- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#138
133 Hilang
Galiyan adalah seorang fallen angel yang juga dikutuk. Dia diusir dari surga lalu menjadi pengikut iblis. Menjadi salah satu pasukan berani mati Lucifer, yang membuat keributan dan masalah di bumi. Dia pun mengambil jiwa jiwa manusia untuk dijadikan budak mereka nanti.
"Rupanya kau dalang dibalik semua masalah ini!" cetus Wira yang berdiri di depan makhluk dengan sayap hitam melebar ke samping kanan dan kiri nya. Bola matanya hitam dengan urat nadi hitam di sekujur tubuhnya.
Semua orang yang masih bertahan di sana, hanya menatap dua makhluk yang hampir satu ras tersebut dengan ekspresi tegang. Sepertinya akan ada pertarungan besar antara dua pria itu. Sisi hitam dan sisi putih.
Sementara itu, para Vivum Vunus alias manusia tanpa jiwa penghuni desa mulai menipis. Sebagian sudah tewas dan sebagian lagi masih berusaha merangsek masuk dan menyerang manusia yang masuk ke desa mereka. Memang begitulah cara kerjanya. Tiap manusia yang masuk ke desa ini secara sengaja atau pun tidak, pasti akan menjadi salah satu dari mereka. Jiwa mereka akan direnggut, dan tubuh mereka dibiarkan berkeliaran tanpa tujuan jelas. Hanya ada hasrat ingin membunuh dan membawa lebih banyak lagi jiwa untuk menemani mereka di neraka.
Wira atau lebih dikenal oleh langit dengan sebutan Samael, mengeluarkan sebuah pedang yang keluar dari tangannya. Melihat saingan nya mengeluarkan senjata andalannya, Galiyan juga mengeluarkan sebuah gada besar, dan berat. Wira menoleh sedikit ke arah teman temannya.
"Kalian pergi dari sini! Biar aku yang urus iblis ini!" katanya serius.
Tanpa disuruh dua kali, mereka mulai menerobos kerumunan makhluk mengerikan di luar. Kembali menebas kepala atau menusuk jantung jika ada yang menghalanginya. Mereka sudah terbiasa, dan untungnya pertempuran dengan makhluk aneh seperti yang sedang dihadapi sekarang, bukanlah pertama kalinya.
Kini hanya ada Samael dan Galiyan. Dua sosok yang awal nya adalah satu kubu, tapi kini berlawanan jalan. Memilih jalan hidup masing masing. Dengan konsekuensi yang harus diterima.
Samael maju, melayangkan sabetan pedangnya ke arah Galiyan. Galiyan yang sudah menyerap banyak jiwa ditubuhnya makin kuat, membuat beberapa kali Samael kewalahan. Dia terluka, berdarah, walau akhirnya luka itu menutup kembali karena memang Samael atau Wira adalah malaikat. Sampai pada satu momen, di mana tangan Galiyan merasuk ke dalam tubuh Samael, merogoh jantung itu. Samael menjerit kesakitan. Wajahnya pucat dan menahan rada sakit hang teramat sangat. Tangan Galiyan keluar dari tubuh Samael, membawa kekuatan bawaan dari malaikat itu. Galiyan tertawa puas, sambil menelan kekuatan Samael.
Kini tubuh itu lemah, tak berdaya, tanpa kekuatan dasar dari makhluk yang disebut sebagai malaikat. Dan Samael kini, hanya seorang manusia biasa. Wira.
Ia batuk batuk sambil memegang dadanya yang terasa panas dan sakit. Keadaan di sekitarnya sudah sepi. Semua teman temannya telah pergi, dan Galiyan juga menghilang setelah merenggut kekuatan Wira. Telapak tangan Wira terus menggenggam, ia memegang sesuatu yang berhasil dia ambil dari Galiyan.
Wira berjalan sempoyongan keluar rumah itu. Melewati beberapa mayat, ah bukan hanya beberapa mayat, tapi puluhan mayat yang kini tergeletak begitu saja di bawah.
Suasana desa itu kini benar benar sepi. Sepertinya Arya, Abi dan yang lainnya telah berhasil membunuh semua makhluk tanpa jiwa itu. Samael, yang kini sudah benar benar menjadi Wira seutuhnya. Karena karunia kekuatannya telah direnggut Galiyah, berjalan gontai menuju pintu keluar desa. Ia berharap caravan yang tadi membawanya masih ada di sana. Dan teman temannya masih menunggu kedatangannya.
"Wira gimana, Ya. Dia nggak apa apa kah, kalau kita tinggalin gini?" tanya Nayla sedikit cemas. Bagaimana pun juga, pantang baginya untuk menyepelekan musuh.
"Semoga dia baik baik aja. Kita tunggu 10 menit lagi, kalau dia belum balik, biar aku susulin dia," ujar Arya. Semua orang masih belum baik baik saja setelah pertarungan panjang dan berat tadi.
"Eh, Hidayat mana, ya?" tanya Ellea sambil memperhatikan ke sekitar, berharap menemukan dan tau kabar orang tersebut.
"Nggak selamat paling. Manusia egois macam dia biasanya langsung kena azab!" hardik Gio, kesal.
"Lalu soal kunci yang kita cari ... Gimana?" tanya Nayla, pelan. Menatap teman teman nya satu persatu. Berharap mendapat jawaban.
Arya menarik nafasnya dalam dalam, Abimanyu menyapu pandang ke dalam desa yang gelap dan sunyi menegangkan. Namun ternyata dari kejauhan ada sebuah pergerakan yang membuat Abi S E N S O Rik. "Om Wira!"
Semua orang ikut menatap ke arah yang Abi tatap. Abi lantas berlari mendekat ke Wira yang kondisinya sangat memprihatinkan. Mereka mencoba membantu pria itu, darah ada di beberapa sudut tubuhnya. Terutama wajah, bajunya beberapa robek dengan luka yang dalam dan menganga. Perutnya berdarah. Wira terus memegangi perutnya yang terus meneteskan darah segar sepanjang dia berjalan.
"Astaga, Wira!" jerit Nayla. Arya yang berlari lebih dulu bersama dengan Abimanyu lantas menangkap tubuh Wira yang hampir jatuh. Dia benar benar sekarat.
"Ra! Kenapa?!" jerit Arya sambil menepuk nepuk pipi pria di pangkuannya itu. Wira menatap Arya dengan tatapan sendu. Ia tersenyum sambil mengulurkan sesuatu dari tangan kanannya. Wira lalu memberikan benda itu ke Abimanyu yang ada di sampingnya.
"Ini?" tanya Abimanyu dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia tau jawabannya. "Bagaimana Om bisa mendapatkan benda ini?"
"Udah! Kita bawa dulu Wira ke caravan. Kita harus ke dokter!" sergah Nayla. Arya lantas mengangkat tubuh Wira seorang diri, namun saat dia hendak berjalan ke caravan menyusul yang lain, siluet kejadian kembali terlihat dalam ingatannya. Ia berhenti bergerak, dan tenggelam dalam ingatan baru yang masih tergambar di pikirannya.
"Arya! Arya!" panggil Gio yang sudah berada di depan pintu caravan. Semua orang sudah naik, tinggal mereka bertiga saja. Gio lalu mendekat dan menyadarkan Arya dari lamunannya. "Kenapa?!" tanya Gio dengan wajah serius.
"Ouh, maaf. Ayok!" Arya lantas memapah Wira dibantu Gio. Mereka masuk ke caravan dan meninggalkan desa tersebut.
Perkataan Hidayat yang kini sosoknya entah di mana, tidak sepenuhnya benar. Karena mereka sudah berhasil meninggalkan desa itu tanpa harus berputar putar lagi. Mungkin karena kunci yang sekarang ada di tangan Abimanyu, yang membuat mereka berhasil pergi dari desa tersebut dengan segera.
_____
Gio memacu caravan miliknya dengan secepat mungkin. Abimanyu yang duduk di sampingnya, terus menatap benda dengan simbol aneh di tangannya. Untuk mendapatkan benda itu, mereka hampir kehilangan nyawa. Bahkan kini Wira sekarat. Seorang malaikat satu satunya yang ada di kelompok mereka hampir mati karena melawan makhluk penjaga desa Angikuni. Pasti Galiyan bukan makhluk sembarangan. Begitulah yang ada di pikiran Abimanyu. Ia menoleh ke belakang, di mana tubuh Wira diletakan. Nayla dan Ellea berusaha memberikan pertolongan pertama untuk pria tersebut. Kancing kemejanya dibuka, hingga dada Wira terpampang jelas. Tentu saja luka di tubuhnya kini juga mampu mereka lihat. Nayla panik, melihat perut Wira berlubang. "Kamu diapain sih, Ra!"
Ellea mengambil handuk dan baskom yang diberi air. Ia membersihkan luka luka di tubuh Wira dengan perlahan. Wira tidak berkata apa pun, hanya menatap semua orang di sekitarnya yang terlihat mengkhawatirkan dirinya. Arya hanya duduk, memperhatikan tubuh Wira yang tak berdaya. Dia masih kebingungan. Karena bayangan masa lalu yang akhir akhir ini terus bermunculan di pikirannya. Semua hanya siluet, tapi bayangan orang di siluet tersebut sama seperti orang orang yang kini ada bersamanya. Awalnya Abimanyu, dan kini Wira. Membuat semua penjelasan tentang siapa dirinya dulu memang nyata.
Siluet tadi, menggambarkan saat Arya menolong Wira dengan keadaan yang hampir sama dengan sekarang. Namun, di bayangan itu ada jerit tangis Nayla dan juga momen di mana Nayla menangisi kematian Wira.
Arya diam. Tubuhnya terasa lemah, tiba tiba dia menjadi tidak bersemangat.
"Haduh, lukanya dalam banget. Kita harus cepat ke rumah sakit!" pekik Ellea sambil menatap semua orang yang ada di sekitarnya.
Gio menambah kecepatan. Ini sudah tengah malam, dan lalu lintas memang sudah lenggang. Ini berita bagusnya, rumah sakit tidak begitu jauh lagi.
"Wira? Bukan, kah, kamu malaikat? Aku pikir kamu punya kemampuan menyembuhkan diri atau semacamnya?" tanya Nayla, heran. Pria yang diajak bicara makin lama makin memburuk kondisinya. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan itu, walau sebenarnya ia dapat mendengar perkataan Nayla tadi. Tapi seluruh tenaganya seolah hilang. Pandangan matanya mulai memburam, matanya pun terasa sangat berat. Dan akhirnya dia memejamkan mata diiringi suara jeritan Nayla yang terus memanggil namanya.
Caravan berhenti di depan koridor IGD. Abimanyu turun dan langsung memanggil perawat, ia bahkan langsung mengambil kasur dorong untuk membawa Wira. Arya membawa tubuh Wira keluar dari caravan. Ellea dan Nayla mengekor di belakang Arya. Tubuh Wira segera dibawa masuk ke ruang IGD dan mendapat pertolongan secepatnya oleh dokter di dalam. Sementara itu, mereka menunggu di luar. Kursi yang berderet menjadi tujuan mereka. Bahkan Gio kini sudah merebahkan tubuhnya di kursi panjang itu. Ia terlihat sangat kelelahan. Ia butuh tidur beberapa jam, karena perjalanan dan semua aktivitas menegangkan yang mereka alami benar benar menguras semua tenaganya.
Malam ini mereka terpaksa menginap di rumah sakit, tidur dengan cara duduk di kursi ruang tunggu, atau merebahkan diri seperti Gio. Dengan mengambil beberapa kursi untuk dirinya sendiri. Bagaimana pun, keadaan Wira benar benar membuat mereka sangat khawatir.
***
Langkah kaki beberapa orang mengusik tidur mereka. Ellea dan Nayla yang sudah bangun sejak satu jam lalu kini sudah memegang cangkir kopi di tangan mereka. Mereka berdua mengobrol ringan di sudut kursi lain. Aroma kopi yang berada di dekat Arya membuatnya mulai menggeliat. Ia mulai mengerjapkan mata, dan langsung melihat sosok wanita yang ia sayangi ada di dekat kepalanya. Nayla sedang duduk, sambil memainkan rambut Arya yang memang ada di sampingnya. Arya menarik tangan Nayla yang ada di kepalanya. Membuat Nayla sedikit terkejut, kedua wanita itu lantas menoleh ke arah Arya yang memang sudah terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum, sejurus dengan Nayla yang juga menampilkan senyum indah di pagi hari yang dingin ini.
"Aku ke sana dulu, Nay," pamit Ellea sambil membawa dua cangkir kopi yang hendak ia berikan ke Gio dan Abimanyu yang mulai terbangun juga. Nayla hanya tersenyum dan kini pandangannya beralih ke Arya yang sudah duduk di sampingnya.
"Pagi," sapa Nayla dengan tampang sumringah. Arya menoleh sambil melempar senyum tipis. Ia duduk bersandar pada punggung kursi. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi bahagia seperti yang Nayla harapkan. Hal ini membuat Nayla mulai menatap Arya dengan tatapan bingung. "Hei, kenapa?" tanyanya dengan makin mendekatkan wajahnya pada Arya. Nayla juga menyodorkan cangkir kopi yang masih hangat untuk kekasihnya itu.
Arya tidak balas menatapnya. Hanya menerima uluran cangkir kopi dari Nayla, dan memainkannya sebentar sebelum ia meneguk beberapa tegukan kopi yang terasa ringan itu. Campuran kopinya tidak seperti yang biasa ia minum, sebenarnya dia sedikit rindu rumah. Tapi dia tidak bisa pulang sekarang.
"Arya?' panggil Nayla lagi, karena melihat reaksi pemuda itu hanya tersenyum tipis, tanpa ada niatan menjawab atau bersikap seperti biasanya. Arya menarik nafas panjang lalu meminum kembali kopinya.
"Aku mendapatkan ingatan ingatan itu, Nay," gumam Arya tanpa menatap gadis di sampingnya itu.
"Ingatan ... saat kehidupan kita yang kemarin?" tanya Nayla menegaskan maksud dari Arya barusan. Arya lantas mengangguk pelan. Menatap lantai di bawahnya yang sedang ia pijak. Sepatu nya awalnya berwarna putih kini mulai terlihat kusam, karena tidak pernah ia perhatikan lagi kebersihannya. "Apa saja yang sudah kamu ingat?"
"Beberapa kejadian. Seperti semalam. Kita pernah kehilangan Wira seperti tadi. Kamu nangis, Wira meninggal dan aku yang dulu bukan siapa siapa kamu, hanya bisa memberikan pelukan. Di situ aku benar benar merasakan sakit, karena melihat kamu menangis. Diriku yang dulu," jelas Arya.
"Maksudnya, kamu bisa merasakan perasaan kamu yang dulu?"
"Iya. Sepertinya dulu aku sudah suka sama kamu saat kamu sudah pacaran sama Wira. Huh, lucu ya." Arya memaksakan melebarkan senyumannya yang sama sekali tidak terlihat tulus.
"Yang bener? Jadi dulu kamu udah suka sama aku sejak lama? Tapi, kamu nggak bilang apa apa ke aku, Ya?"
"Buat apa, Nay? Kamu dulu pacarnya Wira."
"..."
Arya menoleh ke Nayla yang diam tanpa menanggapi perkataannya barusan. Ia tersenyum, lalu memeluk gadis itu yang masih terlihat kaku. Nayla merasa bersalah karena berada di antara dua pria yang sebenarnya bersahabat sejak dulu. Dia yang memang belum mengingat banyak hal, hanya bisa menatap nanar Arya. Dalam lubuk hatinya terus bertanya tanya, sejak kapan Arya memiliki perasaan lebih padanya.
"Jadi kita benar benar dikutuk dengan kisah cinta segitiga yang terus terulang sepanjang kehidupan kita?" tanya Nayla yang masih berada di pelukan Arya.
"Tapi sekarang, kan, enggak." Arya makin mengeratkan pelukannya ke tubuh mungil gadis itu.
"Hei! Wira sadar!' kata Gio yang tiba tiba sudah ada di depan mereka, lalu berjalan masuk ke ruangan yang semalam menjadi tempat Wira dirawat. Arya dan Nayla kemudian mengekor mereka. Abi dan Ellea juga menyusul dan mereka semua masuk ke dalam untuk melihat keadaan Wira.
Wira yang baru saja diperiksa oleh dokter lantas melemparkan senyum ke arah teman temannya yang baru saja masuk ke dalam. Kini mereka tampak lega. Melihat kondisi Wira yag sudah membaik.
"Gimana kondisi dia, Dok?" tanya Gio.
"Sudah baik baik saja. Lukanya sudah dijahit. Untung tidak terlalu dalam. Dan pasien harus hati hati, jangan terlalu banyak bergerak," saran dokter.
"Saya boleh pulang hari ini, kan?" tanya Wira memaksa. Dokter itu diam, lalu mengangguk pasrah. Sejak ia diperiksa, Wira terus merengek minta dibolehkan pulang. Dan kini dokter tidak lagi bisa menahannya.
"Ra, kamu yakin? Kan mending di sini aja dulu," bujuk Nayla.
"Enggak, Nay. Kita harus melanjutkan perjalanan. Kita harus terus bergerak."
Dokter undur diri untuk memeriksa pasien lain dan juga mengajak perwakilan dari keluarga Wira untuk menyelesaikan administrasi.
"Ra, kenapa kamu bisa gini? Bukannya kamu bisa ...." Nayla tak melanjutkan pertanyaannya. Ia yakin kalau Wira paham maksudnya.
"Sebenarnya kekuatan ku ... Sudah hilang."
"Maksudnya hilang?"
"Galiyan merenggutnya!"
"Apa?! Terus sekarang kamu ...."
"Aku manusia biasa."
_____
Caravan Gio sudah melaju meninggalkan kota itu. Wira yang bersikeras tidak ingin berlama lama lagi di rumah sakit, kini terlihat baik baik saja. Walau terkadang ia kerap meringis saat luka di perutnya terasa sakit lagi. Atau jika efek obatnya habis. Jahitan yang kini ada di perut datarnya masih belum kering dan masih harus membutuhkan perawatan yang baik. Dan, Nayla adalah perawat yang sangat perhatian. Hingga terkadang membuat Arya cemburu melihat kedekatan mereka.
Mereka menginap di sebuah home stay, karena seluruh hotel di kota ini sedang penuh. Ini merupakan momen liburan dan mereka sedang ada di daerah pariwisata. Bukan kesengajaan karena mereka pun baru menyadarinya sekarang.
Home stay ini terletak di dekat sebuah danau. Tidak hanya satu home stay yang ada di tempat ini, tetapi ada hampir di tiap pinggir danau. Antara danau dan home stay hanya berjarak sekitar 20 meter saja. Beberapa penginapan itu terlihat ramai. Anak anak kecil banyak yang bermain di pinggir danau yang memang airnya dangkal. Danau tersebut memang cukup luas. Saat pagi hari akan terlihat embun yang hampir menutupi danau itu. Menjelang siang, apalagi jika cuaca cerah, maka langit akan terlihat biru dengan barisan awan putih yang terlihat indah menenangkan. Semua didukung oleh pemandangan di sekitar danau yang memang didominasi hutan pinus yang cukup rindang dan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Mereka yang bosan dengan suasana perkotaan, akan menjadikan tempat ini menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi.
"Mau makan atau istirahat dulu, Ya?" tanya Nayla pada pria yang kini kembali menjadi manusia biasa seperti yang lain. Ia kini sedang duduk di sofa sambil meraba perutnya. "Nanti saja, Nay," sahutnya sambil melirik ke Arya yang kini memilih berjalan keluar rumah, yang disusul oleh Gio.
"Kalau gitu, perbannya diganti sekarang saja, yah?" tanya Nayla sambil mengeluarkan kotak P3K.
"Eum, nggak usah, Nay. Biar aku saja," tolak Wira. Merasa tidak nyaman dengan segala perhatian yang diberikan oleh perawat pribadinya. Yah, sejak Wira terbaring lemah di rumah sakit, Nayla begitu perhatian. Segala kebutuhan Wira ia penuhi. Dari makan, minum, obat dan tempat tidur yang nyaman untuk pria itu.
Ellea menatap Nayla dan Wira yang memang makin dekat sekarang. Ia juga melihat keluar pintu, di mana Arya sedang berjalan dirangkul oleh Gio menuju danau yang memang ada di depan home stay mereka. Antara danau dan penginapan hanya dipisahkan oleh jalan raya yang memang disediakan untuk akses lalu lintas di tempat tersebut. Abimanyu dan Ellea saling lempar pandang, keduanya yang merasakan keadaan tidak nyaman di kelompok mereka, lantas saling memberikan isyarat untuk bertindak, dengan membagi tugas untuk kedua belah pihak. Ellea mengangguk, seolah mengerti maksud Abimanyu. Wanita itu kini ikut berkerumun bersama Nayla dan Wira, yang sedang berdebat tentang penggantian perban yang dirasa belum perlu oleh Wira, namun sudah waktunya dilakukan menurut Nayla. "Coba aku lihat lukanya," ujar Ellea mengambil alih. Abimanyu segera bergegas mencari Gio dan Arya yang sudah berada di luar.
Sore ini keadaan danau cukup ramai pengunjung. Cuaca yang bersahabat membuat sebagian besar orang memilih menghabiskan waktu di pinggir danau. Anak anak bermain air di tepi danau, tentu didampingi orang tua mereka masing masing. Ada beberapa kursi kayu yang di cat warna warni memutar di sepanjang danau. Biasanya akan ada satu kursi kayu panjang untuk tiap rumah penginapan itu. Dan di sana lah kini Gio dan Arya menghabiskan sore mereka. Abimanyu ragu untuk mendekat, ia masih merasa asing dengan pemuda yang dulu adalah ayahnya itu. Terlebih karena ingatan Arya yang belum mengingatnya. Rasanya terasa asing dan membuat Abimanyu menjadi tidak nyaman. Tapi, ia tetap ingin terus berada di dekat Arya. Ia rindu, sangat. Ia ingin bisa memeluk ayah dan ibunya dengan erat. Karena sudah bertahun tahun dirinya tidak melakukan hal itu. Tetapi Abi sadar kalau hal itu tidak dapat dipaksakan.
Ranting kayu di bawah kaki Abi tidak sengaja terinjak olehnya. Ia yang awalnya hendak kembali ke penginapan, terhenti. Karena kini Gio justru memanggil namanya, agar mendekat. "Sini, Bi. Mau ke mana sih? Lama, kan, nggak lihat air. Nggak sakau, lu?" tanya Gio membuat dahi Arya berkerut, menatap kedua pria itu bergantian. Seolah meminta penjelasan atas candaan Gio barusan. Gio menoleh ke Arya yang duduk di sebelahnya, "Abimanyu ini suka banget air. Seperti pantai, danau, sungai. Dan sebenarnya itu menurun dari elu, Ya. Eh, elu sekarang masih suka air juga nggak sih? Penasaran gue. Apakah beda kehidupan, juga mempengaruhi hobi dan kesukaan kalian juga?"
Arya merasa tertarik dengan apa yang sedang mereka bahas. Beberapa bayangan masa lalu yang beberapa waktu ini terus melintas di ingatannya, membuat dirinya juga penasaran akan kehidupannya di masa lalu. "Memangnya dulu aku ini bagaimana?" tanya Arya agak ragu. Gio yang merasa ini sebuah peluang untuk mengembalikan ingatan Arya, sangat antusias menceritakan semua hal tentang pemuda itu dari pertama kali mereka bertemu, semua sifat dan karakter Arya di masa lalu. Abimanyu ikut duduk di samping Gio, menambahkan semua hal yang kurang dari penjelasan Gio tentang ayahnya itu.
"Rupanya kau dalang dibalik semua masalah ini!" cetus Wira yang berdiri di depan makhluk dengan sayap hitam melebar ke samping kanan dan kiri nya. Bola matanya hitam dengan urat nadi hitam di sekujur tubuhnya.
Semua orang yang masih bertahan di sana, hanya menatap dua makhluk yang hampir satu ras tersebut dengan ekspresi tegang. Sepertinya akan ada pertarungan besar antara dua pria itu. Sisi hitam dan sisi putih.
Sementara itu, para Vivum Vunus alias manusia tanpa jiwa penghuni desa mulai menipis. Sebagian sudah tewas dan sebagian lagi masih berusaha merangsek masuk dan menyerang manusia yang masuk ke desa mereka. Memang begitulah cara kerjanya. Tiap manusia yang masuk ke desa ini secara sengaja atau pun tidak, pasti akan menjadi salah satu dari mereka. Jiwa mereka akan direnggut, dan tubuh mereka dibiarkan berkeliaran tanpa tujuan jelas. Hanya ada hasrat ingin membunuh dan membawa lebih banyak lagi jiwa untuk menemani mereka di neraka.
Wira atau lebih dikenal oleh langit dengan sebutan Samael, mengeluarkan sebuah pedang yang keluar dari tangannya. Melihat saingan nya mengeluarkan senjata andalannya, Galiyan juga mengeluarkan sebuah gada besar, dan berat. Wira menoleh sedikit ke arah teman temannya.
"Kalian pergi dari sini! Biar aku yang urus iblis ini!" katanya serius.
Tanpa disuruh dua kali, mereka mulai menerobos kerumunan makhluk mengerikan di luar. Kembali menebas kepala atau menusuk jantung jika ada yang menghalanginya. Mereka sudah terbiasa, dan untungnya pertempuran dengan makhluk aneh seperti yang sedang dihadapi sekarang, bukanlah pertama kalinya.
Kini hanya ada Samael dan Galiyan. Dua sosok yang awal nya adalah satu kubu, tapi kini berlawanan jalan. Memilih jalan hidup masing masing. Dengan konsekuensi yang harus diterima.
Samael maju, melayangkan sabetan pedangnya ke arah Galiyan. Galiyan yang sudah menyerap banyak jiwa ditubuhnya makin kuat, membuat beberapa kali Samael kewalahan. Dia terluka, berdarah, walau akhirnya luka itu menutup kembali karena memang Samael atau Wira adalah malaikat. Sampai pada satu momen, di mana tangan Galiyan merasuk ke dalam tubuh Samael, merogoh jantung itu. Samael menjerit kesakitan. Wajahnya pucat dan menahan rada sakit hang teramat sangat. Tangan Galiyan keluar dari tubuh Samael, membawa kekuatan bawaan dari malaikat itu. Galiyan tertawa puas, sambil menelan kekuatan Samael.
Kini tubuh itu lemah, tak berdaya, tanpa kekuatan dasar dari makhluk yang disebut sebagai malaikat. Dan Samael kini, hanya seorang manusia biasa. Wira.
Ia batuk batuk sambil memegang dadanya yang terasa panas dan sakit. Keadaan di sekitarnya sudah sepi. Semua teman temannya telah pergi, dan Galiyan juga menghilang setelah merenggut kekuatan Wira. Telapak tangan Wira terus menggenggam, ia memegang sesuatu yang berhasil dia ambil dari Galiyan.
Wira berjalan sempoyongan keluar rumah itu. Melewati beberapa mayat, ah bukan hanya beberapa mayat, tapi puluhan mayat yang kini tergeletak begitu saja di bawah.
Suasana desa itu kini benar benar sepi. Sepertinya Arya, Abi dan yang lainnya telah berhasil membunuh semua makhluk tanpa jiwa itu. Samael, yang kini sudah benar benar menjadi Wira seutuhnya. Karena karunia kekuatannya telah direnggut Galiyah, berjalan gontai menuju pintu keluar desa. Ia berharap caravan yang tadi membawanya masih ada di sana. Dan teman temannya masih menunggu kedatangannya.
"Wira gimana, Ya. Dia nggak apa apa kah, kalau kita tinggalin gini?" tanya Nayla sedikit cemas. Bagaimana pun juga, pantang baginya untuk menyepelekan musuh.
"Semoga dia baik baik aja. Kita tunggu 10 menit lagi, kalau dia belum balik, biar aku susulin dia," ujar Arya. Semua orang masih belum baik baik saja setelah pertarungan panjang dan berat tadi.
"Eh, Hidayat mana, ya?" tanya Ellea sambil memperhatikan ke sekitar, berharap menemukan dan tau kabar orang tersebut.
"Nggak selamat paling. Manusia egois macam dia biasanya langsung kena azab!" hardik Gio, kesal.
"Lalu soal kunci yang kita cari ... Gimana?" tanya Nayla, pelan. Menatap teman teman nya satu persatu. Berharap mendapat jawaban.
Arya menarik nafasnya dalam dalam, Abimanyu menyapu pandang ke dalam desa yang gelap dan sunyi menegangkan. Namun ternyata dari kejauhan ada sebuah pergerakan yang membuat Abi S E N S O Rik. "Om Wira!"
Semua orang ikut menatap ke arah yang Abi tatap. Abi lantas berlari mendekat ke Wira yang kondisinya sangat memprihatinkan. Mereka mencoba membantu pria itu, darah ada di beberapa sudut tubuhnya. Terutama wajah, bajunya beberapa robek dengan luka yang dalam dan menganga. Perutnya berdarah. Wira terus memegangi perutnya yang terus meneteskan darah segar sepanjang dia berjalan.
"Astaga, Wira!" jerit Nayla. Arya yang berlari lebih dulu bersama dengan Abimanyu lantas menangkap tubuh Wira yang hampir jatuh. Dia benar benar sekarat.
"Ra! Kenapa?!" jerit Arya sambil menepuk nepuk pipi pria di pangkuannya itu. Wira menatap Arya dengan tatapan sendu. Ia tersenyum sambil mengulurkan sesuatu dari tangan kanannya. Wira lalu memberikan benda itu ke Abimanyu yang ada di sampingnya.
"Ini?" tanya Abimanyu dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah ia tau jawabannya. "Bagaimana Om bisa mendapatkan benda ini?"
"Udah! Kita bawa dulu Wira ke caravan. Kita harus ke dokter!" sergah Nayla. Arya lantas mengangkat tubuh Wira seorang diri, namun saat dia hendak berjalan ke caravan menyusul yang lain, siluet kejadian kembali terlihat dalam ingatannya. Ia berhenti bergerak, dan tenggelam dalam ingatan baru yang masih tergambar di pikirannya.
"Arya! Arya!" panggil Gio yang sudah berada di depan pintu caravan. Semua orang sudah naik, tinggal mereka bertiga saja. Gio lalu mendekat dan menyadarkan Arya dari lamunannya. "Kenapa?!" tanya Gio dengan wajah serius.
"Ouh, maaf. Ayok!" Arya lantas memapah Wira dibantu Gio. Mereka masuk ke caravan dan meninggalkan desa tersebut.
Perkataan Hidayat yang kini sosoknya entah di mana, tidak sepenuhnya benar. Karena mereka sudah berhasil meninggalkan desa itu tanpa harus berputar putar lagi. Mungkin karena kunci yang sekarang ada di tangan Abimanyu, yang membuat mereka berhasil pergi dari desa tersebut dengan segera.
_____
Gio memacu caravan miliknya dengan secepat mungkin. Abimanyu yang duduk di sampingnya, terus menatap benda dengan simbol aneh di tangannya. Untuk mendapatkan benda itu, mereka hampir kehilangan nyawa. Bahkan kini Wira sekarat. Seorang malaikat satu satunya yang ada di kelompok mereka hampir mati karena melawan makhluk penjaga desa Angikuni. Pasti Galiyan bukan makhluk sembarangan. Begitulah yang ada di pikiran Abimanyu. Ia menoleh ke belakang, di mana tubuh Wira diletakan. Nayla dan Ellea berusaha memberikan pertolongan pertama untuk pria tersebut. Kancing kemejanya dibuka, hingga dada Wira terpampang jelas. Tentu saja luka di tubuhnya kini juga mampu mereka lihat. Nayla panik, melihat perut Wira berlubang. "Kamu diapain sih, Ra!"
Ellea mengambil handuk dan baskom yang diberi air. Ia membersihkan luka luka di tubuh Wira dengan perlahan. Wira tidak berkata apa pun, hanya menatap semua orang di sekitarnya yang terlihat mengkhawatirkan dirinya. Arya hanya duduk, memperhatikan tubuh Wira yang tak berdaya. Dia masih kebingungan. Karena bayangan masa lalu yang akhir akhir ini terus bermunculan di pikirannya. Semua hanya siluet, tapi bayangan orang di siluet tersebut sama seperti orang orang yang kini ada bersamanya. Awalnya Abimanyu, dan kini Wira. Membuat semua penjelasan tentang siapa dirinya dulu memang nyata.
Siluet tadi, menggambarkan saat Arya menolong Wira dengan keadaan yang hampir sama dengan sekarang. Namun, di bayangan itu ada jerit tangis Nayla dan juga momen di mana Nayla menangisi kematian Wira.
Arya diam. Tubuhnya terasa lemah, tiba tiba dia menjadi tidak bersemangat.
"Haduh, lukanya dalam banget. Kita harus cepat ke rumah sakit!" pekik Ellea sambil menatap semua orang yang ada di sekitarnya.
Gio menambah kecepatan. Ini sudah tengah malam, dan lalu lintas memang sudah lenggang. Ini berita bagusnya, rumah sakit tidak begitu jauh lagi.
"Wira? Bukan, kah, kamu malaikat? Aku pikir kamu punya kemampuan menyembuhkan diri atau semacamnya?" tanya Nayla, heran. Pria yang diajak bicara makin lama makin memburuk kondisinya. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan itu, walau sebenarnya ia dapat mendengar perkataan Nayla tadi. Tapi seluruh tenaganya seolah hilang. Pandangan matanya mulai memburam, matanya pun terasa sangat berat. Dan akhirnya dia memejamkan mata diiringi suara jeritan Nayla yang terus memanggil namanya.
Caravan berhenti di depan koridor IGD. Abimanyu turun dan langsung memanggil perawat, ia bahkan langsung mengambil kasur dorong untuk membawa Wira. Arya membawa tubuh Wira keluar dari caravan. Ellea dan Nayla mengekor di belakang Arya. Tubuh Wira segera dibawa masuk ke ruang IGD dan mendapat pertolongan secepatnya oleh dokter di dalam. Sementara itu, mereka menunggu di luar. Kursi yang berderet menjadi tujuan mereka. Bahkan Gio kini sudah merebahkan tubuhnya di kursi panjang itu. Ia terlihat sangat kelelahan. Ia butuh tidur beberapa jam, karena perjalanan dan semua aktivitas menegangkan yang mereka alami benar benar menguras semua tenaganya.
Malam ini mereka terpaksa menginap di rumah sakit, tidur dengan cara duduk di kursi ruang tunggu, atau merebahkan diri seperti Gio. Dengan mengambil beberapa kursi untuk dirinya sendiri. Bagaimana pun, keadaan Wira benar benar membuat mereka sangat khawatir.
***
Langkah kaki beberapa orang mengusik tidur mereka. Ellea dan Nayla yang sudah bangun sejak satu jam lalu kini sudah memegang cangkir kopi di tangan mereka. Mereka berdua mengobrol ringan di sudut kursi lain. Aroma kopi yang berada di dekat Arya membuatnya mulai menggeliat. Ia mulai mengerjapkan mata, dan langsung melihat sosok wanita yang ia sayangi ada di dekat kepalanya. Nayla sedang duduk, sambil memainkan rambut Arya yang memang ada di sampingnya. Arya menarik tangan Nayla yang ada di kepalanya. Membuat Nayla sedikit terkejut, kedua wanita itu lantas menoleh ke arah Arya yang memang sudah terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum, sejurus dengan Nayla yang juga menampilkan senyum indah di pagi hari yang dingin ini.
"Aku ke sana dulu, Nay," pamit Ellea sambil membawa dua cangkir kopi yang hendak ia berikan ke Gio dan Abimanyu yang mulai terbangun juga. Nayla hanya tersenyum dan kini pandangannya beralih ke Arya yang sudah duduk di sampingnya.
"Pagi," sapa Nayla dengan tampang sumringah. Arya menoleh sambil melempar senyum tipis. Ia duduk bersandar pada punggung kursi. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi bahagia seperti yang Nayla harapkan. Hal ini membuat Nayla mulai menatap Arya dengan tatapan bingung. "Hei, kenapa?" tanyanya dengan makin mendekatkan wajahnya pada Arya. Nayla juga menyodorkan cangkir kopi yang masih hangat untuk kekasihnya itu.
Arya tidak balas menatapnya. Hanya menerima uluran cangkir kopi dari Nayla, dan memainkannya sebentar sebelum ia meneguk beberapa tegukan kopi yang terasa ringan itu. Campuran kopinya tidak seperti yang biasa ia minum, sebenarnya dia sedikit rindu rumah. Tapi dia tidak bisa pulang sekarang.
"Arya?' panggil Nayla lagi, karena melihat reaksi pemuda itu hanya tersenyum tipis, tanpa ada niatan menjawab atau bersikap seperti biasanya. Arya menarik nafas panjang lalu meminum kembali kopinya.
"Aku mendapatkan ingatan ingatan itu, Nay," gumam Arya tanpa menatap gadis di sampingnya itu.
"Ingatan ... saat kehidupan kita yang kemarin?" tanya Nayla menegaskan maksud dari Arya barusan. Arya lantas mengangguk pelan. Menatap lantai di bawahnya yang sedang ia pijak. Sepatu nya awalnya berwarna putih kini mulai terlihat kusam, karena tidak pernah ia perhatikan lagi kebersihannya. "Apa saja yang sudah kamu ingat?"
"Beberapa kejadian. Seperti semalam. Kita pernah kehilangan Wira seperti tadi. Kamu nangis, Wira meninggal dan aku yang dulu bukan siapa siapa kamu, hanya bisa memberikan pelukan. Di situ aku benar benar merasakan sakit, karena melihat kamu menangis. Diriku yang dulu," jelas Arya.
"Maksudnya, kamu bisa merasakan perasaan kamu yang dulu?"
"Iya. Sepertinya dulu aku sudah suka sama kamu saat kamu sudah pacaran sama Wira. Huh, lucu ya." Arya memaksakan melebarkan senyumannya yang sama sekali tidak terlihat tulus.
"Yang bener? Jadi dulu kamu udah suka sama aku sejak lama? Tapi, kamu nggak bilang apa apa ke aku, Ya?"
"Buat apa, Nay? Kamu dulu pacarnya Wira."
"..."
Arya menoleh ke Nayla yang diam tanpa menanggapi perkataannya barusan. Ia tersenyum, lalu memeluk gadis itu yang masih terlihat kaku. Nayla merasa bersalah karena berada di antara dua pria yang sebenarnya bersahabat sejak dulu. Dia yang memang belum mengingat banyak hal, hanya bisa menatap nanar Arya. Dalam lubuk hatinya terus bertanya tanya, sejak kapan Arya memiliki perasaan lebih padanya.
"Jadi kita benar benar dikutuk dengan kisah cinta segitiga yang terus terulang sepanjang kehidupan kita?" tanya Nayla yang masih berada di pelukan Arya.
"Tapi sekarang, kan, enggak." Arya makin mengeratkan pelukannya ke tubuh mungil gadis itu.
"Hei! Wira sadar!' kata Gio yang tiba tiba sudah ada di depan mereka, lalu berjalan masuk ke ruangan yang semalam menjadi tempat Wira dirawat. Arya dan Nayla kemudian mengekor mereka. Abi dan Ellea juga menyusul dan mereka semua masuk ke dalam untuk melihat keadaan Wira.
Wira yang baru saja diperiksa oleh dokter lantas melemparkan senyum ke arah teman temannya yang baru saja masuk ke dalam. Kini mereka tampak lega. Melihat kondisi Wira yag sudah membaik.
"Gimana kondisi dia, Dok?" tanya Gio.
"Sudah baik baik saja. Lukanya sudah dijahit. Untung tidak terlalu dalam. Dan pasien harus hati hati, jangan terlalu banyak bergerak," saran dokter.
"Saya boleh pulang hari ini, kan?" tanya Wira memaksa. Dokter itu diam, lalu mengangguk pasrah. Sejak ia diperiksa, Wira terus merengek minta dibolehkan pulang. Dan kini dokter tidak lagi bisa menahannya.
"Ra, kamu yakin? Kan mending di sini aja dulu," bujuk Nayla.
"Enggak, Nay. Kita harus melanjutkan perjalanan. Kita harus terus bergerak."
Dokter undur diri untuk memeriksa pasien lain dan juga mengajak perwakilan dari keluarga Wira untuk menyelesaikan administrasi.
"Ra, kenapa kamu bisa gini? Bukannya kamu bisa ...." Nayla tak melanjutkan pertanyaannya. Ia yakin kalau Wira paham maksudnya.
"Sebenarnya kekuatan ku ... Sudah hilang."
"Maksudnya hilang?"
"Galiyan merenggutnya!"
"Apa?! Terus sekarang kamu ...."
"Aku manusia biasa."
_____
Caravan Gio sudah melaju meninggalkan kota itu. Wira yang bersikeras tidak ingin berlama lama lagi di rumah sakit, kini terlihat baik baik saja. Walau terkadang ia kerap meringis saat luka di perutnya terasa sakit lagi. Atau jika efek obatnya habis. Jahitan yang kini ada di perut datarnya masih belum kering dan masih harus membutuhkan perawatan yang baik. Dan, Nayla adalah perawat yang sangat perhatian. Hingga terkadang membuat Arya cemburu melihat kedekatan mereka.
Mereka menginap di sebuah home stay, karena seluruh hotel di kota ini sedang penuh. Ini merupakan momen liburan dan mereka sedang ada di daerah pariwisata. Bukan kesengajaan karena mereka pun baru menyadarinya sekarang.
Home stay ini terletak di dekat sebuah danau. Tidak hanya satu home stay yang ada di tempat ini, tetapi ada hampir di tiap pinggir danau. Antara danau dan home stay hanya berjarak sekitar 20 meter saja. Beberapa penginapan itu terlihat ramai. Anak anak kecil banyak yang bermain di pinggir danau yang memang airnya dangkal. Danau tersebut memang cukup luas. Saat pagi hari akan terlihat embun yang hampir menutupi danau itu. Menjelang siang, apalagi jika cuaca cerah, maka langit akan terlihat biru dengan barisan awan putih yang terlihat indah menenangkan. Semua didukung oleh pemandangan di sekitar danau yang memang didominasi hutan pinus yang cukup rindang dan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Mereka yang bosan dengan suasana perkotaan, akan menjadikan tempat ini menjadi destinasi wisata yang wajib dikunjungi.
"Mau makan atau istirahat dulu, Ya?" tanya Nayla pada pria yang kini kembali menjadi manusia biasa seperti yang lain. Ia kini sedang duduk di sofa sambil meraba perutnya. "Nanti saja, Nay," sahutnya sambil melirik ke Arya yang kini memilih berjalan keluar rumah, yang disusul oleh Gio.
"Kalau gitu, perbannya diganti sekarang saja, yah?" tanya Nayla sambil mengeluarkan kotak P3K.
"Eum, nggak usah, Nay. Biar aku saja," tolak Wira. Merasa tidak nyaman dengan segala perhatian yang diberikan oleh perawat pribadinya. Yah, sejak Wira terbaring lemah di rumah sakit, Nayla begitu perhatian. Segala kebutuhan Wira ia penuhi. Dari makan, minum, obat dan tempat tidur yang nyaman untuk pria itu.
Ellea menatap Nayla dan Wira yang memang makin dekat sekarang. Ia juga melihat keluar pintu, di mana Arya sedang berjalan dirangkul oleh Gio menuju danau yang memang ada di depan home stay mereka. Antara danau dan penginapan hanya dipisahkan oleh jalan raya yang memang disediakan untuk akses lalu lintas di tempat tersebut. Abimanyu dan Ellea saling lempar pandang, keduanya yang merasakan keadaan tidak nyaman di kelompok mereka, lantas saling memberikan isyarat untuk bertindak, dengan membagi tugas untuk kedua belah pihak. Ellea mengangguk, seolah mengerti maksud Abimanyu. Wanita itu kini ikut berkerumun bersama Nayla dan Wira, yang sedang berdebat tentang penggantian perban yang dirasa belum perlu oleh Wira, namun sudah waktunya dilakukan menurut Nayla. "Coba aku lihat lukanya," ujar Ellea mengambil alih. Abimanyu segera bergegas mencari Gio dan Arya yang sudah berada di luar.
Sore ini keadaan danau cukup ramai pengunjung. Cuaca yang bersahabat membuat sebagian besar orang memilih menghabiskan waktu di pinggir danau. Anak anak bermain air di tepi danau, tentu didampingi orang tua mereka masing masing. Ada beberapa kursi kayu yang di cat warna warni memutar di sepanjang danau. Biasanya akan ada satu kursi kayu panjang untuk tiap rumah penginapan itu. Dan di sana lah kini Gio dan Arya menghabiskan sore mereka. Abimanyu ragu untuk mendekat, ia masih merasa asing dengan pemuda yang dulu adalah ayahnya itu. Terlebih karena ingatan Arya yang belum mengingatnya. Rasanya terasa asing dan membuat Abimanyu menjadi tidak nyaman. Tapi, ia tetap ingin terus berada di dekat Arya. Ia rindu, sangat. Ia ingin bisa memeluk ayah dan ibunya dengan erat. Karena sudah bertahun tahun dirinya tidak melakukan hal itu. Tetapi Abi sadar kalau hal itu tidak dapat dipaksakan.
Ranting kayu di bawah kaki Abi tidak sengaja terinjak olehnya. Ia yang awalnya hendak kembali ke penginapan, terhenti. Karena kini Gio justru memanggil namanya, agar mendekat. "Sini, Bi. Mau ke mana sih? Lama, kan, nggak lihat air. Nggak sakau, lu?" tanya Gio membuat dahi Arya berkerut, menatap kedua pria itu bergantian. Seolah meminta penjelasan atas candaan Gio barusan. Gio menoleh ke Arya yang duduk di sebelahnya, "Abimanyu ini suka banget air. Seperti pantai, danau, sungai. Dan sebenarnya itu menurun dari elu, Ya. Eh, elu sekarang masih suka air juga nggak sih? Penasaran gue. Apakah beda kehidupan, juga mempengaruhi hobi dan kesukaan kalian juga?"
Arya merasa tertarik dengan apa yang sedang mereka bahas. Beberapa bayangan masa lalu yang beberapa waktu ini terus melintas di ingatannya, membuat dirinya juga penasaran akan kehidupannya di masa lalu. "Memangnya dulu aku ini bagaimana?" tanya Arya agak ragu. Gio yang merasa ini sebuah peluang untuk mengembalikan ingatan Arya, sangat antusias menceritakan semua hal tentang pemuda itu dari pertama kali mereka bertemu, semua sifat dan karakter Arya di masa lalu. Abimanyu ikut duduk di samping Gio, menambahkan semua hal yang kurang dari penjelasan Gio tentang ayahnya itu.
regmekujo dan 5 lainnya memberi reputasi
6