- Beranda
- Stories from the Heart
You Are My Destiny
...
TS
loveismyname
You Are My Destiny

2008
“SAH!”
Serta merta, kalimat Tahmid bergema ke seluruh ruangan musholla di pagi yang cerah ini. Begitu banyak wajah bahagia sekaligus haru terlihat. Proses akad nikah memang seharusnya menjadi sesuatu yang sakral, yang membawa kebahagiaan bagi setiap orang yang melaluinya.
Aku termasuk orang yang berbahagia itu. Di hadapan seorang laki-laki yang barusan menjabat tanganku, yang selanjutnya, beliau secara resmi akan kupanggil Papa, aku tidak bisa menyembunyikan rasa haruku. Di sampingku, seorang wanita yang telah kupilih untuk mendampingiku seumur hidup, terus menerus menutup mukanya dengan kedua tangan, mengucap syukur tiada terkira.
Hai Cantik, semoga kamu bahagia juga di sana. Tunggu kami ya.
Spoiler for PERHATIAN !!:
Spoiler for DISCLAIMER !!:
Enjoy

Note : Gue akan berusaha agar cerita ini bisa selesai. Update, sebisa dan semampu gue aja, karena cerita ini sebenarnya sudah gue selesaikan dalam bentuk Ms.Word. Tapi maaf, gue gak bisa setiap hari ngaskus. mohon pengertiannya.
Index
prolog
part 1 the meeting
part 2 how come?
part 3 why
part 4 swimming
part 5 second meeting
part 6 aku
part 7 love story
part 8 mbak adelle
part 9 got ya!!
part 10 third meeting
part 11 kejadian malam itu
part 12 4th meeting
part 13 family
part 14 putus
part 15 comeback
part 16 morning surprise
part 17 we are different
Intermezzo - behind the scenes
Intermezzo - behind the scenes 2
part 18 aku di sini untukmu
part 19 a morning with her
part 20 don't mess with me 1
part 21 don't mess with me 2
part 22 my life has changed
part 23 mati gue !!
part 24 old friend
part 25 kenapa sih
Intermezzo - behind the scenes 3
part 26 halo its me again
part 27 balikan?
part 28 happy independent day
part 29 duet
part 30 sorry, i cant
part 31 night call
part 32 preparation
part 33 lets get the party started
part 34 sweetest sin
part 35 late 2001
part 36 ramadhan tiba
part 37 itu hurts
part 38 sebuah nasihat
part 39 happy new year
part 40 ombak besar
part 41 don't leave me
part 42 my hero
part 43 my hero 2
part 44 desperate
part 45 hah??
part 46 goodbye
part 47 ombak lainnya
part 48 no party
part 49 self destruction
part 50 diam
part 51 finally
part 52 our journey begin
part 53 her circle
part 54 my first kiss
part 55 sampai kapan
part 56 lost control
part 57 trauma
part 58 the missing story
part 59 akhirnya ketahuan
part 60 perencanaan ulang
part 61 komitmen
part 62 work hard
part 63 tembok terbesar
part 64 melihat sisi lain
part 65 proud
part 66 working harder
part 67 shocking news
part 68 she's gone
Intermezzo behind the scenes 4
part 69 time is running out
part 70 one more step
part 71 bali the unforgettable 1
part 72 bali the unforgettable 2
intermezzo behind the scenes 5
part 73 a plan
part 74 a plan 2
part 75 ultimatum
part 76 the day 1
part 77 the day 2
part 78 the day 3
part 79 judgement day
part 80 kami bahagia
part 81 kami bahagia 2
part 82 we are family
part 83 another opportunity
part 84 new career level
part 85 a gentlemen agreement
part 86 bidadari surga
part 87 pertanyaan mengejutkan
part 88 new place new hope
part 89 cobaan menjelang pernikahan 1
part 90 cobaan menjelang pernikahan 2
part 91 hancur
part 92 jiwa yang liar
part 93 tersesat
part 94 mungkinkah
part 95 faith
part 96 our happiness
part 97 only you
part 98 cepat sembuh sayang
part 99 our journey ends
part 100 life must go on
part 101 a new chapter
part 102 Bandung
part 103 we meet again
part 104 what's wrong
part 105 nginep
part 106 Adelle's POV 1
part 107 a beautiful morning
part 108 - terlalu khawatir
part 109 semangat !!
part 110 kejutan yang menyenangkan
part 111 aku harus bagaimana
part 112 reaksinya
part 113 menjauh?
part 114 lamaran
part 115 good night
part 116 satu per satu
part 117 si mata elang
part 118 re united
part 119 hari yang baru
part 120 teguran keras
part 121 open up my heart
part 122 pelabuhan hati
part 123 aku akan menjaganya
part 124 masih di rahasiakan
part 125 surprise
part 126 titah ibu
part 127 kembali
part 128 congratulation 1
part 129 congratulation 2
part 130 you are my destiny
epilog 1
epilog 2
epilog 3
epilog 4
epilog 5
side stry 1 mami and clarissa
side story 2 queen
side story 3 us (adelle's pov 2)
tamat
Diubah oleh loveismyname 03-06-2023 11:22
yputra121097703 dan 72 lainnya memberi reputasi
71
101.6K
953
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
loveismyname
#200
Part 95 - Faith
Aku pulang dengan keadaan bingung. Sepanjang jalan aku memikirkan kata-kata Ko Along.
Menikahi Afei? Dengan keadaan seperti ini?
Aku dan Afei sudah berbulan-bulan tidak bertemu, dan akhirnya kami bertemu kembali secara tidak sengaja, di tempat yang dulu sangat menyenangkan bagi kami.
Aku masih mengingat dengan jelas, bagaimana senyumnya, tawanya, manjanya, cerianya dan kebiasaannya untuk makan dengan lahap di tepat yang indah.
Ah Fei, saat itu, begitu indah kisah kita.
Walau Afei bekerja dengan Ko Along, namun untuk unit bisnis yang ku pegang, memang tidak berhubungan dengannya. Ko Along sebenarnya sering menyuruhku untuk mampir ke tokonya, namun, aku masih tidak sanggup. Aku takut bertemu dengan Afei.
Aku merebahkan badanku di kasur, dan sensasi itu kembali terjadi. Dadaku berdebar, dan kelebatan-kelebatan kejadian naas itu terus muncul saat aku memejamkan mata.
Aku bangkit dan terduduk di sisi ranjang. Aku kesal. Aku marah dengan keadaanku sendiri. Apa yang harus kulakukan? Apakah seumur hidupku akan seperti ini?
“Dek…” Ada suara yang memanggilku dari luar pintu.
Suara Ayah.
“iya yah. Masuk aja.” Aku menjawab.
Ayah pun masuk dan tersenyum padaku. Dia mengambil kursi yang ada di depan meja kerjaku dan duduk di sana.
“Gimana bisnis dan kerjaanmu?” Ayah membuka pembicaraan.
“Lancar yah. Profitnya bagus. Di kantor juga ga ada masalah. Ya maksudku, masalah dikit-dikit mah ada. Biasalah. Ayah yang bilang kan, nyari uang itu gak mudah.” Aku menjawab.
Ayah lagi-lagi tersenyum.
“Kuliahmu?”
“Proposal skripsi udah di setujuin. Aku lagi garap dibantu sama Connie. Aku mau cepet selesai.” Aku menjawab dengan santai.
“Alhamdulillah.” Ujar Ayah.
“Dek, liat deh. Ayah kan pernah bilang, mau ngikutin kamu untuk merencanakan hidup, dan ayah udah ngerencanain masa pensiun ayah. Ini, rumah ayah di kampung udah jadi. Tanahnya luas, jadi rumah bisa gede. Ada kolam ikan juga. Ayah mau bikin tambak ikan. Di daerah sana, sumber air melimpah, bagus untuk ternak ikan.” Ayah berkata, sambil mengutak atik ponselnya, kemudian menyodorkan ponselnya kepadaku.
Aku langsung antusias, dan melihat ke arah ponselnya.
“Wiihh, keren Yah. Bagus banget. Tambaknya di mana? Kok itu cuma satu kolamnya?” Aku bertanya, sambil terus memandangi foto rumah yang indah itu.
“Tambaknya ada di atasnya lagi. Ada 3 kolam.”
Ayah memencet keypad dan terlihatlah gambar itu. Gambar 3 buah kolam besar, yang sudah terisi air jernih. Ada pancuran untuk mengalirkan air ke dalam kolam tersebut.
“Eh, ini kan rumah kakek ya yah? Siapa yang ninggalin?” Tanyaku, sambil menunjuk sebuah rumah berwarna krem yang ada di ujung kolam.
“Gak ada. Tapi nantinya ada Mang Asep. Dia yang akan ninggalin rumah itu. Sekalian bantu ayah ngurus tambak. Lumayan buat penghasilan dia.” Ayah menjawab.
Tiba-tiba, menyeruak di dalam hatiku sebuah kerinduan untuk pergi kesana. Pasti nyaman sekali rasanya. Aku sudah merasa jenuh, setiap hari berkutat dengan pekerjaan.
“Yah, kan ayah pensiun masih lama? Gak terlalu cepet?” Aku bertanya.
“kan kamu yang ngajarin.” Ayah tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
“Penghasilan dari tambak emang bisa gede yah? Cukup buat ayah sama ibu nanti?”
“Untuk seumuran ayah nanti, buat apa penghasilan besar? Tambak itu ayah buat, untuk sekedar ngisi waktu pensiun, sekaligus ngasih kerjaan sama beberapa orang di sana.” Ayah menjelaskan.
“Nanti kamu akan tau dek, bahwa, uang itu kayak soda dingin, yang kamu minum waktu cuaca lagi panas-panasnya. Semakin kamu minum, kamu akan semakin haus. Awalnya doang nyegerin, ujungnya, tenggorokan kamu akan kering. Uang juga gitu, semakin giat kamu cari, semakin banyak kamu dapatkan, ga akan pernah muasin kamu. Kamu hanya senang di awal aja, pas uang masuk ke dompet atau rekening kamu. Ujungnya? Kamu akan ngerasa kurang terus. Kamu akan melakukan apa aja untuk mendapatkan lebih banyak. Padahal belum tentu uang itu kamu butuhkan.”
“Dek, kamu tau? Namanya rencana manusia, tidak ada yang sempurna. Sebaik apapun kamu merencanakan sesuatu, tetap akan ada situasi, dimana kamu harus berakselerasi dan bermanuver untuk menyesuaikan diri. Tapi, bukan berarti kita nyerah dan berhenti berencana dan bekerja keras. Bukan itu maksudnya.”
“Coba kamu flashback hidup kamu ke belakang. Kamu berencana A, ayah merusak rencanamu, lalu kamu bermanuver, dan jadilah rencana B dengan tujuan baru. Sekarang rencana B itu lagi-lagi terganggu, dan ayah liat, kamu udah mulai nyerah. Kamu berjalan tanpa tujuan.”
“Tapi Yah, aku udah gak tau lagi mau ngapain. Aku ngerasa, semua gak berguna dan sia-sia.” Ujarku dengan nada putus asa.
Ayah tertawa kecil, lalu mendekatiku. Dia merangkul bahuku.
“Dan itu yang kamu katakan waktu ayah ngerusak rencana kamu, 4 tahun lalu. Liat kamu sekarang? Siapa cewek yang gak mau sama anak ayah ini? Udah ganteng, gagah, duitnya banyak, punya asset lumayan, punya beberapa usaha, punya jabatan dan gaji bagus di perusahaan besar. Dalam posisi kamu saat ini, kamu tinggal tunjuk cewek manapun yang kamu mau. Coba kalo kamu waktu itu berdiam diri, terus-terusan menangis, dan merasa marah, gak terima sama nasib kamu, apa bisa kamu nyampe di posisi ini?”
“Dek, kita gak akan pernah tau, apa maksud dan tujuan Allah ngasih musibah kayak gini. Tugas kita, cuma berusaha yang terbaik dan berdoa. Jangan nyerah. Nanti, beberapa tahun yang akan datang setelah kamu melewati semua ini, kamu baru tau, hikmah apa yang kamu dapet dari kejadian hari ini. Saat ini, tugas kamu cuma jangan nyerah !! Atau kamu akan terus-terusan meratapi nasib kamu di masa depan !!”
“Tapi yah, waktu itu ada Afei yang nolong aku. Sekarang, justru aku kehilangan dia.” Aku membantah.
“Dan penolongmu saat ini lagi terbaring sakit. Dia butuh kamu. Dia butuh pemimpin yang bisa membawa dirinya keluar juga dari musibah ini. Jangan sampe kamu nyesel, kalo dia sampe kenapa-napa. Sholat, Dek !! Minta petunjuk !!” Ujar Ayah tegas.
Aku tersentak.
Ayah benar.
Kenapa aku terus-terusan merasa harus dikasihani?
Serasa hanya aku saja yang paling menderita di dunia ini.
Aku ini laki-laki.
Seharusnya aku yang ada di sampingnya. Seharusnya aku yang menahan badai untuknya. Seharusnya aku yang menguatkannya, bukan sebaliknya. Bukan juga malah membawanya ke jurang kehancuran.
Aku memang pechundang !!
Ayah membelai kepalaku dan keluar kamar.
Aku segera ke kamar mandi untuk mandi.
Setelah selesai, aku kembali ke kamar dan menggelar sajadahku yang mulai sedikit berdebu.
Serpihan-serpihan keyakinan yang terserak, aku kumpulkan kembali di hatiku.
Malam ini, akan kuhabiskan waktu untuk berdoa sepuas hati.
Akan kutumpahkan semua beban yang ada di hati, kepada Yang Maha Kuasa.
Aku berharap, Dia masih mau mendengarkan doaku.
2 hari dari kejadian itu, aku sudah tergopoh-gopoh bersama ayah, Ibu dan Mbak Icha, serta satu orang lelaki separuh baya.
“Bu, udah ga usah repot begitu. Nanti aja repotnya. Sekarang seadanya aja.” Mbak Icha menegur Ibu.
“Iya iya. Ini cuma bawa minum aja kok.” Ibu memasukkan botol air ke dalam tasnya.
Ayah kemudian menyalakan mobilnya.
“Pak, maaf jadi mendadak begini.” Aku meminta maaf kepada pria paruh baya itu.
Pria bernama Ghazali itu tersenyum. Senyumnya meneduhkan dan menyejukkan hati.
“Niat baik memang harus di segerakan. Jangan ngerasa gak enak.” Pak Ghazali berkata.
Selain senyumnya, timbre suara dan kata-katanya yang tenang menyejukkan sekali. Orang seperti ini, amalannya pasti luar biasa.
“Dek, yuk jalan.” Mbak Icha merangkulku.
Aku memeluknya erat, dan mencium pipinya berkali-kali. Sejak kehilangan Clarissa, hanya dia kakak yang ku punya sekarang. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya.
Mbak Icha tersenyum.
“Kamu jadi manja begini.” Dia membelai rambutku.
Pak Ghazali tertawa.
“Saya sudah jarang sekali, melihat saudara kandung bisa seperti ini.” Pak Ghazali berkata.
Kami masuk bersama ke dalam mobil, dan berangkat ke suatu tempat.
Sampai di tempat yang dituju, kami berjalan ke sebuah kamar rawat. Aku membuka kamar itu, dan melihat ada beberapa orang di dalamnya. Mereka tersenyum melihatku. Aku segera menghampiri salah satu dari mereka dan mencium tangannya.
“Kamu gagah banget, calon mantu.” Mami berkata pelan, dan membelai rambutku.
Setelah itu aku salim ke papi, dan dia memelukku erat.
Ruangan rawat itu sudah aku upgrade ke vvip agar lebih luas. Aku melihat sebuah wajah yang sangat aku rindukan.
Afei sedang dalam keadaan bersandar di ranjangnya. Selang oksigen dan Infus masih menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, tapi memancarkan cahaya yang mempesona. Rambutnya tergerai dengan sebuah kain putih yang menutupi sebagian kepalanya. Dia terlihat jauh lebih baik, daripada ketika kami bertemu di taman, beberapa hari yang lalu.
Ada satu orang wanita di samping ranjangnya. Chinese namun berhijab panjang. Cantik sekali.
Dia tersenyum menghampiriku.
“Assalammualaikum Daru, aku Lydia.” Sahut wanita berhijab merah.
“Wa..walaikum salam. Ci Lydia.” Aku menjawab gugup. Aku belum tau siapa dia.
Ah nanti saja kenalannya.
“Daru, yuk, kita laksanakan. Semuanya udah siap kan?” Pak Ghazali mengagetkanku.
Aku mengangguk. Ayah langsung duduk di sebuah meja yang sudah di siapkan, dan aku duduk di depannya.
“Afei, udah siap syahadat?” Pak Ghazali bertanya lembut.
Afei tersenyum dan menggeleng.
“Aku sudah melakukannya Pak. Insya Allah, aku sudah Muslimah.” Afei berkata pelan sambil tersenyum.
Semua di ruangan itu terkejut. Bahkan Papi dan mami. Hanya ko Along yang tersenyum.
“Fei…ka..pan kamu…”
“Ceritanya nanti aja sayang. Segera halalkan aku.” Afei berkata tegas, namun tetap tersenyum.
Beberapa prosedur dilakukan, dan doa pembuka sudah terucap. Pak Ghazali ada di samping Ayah, dan para saksi sudah siap.
Ayah menjabat erat tanganku.
Dan…
“Sahhh.”
Menikahi Afei? Dengan keadaan seperti ini?
Aku dan Afei sudah berbulan-bulan tidak bertemu, dan akhirnya kami bertemu kembali secara tidak sengaja, di tempat yang dulu sangat menyenangkan bagi kami.
Aku masih mengingat dengan jelas, bagaimana senyumnya, tawanya, manjanya, cerianya dan kebiasaannya untuk makan dengan lahap di tepat yang indah.
Ah Fei, saat itu, begitu indah kisah kita.
Walau Afei bekerja dengan Ko Along, namun untuk unit bisnis yang ku pegang, memang tidak berhubungan dengannya. Ko Along sebenarnya sering menyuruhku untuk mampir ke tokonya, namun, aku masih tidak sanggup. Aku takut bertemu dengan Afei.
Aku merebahkan badanku di kasur, dan sensasi itu kembali terjadi. Dadaku berdebar, dan kelebatan-kelebatan kejadian naas itu terus muncul saat aku memejamkan mata.
Aku bangkit dan terduduk di sisi ranjang. Aku kesal. Aku marah dengan keadaanku sendiri. Apa yang harus kulakukan? Apakah seumur hidupku akan seperti ini?
“Dek…” Ada suara yang memanggilku dari luar pintu.
Suara Ayah.
“iya yah. Masuk aja.” Aku menjawab.
Ayah pun masuk dan tersenyum padaku. Dia mengambil kursi yang ada di depan meja kerjaku dan duduk di sana.
“Gimana bisnis dan kerjaanmu?” Ayah membuka pembicaraan.
“Lancar yah. Profitnya bagus. Di kantor juga ga ada masalah. Ya maksudku, masalah dikit-dikit mah ada. Biasalah. Ayah yang bilang kan, nyari uang itu gak mudah.” Aku menjawab.
Ayah lagi-lagi tersenyum.
“Kuliahmu?”
“Proposal skripsi udah di setujuin. Aku lagi garap dibantu sama Connie. Aku mau cepet selesai.” Aku menjawab dengan santai.
“Alhamdulillah.” Ujar Ayah.
“Dek, liat deh. Ayah kan pernah bilang, mau ngikutin kamu untuk merencanakan hidup, dan ayah udah ngerencanain masa pensiun ayah. Ini, rumah ayah di kampung udah jadi. Tanahnya luas, jadi rumah bisa gede. Ada kolam ikan juga. Ayah mau bikin tambak ikan. Di daerah sana, sumber air melimpah, bagus untuk ternak ikan.” Ayah berkata, sambil mengutak atik ponselnya, kemudian menyodorkan ponselnya kepadaku.
Aku langsung antusias, dan melihat ke arah ponselnya.
“Wiihh, keren Yah. Bagus banget. Tambaknya di mana? Kok itu cuma satu kolamnya?” Aku bertanya, sambil terus memandangi foto rumah yang indah itu.
“Tambaknya ada di atasnya lagi. Ada 3 kolam.”
Ayah memencet keypad dan terlihatlah gambar itu. Gambar 3 buah kolam besar, yang sudah terisi air jernih. Ada pancuran untuk mengalirkan air ke dalam kolam tersebut.
“Eh, ini kan rumah kakek ya yah? Siapa yang ninggalin?” Tanyaku, sambil menunjuk sebuah rumah berwarna krem yang ada di ujung kolam.
“Gak ada. Tapi nantinya ada Mang Asep. Dia yang akan ninggalin rumah itu. Sekalian bantu ayah ngurus tambak. Lumayan buat penghasilan dia.” Ayah menjawab.
Quote:
Tiba-tiba, menyeruak di dalam hatiku sebuah kerinduan untuk pergi kesana. Pasti nyaman sekali rasanya. Aku sudah merasa jenuh, setiap hari berkutat dengan pekerjaan.
“Yah, kan ayah pensiun masih lama? Gak terlalu cepet?” Aku bertanya.
“kan kamu yang ngajarin.” Ayah tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
“Penghasilan dari tambak emang bisa gede yah? Cukup buat ayah sama ibu nanti?”
“Untuk seumuran ayah nanti, buat apa penghasilan besar? Tambak itu ayah buat, untuk sekedar ngisi waktu pensiun, sekaligus ngasih kerjaan sama beberapa orang di sana.” Ayah menjelaskan.
“Nanti kamu akan tau dek, bahwa, uang itu kayak soda dingin, yang kamu minum waktu cuaca lagi panas-panasnya. Semakin kamu minum, kamu akan semakin haus. Awalnya doang nyegerin, ujungnya, tenggorokan kamu akan kering. Uang juga gitu, semakin giat kamu cari, semakin banyak kamu dapatkan, ga akan pernah muasin kamu. Kamu hanya senang di awal aja, pas uang masuk ke dompet atau rekening kamu. Ujungnya? Kamu akan ngerasa kurang terus. Kamu akan melakukan apa aja untuk mendapatkan lebih banyak. Padahal belum tentu uang itu kamu butuhkan.”
“Dek, kamu tau? Namanya rencana manusia, tidak ada yang sempurna. Sebaik apapun kamu merencanakan sesuatu, tetap akan ada situasi, dimana kamu harus berakselerasi dan bermanuver untuk menyesuaikan diri. Tapi, bukan berarti kita nyerah dan berhenti berencana dan bekerja keras. Bukan itu maksudnya.”
“Coba kamu flashback hidup kamu ke belakang. Kamu berencana A, ayah merusak rencanamu, lalu kamu bermanuver, dan jadilah rencana B dengan tujuan baru. Sekarang rencana B itu lagi-lagi terganggu, dan ayah liat, kamu udah mulai nyerah. Kamu berjalan tanpa tujuan.”
“Tapi Yah, aku udah gak tau lagi mau ngapain. Aku ngerasa, semua gak berguna dan sia-sia.” Ujarku dengan nada putus asa.
Ayah tertawa kecil, lalu mendekatiku. Dia merangkul bahuku.
“Dan itu yang kamu katakan waktu ayah ngerusak rencana kamu, 4 tahun lalu. Liat kamu sekarang? Siapa cewek yang gak mau sama anak ayah ini? Udah ganteng, gagah, duitnya banyak, punya asset lumayan, punya beberapa usaha, punya jabatan dan gaji bagus di perusahaan besar. Dalam posisi kamu saat ini, kamu tinggal tunjuk cewek manapun yang kamu mau. Coba kalo kamu waktu itu berdiam diri, terus-terusan menangis, dan merasa marah, gak terima sama nasib kamu, apa bisa kamu nyampe di posisi ini?”
“Dek, kita gak akan pernah tau, apa maksud dan tujuan Allah ngasih musibah kayak gini. Tugas kita, cuma berusaha yang terbaik dan berdoa. Jangan nyerah. Nanti, beberapa tahun yang akan datang setelah kamu melewati semua ini, kamu baru tau, hikmah apa yang kamu dapet dari kejadian hari ini. Saat ini, tugas kamu cuma jangan nyerah !! Atau kamu akan terus-terusan meratapi nasib kamu di masa depan !!”
“Tapi yah, waktu itu ada Afei yang nolong aku. Sekarang, justru aku kehilangan dia.” Aku membantah.
“Dan penolongmu saat ini lagi terbaring sakit. Dia butuh kamu. Dia butuh pemimpin yang bisa membawa dirinya keluar juga dari musibah ini. Jangan sampe kamu nyesel, kalo dia sampe kenapa-napa. Sholat, Dek !! Minta petunjuk !!” Ujar Ayah tegas.
Aku tersentak.
Ayah benar.
Kenapa aku terus-terusan merasa harus dikasihani?
Serasa hanya aku saja yang paling menderita di dunia ini.
Aku ini laki-laki.
Seharusnya aku yang ada di sampingnya. Seharusnya aku yang menahan badai untuknya. Seharusnya aku yang menguatkannya, bukan sebaliknya. Bukan juga malah membawanya ke jurang kehancuran.
Aku memang pechundang !!
Ayah membelai kepalaku dan keluar kamar.
Aku segera ke kamar mandi untuk mandi.
Setelah selesai, aku kembali ke kamar dan menggelar sajadahku yang mulai sedikit berdebu.
Serpihan-serpihan keyakinan yang terserak, aku kumpulkan kembali di hatiku.
Malam ini, akan kuhabiskan waktu untuk berdoa sepuas hati.
Akan kutumpahkan semua beban yang ada di hati, kepada Yang Maha Kuasa.
Aku berharap, Dia masih mau mendengarkan doaku.
2 hari dari kejadian itu, aku sudah tergopoh-gopoh bersama ayah, Ibu dan Mbak Icha, serta satu orang lelaki separuh baya.
“Bu, udah ga usah repot begitu. Nanti aja repotnya. Sekarang seadanya aja.” Mbak Icha menegur Ibu.
“Iya iya. Ini cuma bawa minum aja kok.” Ibu memasukkan botol air ke dalam tasnya.
Ayah kemudian menyalakan mobilnya.
“Pak, maaf jadi mendadak begini.” Aku meminta maaf kepada pria paruh baya itu.
Pria bernama Ghazali itu tersenyum. Senyumnya meneduhkan dan menyejukkan hati.
“Niat baik memang harus di segerakan. Jangan ngerasa gak enak.” Pak Ghazali berkata.
Selain senyumnya, timbre suara dan kata-katanya yang tenang menyejukkan sekali. Orang seperti ini, amalannya pasti luar biasa.
Quote:
“Dek, yuk jalan.” Mbak Icha merangkulku.
Aku memeluknya erat, dan mencium pipinya berkali-kali. Sejak kehilangan Clarissa, hanya dia kakak yang ku punya sekarang. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya.
Mbak Icha tersenyum.
“Kamu jadi manja begini.” Dia membelai rambutku.
Pak Ghazali tertawa.
“Saya sudah jarang sekali, melihat saudara kandung bisa seperti ini.” Pak Ghazali berkata.
Kami masuk bersama ke dalam mobil, dan berangkat ke suatu tempat.
Sampai di tempat yang dituju, kami berjalan ke sebuah kamar rawat. Aku membuka kamar itu, dan melihat ada beberapa orang di dalamnya. Mereka tersenyum melihatku. Aku segera menghampiri salah satu dari mereka dan mencium tangannya.
“Kamu gagah banget, calon mantu.” Mami berkata pelan, dan membelai rambutku.
Setelah itu aku salim ke papi, dan dia memelukku erat.
Ruangan rawat itu sudah aku upgrade ke vvip agar lebih luas. Aku melihat sebuah wajah yang sangat aku rindukan.
Afei sedang dalam keadaan bersandar di ranjangnya. Selang oksigen dan Infus masih menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, tapi memancarkan cahaya yang mempesona. Rambutnya tergerai dengan sebuah kain putih yang menutupi sebagian kepalanya. Dia terlihat jauh lebih baik, daripada ketika kami bertemu di taman, beberapa hari yang lalu.
Ada satu orang wanita di samping ranjangnya. Chinese namun berhijab panjang. Cantik sekali.
Dia tersenyum menghampiriku.
“Assalammualaikum Daru, aku Lydia.” Sahut wanita berhijab merah.
“Wa..walaikum salam. Ci Lydia.” Aku menjawab gugup. Aku belum tau siapa dia.
Ah nanti saja kenalannya.
“Daru, yuk, kita laksanakan. Semuanya udah siap kan?” Pak Ghazali mengagetkanku.
Aku mengangguk. Ayah langsung duduk di sebuah meja yang sudah di siapkan, dan aku duduk di depannya.
“Afei, udah siap syahadat?” Pak Ghazali bertanya lembut.
Afei tersenyum dan menggeleng.
“Aku sudah melakukannya Pak. Insya Allah, aku sudah Muslimah.” Afei berkata pelan sambil tersenyum.
Semua di ruangan itu terkejut. Bahkan Papi dan mami. Hanya ko Along yang tersenyum.
“Fei…ka..pan kamu…”
“Ceritanya nanti aja sayang. Segera halalkan aku.” Afei berkata tegas, namun tetap tersenyum.
Beberapa prosedur dilakukan, dan doa pembuka sudah terucap. Pak Ghazali ada di samping Ayah, dan para saksi sudah siap.
Ayah menjabat erat tanganku.
Dan…
“Sahhh.”
yuaufchauza dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup