- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#149
144 Timbuktu
"Mungkin itu nggak sengaja," celetuk Dewa.
"Itu? Nggak sengaja? Gila kali, sampai orang mati begitu. Nggak bisa dibiarkan!" tukas Gio semangat.
"Terus mau kita tangkap? Bagaimana caranya?"
Mereka diam, lalu melirik ke Wira yang duduk di dekat jendela balkon. "Wira! Bagaimana cara memancing setan itu keluar?" tanya Gio.
Wira menoleh dengan tatapan datar. Ia menarik nafas dalam dalam lalu kembali menatap keluar jendela. "Dia akan muncul tengah malam, dan menggoda laki laki hidung belang."
"Cuma itu?"
"Ya sekarang tinggal siapa yang mau jadi umpan," jelas Wira santai.
"Laki laki hidung belang itu siapa?" tanya Gio.
Dan semua orang justru menatap Gio bersamaan. Dan di situlah jawaban dari pertanyaan tadi terjawab. "Oke, fine." Gio pun pasrah.
Malam makin larut, sambil menunggu tengah malam, mereka berkumpul di kamar Arya. "Tapi kalian yakin kalau jorogumo akan muncul?" tanya Gio sedikit ragu.
"Jorogumo akan muncul setiap perayaan setsubun. Yaitu budaya usir setan di Jepang," jelas Wira setelah menelusuri sebab musabab masalah ini muncul.
Setiap tanggal 3 Februari di Jepang selalu merayakan Setsubun. Setsubun mempunyai arti sebagai pembagian musim. Dan Setsubun kemudian dijadikan sebagai nama perayaan sekaligus istilah untuk hari sebelum hari pertama musim semi di Jepang.
Setsubun bisa dikatakan sebagai suatu perayaan untuk mengusir syetan dan mempersilahkan keberuntungan untuk masuk rumah kita. Cara Usir Setan ala Jepang yang unik!!
Dan lucunya dalam perayaan Setsubun ini didalamnya ada kegiatan melempar kacang, yang disebut juga Mamemaki. Ya, melempar kacang ke badan oni/setan/monster agar tidak masuk kedalam rumah kita.
"Jadi cara mengusirnya dengan melempar kacang?"
"Iya, sambil berkata mantra ajaib."
"Hm, kalau gitu aku beli kacang dulu," tukas Dewa.
Jam sudah berdenting, menunjukan pukul 12 malam. Dewa dan Elang baru saja kembali membeli kacang.
"Terus rencana kita apa?" tanya Arya.
"Eh, apa nggak terlalu beresiko kalau cuma Gio yang menjadi umpan?" tanya Nayla.
"Jadi maksud kamu, harus ada orang lain juga?" tanya Arya.
"Iya, minimal dua orang, gimana? Karena kita nggak tau dia akan berada di mana. Penginapan ini luas, kan?"
"Ya sudah, biar sama gue aja," timpal Elang yakin.
Semua sepakat kalau Elang dan Gio yang akan memancing hantu itu keluar. Karena menurut mitos, selama 3 hari sejak perayaan itu dimulai, para hantu akan berkeliaran. Dan kejadian ini sudah ada sejak 25 tahun lalu. Dan setiap tahun pasti akan ada orang yang meninggal, setiap hari selama 3 hari berturut turut.
Penginapan ini memang milik warga asli, tetapi ternyata tanah yang ada di kompleks tersebut dulunya adalah sebuah perkampungan milik orang Jepang, yang kini tergusur oleh keadaan. Berganti dengan ruko dan penginapan sekelas hotel melati. Sehingga adat yang dulu menjadi tradisi seolah terus terasa walau keadaan tempat itu berubah.
Suasana penginapan terasa sunyi. Beberapa pengunjung memilih pindah dan mencari tempat yang lebih aman. Lagi pula mana ada, orang yang mau menginap di kamar hotel bekas kasus pembunuhan. Hanya orang bodoh saja yang mau melakukannya, dan orang orang bodoh itu adalah mereka semua. Wira, Arya, Gio, Elang dan semua yang ada di kamar itu.
Gio dan Elang keluar kamar. Bersiap dengan sekantung biji kacang di saku mereka. Koridor terlihat gelap karena memang sengaja dimatikan. Kecuali kamar bekas mayat pria itu ditemukan. Dan satu lagi, tidak ada penjagaan polisi di sini.
"Eh, tau nggak, Gi, kalau tinggal kita aja yang menginap di sini," bisik Elang memberikan informasi yang Gio belum tau. Gio menoleh dengan tatapan tak percaya. "Yang bener lu, Lang. Jangan becanda!"
"Ye, nggak percaya. Tadi gue cek ke resepsionis, mereka bilang semua penghuni di sini check out. Yah, siapa sih yang mau tidur di penginapan bekas pembunuhan?"
"Lah kita kan?"
"Iya, cuma kita. Orang nggak waras."
Setelah diskusi yang jika dilanjutkan akan menjadi perdebatan, mereka akhirnya memilih berpencar. Elang ke bawah, sementara Gio ke lantai atas. Mereka juga dilengkapi dengan kamera yang diletakan di kemeja sekaligus mikrofon agar tiap langkah mereka dapat dilihat dan didengar oleh teman teman mereka yang lain.
Bunyi derit tangga yang diinjak Elang membuat pria itu berhenti sejenak. Ia memperhatikan sekitar, dan mencoba lebih pelan lagi dalam berjalan. Keadaan di lantai bawah juga sudah sunyi. Meja resepsionis pun sudah kosong. Karena hanya akan melayani sampai pukul 10 malam saja. Elang masih terus menyusuri ruangan demi ruangan.
Di tempat lain, Gio sudah berada di lantai paling atas. Langkahnya pelan sambil terus siaga. Ia memeriksa sebuah kamar, yang rupanya tidak dikunci. Dan ternyata semua kamar memang tidak dikunci dan kosong. Sunyi. Hanya ada suara langkah kaki Gio di sepanjang koridor lantai 3. Sampai akhirnya saat ia membuka satu kamar lagi, ada seorang wanita yang sedang duduk di ranjang. Memakai gaun merah seksi dengan rambut panjang terurai. Pakaiannya menerawang. Gio mendadak diam, jantungnya berdegup makin kencang. Ia sadar kalau wanita itu adalah yang sedang ia incar. Tetapi tentu ia harus mendekat untuk dapat melakukan ritual pengusiran setan seperti yang dikatakan Wira.
"Eum, maaf, saya ...." Kalimat Gio terbatas bata, ia grogi dan sedikit gelisah. Masih berdiri di ambang pintu, dengan kondisi ruangan yang gelap membuatnya sedikit takut. Mungkin jika musuh di depannya adalah manusia dia tidak akan gentar, tetapi dia adalah hantu, yang jika dipukul akan sia sia belaka.
Wanita itu menoleh, ia tersenyum. Wajahnya cantik sekali, dan lekuk tubuhnya terlihat menerawang. Ia lantas berjalan mendekati Gio.
"Maaf, saya salah masuk kamar," kata Gio mundur perlahan. Tetapi sang wanita justru melingkarkan tangan di leher Gio sembari mendekatkan tubuhnya. Pikiran Gio sempat kabur, hal yang sejak tadi ia rencanakan mendadak buyar seketika. Sampai tiba tiba, Gio dicekik. Ia meronta karena sesak. Wanita itu berubah menjadi makhluk yang mengerikan. Yah, dia siluman laba laba. Tubuhnya sebagian seperti laba laba, sementara kepalanya masih manusia. Namun tidak secantik di awal tadi. Tangan Gio berusaha mengambil kacang yang tadi ia simpan di saku celana. Namun ia terlalu sulit meraihnya, sampai akhirnya tubuh Gio terdorong mundur ke sudut kamar. Sarang laba laba keluar dari mulut wanita jelek itu, dan membuat tubuh Gio terdorong lagi ke atap. Gio sempat menjerit sampai akhirnya mulutnya tertutup sarang laba laba tersebut. Gio mulai kesulitan bernafas, namun tiba tiba juluran sarang laba laba itu terputus saat Elang memotong dengan pedang di tangannya. Wanita siluman itu menoleh dan menatap Elang kesal. Ia menggeram lalu berbalik menyerang Elang. Elang bahkan sampai terpental keluar kamar. Ia terguling sampai hampir jatuh ke lantai bawah, tetapi beruntung Elang masih dapat berpegangan pada pinggiran kayu pagar lantai 3 tersebut. Elang berusaha sekeras mungkin agar tangannya tidak terlepas. Tetapi ia tentu tidak bisa bertahan terlalu lama dengan posisi menggantung seperti ini. Tangannya tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya, sampai akhirnya pegangan itu terlepas.
"Tahan, Lang!" ucap Arya yang kini meraih tangan Elang. Arya membantu Elang agar kembali naik ke atas. Di belakang Arya ada Dewa dan Wira yang masuk ke kamar itu. Wira melempar kacang lalu mengucapkan mantra. Tetapi anehnya siluman wanita itu hanya diam. Seolah apa yang dilakukan Wira tidak bereaksi apa apa. Dewa pun melotot dan mulai ketakutan. Kini kedua pria itu ikut terdorong ke tembok akibat sarang laba laba yang keluar dari mulutnya.
Saat Arya sudah membawa Elang naik ke atas, ia dikagetkan dengan sebuah kepala yang menggelinding di bawah kakinya. Kepala Jorogumo. Dan di sana ada Nayla yang berdiri dengan sebuah pedang panjang di tangannya.
"Mungkin memenggal kepalanya adalah cara terjitu," katanya sambil menetralkan nafasnya yang tersengal sengal.
***
Perjalanan mereka dilanjutkan. Kini mereka harus pergi ke ujung dunia yaitu Afrika. Timbuktu adalah sebuah kota di Mali, Afrika Barat.
Timbuktu sering kali disebut sebagai ujung dunia. Karena itu orang menggambarkan dirinya pergi ke ujung dunia dengan pergi ke Timbuktu. Jika Sahara berfungsi sebagai laut, Timbuktu adalah pelabuhan utamanya. Kota ini juga merupakan kota utama dalam beberapa kekaisaran. Sebuah kota dengan rumah-rumah yang terbuat dari lumpur. Dengan kondisinya kini yang semakin sepi dan terisolasi pasir serta matahari, peradaban Timbuktu seolah hampir punah. Padahal di sana masih banyak Universitas dan masjid-masjid kejayaan Islam yang berdiri kokoh tanpa dihuni. Sungguh sayang, kan? Timbuktu yang dulu berjaya, kini cuma menjadi kota antah berantah yang nun jauh di sana.
Dan ke sana lah, mereka akan melanjutkan kisah ini. Kota Timbuktu.
"Tinggal dua kunci lagi untuk melengkapi 10 kunci itu, kan?" tanya Arya kepada yang lain. Caravan mereka kini mulai membawa ke perjalanan berikutnya. Ia kini duduk di depan, samping Gio yang sedang fokus pada kemudinya. Elang juga ikut serta dalam perjalanan ini. Dia juga memiliki andil serta kepentingan khusus saat kesepuluh kunci itu ditemukan. Elang harus menemukan Nabila dan membawanya pulang.
"Seharusnya begitu, Ya. Kita tinggal menemukan 2 kunci lagi. Di sini dan tempat terakhir nanti," sahut Elang.
Wira yang sejak tadi diam, terus menatap Abimanyu dan Ellea. Pengantin baru itu terlihat makin bahagia sejak mereka menikah kemarin. Dan bulan madu selama satu minggu dirasa cukup untuk keduanya. "Bagaimana rasanya jadi suami istri?" tanyanya dengan senyum tipis.
Abi dan Ellea yang sedang mengobrol berdua lantas menoleh ke Wira dengan tatapan bahagia. "Ya seneng, Om. Akhirnya sah juga," sahut Abimanyu dengan menggenggam tangan Ellea.
Wira menarik salah satu sudut bibirnya sambil mengangguk paham. Tatapan matanya kini beralih ke Ellea. "Siap, Ell?"
Ellea tersenyum kecut lantas mengangguk. Keduanya saling menatap beberapa saat, seolah menyiratkan sesuatu yang dalam dan rahasia.
"Siap untuk apa?" tanya Abi menatap Ellea dan Wira bergantian. Ellea lantas menoleh, lalu memeluk lengan suaminya itu. Abi mengerutkan kening, sedikit kebingungan, sampai akhirnya Elang menyela pembicaraan mereka.
"Berhati hatilah untuk tempat satu ini." Elang yang duduk di kursi belakang Gio hanya mampu menatap pemandangan di luar jendela. Di sampingnya ada Wira. Di belakang mereka Nayla, Ellea dan Abimanyu.
"Yah, Timbuktu. Kota di ujung dunia, tapi sekarang mengerikan," sahut Wira.
"Bukannya itu kotanya Donald duck?" tanya Nayla sedikit mengeraskan nada bicaranya. "Ternyata memang ada, ya?" lanjutnya lagi.
"Mungkin nggak sama seperti yang ada di film, Ibu Mertua," tampik Ellea yang duduk di tengah, di antara Abimanyu dan Nayla.
Nayla yang belum terbiasa dengan panggilan barunya lantas melirik tajam, hingga akhirnya Ellea memeluk wanita itu erat sebagai permintaan maaf. Karena sebelumnya Nayla memang tidak mau dipanggil seperti itu. Bagaimana pun juga sekarang dia masih jauh lebih muda timbang Ellea dan Abimanyu. Dan jiwa mudanya meronta tidak terima dengan panggilan tersebut, yang seolah terkesan menunjukkan dia sudah sangat tua dari umurnya sekarang.
Sementara pemuda di samping Ellea, malah tersenyum bahagia, tetapi juga merasa aneh dengan sikap Wira dan Ellea. Seperti ada yang disembunyikan darinya.
Perjalanan mereka mulai mencapai titik akhir. Kini hamparan padang pasir terlihat di sepanjang jalan yang mereka temui. Suasana sepi perlahan mulai dirasakan. Bahkan kini mereka mulai jarang melihat orang di sepanjang jalan.
Mereka tiba di sebuah perkampungan. Menurut PETA ini adalah Timbuktu. Dan menurut apa yang mereka pelajari, bangunan di depan mereka memang sesuai dengan apa yang di jelaskan sebelumnya. Semua bangunan di depan mereka dibuat dari lumpur, jerami dan kayu. Tidak ada warna berbeda bagi tiap bangunannya. Semua sama, warna cokelat. Warna dasar dari lumpur.
"Wow, ini mirip istana pasir raksasa!" ujar Gio yang duduk di depan. Otomatis sangat jelas melihat bangunan di depan mereka.
"Itu bener Timbuktu?" tanya Elang memastikan.
"Benar. Lihat tuh, ada tulisannya," tunjuk Arya ke sebuah papan di depan istana pasir raksasa tersebut.
Kota itu dikelilingi oleh tembok besar yang berbahan dasar sama. Lumpur, kayu, dan jerami. Mengelilingi bangunan bangunan yang ada di dalamnya. Mirip sebuah benteng pertahanan. Benar kata Gio, kalau jika dilihat sekilas, mirip istana pasir raksasa.
Mereka memutuskan turun dari caravan. Sebelum keluar, mereka memakai pelindung kepala yang sama seperti warga setempat. Berbekal perburuan mereka di sebuah pasar sesaat setelah mereka tiba di benua ini.
Rupanya rumor yang beredar tidak sepenuhnya benar. Karena ternyata masih ada warga yang menghuni tempat ini. Mereka melihat ada beberapa orang yang melintasi tempat tersebut. Hampir semua orang memakai sorban menjulur panjang yang dipakai untuk menutupi hidung dan mulut mereka.
Warga setempat melihat aneh ke gerombolan Arya dan yang lainnya. Tentu saja mereka akan sangat terlihat asing, karena penampilannya yang berbeda dengan mereka.
Satu persatu turun. Saat kaki mereka menginjak tanah, semilir angin menerpa tubuh mereka kencang. Tempat ini panas, namun anginnya cukup kencang. Dan tentu membuat pasir berterbangan ke udara dengan bebas. Hal ini yang menjadi alasan kenapa mereka harus memakai penutup kepala karena pasir akan sangat menganggu pernafasan nanti.
"Wah, habis ini kita pasti akan ke tempat cucian mobil, sayang," kata Gio mengelus pintu caravannya.
Mereka mulai menjelajah tempat itu. Sesekali memutuskan menyapa warga setempat untuk sekedar basa basi atau mencari informasi yang mungkin akan mereka butuhkan. Sampai akhirnya mereka memutuskan beristirahat di sebuah bangunan yang cukup besar di sana. Sebuah masjid. Masjid Djingareyber.
Masjid Djingareyber merupakan bangunan suci sekaligus pusat pembelajaran yang dibangun pada 1327.
Masih berfungsi hingga saat ini, Masjid Djingareyber menjadi satu di antara tiga masjid yang membentuk University of Timbuktu. Timbuktu merupakan satu kota yang dijuluki sebagai 'city of gold' dan dianggap sebagai satu destinasi yang sulit untuk dijangkau.
Hampir seluruh bagian Masjid Djingareyber dibangun dari lumpur, jerami, dan kayu.
Setelah menguasai Timbuktu, para militan dengan cepat melembagakan hukum Syariah versi kejam mereka sendiri.
Mereka melempari wanita dengan batu karena tidak mengenakan pakaian yang dianggap layak dan sesuai ajaran agama.
Selain itu, para militan memotong tangan para musisi yang tertangkap melanggar larangan totaliter atas semua bentuk musik.
Masjid ini juga mengalami sukses panjang dan mengalami berbagai perang, konflik, dan pergolakan politik selama delapan abad terakhir. Pergolakan terakhir yang disaksikan Masjid Djingareyber terjadi pada 2012 ketika kelompok Islam militan merebut kota dan mulai meneror penduduk setempat.
Tak lama setelah penguasaan Timbuktu, perhatian para militan beralih ke artifak budaya bersejarah Timbuktu. Termasuk rumah ibadah Muslim kuno, yang mereka nyatakan dilarang oleh Islam.
Para militan menghancurkan kuburan tujuh orang suci Muslim dengan cangkul dan kapak, dua di antaranya berada di Masjid Djingareyber. Para militan itu akhirnya berhasi diusir dari Timbuktu pada awal 2013 oleh tentara Prancis yang dikirim untuk membebaskan kota tersebut.
Sementara, Masjid Djingareyber berhasil dipulihkan dari kerusakan.
Terlepas dari kekalahan kaum militan, Timbuktu tetap menjadi tempat yang berbahaya untuk dikunjungi.
Meski Masjid Djingareyber dan museum yang berada di dekatnya yang menampung beberapa manuskrip bersejarah Islam secara teknis terbuka untuk pengunjung, menjangkau Kota Timbuktu melalui sarana transportasi komersial menjadi hal yang hampir mustahil.
Tetapi tentu jangan ragukan kemampuan mereka. Semua tempat akan mereka datangi, tidak ada tempat yang sulit bagi mereka. Dan karena alasan itulah, masjid ini mang terlihat sunyi. Tidak ada aktifitas ibadah apa pun di dalamnya.
"Kita istirahat dulu deh. Sambil menyusun rencana untuk mencari di mana kunci itu," kata Arya.
"Iya, lagi pula tempat ini luas banget. Kalau tanpa rencana, kita bagai mencari jarum di tumpukan jerami," sahut Elang sependapat.
Istirahat sebanyak apa pun di mobil, akan berbeda rasanya dengan tempat ini. Di sini mereka benar benar merasakan istirahat yang sesungguhnya. Bahkan Gio sudah mendengkur tak lama saat merebahkan tubuhnya di lantai. Jangan bayangkan suasana masjid seperti di Indonesia, karena keadaan masih di sini jauh berbeda dengan kebanyakan masjid di luar sana. Tidak ada lantai keramik putih bersih di bawahnya. Atau tembok dengan cat putih dan beberapa hiasan asma Allah, yang ada hanyalah lantai dengan warna yang sama seperti seluruh bangunan.
Mereka akhirnya menggelar karpet besar, beberapa memutuskan menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing masing.
Sementara Wira hanya duduk dengan kaki bersila, diam, seolah sedang khusuk berdoa. Abi mendekatinya, ikut duduk di samping pria tersebut.
"Om sedang apa?" tanya Abi lirih. Di saat yang lain sibuk mengurus dirinya masing masing, ada yang tidur, mandi, melihat lihat sekitar, tapi Wira hanya duduk diam. Dan ini sudah hampir satu jam Wira duduk dengan posisi yang sama.
"Berdoa," ujarnya menoleh sedikit ke Abi lantas kembali menatap ke depan.
"Malaikat juga tetap berdoa, ya, Om?"
"Pasti. Kamu sendiri pernah berdoa?" tanya Wira balik. Abi diam beberapa saat sambil akhirnya dia terkekeh dengan tawa mengejek.
"Entahlah, aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku berdoa."
"Kenapa?" tanya Wira penasaran.
"Mungkin aku bukan manusia beriman, Om. Aku bahkan pernah mengutuk Tuhan. Sejak ayah dan ibu meninggal dulu, kehidupanku seolah di balikan. Apalagi setelah semua yang sudah terjadi, aku merasa Tuhan sama sekali tidak mau melihatku." Suara Abimanyu bergetar. Walau keadaan sekarang berbeda, tetapi rasa sakit dan kekosongan di hatinya dulu masih kian ia rasakan sampai sekarang. "Jujur, aku dendam dengan Dia! Kenapa dia memberikanku takdir seperti ini?!"
Wira menarik nafas dalam, ia lantas duduk menyamping, menghadap pemuda di sampingnya. "Bi, apa kamu nggak tau, kalau semua yang kamu alami adalah bukti rasa cinta-NYA kepadamu?" tanya Wira dengan berusaha menatap dalam bola mata Abi.
"Cinta? Cinta seperti apa yang dimaksudkan oleh-NYA, Om? Jangan karena Om Wira salah satu pihak-NYA maka Om Wira bilang begitu."
"Bukan. Bukan seperti itu. Kamu tau sendiri, kan? Kalau aku ini juga bukan yang terbaik? Aku bahkan salah satu ciptaannya yang DIA benci. Aku terkutuk, Bi. Bahkan kamu tau nggak, gimana rasanya menjalani hukuman seperti itu, selamanya?!Bertahun tahun, bahkan ratusan tahun aku dan kedua orang tuamu menjalani hukuman itu. Mengulang semua kehidupan kami, dan semua ini sudah DIA atur. Semua takdir."
"..."
"Aku sempat meruntuki-NYA. Kesalahanku yang tidak seberapa, menurutku, justru membuatku terlempar ke bumi dan menjadi manusia. Itu sungguh memalukan, kau tau? Bagaimana saudara saudaraku mencibir kami saat kami lewat ke langit. Kami hanya lewat, dan kembali lagi jatuh ke bumi untuk menjalani hukuman lagi. Kau tau, bagaimana rasanya? Lelah. Kamu mending, kehidupanmu jauh lebih baik dari kami. Setidaknya, kamu hanya akan menjalani kehidupan sekali dalam hidupku. Apalagi setelah semua masalah ini selesai."
"Maksud, Om Wira?"
Wira tak menjawab, hanya tersenyum, lantas beranjak sembari menepuk bahu Abimanyu. "Nanti kau akan tau, Bi. Betapa Tuhan sebenarnya sangat menyayangimu."
Wira meninggalkan Abimanyu yang masih dilanda kebingungan. Pemuda itu masih diam sambil menatap ke depan. Menatap ke arah yang tadi Wira tatap, sebagai caranya berdoa kepada sang pencipta. Abi hendak mengikuti jejaknya, mungkin. Atau hanya menatap sinis ke arah itu. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia sebenarnya sangat percaya pada Tuhan. Hanya caranya saja yang berbeda. Dia bukan seorang pria yang beriman seperti kebanyakan orang selama ini. Tapi dia percaya adanya Tuhan. Walau dengan dendam di hatinya tersebut.
"Itu? Nggak sengaja? Gila kali, sampai orang mati begitu. Nggak bisa dibiarkan!" tukas Gio semangat.
"Terus mau kita tangkap? Bagaimana caranya?"
Mereka diam, lalu melirik ke Wira yang duduk di dekat jendela balkon. "Wira! Bagaimana cara memancing setan itu keluar?" tanya Gio.
Wira menoleh dengan tatapan datar. Ia menarik nafas dalam dalam lalu kembali menatap keluar jendela. "Dia akan muncul tengah malam, dan menggoda laki laki hidung belang."
"Cuma itu?"
"Ya sekarang tinggal siapa yang mau jadi umpan," jelas Wira santai.
"Laki laki hidung belang itu siapa?" tanya Gio.
Dan semua orang justru menatap Gio bersamaan. Dan di situlah jawaban dari pertanyaan tadi terjawab. "Oke, fine." Gio pun pasrah.
Malam makin larut, sambil menunggu tengah malam, mereka berkumpul di kamar Arya. "Tapi kalian yakin kalau jorogumo akan muncul?" tanya Gio sedikit ragu.
"Jorogumo akan muncul setiap perayaan setsubun. Yaitu budaya usir setan di Jepang," jelas Wira setelah menelusuri sebab musabab masalah ini muncul.
Setiap tanggal 3 Februari di Jepang selalu merayakan Setsubun. Setsubun mempunyai arti sebagai pembagian musim. Dan Setsubun kemudian dijadikan sebagai nama perayaan sekaligus istilah untuk hari sebelum hari pertama musim semi di Jepang.
Setsubun bisa dikatakan sebagai suatu perayaan untuk mengusir syetan dan mempersilahkan keberuntungan untuk masuk rumah kita. Cara Usir Setan ala Jepang yang unik!!
Dan lucunya dalam perayaan Setsubun ini didalamnya ada kegiatan melempar kacang, yang disebut juga Mamemaki. Ya, melempar kacang ke badan oni/setan/monster agar tidak masuk kedalam rumah kita.
"Jadi cara mengusirnya dengan melempar kacang?"
"Iya, sambil berkata mantra ajaib."
"Hm, kalau gitu aku beli kacang dulu," tukas Dewa.
Jam sudah berdenting, menunjukan pukul 12 malam. Dewa dan Elang baru saja kembali membeli kacang.
"Terus rencana kita apa?" tanya Arya.
"Eh, apa nggak terlalu beresiko kalau cuma Gio yang menjadi umpan?" tanya Nayla.
"Jadi maksud kamu, harus ada orang lain juga?" tanya Arya.
"Iya, minimal dua orang, gimana? Karena kita nggak tau dia akan berada di mana. Penginapan ini luas, kan?"
"Ya sudah, biar sama gue aja," timpal Elang yakin.
Semua sepakat kalau Elang dan Gio yang akan memancing hantu itu keluar. Karena menurut mitos, selama 3 hari sejak perayaan itu dimulai, para hantu akan berkeliaran. Dan kejadian ini sudah ada sejak 25 tahun lalu. Dan setiap tahun pasti akan ada orang yang meninggal, setiap hari selama 3 hari berturut turut.
Penginapan ini memang milik warga asli, tetapi ternyata tanah yang ada di kompleks tersebut dulunya adalah sebuah perkampungan milik orang Jepang, yang kini tergusur oleh keadaan. Berganti dengan ruko dan penginapan sekelas hotel melati. Sehingga adat yang dulu menjadi tradisi seolah terus terasa walau keadaan tempat itu berubah.
Suasana penginapan terasa sunyi. Beberapa pengunjung memilih pindah dan mencari tempat yang lebih aman. Lagi pula mana ada, orang yang mau menginap di kamar hotel bekas kasus pembunuhan. Hanya orang bodoh saja yang mau melakukannya, dan orang orang bodoh itu adalah mereka semua. Wira, Arya, Gio, Elang dan semua yang ada di kamar itu.
Gio dan Elang keluar kamar. Bersiap dengan sekantung biji kacang di saku mereka. Koridor terlihat gelap karena memang sengaja dimatikan. Kecuali kamar bekas mayat pria itu ditemukan. Dan satu lagi, tidak ada penjagaan polisi di sini.
"Eh, tau nggak, Gi, kalau tinggal kita aja yang menginap di sini," bisik Elang memberikan informasi yang Gio belum tau. Gio menoleh dengan tatapan tak percaya. "Yang bener lu, Lang. Jangan becanda!"
"Ye, nggak percaya. Tadi gue cek ke resepsionis, mereka bilang semua penghuni di sini check out. Yah, siapa sih yang mau tidur di penginapan bekas pembunuhan?"
"Lah kita kan?"
"Iya, cuma kita. Orang nggak waras."
Setelah diskusi yang jika dilanjutkan akan menjadi perdebatan, mereka akhirnya memilih berpencar. Elang ke bawah, sementara Gio ke lantai atas. Mereka juga dilengkapi dengan kamera yang diletakan di kemeja sekaligus mikrofon agar tiap langkah mereka dapat dilihat dan didengar oleh teman teman mereka yang lain.
Bunyi derit tangga yang diinjak Elang membuat pria itu berhenti sejenak. Ia memperhatikan sekitar, dan mencoba lebih pelan lagi dalam berjalan. Keadaan di lantai bawah juga sudah sunyi. Meja resepsionis pun sudah kosong. Karena hanya akan melayani sampai pukul 10 malam saja. Elang masih terus menyusuri ruangan demi ruangan.
Di tempat lain, Gio sudah berada di lantai paling atas. Langkahnya pelan sambil terus siaga. Ia memeriksa sebuah kamar, yang rupanya tidak dikunci. Dan ternyata semua kamar memang tidak dikunci dan kosong. Sunyi. Hanya ada suara langkah kaki Gio di sepanjang koridor lantai 3. Sampai akhirnya saat ia membuka satu kamar lagi, ada seorang wanita yang sedang duduk di ranjang. Memakai gaun merah seksi dengan rambut panjang terurai. Pakaiannya menerawang. Gio mendadak diam, jantungnya berdegup makin kencang. Ia sadar kalau wanita itu adalah yang sedang ia incar. Tetapi tentu ia harus mendekat untuk dapat melakukan ritual pengusiran setan seperti yang dikatakan Wira.
"Eum, maaf, saya ...." Kalimat Gio terbatas bata, ia grogi dan sedikit gelisah. Masih berdiri di ambang pintu, dengan kondisi ruangan yang gelap membuatnya sedikit takut. Mungkin jika musuh di depannya adalah manusia dia tidak akan gentar, tetapi dia adalah hantu, yang jika dipukul akan sia sia belaka.
Wanita itu menoleh, ia tersenyum. Wajahnya cantik sekali, dan lekuk tubuhnya terlihat menerawang. Ia lantas berjalan mendekati Gio.
"Maaf, saya salah masuk kamar," kata Gio mundur perlahan. Tetapi sang wanita justru melingkarkan tangan di leher Gio sembari mendekatkan tubuhnya. Pikiran Gio sempat kabur, hal yang sejak tadi ia rencanakan mendadak buyar seketika. Sampai tiba tiba, Gio dicekik. Ia meronta karena sesak. Wanita itu berubah menjadi makhluk yang mengerikan. Yah, dia siluman laba laba. Tubuhnya sebagian seperti laba laba, sementara kepalanya masih manusia. Namun tidak secantik di awal tadi. Tangan Gio berusaha mengambil kacang yang tadi ia simpan di saku celana. Namun ia terlalu sulit meraihnya, sampai akhirnya tubuh Gio terdorong mundur ke sudut kamar. Sarang laba laba keluar dari mulut wanita jelek itu, dan membuat tubuh Gio terdorong lagi ke atap. Gio sempat menjerit sampai akhirnya mulutnya tertutup sarang laba laba tersebut. Gio mulai kesulitan bernafas, namun tiba tiba juluran sarang laba laba itu terputus saat Elang memotong dengan pedang di tangannya. Wanita siluman itu menoleh dan menatap Elang kesal. Ia menggeram lalu berbalik menyerang Elang. Elang bahkan sampai terpental keluar kamar. Ia terguling sampai hampir jatuh ke lantai bawah, tetapi beruntung Elang masih dapat berpegangan pada pinggiran kayu pagar lantai 3 tersebut. Elang berusaha sekeras mungkin agar tangannya tidak terlepas. Tetapi ia tentu tidak bisa bertahan terlalu lama dengan posisi menggantung seperti ini. Tangannya tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya, sampai akhirnya pegangan itu terlepas.
"Tahan, Lang!" ucap Arya yang kini meraih tangan Elang. Arya membantu Elang agar kembali naik ke atas. Di belakang Arya ada Dewa dan Wira yang masuk ke kamar itu. Wira melempar kacang lalu mengucapkan mantra. Tetapi anehnya siluman wanita itu hanya diam. Seolah apa yang dilakukan Wira tidak bereaksi apa apa. Dewa pun melotot dan mulai ketakutan. Kini kedua pria itu ikut terdorong ke tembok akibat sarang laba laba yang keluar dari mulutnya.
Saat Arya sudah membawa Elang naik ke atas, ia dikagetkan dengan sebuah kepala yang menggelinding di bawah kakinya. Kepala Jorogumo. Dan di sana ada Nayla yang berdiri dengan sebuah pedang panjang di tangannya.
"Mungkin memenggal kepalanya adalah cara terjitu," katanya sambil menetralkan nafasnya yang tersengal sengal.
***
Perjalanan mereka dilanjutkan. Kini mereka harus pergi ke ujung dunia yaitu Afrika. Timbuktu adalah sebuah kota di Mali, Afrika Barat.
Timbuktu sering kali disebut sebagai ujung dunia. Karena itu orang menggambarkan dirinya pergi ke ujung dunia dengan pergi ke Timbuktu. Jika Sahara berfungsi sebagai laut, Timbuktu adalah pelabuhan utamanya. Kota ini juga merupakan kota utama dalam beberapa kekaisaran. Sebuah kota dengan rumah-rumah yang terbuat dari lumpur. Dengan kondisinya kini yang semakin sepi dan terisolasi pasir serta matahari, peradaban Timbuktu seolah hampir punah. Padahal di sana masih banyak Universitas dan masjid-masjid kejayaan Islam yang berdiri kokoh tanpa dihuni. Sungguh sayang, kan? Timbuktu yang dulu berjaya, kini cuma menjadi kota antah berantah yang nun jauh di sana.
Dan ke sana lah, mereka akan melanjutkan kisah ini. Kota Timbuktu.
"Tinggal dua kunci lagi untuk melengkapi 10 kunci itu, kan?" tanya Arya kepada yang lain. Caravan mereka kini mulai membawa ke perjalanan berikutnya. Ia kini duduk di depan, samping Gio yang sedang fokus pada kemudinya. Elang juga ikut serta dalam perjalanan ini. Dia juga memiliki andil serta kepentingan khusus saat kesepuluh kunci itu ditemukan. Elang harus menemukan Nabila dan membawanya pulang.
"Seharusnya begitu, Ya. Kita tinggal menemukan 2 kunci lagi. Di sini dan tempat terakhir nanti," sahut Elang.
Wira yang sejak tadi diam, terus menatap Abimanyu dan Ellea. Pengantin baru itu terlihat makin bahagia sejak mereka menikah kemarin. Dan bulan madu selama satu minggu dirasa cukup untuk keduanya. "Bagaimana rasanya jadi suami istri?" tanyanya dengan senyum tipis.
Abi dan Ellea yang sedang mengobrol berdua lantas menoleh ke Wira dengan tatapan bahagia. "Ya seneng, Om. Akhirnya sah juga," sahut Abimanyu dengan menggenggam tangan Ellea.
Wira menarik salah satu sudut bibirnya sambil mengangguk paham. Tatapan matanya kini beralih ke Ellea. "Siap, Ell?"
Ellea tersenyum kecut lantas mengangguk. Keduanya saling menatap beberapa saat, seolah menyiratkan sesuatu yang dalam dan rahasia.
"Siap untuk apa?" tanya Abi menatap Ellea dan Wira bergantian. Ellea lantas menoleh, lalu memeluk lengan suaminya itu. Abi mengerutkan kening, sedikit kebingungan, sampai akhirnya Elang menyela pembicaraan mereka.
"Berhati hatilah untuk tempat satu ini." Elang yang duduk di kursi belakang Gio hanya mampu menatap pemandangan di luar jendela. Di sampingnya ada Wira. Di belakang mereka Nayla, Ellea dan Abimanyu.
"Yah, Timbuktu. Kota di ujung dunia, tapi sekarang mengerikan," sahut Wira.
"Bukannya itu kotanya Donald duck?" tanya Nayla sedikit mengeraskan nada bicaranya. "Ternyata memang ada, ya?" lanjutnya lagi.
"Mungkin nggak sama seperti yang ada di film, Ibu Mertua," tampik Ellea yang duduk di tengah, di antara Abimanyu dan Nayla.
Nayla yang belum terbiasa dengan panggilan barunya lantas melirik tajam, hingga akhirnya Ellea memeluk wanita itu erat sebagai permintaan maaf. Karena sebelumnya Nayla memang tidak mau dipanggil seperti itu. Bagaimana pun juga sekarang dia masih jauh lebih muda timbang Ellea dan Abimanyu. Dan jiwa mudanya meronta tidak terima dengan panggilan tersebut, yang seolah terkesan menunjukkan dia sudah sangat tua dari umurnya sekarang.
Sementara pemuda di samping Ellea, malah tersenyum bahagia, tetapi juga merasa aneh dengan sikap Wira dan Ellea. Seperti ada yang disembunyikan darinya.
Perjalanan mereka mulai mencapai titik akhir. Kini hamparan padang pasir terlihat di sepanjang jalan yang mereka temui. Suasana sepi perlahan mulai dirasakan. Bahkan kini mereka mulai jarang melihat orang di sepanjang jalan.
Mereka tiba di sebuah perkampungan. Menurut PETA ini adalah Timbuktu. Dan menurut apa yang mereka pelajari, bangunan di depan mereka memang sesuai dengan apa yang di jelaskan sebelumnya. Semua bangunan di depan mereka dibuat dari lumpur, jerami dan kayu. Tidak ada warna berbeda bagi tiap bangunannya. Semua sama, warna cokelat. Warna dasar dari lumpur.
"Wow, ini mirip istana pasir raksasa!" ujar Gio yang duduk di depan. Otomatis sangat jelas melihat bangunan di depan mereka.
"Itu bener Timbuktu?" tanya Elang memastikan.
"Benar. Lihat tuh, ada tulisannya," tunjuk Arya ke sebuah papan di depan istana pasir raksasa tersebut.
Kota itu dikelilingi oleh tembok besar yang berbahan dasar sama. Lumpur, kayu, dan jerami. Mengelilingi bangunan bangunan yang ada di dalamnya. Mirip sebuah benteng pertahanan. Benar kata Gio, kalau jika dilihat sekilas, mirip istana pasir raksasa.
Mereka memutuskan turun dari caravan. Sebelum keluar, mereka memakai pelindung kepala yang sama seperti warga setempat. Berbekal perburuan mereka di sebuah pasar sesaat setelah mereka tiba di benua ini.
Rupanya rumor yang beredar tidak sepenuhnya benar. Karena ternyata masih ada warga yang menghuni tempat ini. Mereka melihat ada beberapa orang yang melintasi tempat tersebut. Hampir semua orang memakai sorban menjulur panjang yang dipakai untuk menutupi hidung dan mulut mereka.
Warga setempat melihat aneh ke gerombolan Arya dan yang lainnya. Tentu saja mereka akan sangat terlihat asing, karena penampilannya yang berbeda dengan mereka.
Satu persatu turun. Saat kaki mereka menginjak tanah, semilir angin menerpa tubuh mereka kencang. Tempat ini panas, namun anginnya cukup kencang. Dan tentu membuat pasir berterbangan ke udara dengan bebas. Hal ini yang menjadi alasan kenapa mereka harus memakai penutup kepala karena pasir akan sangat menganggu pernafasan nanti.
"Wah, habis ini kita pasti akan ke tempat cucian mobil, sayang," kata Gio mengelus pintu caravannya.
Mereka mulai menjelajah tempat itu. Sesekali memutuskan menyapa warga setempat untuk sekedar basa basi atau mencari informasi yang mungkin akan mereka butuhkan. Sampai akhirnya mereka memutuskan beristirahat di sebuah bangunan yang cukup besar di sana. Sebuah masjid. Masjid Djingareyber.
Masjid Djingareyber merupakan bangunan suci sekaligus pusat pembelajaran yang dibangun pada 1327.
Masih berfungsi hingga saat ini, Masjid Djingareyber menjadi satu di antara tiga masjid yang membentuk University of Timbuktu. Timbuktu merupakan satu kota yang dijuluki sebagai 'city of gold' dan dianggap sebagai satu destinasi yang sulit untuk dijangkau.
Hampir seluruh bagian Masjid Djingareyber dibangun dari lumpur, jerami, dan kayu.
Setelah menguasai Timbuktu, para militan dengan cepat melembagakan hukum Syariah versi kejam mereka sendiri.
Mereka melempari wanita dengan batu karena tidak mengenakan pakaian yang dianggap layak dan sesuai ajaran agama.
Selain itu, para militan memotong tangan para musisi yang tertangkap melanggar larangan totaliter atas semua bentuk musik.
Masjid ini juga mengalami sukses panjang dan mengalami berbagai perang, konflik, dan pergolakan politik selama delapan abad terakhir. Pergolakan terakhir yang disaksikan Masjid Djingareyber terjadi pada 2012 ketika kelompok Islam militan merebut kota dan mulai meneror penduduk setempat.
Tak lama setelah penguasaan Timbuktu, perhatian para militan beralih ke artifak budaya bersejarah Timbuktu. Termasuk rumah ibadah Muslim kuno, yang mereka nyatakan dilarang oleh Islam.
Para militan menghancurkan kuburan tujuh orang suci Muslim dengan cangkul dan kapak, dua di antaranya berada di Masjid Djingareyber. Para militan itu akhirnya berhasi diusir dari Timbuktu pada awal 2013 oleh tentara Prancis yang dikirim untuk membebaskan kota tersebut.
Sementara, Masjid Djingareyber berhasil dipulihkan dari kerusakan.
Terlepas dari kekalahan kaum militan, Timbuktu tetap menjadi tempat yang berbahaya untuk dikunjungi.
Meski Masjid Djingareyber dan museum yang berada di dekatnya yang menampung beberapa manuskrip bersejarah Islam secara teknis terbuka untuk pengunjung, menjangkau Kota Timbuktu melalui sarana transportasi komersial menjadi hal yang hampir mustahil.
Tetapi tentu jangan ragukan kemampuan mereka. Semua tempat akan mereka datangi, tidak ada tempat yang sulit bagi mereka. Dan karena alasan itulah, masjid ini mang terlihat sunyi. Tidak ada aktifitas ibadah apa pun di dalamnya.
"Kita istirahat dulu deh. Sambil menyusun rencana untuk mencari di mana kunci itu," kata Arya.
"Iya, lagi pula tempat ini luas banget. Kalau tanpa rencana, kita bagai mencari jarum di tumpukan jerami," sahut Elang sependapat.
Istirahat sebanyak apa pun di mobil, akan berbeda rasanya dengan tempat ini. Di sini mereka benar benar merasakan istirahat yang sesungguhnya. Bahkan Gio sudah mendengkur tak lama saat merebahkan tubuhnya di lantai. Jangan bayangkan suasana masjid seperti di Indonesia, karena keadaan masih di sini jauh berbeda dengan kebanyakan masjid di luar sana. Tidak ada lantai keramik putih bersih di bawahnya. Atau tembok dengan cat putih dan beberapa hiasan asma Allah, yang ada hanyalah lantai dengan warna yang sama seperti seluruh bangunan.
Mereka akhirnya menggelar karpet besar, beberapa memutuskan menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing masing.
Sementara Wira hanya duduk dengan kaki bersila, diam, seolah sedang khusuk berdoa. Abi mendekatinya, ikut duduk di samping pria tersebut.
"Om sedang apa?" tanya Abi lirih. Di saat yang lain sibuk mengurus dirinya masing masing, ada yang tidur, mandi, melihat lihat sekitar, tapi Wira hanya duduk diam. Dan ini sudah hampir satu jam Wira duduk dengan posisi yang sama.
"Berdoa," ujarnya menoleh sedikit ke Abi lantas kembali menatap ke depan.
"Malaikat juga tetap berdoa, ya, Om?"
"Pasti. Kamu sendiri pernah berdoa?" tanya Wira balik. Abi diam beberapa saat sambil akhirnya dia terkekeh dengan tawa mengejek.
"Entahlah, aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku berdoa."
"Kenapa?" tanya Wira penasaran.
"Mungkin aku bukan manusia beriman, Om. Aku bahkan pernah mengutuk Tuhan. Sejak ayah dan ibu meninggal dulu, kehidupanku seolah di balikan. Apalagi setelah semua yang sudah terjadi, aku merasa Tuhan sama sekali tidak mau melihatku." Suara Abimanyu bergetar. Walau keadaan sekarang berbeda, tetapi rasa sakit dan kekosongan di hatinya dulu masih kian ia rasakan sampai sekarang. "Jujur, aku dendam dengan Dia! Kenapa dia memberikanku takdir seperti ini?!"
Wira menarik nafas dalam, ia lantas duduk menyamping, menghadap pemuda di sampingnya. "Bi, apa kamu nggak tau, kalau semua yang kamu alami adalah bukti rasa cinta-NYA kepadamu?" tanya Wira dengan berusaha menatap dalam bola mata Abi.
"Cinta? Cinta seperti apa yang dimaksudkan oleh-NYA, Om? Jangan karena Om Wira salah satu pihak-NYA maka Om Wira bilang begitu."
"Bukan. Bukan seperti itu. Kamu tau sendiri, kan? Kalau aku ini juga bukan yang terbaik? Aku bahkan salah satu ciptaannya yang DIA benci. Aku terkutuk, Bi. Bahkan kamu tau nggak, gimana rasanya menjalani hukuman seperti itu, selamanya?!Bertahun tahun, bahkan ratusan tahun aku dan kedua orang tuamu menjalani hukuman itu. Mengulang semua kehidupan kami, dan semua ini sudah DIA atur. Semua takdir."
"..."
"Aku sempat meruntuki-NYA. Kesalahanku yang tidak seberapa, menurutku, justru membuatku terlempar ke bumi dan menjadi manusia. Itu sungguh memalukan, kau tau? Bagaimana saudara saudaraku mencibir kami saat kami lewat ke langit. Kami hanya lewat, dan kembali lagi jatuh ke bumi untuk menjalani hukuman lagi. Kau tau, bagaimana rasanya? Lelah. Kamu mending, kehidupanmu jauh lebih baik dari kami. Setidaknya, kamu hanya akan menjalani kehidupan sekali dalam hidupku. Apalagi setelah semua masalah ini selesai."
"Maksud, Om Wira?"
Wira tak menjawab, hanya tersenyum, lantas beranjak sembari menepuk bahu Abimanyu. "Nanti kau akan tau, Bi. Betapa Tuhan sebenarnya sangat menyayangimu."
Wira meninggalkan Abimanyu yang masih dilanda kebingungan. Pemuda itu masih diam sambil menatap ke depan. Menatap ke arah yang tadi Wira tatap, sebagai caranya berdoa kepada sang pencipta. Abi hendak mengikuti jejaknya, mungkin. Atau hanya menatap sinis ke arah itu. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia sebenarnya sangat percaya pada Tuhan. Hanya caranya saja yang berbeda. Dia bukan seorang pria yang beriman seperti kebanyakan orang selama ini. Tapi dia percaya adanya Tuhan. Walau dengan dendam di hatinya tersebut.
regmekujo dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup