekolah. Keadaan sekolah tampak sepi, karena hampir semua orang sedang berada di ruang kelas masing-masing. Sampai di aula, kami melihat dengan jelas seorang pria dengan setelan hitam sedang mencekik seorang siswa. "Heh! Lepasin dia!" jeritku. Orang tersebut menoleh tanpa melepaskan tangannya dari leher siswa itu. Aku tidak tau siapa mereka. Yang jelas pria yang mencekiknya itu bukanlah warga sekolah. Dan anak yang dicekik adalah salah satu senior kami. Ia meringis dan menampilkan giginya yang runcing.
"Damn it!" pekik Zidan pelan. "Bagaimana ini, Bil."
"Kamu cari bantuan."
"Tapi, Bil ..."
"Sekarang!" kataku setengah menjerit dan menoleh padanya, sungguh-sungguh. Zidan mengangguk lalu segera pergi meninggalkan aula.
Pria itu melempar siswa pria itu, hingga pingsan. Ia kemudian berjalan mendekatiku perlahan. Aku tau dia bukan manusia, dan dia bukan makhluk aneh pertama yang kulihat seumur hidupku. Tapi aku belum bisa menyimpulkan makhluk apa yang ada di depanku sekarang. Jika dia vampire, itu tidak mungkin, karena vampir tidak akan muncul saat tengah hari begini.
Aku terus mundur sambil mencari cara untuk melawannya. Sampai akhirnya aku menemukan hal mengerikan lainnya. Sebuah tubuh yang masih berbalut pakaian seragam sekolah, terlihat tidak utuh lagi. Beberapa bagian tubuhnya sudah hilang. Sepertinya ia sudah menjadi santapan makhluk di depanku. Ia melirik ke jasad manusia yang sedang kutatap.
"Kau mengganggu makan siangku, jadi kamu akan menyusul temanmu itu!" katanya dengan kesulitan berbicara, mungkin karena gigi-giginya yang berantakan dan tajam barangkali.
"Cih, jangan mimpi!" kataku. Netraku tertuju pada sebuah tombak panjang yang biasa dipakai untuk lempar lembing. Saat dia berlari ke arahku, aku segera meraih benda itu. Dan menancapkan ujungnya di perutnya. Ia menjerit kesakitan. Suaranya seolah tertahan namun aku mampu melihat, kalau dia kesakitan. Sangat.
Tangannya menjulur ke leherku. Ia mencekikku dengan cukup erat. Kuku-kuku tajamnya terasa menusuk kulit leherku. Kembali aku mencoba mencari benda lain yang bisa kugunakan untuk menyerangnya. Tanganku terus berusaha bergerak, dan sebuah belati berhasil kuambil. Aku menusuk mata kanannya. Ia kembali menjerit dan akhirnya leherku berhasil terlepas darinya. Tapi lenganku terkena cakarannya, cukup dalam. Segera aku memegang luka itu, karena terasa panas dan pedih. Darah mengalir deras. Bahkan mengotori kemejaku yang berwarna putih. Aku mengerang, karena rasanya sungguh menyakitkan. Sambil melihat makhluk mengerikan itu. Ia masih kesakitan sambil memegangi matanya. Kesempatan ini tidak akan aku lewatkan begitu saja. Kuraih sebuah pisau perak yang kusimpan di ikatan paha. Lalu kutusuk jantungnya saat itu juga. Ia tewas.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke aula. Aku yakin Zidan sudah membawa bantuan. Tubuhku lemas, dan saat mereka masuk, mereka sangat terkejut melihat pria mengerikan itu sudah terkapar di lantai dengan bersimbah darah. Tubuhnya menyusut menjadi kurus sekali. Jemarinya terlihat makin mengerikan dengan kuku-kuku tajamnya.
"Nabila!" jerit Zidan langsung mendekat padaku. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya panik melihatku dengan bekas darah di beberapa bagian tubuhku.
"Aku nggak apa-apa." Kubuka lengan yang tadi terluka, dan kini luka itu sudah kembali menutup. Rasa sakit itu pun menghilang. Zidan melihatku aneh, dan beralih ke makhluk di depan kami. Beberapa orang mulai berkeliling aula dan menemukan korban lain yang tadi sedang disantap makhluk itu.
"Bil? Kamu apain dia?" tanya Zidan lagi.
"Nggak sengaja, Dan. Cuma membela diri. Kamu sih kelamaan, untung aku masih hidup," kataku berpura-pura kesal.
"Sorry, Bil."
Kini ruangan aula dipenuhi oleh beberapa guru dan kakak kelas. Mereka kebanyakan dari anak-anak taekwondo sekolah. Pakaian yang mereka kenakan masih komplit, dan aku juga mengenal beberapa dari mereka. Bahkan Kak Rayi sejak masuk tadi menatapku terus. Aku merasakan kalau dia ingin mendekat padaku, tapi teman-temannya memanggilnya untuk menolong korban yang pingsan tadi.
Kejadian ini cukup menggemparkan. Karena mayat yang ditemukan adalah anak dari kepala sekolah yang membolos saat ada jam pelajaran. Naas dia justru bertemu makhluk kanibal yang entah datang dari mana. Tak lama polisi juga datang, aku dan Zidan juga dimintai keterangan sebagai saksi. Beberapa orang juga menatapku aneh.
Aku masih berada di UKS sekolah. Pak Feri, selaku wali kelasku, menyuruhku untuk beristirahat dulu di UKS. Mungkin dia pikir aku terguncang akibat kejadian tadi. Zidan yang wajahnya babak belur mereka anggap itu akibat dia telah melawan makhluk tadi, jadi setidaknya dia aman dari pertanyaan-pertanyaan Pak Feri. Tidak ada yang ingin dipanggil ke ruang BP karena kasus perkelahian. Karena hal itu bukanlah ide bagus saat masih menjadi siswa di sekolah ini. Masuk BP 3 kali, maka kau akan segera ditendang keluar sekolah. Dan aku sudah mendapatkan 1 tiket itu. Kasus ini ditutup dengan dugaan adanya orang tidak waras yang menganut ilmu hitam, sehingga dia kerasukan setan dan memakan manusia. Yah, cukup rasional. Tapi kabar ini tidak sampai menyebar, demi ketentraman seluruh penghuni sekolah.
_______________
Keputusanku untuk mengikuti ekstra kulikuler taekwondo selalu ditentang Papa. Dia sangat menginginkan seorang anak perempuan yang manis, baik, sopan, dan pandai memainkan piano, biola, cello atau harpa. Yah, setidaknya aku tetap mengikuti ekstrakulikuler piano di hari senin, dan ekstrakulikuler taekwondo di hari jumat. Dan, Papa hanya tau kalau aku mengikuti ekstra kulikuler piano saja.
"Bil, udah dijemput itu," kata Kak Rayi yang masih memakai Dobok. Aku yang sedang membereskan tas di ruang loker hanya menoleh sambil mengangguk. Kak Rayi berjalan menuju lokernya, mengambil tas dan baju ganti. Di tempat ini semua loker anak-anak yang mengikuti latihan digabung menjadi satu, baik perempuan maupun laki-laki. Semua dianggap sama, kecuali toilet. Tetap dipisah antara perempuan dan laki-laki.
*Dobok adalah pakaian khusus taekwondo
"Eum, Nabila."
"Kenapa, Kak?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
"Terima kasih buat tadi."
"Tadi? Yang mana?"
"Aula. Faza selamat karena kamu dan Zidan," katanya memperjelas kalimatnya.
"Oh. Itu. Sama-sama, Kak. Kami kebetulan lewat, dan untung belum terlambat. Zidan yang banyak bantu."
"Yah, tetap saja, terima kasih, Bil," katanya dengan menatapku dalam. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Semua barang sudah aku masukan ke dalam tas. Aku harus segera pergi, jika tidak orang yang sedang menungguku di luar sana, akan murka dan menyeretku pulang. Apalagi jika dia tau aku sedang ada di ruangan ini.
"Aku duluan, Kak Rayi," pamitku.
Kak Rayi yang sedang menutup loker, menoleh. "Oke, take care, Bil. Sampai ketemu di sekolah besok."
Sudah satu semester aku bersekolah di tempat ini. Dan tentu aku sudah cukup lama mengenal Kak Rayi. Dia adalah seniorku, dan salah satu atlet taekwondo yang beberapa kali mengharumkan nama sekolah. Hanya saja aku sedikit sungkan dengannya, tatapan matanya padaku terasa aneh.
Lorong koridor sekolah sudah nampak sepi. Beberapa siswa yang masih mengikuti kegiatan tambahan sampai sore terlihat mulai pulang, sama seperti ku. Sekolah ini akan segera tutup setelah petang nanti.
Mobil SUV warna hitam yang sedang parkir di pinggir jalan, langsung kukenali. Kaca mobil depan langsung otomatis turun ke bawah. Di dalam nya ada seorang pria Berjambang tipis dengan kaca mata hitam bertenger di hidungnya. Ia melirik ke arahku yang berjalan memutar ke pintu samping kemudi.
"Papa udah lama?" tanyaku basa basi. Menutup pintu sekaligus memakai seltbelt.
"Iya. Kok telat pulangnya, Bil?"
"Tadi ada banyak anak baru, Pa. Susulan gelombang 1. Jadi kami mengulang lagi dari awal. Terus anggota makin banyak, jadi lama," jelas ku.
"Terus bagaimana perkembangan kamu?"
"Lumayan. Kan masih dasarnya aja, Pa."
Papa mulai melajukkan mobil, dan meninggalkan halaman sekolah. Yah, dia papaku. Orang yang setiap hari mengantar dan menjemput ku ke sekolah. Orang yang selalu marah jika aku pulang terlambat. Orang yang selalu mendidikku dengan keras. Orang yang selalu berdebat denganku jika aku harus memutuskan sesuatu. Karena aku dan Papa lebih sering berbeda keyakinan. Seperti sekarang, aku mengikuti taekwondo, dan tentu dia tidak mengizinkan. Maka aku harus diam-diam mendaftarkan diri, tanpa Papa tau. Dan sore ini papa menjemputku setelah pulang latihan piano, padahal aku ikut taekwondo.
"Inget. Kamu itu anak perempuan, Bil. Jangan ikut hal yang aneh-aneh."
"Aneh apanya? Pa, taekwondo itu bukan sesuatu yang aneh, kan? Coba, Papa bayangin kalau misal papa nggak ada, terus ada orang yang jahatin aku. Aku bagaimana? Aku harus bisa jaga diri, kan, Pa?!"
"Enggak! Pokoknya, enggak! Dan kalau papa udah nggak ada, Papa masih punya banyak anak buah buat jaga kamu, dan ada Om Gio yang akan menjaga kamu nanti!"
"Papa ngomong apa sih? Apa maksud Papa, nggak ada?!"
"Kan kamu duluan yang bilang, kalau Papa nggak ada, bagaimana? iya, kan?"
"Maksud aku bukan nggak ada yang ... Argh! Pah! Udah, ah!" Aku memalingkan wajah menghadap ke jendela samping. Melihat padatnya lalu lintas jalanan setiap sore sudah menjadi hal biasa bagiku. DAn berdebat dengan Papa seperti ini, bagai makanan sehari-hariku. Suara tarikan nafas berat papah terdengar jelas di telinga.
"Bil ... Papa nggak bermaksud gitu, cuma ...."
Aku segera meraih headset dan menyumpalkan di telinga. Menyetel musik dengan volume keras. Beginilah akhir dari perdebatan kami. Tidak pernah menemukan titik temu. Dan akan berakhir dengan kekesalanku, bahkan sering aku mogok bicara pada papa.
Kami sampai di halaman rumah, Pak Dio membukakan pintu gerbang. Ia adalah supir papa, tetapi beberapa bulan terakhir ini Papa lebih sering menyetir sendiri. Dan itu membuatku risih, karena aku makin terkekang. Ke mana-mana harus bersama Papa. Aku benar-benar sangat terkekang. Menyebalkan.
Kubanting pintu mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Bi Wati menyambutku, namun aku tidak menghiraukannya dan segera berlari naik ke lantas atas. Ke kamarku. Kujatuhkan tas begitu saja ke lantai. Menghempaskan tubuh di atas ranjang. Langit-langit kamar adalah salah satu tempat yang selalu menjadi tempat pelarianku saat kesal dengan Papa.
Pintu kamar diketuk. Aku berdecak sebal, rasanya aku hanya ingin sendirian saja sekarang. Pasti Bi Wati yang ada di balik pintu untuk membujukku makan.
"Aku nggak laper, Bi," jeritku.
"Bil, buka dulu dong. Ini Om Gio. Padahal Om udah nungguin dari tadi, eh malah kamu masuk kamar gitu saja."
Aku sedikit tergoda untuk membuka pintu. Terakhir aku bertemu Om Gio adalah 3 bulan lalu. Tapi aku yakin kalau Om Gio disuruh Papa untuk membujukku keluar. "Aku capek, Om."
"Yakin? Om mau ajak kamu ke salah satu tempat favorit Om nanti malam. Om Gio yakin kamu suka. "
Aku diam, berpikir dan masih menebak-nebak.
"Yakin, nggak mau ikut nonton WWF ini? Malam ini ada pertandingan loh. Dan Om punya dua tiket. Kalau kamu nggak mau ...." Pintu kamar kubuka pelan, dan wajah Om Gio terlihat lebih segar di depanku. IA tersenyum sambil menunjukkan dua tiket di tangannya. "Ikut?" tanyanya.
Aku mengangguk bersemangat. Ia tersenyum dan aku segera memeluknya. "Tapi ... Papa?" tanyaku yang sadar akan masalah lain nantinya.
"Tenang saja. Papa mu malam ini pergi ke London. Makanya Om ke sini, jagain kamu. Jangan sampai kabur, katanya." Om Gio menatap sambil mencubit hidungku.
______________
Pukul 20.00 aku masih berada di meja belajar. Sebuah tugas dari Pak Galih membuatku harus cepat mengerjakannya sebelum tengah malam. Karena aku akan pergi bersama Om Gio saat tengah malam nanti. Ini adalah momen yang sangat aku tunggu selama ini.
"Bil ...," Panggil Papa di balik pintu. Aku diam, namun jantungku terasa berdetak makin cepat. "Papa pergi dulu. Ada urusan bisnis. Mungkin seminggu di sana. Kamu di rumah sama Om Gio. Jangan nakal, Oke?"
"..."
"Bil ... Papa minta maaf." Suara langkah kaki pergi dari depan kamar, membuatku bernafas lega sekarang. Akhirnya aku bebas, dan aku harus segera menyelesaikan tugasku sekarang.
Jam sudah berdentang 12 kali. Artinya sudah tengah malam, dan kini aku sudah memakai jaket tebal dengan sepatu kets favoritku. Om Gio sudah menungguku di ruang tengah dan kami akan segera pergi menonton pertandingan itu.
"Gimana sekolah kamu?" tanya Om Gio sambil fokus memegang kemudinya. Jalanan masih ramai, banyak kendaraan berlalu lalang, bedanya tidak ada jalan yang macet jika sudah malam begini. Dan, ini masih sore bagi sebagian besar orang di ibukota. Seperti kami.
"Biasa aja, Om. Masih seperti biasa, ikut ekskul piano sesuai keinginan Papa dan taekwondo secara diam-diam. Eh, tadi ada kejadian di sekolah," seruku antusias.
"Iya? Apa?"
Aku menceritakan semua yang kualami tadi, tiap detailnya tak luput kuceritakan pada Om Gio. Ia mendengarkan dengan antusias dan aku sangat suka responsnya. Tidak seperti Papa.
"Apa? Wendigo?! Gila!" pekiknya. Dengan mata berbinar.
"Iya, Om. Aku pikir vampire, tapi nggak mungkin dong vampire keluar siang-siang. Dan makan ... manusia."
Om Gio mengangguk sambil berpikir. "Rupanya kamu banyak belajar, Bil. Tapi kamu nggak terluka, kan?" Om Gio menatap tubuhku intens.
"Nggak, Om. Om lupa, kalau aku ini mutan? Yang nggak bisa terluka?"
Dia tertawa lepas. Kata 'mutan' memang sering kupakai saat aku kesal dengan tubuhku sendiri. Karena aku memang aneh. Separah apa pun luka yang kudapat, aku tidak akan mati. Bahkan luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya.
Dulu, aku pernah mengalami kecelakaan mobil bersama Pak Dio. Pak Dio bahkan harus dirawat di ICU selama 1 minggu karena mobil kami terlindas truk besar dan tergencet pembatas jalan. Tapi saat mobil ambulance datang, aku baik-baik saja. Luka di tubuh ku hilang hanya dalam hitungan menit saja.
Kami mulai memasuki lorong jembatan. Di daerah ini sudah mulai sepi. Perasaanku tidak nyaman, walau Om Gio terus mengoceh macam-macam menceritakan pengalamannya saat muda dulu. Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh di atas mobil kami. Aku dan Om Gio saling lempar pandang.
"Apa di atas, Om?"
Suara itu kini seperti seseorang yang sedang berjalan di atas. "Bil, pegangan!"
Aku berpegangan kuat-kuat ke pegangan yang ada di atas kepalaku. Om Gio membanting stir ke kanan, lalu ke kiri. Sesuatu di atas mobil mulai jatuh, namun masih berada di atas. Suara berdebum terdengar jelas. Saat aku melihat ke atas, ada penyok di atasku.
"Om itu apa?" tanyaku masih penasaran. Aku tidak takut, karena sejak kecil Om Gio selalu mengajarkan ku untuk tidak takut jika berhadapan dengan makhluk-makhluk itu. Dan juga karena ada Om Gio di sini. Walau dia sudah berumur 60 tahun, tapi dia masih salah satu orang yang sangat aku kagumi. Kekuatannya masih dapat aku acungi jempol. Dan Om Gio adalah guru pertamaku dalam berlatih bela diri. Tentu tanpa sepengetahuan Papa.
Papa lebih sering sibuk dengan pekerjaannya. Dia berada di rumah hanya selama 1 minggu dalam satu bulan. Bisa dibilang Papa adalah seseorang yang gila kerja. Itulah kenapa aku tidak begitu dekat dengan Papa, malah lebih nyaman dengan Om Gio.
"Om juga nggak tau. Waspada, Bil. Ambil pistol di dash board!" suruh nya. Aku mengangguk dan menuruti perintahnya.
Mobil berhenti mendadak. Sesuatu jatuh ke kap mobil lalu ke depan mobil. Kami diam, terus mengawasi seseorang yang kini sudah berada di depan kami. Lampu menyorot ke depan, dan membuat kami dapat melihat dengan jelas. Orang itu bangkit perlahan. Dan saat dia berdiri dengan sempurna, kami dengan jelas melihat wajahnya.
Giginya runcing, kuku-kukunya tajam. Ah, apa mungkin dia Wendigo?
"Mungkin wendigo yang kamu bunuh tadi punya koloni, Bil?" tanya Om Gio seolah dapat membaca pikiranku.
"Entah. Mungkin saja." Aku segera keluar dari mobil dengan pistol di tanganku. Om Gio mengikutiku dan kami berdua menghadang makhluk menjijikkan itu. Om Gio menyerang terlebih dahulu, ia memakai tangan kosong. Rupanya pistol ini hanya ada satu di mobil. Aku berusaha mencari celah untuk dapat menembak makhluk itu, tetapi juga harus berhati-hati dengan Om Gio. Aku tidak boleh salah sasaran.
Tapi tiba-tiba seseorang menyerangku dari belakang. Aku jatuh tersungkur dengan pistol yang terlempar jauh dari tanganku. Seorang Wendigo muncul di belakangku. Dia berhasil melukai wajahku. Kami saling berhadapan, ia memamerkan gigi runcingnya yang tajam. Sementara aku menatapnya penuh kebencian. Ia mendesis, dan segera berlari mendekat padaku. Aku mendekat dengan cepat, sambil menjerit. Dengan gerakan cepat aku berputar dan membuat tubuhnya terlilit kakiku, kubanting dia ke tanah. Namun kaki ku berhasil terkena gigitannya. Aku kembali menjerit karena kesakitan. Om Gio hilang fokus, dan terluka karena cakaran wendigo yang sedang dia hadapi.
Tiba-tiba sebuah letusan dari pistol Om Gio membuat satu wendigo itu tewas. Tubuhnya perlahan menyusut dan hanya tinggal tengkorak yang berbalut kulit dan pakaiannya. Tembakan kedua tepat mengenai kepala wendigo itu. Aku mencari siapa orang yang telah melakukan hal ini, dan ternyata Kak Rayi berada tak jauh dari kami.
"Nabila, kamu nggak apa-apa?" tanyanya dan berhasil membuat Om Gio menatapku.
Tiga orang lainnya mulai mendekat. Dan terjadilah perkelahian di antara kami. Aku sangat tidak suka melihat sikap mereka selama ini di sekolah. Bertindak seenaknya dan menyiksa murid lain yang tidak mereka suka karena alasan sepele.
Satu pukulan mentah di leher kakak kelasku itu, membuatnya terhunyung jatuh ke lantai. 4 orang itu akhirnya tak berdaya lagi, bahkan untuk bangun saja mereka kesulitan. Aku mendekat ke Zidan dan membantunya berdiri. "Kamu bisa jalan, kan? Aku nggak mungkin gendong kamu turun ke bawah!" kataku menegaskan.
"Bisa kok, Bil. Thanks, ya." Kubantu Zidan berjalan, karena kaki kanannya terluka. Kami turun ke lantai bawah dan segera kubawa dia ke taman sekolah yang berada di belakang kelas kosong, yang sudah lama tidak terpakai.
"Aku beliin kamu minum dulu, sama cari obat. Tunggu di sini."
Ini baru pukul 11 siang. Dan aku yang seharusnya berada di kelas, justru terlibat masalah di luar. Sebenarnya aku tidak sengaja melihat Zidan diseret oleh mereka ke gudang lantai dua tadi. Awalnya aku ingin ke toilet untuk mencuci muka. Sejak sejam lalu aku sangat mengantuk, karena semalam aku tidur larut akibat menonton film. Tapi rupanya aku malah melihat sesuatu yang menarik, ketimbang harus duduk di kelas dan mendengar ocehan Bu Herlina yang membosankan.
Zidan bukan anak nakal atau sering berbuat ulah, justru dia anak baik-baik. Dia bahkan salah satu murid pintar di kelasku. Tampangnya yang bodoh memang sangat pas menjadi sasaran empuk hinaan orang. Yah, tipe anak culun sekolah memang pantas ia sandang. Tapi dia sebenarnya anak yang baik.
"Nih, minum dulu," kataku sambil mengulurkan botol air mineral dingin yang tadi kubeli di kantin.
"Thanks, Bil. Kok kamu nggak di kelas?" Ia meneguk air mineral itu.
"Iya. Kamu sendiri, ada masalah apa sama mereka? Kenapa kamu dipukuli gini?" tanyaku sambil menunjuk wajahnya yang kacau.
"Karena aku kemarin nganterin pulang Clara," sahut Zidan sambil menempelkan botol tersebut ke sudut bibirnya.
"Clara pacarnya Bayu?"
Dan anggukan Zidan membuatku geleng-geleng kepala. Kini aku tau alasan dia menjadi bulan-bulanan Bayu dan teman-temannya. Bayu merupakan salah satu gangster di sekolah yang cukup ditakuti beberapa orang. Mereka adalah kakak kelas kami.
Diskusi kami terhenti, saat aku mendengar jeritan minta tolong yang terdengar cukup dekat dari tempat kami duduk. "Denger, nggak?" tanyaku pada Zidan sambil terus menajamkan pendengaran.
"Iya, kayaknya di aula deh, Bil. Cek, yuk?" ajaknya.
Kami segera berlari menuju aula yang terletak di tengah sekolah. Keadaan sekolah tampak sepi, karena hampir semua orang sedang berada di ruang kelas masing-masing. Sampai di aula, kami melihat dengan jelas seorang pria dengan setelan hitam sedang mencekik seorang siswa. "Heh! Lepasin dia!" jeritku. Orang tersebut menoleh tanpa melepaskan tangannya dari leher siswa itu. Aku tidak tau siapa mereka. Yang jelas pria yang mencekiknya itu bukanlah warga sekolah. Dan anak yang dicekik adalah salah satu senior kami. Ia meringis dan menampilkan giginya yang runcing.
"Damn it!" pekik Zidan pelan. "Bagaimana ini, Bil."
"Kamu cari bantuan."
"Tapi, Bil ..."
"Sekarang!" kataku setengah menjerit dan menoleh padanya, sungguh-sungguh. Zidan mengangguk lalu segera pergi meninggalkan aula.
Pria itu melempar siswa pria itu, hingga pingsan. Ia kemudian berjalan mendekatiku perlahan. Aku tau dia bukan manusia, dan dia bukan makhluk aneh pertama yang kulihat seumur hidupku. Tapi aku belum bisa menyimpulkan makhluk apa yang ada di depanku sekarang. Jika dia vampire, itu tidak mungkin, karena vampir tidak akan muncul saat tengah hari begini.
Aku terus mundur sambil mencari cara untuk melawannya. Sampai akhirnya aku menemukan hal mengerikan lainnya. Sebuah tubuh yang masih berbalut pakaian seragam sekolah, terlihat tidak utuh lagi. Beberapa bagian tubuhnya sudah hilang. Sepertinya ia sudah menjadi santapan makhluk di depanku. Ia melirik ke jasad manusia yang sedang kutatap.
"Kau mengganggu makan siangku, jadi kamu akan menyusul temanmu itu!" katanya dengan kesulitan berbicara, mungkin karena gigi-giginya yang berantakan dan tajam barangkali.
"Cih, jangan mimpi!" kataku. Netraku tertuju pada sebuah tombak panjang yang biasa dipakai untuk lempar lembing. Saat dia berlari ke arahku, aku segera meraih benda itu. Dan menancapkan ujungnya di perutnya. Ia menjerit kesakitan. Suaranya seolah tertahan namun aku mampu melihat, kalau dia kesakitan. Sangat.
Tangannya menjulur ke leherku. Ia mencekikku dengan cukup erat. Kuku-kuku tajamnya terasa menusuk kulit leherku. Kembali aku mencoba mencari benda lain yang bisa kugunakan untuk menyerangnya. Tanganku terus berusaha bergerak, dan sebuah belati berhasil kuambil. Aku menusuk mata kanannya. Ia kembali menjerit dan akhirnya leherku berhasil terlepas darinya. Tapi lenganku terkena cakarannya, cukup dalam. Segera aku memegang luka itu, karena terasa panas dan pedih. Darah mengalir deras. Bahkan mengotori kemejaku yang berwarna putih. Aku mengerang, karena rasanya sungguh menyakitkan. Sambil melihat makhluk mengerikan itu. Ia masih kesakitan sambil memegangi matanya. Kesempatan ini tidak akan aku lewatkan begitu saja. Kuraih sebuah pisau perak yang kusimpan di ikatan paha. Lalu kutusuk jantungnya saat itu juga. Ia tewas.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke aula. Aku yakin Zidan sudah membawa bantuan. Tubuhku lemas, dan saat mereka masuk, mereka sangat terkejut melihat pria mengerikan itu sudah terkapar di lantai dengan bersimbah darah. Tubuhnya menyusut menjadi kurus sekali. Jemarinya terlihat makin mengerikan dengan kuku-kuku tajamnya.
"Nabila!" jerit Zidan langsung mendekat padaku. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya panik melihatku dengan bekas darah di beberapa bagian tubuhku.
"Aku nggak apa-apa." Kubuka lengan yang tadi terluka, dan kini luka itu sudah kembali menutup. Rasa sakit itu pun menghilang. Zidan melihatku aneh, dan beralih ke makhluk di depan kami. Beberapa orang mulai berkeliling aula dan menemukan korban lain yang tadi sedang disantap makhluk itu.
"Bil? Kamu apain dia?" tanya Zidan lagi.
"Nggak sengaja, Dan. Cuma membela diri. Kamu sih kelamaan, untung aku masih hidup," kataku berpura-pura kesal.
"Sorry, Bil."
Kini ruangan aula dipenuhi oleh beberapa guru dan kakak kelas. Mereka kebanyakan dari anak-anak taekwondo sekolah. Pakaian yang mereka kenakan masih komplit, dan aku juga mengenal beberapa dari mereka. Bahkan Kak Rayi sejak masuk tadi menatapku terus. Aku merasakan kalau dia ingin mendekat padaku, tapi teman-temannya memanggilnya untuk menolong korban yang pingsan tadi.
Kejadian ini cukup menggemparkan. Karena mayat yang ditemukan adalah anak dari kepala sekolah yang membolos saat ada jam pelajaran. Naas dia justru bertemu makhluk kanibal yang entah datang dari mana. Tak lama polisi juga datang, aku dan Zidan juga dimintai keterangan sebagai saksi. Beberapa orang juga menatapku aneh.
Aku masih berada di UKS sekolah. Pak Feri, selaku wali kelasku, menyuruhku untuk beristirahat dulu di UKS. Mungkin dia pikir aku terguncang akibat kejadian tadi. Zidan yang wajahnya babak belur mereka anggap itu akibat dia telah melawan makhluk tadi, jadi setidaknya dia aman dari pertanyaan-pertanyaan Pak Feri. Tidak ada yang ingin dipanggil ke ruang BP karena kasus perkelahian. Karena hal itu bukanlah ide bagus saat masih menjadi siswa di sekolah ini. Masuk BP 3 kali, maka kau akan segera ditendang keluar sekolah. Dan aku sudah mendapatkan 1 tiket itu. Kasus ini ditutup dengan dugaan adanya orang tidak waras yang menganut ilmu hitam, sehingga dia kerasukan setan dan memakan manusia. Yah, cukup rasional. Tapi kabar ini tidak sampai menyebar, demi ketentraman seluruh penghuni sekolah.
_______________
Keputusanku untuk mengikuti ekstra kulikuler taekwondo selalu ditentang Papa. Dia sangat menginginkan seorang anak perempuan yang manis, baik, sopan, dan pandai memainkan piano, biola, cello atau harpa. Yah, setidaknya aku tetap mengikuti ekstrakulikuler piano di hari senin, dan ekstrakulikuler taekwondo di hari jumat. Dan, Papa hanya tau kalau aku mengikuti ekstra kulikuler piano saja.
"Bil, udah dijemput itu," kata Kak Rayi yang masih memakai Dobok. Aku yang sedang membereskan tas di ruang loker hanya menoleh sambil mengangguk. Kak Rayi berjalan menuju lokernya, mengambil tas dan baju ganti. Di tempat ini semua loker anak-anak yang mengikuti latihan digabung menjadi satu, baik perempuan maupun laki-laki. Semua dianggap sama, kecuali toilet. Tetap dipisah antara perempuan dan laki-laki.
*Dobok adalah pakaian khusus taekwondo
"Eum, Nabila."
"Kenapa, Kak?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
"Terima kasih buat tadi."
"Tadi? Yang mana?"
"Aula. Faza selamat karena kamu dan Zidan," katanya memperjelas kalimatnya.
"Oh. Itu. Sama-sama, Kak. Kami kebetulan lewat, dan untung belum terlambat. Zidan yang banyak bantu."
"Yah, tetap saja, terima kasih, Bil," katanya dengan menatapku dalam. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Semua barang sudah aku masukan ke dalam tas. Aku harus segera pergi, jika tidak orang yang sedang menungguku di luar sana, akan murka dan menyeretku pulang. Apalagi jika dia tau aku sedang ada di ruangan ini.
"Aku duluan, Kak Rayi," pamitku.
Kak Rayi yang sedang menutup loker, menoleh. "Oke, take care, Bil. Sampai ketemu di sekolah besok."
Sudah satu semester aku bersekolah di tempat ini. Dan tentu aku sudah cukup lama mengenal Kak Rayi. Dia adalah seniorku, dan salah satu atlet taekwondo yang beberapa kali mengharumkan nama sekolah. Hanya saja aku sedikit sungkan dengannya, tatapan matanya padaku terasa aneh.
Lorong koridor sekolah sudah nampak sepi. Beberapa siswa yang masih mengikuti kegiatan tambahan sampai sore terlihat mulai pulang, sama seperti ku. Sekolah ini akan segera tutup setelah petang nanti.
Mobil SUV warna hitam yang sedang parkir di pinggir jalan, langsung kukenali. Kaca mobil depan langsung otomatis turun ke bawah. Di dalam nya ada seorang pria Berjambang tipis dengan kaca mata hitam bertenger di hidungnya. Ia melirik ke arahku yang berjalan memutar ke pintu samping kemudi.
"Papa udah lama?" tanyaku basa basi. Menutup pintu sekaligus memakai seltbelt.
"Iya. Kok telat pulangnya, Bil?"
"Tadi ada banyak anak baru, Pa. Susulan gelombang 1. Jadi kami mengulang lagi dari awal. Terus anggota makin banyak, jadi lama," jelas ku.
"Terus bagaimana perkembangan kamu?"
"Lumayan. Kan masih dasarnya aja, Pa."
Papa mulai melajukkan mobil, dan meninggalkan halaman sekolah. Yah, dia papaku. Orang yang setiap hari mengantar dan menjemput ku ke sekolah. Orang yang selalu marah jika aku pulang terlambat. Orang yang selalu mendidikku dengan keras. Orang yang selalu berdebat denganku jika aku harus memutuskan sesuatu. Karena aku dan Papa lebih sering berbeda keyakinan. Seperti sekarang, aku mengikuti taekwondo, dan tentu dia tidak mengizinkan. Maka aku harus diam-diam mendaftarkan diri, tanpa Papa tau. Dan sore ini papa menjemputku setelah pulang latihan piano, padahal aku ikut taekwondo.
"Inget. Kamu itu anak perempuan, Bil. Jangan ikut hal yang aneh-aneh."
"Aneh apanya? Pa, taekwondo itu bukan sesuatu yang aneh, kan? Coba, Papa bayangin kalau misal papa nggak ada, terus ada orang yang jahatin aku. Aku bagaimana? Aku harus bisa jaga diri, kan, Pa?!"
"Enggak! Pokoknya, enggak! Dan kalau papa udah nggak ada, Papa masih punya banyak anak buah buat jaga kamu, dan ada Om Gio yang akan menjaga kamu nanti!"
"Papa ngomong apa sih? Apa maksud Papa, nggak ada?!"
"Kan kamu duluan yang bilang, kalau Papa nggak ada, bagaimana? iya, kan?"
"Maksud aku bukan nggak ada yang ... Argh! Pah! Udah, ah!" Aku memalingkan wajah menghadap ke jendela samping. Melihat padatnya lalu lintas jalanan setiap sore sudah menjadi hal biasa bagiku. DAn berdebat dengan Papa seperti ini, bagai makanan sehari-hariku. Suara tarikan nafas berat papah terdengar jelas di telinga.
"Bil ... Papa nggak bermaksud gitu, cuma ...."
Aku segera meraih headset dan menyumpalkan di telinga. Menyetel musik dengan volume keras. Beginilah akhir dari perdebatan kami. Tidak pernah menemukan titik temu. Dan akan berakhir dengan kekesalanku, bahkan sering aku mogok bicara pada papa.
Kami sampai di halaman rumah, Pak Dio membukakan pintu gerbang. Ia adalah supir papa, tetapi beberapa bulan terakhir ini Papa lebih sering menyetir sendiri. Dan itu membuatku risih, karena aku makin terkekang. Ke mana-mana harus bersama Papa. Aku benar-benar sangat terkekang. Menyebalkan.
Kubanting pintu mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Bi Wati menyambutku, namun aku tidak menghiraukannya dan segera berlari naik ke lantas atas. Ke kamarku. Kujatuhkan tas begitu saja ke lantai. Menghempaskan tubuh di atas ranjang. Langit-langit kamar adalah salah satu tempat yang selalu menjadi tempat pelarianku saat kesal dengan Papa.
Pintu kamar diketuk. Aku berdecak sebal, rasanya aku hanya ingin sendirian saja sekarang. Pasti Bi Wati yang ada di balik pintu untuk membujukku makan.
"Aku nggak laper, Bi," jeritku.
"Bil, buka dulu dong. Ini Om Gio. Padahal Om udah nungguin dari tadi, eh malah kamu masuk kamar gitu saja."
Aku sedikit tergoda untuk membuka pintu. Terakhir aku bertemu Om Gio adalah 3 bulan lalu. Tapi aku yakin kalau Om Gio disuruh Papa untuk membujukku keluar. "Aku capek, Om."
"Yakin? Om mau ajak kamu ke salah satu tempat favorit Om nanti malam. Om Gio yakin kamu suka. "
Aku diam, berpikir dan masih menebak-nebak.
"Yakin, nggak mau ikut nonton WWF ini? Malam ini ada pertandingan loh. Dan Om punya dua tiket. Kalau kamu nggak mau ...." Pintu kamar kubuka pelan, dan wajah Om Gio terlihat lebih segar di depanku. IA tersenyum sambil menunjukkan dua tiket di tangannya. "Ikut?" tanyanya.
Aku mengangguk bersemangat. Ia tersenyum dan aku segera memeluknya. "Tapi ... Papa?" tanyaku yang sadar akan masalah lain nantinya.
"Tenang saja. Papa mu malam ini pergi ke London. Makanya Om ke sini, jagain kamu. Jangan sampai kabur, katanya." Om Gio menatap sambil mencubit hidungku.
______________
Pukul 20.00 aku masih berada di meja belajar. Sebuah tugas dari Pak Galih membuatku harus cepat mengerjakannya sebelum tengah malam. Karena aku akan pergi bersama Om Gio saat tengah malam nanti. Ini adalah momen yang sangat aku tunggu selama ini.
"Bil ...," Panggil Papa di balik pintu. Aku diam, namun jantungku terasa berdetak makin cepat. "Papa pergi dulu. Ada urusan bisnis. Mungkin seminggu di sana. Kamu di rumah sama Om Gio. Jangan nakal, Oke?"
"..."
"Bil ... Papa minta maaf." Suara langkah kaki pergi dari depan kamar, membuatku bernafas lega sekarang. Akhirnya aku bebas, dan aku harus segera menyelesaikan tugasku sekarang.
Jam sudah berdentang 12 kali. Artinya sudah tengah malam, dan kini aku sudah memakai jaket tebal dengan sepatu kets favoritku. Om Gio sudah menungguku di ruang tengah dan kami akan segera pergi menonton pertandingan itu.
"Gimana sekolah kamu?" tanya Om Gio sambil fokus memegang kemudinya. Jalanan masih ramai, banyak kendaraan berlalu lalang, bedanya tidak ada jalan yang macet jika sudah malam begini. Dan, ini masih sore bagi sebagian besar orang di ibukota. Seperti kami.
"Biasa aja, Om. Masih seperti biasa, ikut ekskul piano sesuai keinginan Papa dan taekwondo secara diam-diam. Eh, tadi ada kejadian di sekolah," seruku antusias.
"Iya? Apa?"
Aku menceritakan semua yang kualami tadi, tiap detailnya tak luput kuceritakan pada Om Gio. Ia mendengarkan dengan antusias dan aku sangat suka responsnya. Tidak seperti Papa.
"Apa? Wendigo?! Gila!" pekiknya. Dengan mata berbinar.
"Iya, Om. Aku pikir vampire, tapi nggak mungkin dong vampire keluar siang-siang. Dan makan ... manusia."
Om Gio mengangguk sambil berpikir. "Rupanya kamu banyak belajar, Bil. Tapi kamu nggak terluka, kan?" Om Gio menatap tubuhku intens.
"Nggak, Om. Om lupa, kalau aku ini mutan? Yang nggak bisa terluka?"
Dia tertawa lepas. Kata 'mutan' memang sering kupakai saat aku kesal dengan tubuhku sendiri. Karena aku memang aneh. Separah apa pun luka yang kudapat, aku tidak akan mati. Bahkan luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya.
Dulu, aku pernah mengalami kecelakaan mobil bersama Pak Dio. Pak Dio bahkan harus dirawat di ICU selama 1 minggu karena mobil kami terlindas truk besar dan tergencet pembatas jalan. Tapi saat mobil ambulance datang, aku baik-baik saja. Luka di tubuh ku hilang hanya dalam hitungan menit saja.
Kami mulai memasuki lorong jembatan. Di daerah ini sudah mulai sepi. Perasaanku tidak nyaman, walau Om Gio terus mengoceh macam-macam menceritakan pengalamannya saat muda dulu. Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh di atas mobil kami. Aku dan Om Gio saling lempar pandang.
"Apa di atas, Om?"
Suara itu kini seperti seseorang yang sedang berjalan di atas. "Bil, pegangan!"
Aku berpegangan kuat-kuat ke pegangan yang ada di atas kepalaku. Om Gio membanting stir ke kanan, lalu ke kiri. Sesuatu di atas mobil mulai jatuh, namun masih berada di atas. Suara berdebum terdengar jelas. Saat aku melihat ke atas, ada penyok di atasku.
"Om itu apa?" tanyaku masih penasaran. Aku tidak takut, karena sejak kecil Om Gio selalu mengajarkan ku untuk tidak takut jika berhadapan dengan makhluk-makhluk itu. Dan juga karena ada Om Gio di sini. Walau dia sudah berumur 60 tahun, tapi dia masih salah satu orang yang sangat aku kagumi. Kekuatannya masih dapat aku acungi jempol. Dan Om Gio adalah guru pertamaku dalam berlatih bela diri. Tentu tanpa sepengetahuan Papa.
Papa lebih sering sibuk dengan pekerjaannya. Dia berada di rumah hanya selama 1 minggu dalam satu bulan. Bisa dibilang Papa adalah seseorang yang gila kerja. Itulah kenapa aku tidak begitu dekat dengan Papa, malah lebih nyaman dengan Om Gio.
"Om juga nggak tau. Waspada, Bil. Ambil pistol di dash board!" suruh nya. Aku mengangguk dan menuruti perintahnya.
Mobil berhenti mendadak. Sesuatu jatuh ke kap mobil lalu ke depan mobil. Kami diam, terus mengawasi seseorang yang kini sudah berada di depan kami. Lampu menyorot ke depan, dan membuat kami dapat melihat dengan jelas. Orang itu bangkit perlahan. Dan saat dia berdiri dengan sempurna, kami dengan jelas melihat wajahnya.
Giginya runcing, kuku-kukunya tajam. Ah, apa mungkin dia Wendigo?
"Mungkin wendigo yang kamu bunuh tadi punya koloni, Bil?" tanya Om Gio seolah dapat membaca pikiranku.
"Entah. Mungkin saja." Aku segera keluar dari mobil dengan pistol di tanganku. Om Gio mengikutiku dan kami berdua menghadang makhluk menjijikkan itu. Om Gio menyerang terlebih dahulu, ia memakai tangan kosong. Rupanya pistol ini hanya ada satu di mobil. Aku berusaha mencari celah untuk dapat menembak makhluk itu, tetapi juga harus berhati-hati dengan Om Gio. Aku tidak boleh salah sasaran.
Tapi tiba-tiba seseorang menyerangku dari belakang. Aku jatuh tersungkur dengan pistol yang terlempar jauh dari tanganku. Seorang Wendigo muncul di belakangku. Dia berhasil melukai wajahku. Kami saling berhadapan, ia memamerkan gigi runcingnya yang tajam. Sementara aku menatapnya penuh kebencian. Ia mendesis, dan segera berlari mendekat padaku. Aku mendekat dengan cepat, sambil menjerit. Dengan gerakan cepat aku berputar dan membuat tubuhnya terlilit kakiku, kubanting dia ke tanah. Namun kaki ku berhasil terkena gigitannya. Aku kembali menjerit karena kesakitan. Om Gio hilang fokus, dan terluka karena cakaran wendigo yang sedang dia hadapi.
Tiba-tiba sebuah letusan dari pistol Om Gio membuat satu wendigo itu tewas. Tubuhnya perlahan menyusut dan hanya tinggal tengkorak yang berbalut kulit dan pakaiannya. Tembakan kedua tepat mengenai kepala wendigo itu. Aku mencari siapa orang yang telah melakukan hal ini, dan ternyata Kak Rayi berada tak jauh dari kami.
"Nabila, kamu nggak apa-apa?" tanyanya dan berhasil membuat Om Gio menatapku.
regmekujo dan 3 lainnya memberi reputasi
4