- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#137
132 Galiyan
"Hidayat, kamu ingat kapan mereka muncul?" tanya Wira serius.
"Yah, saat tengah malam. Persis pukul 00.00. Mereka mulai berdatangan entah dari mana," jelas Hidayat. Wajahnya masih memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Ia terus memperhatikan sekitar. "Sebentar lagi malam, kita harus bertahan di dalam sini. Jangan sampai mereka tau kalau kita ada di sini!" cetus Hidayat.
"Memangnya kamu yakin, kalau mereka bakal datang lagi nanti malam?" Tanya Ellea.
"Sangat yakin! Kalian pikir selama ini aku di mana? Aku nggak bisa ke mana mana. Dan tiap malam, aku harus sembunyi. Jangan sampai mereka menemukan kita! Kecuali kalau kalian pengen mati, silakan!"
"Kita harus mengambil perbekalan untuk semalam. Dan semua barang yang dibutuhkan. Stok makanan kita tidak cukup sampai malam, " Kata Arya.
"Bener juga. Tapi lebih baik kita kubur dulu mayatnya," tunjuk Gio ke sosok tubuh yang masih teronggok di lantai.
"Ayok, Paman. Abi bantu."
"Oke, kita bagi tugas. Para wanita ambil makanan di caravan, bawa semua yang dibutuhkan, selimut atau apa pun. Gio sama Abi bisa kuburkan dia berdua aja?" tanya Wira.
"Aku ikut! Bagaimana pun juga, Endri saudaraku!" cetus Hidayat semangat.
"Oke, Hidayat ikut Abi dan Gio. Sementara aku dan Arya akan menyusuri tempat ini dan sekitar, mencari senjata atau apa pun yang bisa digunakan. Perasaanku nggak enak. Aku takut terjadi hal buruk nanti malam," jelas Wira.
Desa ini jika siang hari tampak damai dan tentram, tapi tidak jika malam hari. Akan ada makhluk mengerikan yang berkeliaran di desa ini. Bahkan bisa menculik dan membuat manusia yang berkeliaran di dalam desa mati mengenaskan. Sungguh mengerikan!
Abi, Gio dan Hidayat pergi ke tanah lapang yang agak jauh dari tempat mereka menemukan mayat Endri tadi. Mereka sudah membawa cangkul dan peralatan lain untuk menyelesaikan tugas itu. Sementara Hidayat hanya melihat acara penguburan Endri dengan tangis air mata.
Nayla dan Ellea berlarian pergi ke tempat caravan mereka parkir semalam. Ada di gerbang desa yang memang tidak begitu jauh dari tempat mereka istirahat tadi. Beberapa kali mereka menoleh ke samping kanan, kiri, bahkan belakang. Mereka makin waspada pada apa yang ada di sekitar mereka.
Pintu Caravan dibuka, Nayla segera masuk bersama Ellea. Mereka lantas segera mencari semua benda yang dibutuhkan. Setidaknya untuk semalam. Makanan, selimut, dan semua perbekalan yang dirasa penting untuk mereka nanti.
Semua makanan di masukan ke dalam tas. Aneka sarden, makanan kaleng, mie instant dan air mineral. Mereka terlihat bergegas dan terkesan terburu buru. Sampai pada akhirnya, Ellea melihat sesuatu datang mendekat. "Nayla! Itu!" tunjuknya ke hutan yang ada di samping desa, hutan yang berbatasan langsung dengan desa ini. Segerombol manusia keluar dari rimbunan pohon lebat di sana. Bentuknya mengerikan, sama seperti mayat Endri tadi.
"Kenapa mereka udah di sini aja! Katanya baru datang pas tengah malam!" cetus Nayla yang kini menunduk bersama Ellea. Bersembunyi dan berusaha agar tidak terlihat oleh mereka.
Ellea menatap jam di pergelangan tangannya. "Mungkin mereka datang saat malam, dan lihat, sekarang sudah mulai gelap, Nay," tunjuk Ellea ke jendela di samping mereka.
"Apa yang harus kita lakukan, Ell," gumam gadis itu, menatap makhluk di luar sana yang sedang masuk ke desa.
Kuburan untuk Endri sudah siap. Terakhir Abi meletakan sebuah batu besar sebagai nisan untuk mayat tersebut. Ia mengelap peluh di dahinya sambil mengibas topi yang tadi ia kenakan ke wajah. Agar bisa merasakan angin untuk membuat wajahnya lebih segar karena kerja keras yang ia lakukan barusan.
Gio menatap ke langit yang mulai gelap. Begitu juga dengan Hidayat. Ia mulai gugup dan tengak tengok sekitar. "Kita balik sekarang aja!" ajak Hidayat pada mereka berdua.
Abimanyu lantas menoleh ke ujung desa. Ia merasakan perasaan tidak nyaman di sana. Satu hal yang ada di pikirannya, kalau di sana dua wanita yang paling penting dalam hidupnya tengah dalam masalah. Ia lantas segera meninggalkan makam tersebut dan berjalan menyusul Ellea dan Nayla. Gio yang melihat sikap Abi lantas mengerutkan kening, ia meminum habis air mineral yang ia bawa tadi. Lalu membuangnya asal, menyusul Abimanyu yang sudah berjalan lebih dahulu membawa sekop. Gio meraih tongkat besi yang tadi juga ia bawa. "Heh! Bawa tuh cangkulnya!" suruh Gio ke Hidayat dengan menatap benda tersebut yang masih teronggok begitu saja di dekat makam. Hidayat menurut dan mengambil benda itu, lalu menyusul dua pria yang sudah berjalan lebih dahulu.
Mereka berjalan cepat, Gio yang tertinggal dari Abi lantas terus menjerit memanggil nama pemuda di depannya itu. Tiba tiba Abi berhenti berjalan, menjulurkan tangan kanannya ke samping, mengisyaratkan dua orang di belakangnya untuk berhenti dan tenang. Tanpa mengeluarkan suara sekecil apa pun. Gio lantas mendekat dengan langkah perlahan, lalu berbisik ke Abimanyu, "kenapa?"
"Ada suara langkah kaki orang," kata Abi terus memperhatikan ke depan.
"Langkah kaki kita mungkin?"
"Bukan, paman. Ini banyak. Bukan dua atau tiga orang aja."
"Banyak?"
"Gaes!" seru Hidayat, menunjuk ke arah samping kiri mereka. Samar namun pasti, ada pergerakan aneh di tempat itu. Beberapa manusia mulai mendekat, sejalan dengan langit yang makin menggelap.
Mereka melotot dengan tatapan ngeri, Hidayat mundur perlahan. "Mereka datang!" ucapnya dengan suara bergetar. Gio melirik ke Abi yang masih serius menatap segerombolan manusia dengan wujud mengerikan. Sama seperti jasad Endri tadi. Kulitnya hilang, hanya ada tulang yang terbungkus daging merah segar. Ada beberapa bagian tubuh mereka yang mulai membusuk. "Kayak nya kita harus kabur dari sini!" ujar Gio sambil menarik Abi untuk segera pergi.
"Sembunyi!" kata Abimanyu dengan langkah seribu bersama dua orang tadi.
Abimanyu, Gio, dan Hidayat, kini mulai berlari memasuki sebuah toko kelontong yang mirip seperti minimarket. Mereka terpaksa bersembunyi di sini karena jarak ke tempat makan yang mereka pakai beristirahat tadi cukup jauh.
Pintu ditutup dan dikunci. Mereka bersembunyi tak jauh dari pintu dan jendela. Bagaimana pun juga, mereka harus melihat apa dan ke mana para makhluk mengerikan itu pergi. Dan tentu yang paling Abi khawatirkan adalah kekasih dan ibundanya.
"Bagaimana Ellea dan Ibu, Paman! Apa mereka baik baik saja?!" bisik Abimanyu ke arah Gio yang bersembunyi di bawah jendela, dekatnya. Jendela di belakang mereka, setengahnya adalah kaca, sehingga keadaan di luar akan tampak jelas dari dalam. Begitu pula sebaliknya.
"Semoga mereka baik baik aja. Gue yakin kalau Ellea dan Nayla tau harus bagaimana." Gio berbisik sambil sesekali mengintip keluar jendela. Suara derap langkah banyak orang mulai mengusik pendengaran mereka. Hidayat makin menyembunyikan tubuhnya. Ia benar benar takut pada makhluk di luar sana. Bahkan ia yang paling terlihat ketakutan di antara mereka bertiga.
Makhluk itu mulai menyusuri tiap sudut bangunan dan semua tempat di desa ini. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Sampai pada akhirnya ada beberapa makhluk yang mendekati tempat persembunyian mereka, Hidayat yang paling dekat dengan jendela yang berseberangan dengan mereka yang ada di luar, lantas mulai mundur agar posisinya agak jauh dari mereka. Ia khawatir keberadaannya akan terlihat oleh mereka yang ada di luar.
Namun, karena tidak melihat ke belakang, Hidayat menabrak sesuatu hingga benda tersebut menimbulkan bunyi. Botol minuman soda yang berjejer di rak belakangnya, terjatuh hingga botol tersebut pecah dan hancur berantakan. Hidayat, Abi dan Gio melotot tajam ke botol yang sudah pecah tersebut. Wajah mereka pucat. Dan kini Hidayat menatap ke jendela di depannya yang memang terlihat jelas. Sekat dari kaca tersebutlah yang membuat keberadaannya terlihat oleh salah satu makhluk di luar.
Makhluk itu menyeringai dan menunjuk Hidayat yang sudah tertangkap basah. Hidayat menjerit kemudian lari makin ke dalam toserba. Ia panik dan berusaha membuka pintu belakang yang ternyata dikunci. Hidayat terus memukul mukul pintu, berusaha mendobraknya sekuat tenaga. Para makhluk di luar, kini berusaha masuk. Pintu toserba yang memang sudah di halangi oleh Abi dengan gagang pel, membuat mereka tak habis akal. Mereka mulai memecahkan kaca jendela hingga semuanya hancur berantakan. Abi dan Gio lantas beranjak dan keluar dari persembunyian nya. Mereka yang masih memegang benda yang dipakai untuk menguburkan Endri, lantas memakainya untuk mempertahankan diri.
Makhluk itu mulai masuk melewati jendela yang masih tajam dengan kaca yang belum pecah sempurna. Perut atau tubuh mereka robek karena kaca yang tajam tersebut. Darah. Mereka mengeluarkan darah segar dari daging yang membungkus tulang mereka.
Abi menoleh ke belakang, di mana Hidayat sedang berusaha membuka pintu belakang. Abi lantas kembali fokus pada musuh di depan. Dia dan Gio segera menyerang mereka dengan senjata di tangan mereka itu.
Tombak besi itu, menancap dalam hingga menembus tubuh menjijikan musuh di depannya. Abi mencabutnya cepat dan ia kembali menghunus jantung lain, hingga mereka segera tewas dengan cepat.
Gio bahkan berhasil menebas kepala salah satu dari mereka. Darah yang muncrat membuat bajunya belepotan darah segar tersebut. Menjijikan, sampai sampai wajah Gio terkena percikan darah itu.
Beberapa tubuh yang sudah tewas, tergeletak begitu saja di lantai. Makhluk di luar makin banyak dan mulai mengerubungi toserba itu. Gio dan Abi mulai kewalahan. Mereka lantas menyusul Hidayat yang masih berusaha membuka pintu belakang. Mereka merobohkan rak rak belanjaan agar mempersulit musuh musuh mereka. Keributan terdengar nyaring di toserba itu. Gio menendang pintu berkali kali, agar dapat terbuka. Hingga akhirnya ia merusak gagang pintu tersebut, dan membuat pintu dapat dibuka.
Mereka segera keluar dari pintu belakang. Berusaha mencari kawan kawan yang lain. Terutama melihat keadaan dua wanita itu. Ellea dan Nayla.
Di sisi lain, Wira dan Arya masuk ke sebuah rumah yang paling besar di desa itu. Mereka merasa tertarik dengan rumah itu, berharap mendapatkan senjata apa pun, karena di ruang tamu, ada beberapa hiasan dinding dengan kepala rusa dan hewan lainnya. Ada pula sebuah patung macan yang sudah diawetkan. Wira yang dapat melihat mengenali dengan jelas, yakin kalau patung itu memang asli seekor macan yang sudah diawetkan. Kemungkinan besar pemilik rumah ini seorang pemburu. Apalagi topografi desa ini di kelilingi hutan yang cukup luas. Pasti masih banyak binatang buas yang memang menjadi sasaran pemburu.
Masuk ke ruang keluarga, ada sebuah foto besar dengan ukuran satu meter, yang menampilkan sosok pria dengan memegang kepala beruang di tangan kanannya. Ia memegang senjata api di tangan kirinya juga.
Wira dan Arya sangat yakin, kalau di rumah ini pasti ada senjata api yang bisa mereka gunakan sekarang. Tentu semoga dilengkapi dengan peluru nya juga sebagai amunisinya.
"Kamu ke atas, aku periksa bawah!" kata Arya berbisik. Namun belum sempat mereka bergerak, suara riuh membuat perhatian mereka terpecah belah. Keduanya saling tatap dengan pikiran yang bermacam macam. Karena penasaran, Wira dan Arya kemudian mendekat ke jendela, dan melihat keadaan di luar. Berusaha mencari sumber suara yang mengusik mereka.
"Siapa yang teriak?" tanya Arya ke Wira, mereka masih bersembunyi di balik korden ruang tamu. Mencari pergerakan apa pun yang mencurigakan.
Mereka pun menyadari kalau langit memang sudah gelap. Membuat jarak pandang mereka juga terbatas. Tetapi, Wira melotot saat melihat ke arah timur mereka. Beberapa orang terlihat berlarian dengan wajah panik. Ah, tiga orang. Makin lama penglihatan mereka makin jelas, dan rupanya mereka mengenal tiga orang itu.
"Ngapain mereka pada lari?" gumam Wira lalu membuka pintu.
Ketiga orang tersebut terkejut saat melihat Wira yang baru saja keluar dari sebuah rumah besar di depan. Mereka berhenti lalu langsung menerobos masuk ke dalam dan juga menarik Wira ikut ke dalam.
"Ada apa sih?" tanya Wira heran, meminta penjelasan atas apa yang sudah di alami ketiga teman mereka itu. Abi, Gio, dan Hidayat berusaha mengatur nafasnya yang hampir habis. Mereka menatap dua pria yang masih menonton mereka bagai telah mengikuti lomba lari saja.
"Itu, mereka datang!" tunjuk Gio ke arah mereka datang tadi.
"Mereka? Mereka siapa?" tanya Arya bingung.
"Makhluk itu, Ya! Yang mirip teman dia ini," jelas Gio dengan menunjuk Hidayat yang terlihat sangat ketakutan, melebihi yang lain.
"Apa? Loh bukannya mereka bakal muncul saat tengah malam, yah?" tanya Arya tak habis pikir. Wira lantas kembali ke pintu dan menahannya dengan kursi. Korden ia tutup rapat hingga tidak ada celah untuk mengintip dari luar.
"Tunggu! Gimana sama Nayla dan Ellea?!" tanya Arya yang satu pemikiran dengan Abimanyu tadi.
"Kita juga belum tau keadaan mereka, karena tadi waktu kami mau coba ke sana, mereka malah muncul dan kami kewalahan. Jumlah mereka terlalu banyak, sementara kami nggak punya senjata cukup. Semua orang terdiam selama beberapa detik, berusaha memikirkan cara untuk menyelesaikan semua masalah ini. Terutama membawa kembali dua wanita yang kemungkinan ada di caravan depan desa.
"Biar aku yang jemput mereka, dan bawa mereka ke sini. Kalian cari senjata apa pun yang bisa dipakai untuk melawan mereka, kalau kalau mereka berhasil masuk ke sini. Sepertinya ini tempat teraman," jelas Wira yang kini sedang mengintip dari balik korden. Ia melihat keadaan di luar yang memang sangat riuh dengan makhluk mengerikan yang bahkan mereka belum tau nama dan jenisnya. Tidak ada yang tau apa atau siapa mereka. Manusia atau siluman atau makhluk aneh lainnya.
"Biar aku ikut!" kata Arya menawarkan diri. Tapi Wira langsung menggeleng dengan aksi penolakan keras. "Jangan, aku bisa menangani mereka. Kalian harus bertahan di sini, dan cari petunjuk apa pun untuk mencari kunci yang kita cari itu!" perintah Wira.
Arya, Abi dan Gio lantas mengangguk setuju. Bagaimana pun juga, mereka tentu tau siapa Wira sebenarnya, dan mereka yakin kalau Wira pasti bisa membawa Elea dan Nayla kembali pada mereka. Semoga saja mereka berdua baik baik saja di caravan. Hanya itu harapan Abi dan Arya, walau tidak mereka ungkapkan secara blak blakan. Hidayat berlari menaiki tangga yang memang ada di rumah ini. Rumah ini adalah paling besar dengan dua lantai. Sementara Wira pergi keluar, dengan sembunyi sembunyi, mereka yang tinggal di rumah langsung mencari petunjuk yang memungkinkan ada di rumah ini untuk mencari benda yang mereka cari. Rasanya mereka sudah muak dan ingin segera keluar dari desa ini. Meneruskan perjalanan selanjutnya dan ingin segera mengakhiri semua hal aneh ini.
Wira menggunakan kekuatannya. Untung desa ini tidak seperti desa Amethys, jadi dia bebas menggunakan kekuatannya untuk melawan para mayat hidup ini. Dalam sekejap Wira sudah ada di dalam caravan. Nayla dan Ellea langsung menjerit karena terkejut, namun segera kembali menutup mulut mereka dan mengecilkan nada suara mereka. "Astaga! Wira! Ngagetin saja!" omel Nayla sambil memukul lengan kekar Wira. Wira hanya tersenyum sambil memperhatikan keadaan di luar.
"Kalian nggak apa apa, kan?"
"Kami baik baik saja. Pasti mereka udah muncul di desa, kan?" tanya Nayla serius.
"Yah, makanya aku ke sini mau jemput kalian. Yang lain ada di tempat aman, eum, sementara waktu sih. Kita harus ke sana sekarang. Aku yakin kalau mayat hidup itu pasti bakal mencari kita, karena mereka udah ketemu sama Abi, Hidayat dan Gio," jelas Wira.
"Ra, aku udah nemu artikel tentang desa ini!" kata Nayla sambil menunjukkan smatphone miliknya.
"Apa katanya?" tanya Wira sambil menatap benda pipih yang ada di tangan Nayla.
"Kalau kata kamu apa tadi, Ell?" Nayla beralih menatap gadis di dekatnya itu.
"Mereka itu disebut Vivum Vunus."
"Vivum Vunus?" gumam Wira sambil mengingat sesuatu.
"Mendingan sekarang kita berkumpul dulu, baru aku sama Ellea jelasin," pinta Nayla. Wira lantas mengangguk, lalu memegang bau kedua wanita itu. Dalam hitungan detik mereka menghilang dan kini sudah sampai di rumah persembunyian Arya dan yang lainnya.
Rumah tersebut gelap, karena memang sengaja agar tidak terlihat oleh para mayat hidup di luar. Arya langsung memeluk Nayla erat. Menanyakan keadaan kekasihnya tersebut, Abi juga melakukan hal yang sama pada Ellea, tapi bedanya, Abi juga memperhatikan Nayla dari jauh. Memastikan juga kalau keadaan Nayla baik baik saja seperti Ellea.
Semua berkumpul di lantai dua. Setelah memastikan semua akses pintu masuk dan keluar di kunci rapat dengan pengamanan ganda.
"Jadi menurut artikel ini, makhluk di luar itu adalah warga desa ini. Mereka menghilang tiba tiba dalam satu malam. Tapi tiap malam, mereka kembali dalam keadaan seperti tadi. Mereka kembali ke desa dan melakukan aktivitas normal lainnya. Mereka memasak, bekerja dan semuanya," jelas Nayla.
"Tapi anehnya, setiap pagi datang, mereka hilang lagi. Makanan yang sudah mereka masak, juga nggak ada, semua hanya piring kotor penuh debu seperti desa yang kita lihat tadi, pas kita pertama datang ke sini," tambah Ellea.
"Lalu apa yang bikin mereka hilang? Dan kembali dengan keadaan seperti itu?" tanya Gio.
"Sihir!" cetus Wira.
"Sihir?"
"Yah, aku baru ingat kalau ada satu fallen angel yang memang selalu menyengsarakan manusia. Dia membuat wabah penyakit dan membuat sebuah kaum hilang hanya dalam semalam. Angel yang sekarang sudah menjadi demon itu, akan mendapat kekuatannya dari jiwa jiwa manusia yang diambilnya. Jadi mereka yang ada di luar sebenarnya memang manusia, bisa mati. Tapi sayangnya mereka tanpa jiwa. Makanya mereka nggak merasakan sakit dengan kondisi tubuh seperti itu!" jelas Wira lagi.
"Oke, jadi kita bisa bunuh mereka seperti menghadapi manusia pada umumnya, kan? tanya Arya semangat. Wira mengangguk.
"Pantas, tadi mereka mati. Awalnya aku takut kalau mereka bisa hidup lagi setelah dipenggal atau dilukai," tukas Abimanyu sambil mengingat kejadian yang belum lama ini ia lalui bersama Gio.
"Tapi di mana iblis itu?" tanya Arya.
"Rasanya kita harus membunuh mereka semua dulu, aku yakin dia pasti akan muncul nanti." Wira mengerutkan kening sambil memperhatikan ke arah pintu. "Kalian denger?" tanya Wira sambil menajamkan pendengarannya. Semua orang diam. "Tunggu! Mana Hidayat?!" pekik Gio yang merasa kehilangan satu anggota kelompoknya.
"Oh sial!" umpat Abimanyu lalu berlari ke arah pintu. Namun saat sampai di ujung tangga, ia malah mundur teratur. Wajahnya pucat lalu kembali masuk ke dalam ruangan tadi.
"Kenapa?" tanya Arya ikut panik.
"Sepertinya, Hidayat kabur dan buka semua pintu. Dan, mereka akhirnya masuk!" jelas Abimanyu. Ia lantas mengambil senjata yang sudah dipersiapkan sejak tadi. Hal ini membuat semua orang mengikuti apa yang dilakukan nya.
Gio yang berada di depan pintu, menatap mereka semua yang sudah mempersiapkan diri dalam peperangan ini. Senjata sudah berada di tangan masing masing. Tidak hanya para pria, Ellea dan Nayla juga akan ikut bertarung. Gio menggangguk, ia lalu membuka pintu itu lebar lebar.
Tembakan mulai meluncur dari pistol yang ada di tangan mereka. Sebuah anak panah, melesat menembus kepala salah satu mayat hidup itu. Panah itu berasal dari Nayla yang menemukan senjata itu dan langsung menyukainya.
Wira tidak memakai senjata apa pun. Ia hanya mendekat ke para mayat hidup itu, lalu menekan dada mereka. Sinar biru yang menyilaukan, membuat mereka mati dalam sekejap. Yah, begitulah malaikat bekerja. Luar biasa.
Sudah banyak mayat bergelimpangan. Dengan darah yang cukup banyak tercecer di lantai, tembok dan perabotan lainnya. Begitu cepat mereka memusnahkan Vivum Vunus.
Sampai pada akhirnya, bumi terasa bergetar. Mereka panik namun berpegangan pada apa pun di dekat mereka.
Sesuatu muncul. Sebuah asap hitam tebal masuk melalui jendela. Dan akhirnya berubah wujud menjadi seorang manusia. "Galiyan?!" gumam Wira yang mengenal sosok di depan mereka.
"Samael?"
"Yah, saat tengah malam. Persis pukul 00.00. Mereka mulai berdatangan entah dari mana," jelas Hidayat. Wajahnya masih memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Ia terus memperhatikan sekitar. "Sebentar lagi malam, kita harus bertahan di dalam sini. Jangan sampai mereka tau kalau kita ada di sini!" cetus Hidayat.
"Memangnya kamu yakin, kalau mereka bakal datang lagi nanti malam?" Tanya Ellea.
"Sangat yakin! Kalian pikir selama ini aku di mana? Aku nggak bisa ke mana mana. Dan tiap malam, aku harus sembunyi. Jangan sampai mereka menemukan kita! Kecuali kalau kalian pengen mati, silakan!"
"Kita harus mengambil perbekalan untuk semalam. Dan semua barang yang dibutuhkan. Stok makanan kita tidak cukup sampai malam, " Kata Arya.
"Bener juga. Tapi lebih baik kita kubur dulu mayatnya," tunjuk Gio ke sosok tubuh yang masih teronggok di lantai.
"Ayok, Paman. Abi bantu."
"Oke, kita bagi tugas. Para wanita ambil makanan di caravan, bawa semua yang dibutuhkan, selimut atau apa pun. Gio sama Abi bisa kuburkan dia berdua aja?" tanya Wira.
"Aku ikut! Bagaimana pun juga, Endri saudaraku!" cetus Hidayat semangat.
"Oke, Hidayat ikut Abi dan Gio. Sementara aku dan Arya akan menyusuri tempat ini dan sekitar, mencari senjata atau apa pun yang bisa digunakan. Perasaanku nggak enak. Aku takut terjadi hal buruk nanti malam," jelas Wira.
Desa ini jika siang hari tampak damai dan tentram, tapi tidak jika malam hari. Akan ada makhluk mengerikan yang berkeliaran di desa ini. Bahkan bisa menculik dan membuat manusia yang berkeliaran di dalam desa mati mengenaskan. Sungguh mengerikan!
Abi, Gio dan Hidayat pergi ke tanah lapang yang agak jauh dari tempat mereka menemukan mayat Endri tadi. Mereka sudah membawa cangkul dan peralatan lain untuk menyelesaikan tugas itu. Sementara Hidayat hanya melihat acara penguburan Endri dengan tangis air mata.
Nayla dan Ellea berlarian pergi ke tempat caravan mereka parkir semalam. Ada di gerbang desa yang memang tidak begitu jauh dari tempat mereka istirahat tadi. Beberapa kali mereka menoleh ke samping kanan, kiri, bahkan belakang. Mereka makin waspada pada apa yang ada di sekitar mereka.
Pintu Caravan dibuka, Nayla segera masuk bersama Ellea. Mereka lantas segera mencari semua benda yang dibutuhkan. Setidaknya untuk semalam. Makanan, selimut, dan semua perbekalan yang dirasa penting untuk mereka nanti.
Semua makanan di masukan ke dalam tas. Aneka sarden, makanan kaleng, mie instant dan air mineral. Mereka terlihat bergegas dan terkesan terburu buru. Sampai pada akhirnya, Ellea melihat sesuatu datang mendekat. "Nayla! Itu!" tunjuknya ke hutan yang ada di samping desa, hutan yang berbatasan langsung dengan desa ini. Segerombol manusia keluar dari rimbunan pohon lebat di sana. Bentuknya mengerikan, sama seperti mayat Endri tadi.
"Kenapa mereka udah di sini aja! Katanya baru datang pas tengah malam!" cetus Nayla yang kini menunduk bersama Ellea. Bersembunyi dan berusaha agar tidak terlihat oleh mereka.
Ellea menatap jam di pergelangan tangannya. "Mungkin mereka datang saat malam, dan lihat, sekarang sudah mulai gelap, Nay," tunjuk Ellea ke jendela di samping mereka.
"Apa yang harus kita lakukan, Ell," gumam gadis itu, menatap makhluk di luar sana yang sedang masuk ke desa.
Kuburan untuk Endri sudah siap. Terakhir Abi meletakan sebuah batu besar sebagai nisan untuk mayat tersebut. Ia mengelap peluh di dahinya sambil mengibas topi yang tadi ia kenakan ke wajah. Agar bisa merasakan angin untuk membuat wajahnya lebih segar karena kerja keras yang ia lakukan barusan.
Gio menatap ke langit yang mulai gelap. Begitu juga dengan Hidayat. Ia mulai gugup dan tengak tengok sekitar. "Kita balik sekarang aja!" ajak Hidayat pada mereka berdua.
Abimanyu lantas menoleh ke ujung desa. Ia merasakan perasaan tidak nyaman di sana. Satu hal yang ada di pikirannya, kalau di sana dua wanita yang paling penting dalam hidupnya tengah dalam masalah. Ia lantas segera meninggalkan makam tersebut dan berjalan menyusul Ellea dan Nayla. Gio yang melihat sikap Abi lantas mengerutkan kening, ia meminum habis air mineral yang ia bawa tadi. Lalu membuangnya asal, menyusul Abimanyu yang sudah berjalan lebih dahulu membawa sekop. Gio meraih tongkat besi yang tadi juga ia bawa. "Heh! Bawa tuh cangkulnya!" suruh Gio ke Hidayat dengan menatap benda tersebut yang masih teronggok begitu saja di dekat makam. Hidayat menurut dan mengambil benda itu, lalu menyusul dua pria yang sudah berjalan lebih dahulu.
Mereka berjalan cepat, Gio yang tertinggal dari Abi lantas terus menjerit memanggil nama pemuda di depannya itu. Tiba tiba Abi berhenti berjalan, menjulurkan tangan kanannya ke samping, mengisyaratkan dua orang di belakangnya untuk berhenti dan tenang. Tanpa mengeluarkan suara sekecil apa pun. Gio lantas mendekat dengan langkah perlahan, lalu berbisik ke Abimanyu, "kenapa?"
"Ada suara langkah kaki orang," kata Abi terus memperhatikan ke depan.
"Langkah kaki kita mungkin?"
"Bukan, paman. Ini banyak. Bukan dua atau tiga orang aja."
"Banyak?"
"Gaes!" seru Hidayat, menunjuk ke arah samping kiri mereka. Samar namun pasti, ada pergerakan aneh di tempat itu. Beberapa manusia mulai mendekat, sejalan dengan langit yang makin menggelap.
Mereka melotot dengan tatapan ngeri, Hidayat mundur perlahan. "Mereka datang!" ucapnya dengan suara bergetar. Gio melirik ke Abi yang masih serius menatap segerombolan manusia dengan wujud mengerikan. Sama seperti jasad Endri tadi. Kulitnya hilang, hanya ada tulang yang terbungkus daging merah segar. Ada beberapa bagian tubuh mereka yang mulai membusuk. "Kayak nya kita harus kabur dari sini!" ujar Gio sambil menarik Abi untuk segera pergi.
"Sembunyi!" kata Abimanyu dengan langkah seribu bersama dua orang tadi.
Abimanyu, Gio, dan Hidayat, kini mulai berlari memasuki sebuah toko kelontong yang mirip seperti minimarket. Mereka terpaksa bersembunyi di sini karena jarak ke tempat makan yang mereka pakai beristirahat tadi cukup jauh.
Pintu ditutup dan dikunci. Mereka bersembunyi tak jauh dari pintu dan jendela. Bagaimana pun juga, mereka harus melihat apa dan ke mana para makhluk mengerikan itu pergi. Dan tentu yang paling Abi khawatirkan adalah kekasih dan ibundanya.
"Bagaimana Ellea dan Ibu, Paman! Apa mereka baik baik saja?!" bisik Abimanyu ke arah Gio yang bersembunyi di bawah jendela, dekatnya. Jendela di belakang mereka, setengahnya adalah kaca, sehingga keadaan di luar akan tampak jelas dari dalam. Begitu pula sebaliknya.
"Semoga mereka baik baik aja. Gue yakin kalau Ellea dan Nayla tau harus bagaimana." Gio berbisik sambil sesekali mengintip keluar jendela. Suara derap langkah banyak orang mulai mengusik pendengaran mereka. Hidayat makin menyembunyikan tubuhnya. Ia benar benar takut pada makhluk di luar sana. Bahkan ia yang paling terlihat ketakutan di antara mereka bertiga.
Makhluk itu mulai menyusuri tiap sudut bangunan dan semua tempat di desa ini. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Sampai pada akhirnya ada beberapa makhluk yang mendekati tempat persembunyian mereka, Hidayat yang paling dekat dengan jendela yang berseberangan dengan mereka yang ada di luar, lantas mulai mundur agar posisinya agak jauh dari mereka. Ia khawatir keberadaannya akan terlihat oleh mereka yang ada di luar.
Namun, karena tidak melihat ke belakang, Hidayat menabrak sesuatu hingga benda tersebut menimbulkan bunyi. Botol minuman soda yang berjejer di rak belakangnya, terjatuh hingga botol tersebut pecah dan hancur berantakan. Hidayat, Abi dan Gio melotot tajam ke botol yang sudah pecah tersebut. Wajah mereka pucat. Dan kini Hidayat menatap ke jendela di depannya yang memang terlihat jelas. Sekat dari kaca tersebutlah yang membuat keberadaannya terlihat oleh salah satu makhluk di luar.
Makhluk itu menyeringai dan menunjuk Hidayat yang sudah tertangkap basah. Hidayat menjerit kemudian lari makin ke dalam toserba. Ia panik dan berusaha membuka pintu belakang yang ternyata dikunci. Hidayat terus memukul mukul pintu, berusaha mendobraknya sekuat tenaga. Para makhluk di luar, kini berusaha masuk. Pintu toserba yang memang sudah di halangi oleh Abi dengan gagang pel, membuat mereka tak habis akal. Mereka mulai memecahkan kaca jendela hingga semuanya hancur berantakan. Abi dan Gio lantas beranjak dan keluar dari persembunyian nya. Mereka yang masih memegang benda yang dipakai untuk menguburkan Endri, lantas memakainya untuk mempertahankan diri.
Makhluk itu mulai masuk melewati jendela yang masih tajam dengan kaca yang belum pecah sempurna. Perut atau tubuh mereka robek karena kaca yang tajam tersebut. Darah. Mereka mengeluarkan darah segar dari daging yang membungkus tulang mereka.
Abi menoleh ke belakang, di mana Hidayat sedang berusaha membuka pintu belakang. Abi lantas kembali fokus pada musuh di depan. Dia dan Gio segera menyerang mereka dengan senjata di tangan mereka itu.
Tombak besi itu, menancap dalam hingga menembus tubuh menjijikan musuh di depannya. Abi mencabutnya cepat dan ia kembali menghunus jantung lain, hingga mereka segera tewas dengan cepat.
Gio bahkan berhasil menebas kepala salah satu dari mereka. Darah yang muncrat membuat bajunya belepotan darah segar tersebut. Menjijikan, sampai sampai wajah Gio terkena percikan darah itu.
Beberapa tubuh yang sudah tewas, tergeletak begitu saja di lantai. Makhluk di luar makin banyak dan mulai mengerubungi toserba itu. Gio dan Abi mulai kewalahan. Mereka lantas menyusul Hidayat yang masih berusaha membuka pintu belakang. Mereka merobohkan rak rak belanjaan agar mempersulit musuh musuh mereka. Keributan terdengar nyaring di toserba itu. Gio menendang pintu berkali kali, agar dapat terbuka. Hingga akhirnya ia merusak gagang pintu tersebut, dan membuat pintu dapat dibuka.
Mereka segera keluar dari pintu belakang. Berusaha mencari kawan kawan yang lain. Terutama melihat keadaan dua wanita itu. Ellea dan Nayla.
Di sisi lain, Wira dan Arya masuk ke sebuah rumah yang paling besar di desa itu. Mereka merasa tertarik dengan rumah itu, berharap mendapatkan senjata apa pun, karena di ruang tamu, ada beberapa hiasan dinding dengan kepala rusa dan hewan lainnya. Ada pula sebuah patung macan yang sudah diawetkan. Wira yang dapat melihat mengenali dengan jelas, yakin kalau patung itu memang asli seekor macan yang sudah diawetkan. Kemungkinan besar pemilik rumah ini seorang pemburu. Apalagi topografi desa ini di kelilingi hutan yang cukup luas. Pasti masih banyak binatang buas yang memang menjadi sasaran pemburu.
Masuk ke ruang keluarga, ada sebuah foto besar dengan ukuran satu meter, yang menampilkan sosok pria dengan memegang kepala beruang di tangan kanannya. Ia memegang senjata api di tangan kirinya juga.
Wira dan Arya sangat yakin, kalau di rumah ini pasti ada senjata api yang bisa mereka gunakan sekarang. Tentu semoga dilengkapi dengan peluru nya juga sebagai amunisinya.
"Kamu ke atas, aku periksa bawah!" kata Arya berbisik. Namun belum sempat mereka bergerak, suara riuh membuat perhatian mereka terpecah belah. Keduanya saling tatap dengan pikiran yang bermacam macam. Karena penasaran, Wira dan Arya kemudian mendekat ke jendela, dan melihat keadaan di luar. Berusaha mencari sumber suara yang mengusik mereka.
"Siapa yang teriak?" tanya Arya ke Wira, mereka masih bersembunyi di balik korden ruang tamu. Mencari pergerakan apa pun yang mencurigakan.
Mereka pun menyadari kalau langit memang sudah gelap. Membuat jarak pandang mereka juga terbatas. Tetapi, Wira melotot saat melihat ke arah timur mereka. Beberapa orang terlihat berlarian dengan wajah panik. Ah, tiga orang. Makin lama penglihatan mereka makin jelas, dan rupanya mereka mengenal tiga orang itu.
"Ngapain mereka pada lari?" gumam Wira lalu membuka pintu.
Ketiga orang tersebut terkejut saat melihat Wira yang baru saja keluar dari sebuah rumah besar di depan. Mereka berhenti lalu langsung menerobos masuk ke dalam dan juga menarik Wira ikut ke dalam.
"Ada apa sih?" tanya Wira heran, meminta penjelasan atas apa yang sudah di alami ketiga teman mereka itu. Abi, Gio, dan Hidayat berusaha mengatur nafasnya yang hampir habis. Mereka menatap dua pria yang masih menonton mereka bagai telah mengikuti lomba lari saja.
"Itu, mereka datang!" tunjuk Gio ke arah mereka datang tadi.
"Mereka? Mereka siapa?" tanya Arya bingung.
"Makhluk itu, Ya! Yang mirip teman dia ini," jelas Gio dengan menunjuk Hidayat yang terlihat sangat ketakutan, melebihi yang lain.
"Apa? Loh bukannya mereka bakal muncul saat tengah malam, yah?" tanya Arya tak habis pikir. Wira lantas kembali ke pintu dan menahannya dengan kursi. Korden ia tutup rapat hingga tidak ada celah untuk mengintip dari luar.
"Tunggu! Gimana sama Nayla dan Ellea?!" tanya Arya yang satu pemikiran dengan Abimanyu tadi.
"Kita juga belum tau keadaan mereka, karena tadi waktu kami mau coba ke sana, mereka malah muncul dan kami kewalahan. Jumlah mereka terlalu banyak, sementara kami nggak punya senjata cukup. Semua orang terdiam selama beberapa detik, berusaha memikirkan cara untuk menyelesaikan semua masalah ini. Terutama membawa kembali dua wanita yang kemungkinan ada di caravan depan desa.
"Biar aku yang jemput mereka, dan bawa mereka ke sini. Kalian cari senjata apa pun yang bisa dipakai untuk melawan mereka, kalau kalau mereka berhasil masuk ke sini. Sepertinya ini tempat teraman," jelas Wira yang kini sedang mengintip dari balik korden. Ia melihat keadaan di luar yang memang sangat riuh dengan makhluk mengerikan yang bahkan mereka belum tau nama dan jenisnya. Tidak ada yang tau apa atau siapa mereka. Manusia atau siluman atau makhluk aneh lainnya.
"Biar aku ikut!" kata Arya menawarkan diri. Tapi Wira langsung menggeleng dengan aksi penolakan keras. "Jangan, aku bisa menangani mereka. Kalian harus bertahan di sini, dan cari petunjuk apa pun untuk mencari kunci yang kita cari itu!" perintah Wira.
Arya, Abi dan Gio lantas mengangguk setuju. Bagaimana pun juga, mereka tentu tau siapa Wira sebenarnya, dan mereka yakin kalau Wira pasti bisa membawa Elea dan Nayla kembali pada mereka. Semoga saja mereka berdua baik baik saja di caravan. Hanya itu harapan Abi dan Arya, walau tidak mereka ungkapkan secara blak blakan. Hidayat berlari menaiki tangga yang memang ada di rumah ini. Rumah ini adalah paling besar dengan dua lantai. Sementara Wira pergi keluar, dengan sembunyi sembunyi, mereka yang tinggal di rumah langsung mencari petunjuk yang memungkinkan ada di rumah ini untuk mencari benda yang mereka cari. Rasanya mereka sudah muak dan ingin segera keluar dari desa ini. Meneruskan perjalanan selanjutnya dan ingin segera mengakhiri semua hal aneh ini.
Wira menggunakan kekuatannya. Untung desa ini tidak seperti desa Amethys, jadi dia bebas menggunakan kekuatannya untuk melawan para mayat hidup ini. Dalam sekejap Wira sudah ada di dalam caravan. Nayla dan Ellea langsung menjerit karena terkejut, namun segera kembali menutup mulut mereka dan mengecilkan nada suara mereka. "Astaga! Wira! Ngagetin saja!" omel Nayla sambil memukul lengan kekar Wira. Wira hanya tersenyum sambil memperhatikan keadaan di luar.
"Kalian nggak apa apa, kan?"
"Kami baik baik saja. Pasti mereka udah muncul di desa, kan?" tanya Nayla serius.
"Yah, makanya aku ke sini mau jemput kalian. Yang lain ada di tempat aman, eum, sementara waktu sih. Kita harus ke sana sekarang. Aku yakin kalau mayat hidup itu pasti bakal mencari kita, karena mereka udah ketemu sama Abi, Hidayat dan Gio," jelas Wira.
"Ra, aku udah nemu artikel tentang desa ini!" kata Nayla sambil menunjukkan smatphone miliknya.
"Apa katanya?" tanya Wira sambil menatap benda pipih yang ada di tangan Nayla.
"Kalau kata kamu apa tadi, Ell?" Nayla beralih menatap gadis di dekatnya itu.
"Mereka itu disebut Vivum Vunus."
"Vivum Vunus?" gumam Wira sambil mengingat sesuatu.
"Mendingan sekarang kita berkumpul dulu, baru aku sama Ellea jelasin," pinta Nayla. Wira lantas mengangguk, lalu memegang bau kedua wanita itu. Dalam hitungan detik mereka menghilang dan kini sudah sampai di rumah persembunyian Arya dan yang lainnya.
Rumah tersebut gelap, karena memang sengaja agar tidak terlihat oleh para mayat hidup di luar. Arya langsung memeluk Nayla erat. Menanyakan keadaan kekasihnya tersebut, Abi juga melakukan hal yang sama pada Ellea, tapi bedanya, Abi juga memperhatikan Nayla dari jauh. Memastikan juga kalau keadaan Nayla baik baik saja seperti Ellea.
Semua berkumpul di lantai dua. Setelah memastikan semua akses pintu masuk dan keluar di kunci rapat dengan pengamanan ganda.
"Jadi menurut artikel ini, makhluk di luar itu adalah warga desa ini. Mereka menghilang tiba tiba dalam satu malam. Tapi tiap malam, mereka kembali dalam keadaan seperti tadi. Mereka kembali ke desa dan melakukan aktivitas normal lainnya. Mereka memasak, bekerja dan semuanya," jelas Nayla.
"Tapi anehnya, setiap pagi datang, mereka hilang lagi. Makanan yang sudah mereka masak, juga nggak ada, semua hanya piring kotor penuh debu seperti desa yang kita lihat tadi, pas kita pertama datang ke sini," tambah Ellea.
"Lalu apa yang bikin mereka hilang? Dan kembali dengan keadaan seperti itu?" tanya Gio.
"Sihir!" cetus Wira.
"Sihir?"
"Yah, aku baru ingat kalau ada satu fallen angel yang memang selalu menyengsarakan manusia. Dia membuat wabah penyakit dan membuat sebuah kaum hilang hanya dalam semalam. Angel yang sekarang sudah menjadi demon itu, akan mendapat kekuatannya dari jiwa jiwa manusia yang diambilnya. Jadi mereka yang ada di luar sebenarnya memang manusia, bisa mati. Tapi sayangnya mereka tanpa jiwa. Makanya mereka nggak merasakan sakit dengan kondisi tubuh seperti itu!" jelas Wira lagi.
"Oke, jadi kita bisa bunuh mereka seperti menghadapi manusia pada umumnya, kan? tanya Arya semangat. Wira mengangguk.
"Pantas, tadi mereka mati. Awalnya aku takut kalau mereka bisa hidup lagi setelah dipenggal atau dilukai," tukas Abimanyu sambil mengingat kejadian yang belum lama ini ia lalui bersama Gio.
"Tapi di mana iblis itu?" tanya Arya.
"Rasanya kita harus membunuh mereka semua dulu, aku yakin dia pasti akan muncul nanti." Wira mengerutkan kening sambil memperhatikan ke arah pintu. "Kalian denger?" tanya Wira sambil menajamkan pendengarannya. Semua orang diam. "Tunggu! Mana Hidayat?!" pekik Gio yang merasa kehilangan satu anggota kelompoknya.
"Oh sial!" umpat Abimanyu lalu berlari ke arah pintu. Namun saat sampai di ujung tangga, ia malah mundur teratur. Wajahnya pucat lalu kembali masuk ke dalam ruangan tadi.
"Kenapa?" tanya Arya ikut panik.
"Sepertinya, Hidayat kabur dan buka semua pintu. Dan, mereka akhirnya masuk!" jelas Abimanyu. Ia lantas mengambil senjata yang sudah dipersiapkan sejak tadi. Hal ini membuat semua orang mengikuti apa yang dilakukan nya.
Gio yang berada di depan pintu, menatap mereka semua yang sudah mempersiapkan diri dalam peperangan ini. Senjata sudah berada di tangan masing masing. Tidak hanya para pria, Ellea dan Nayla juga akan ikut bertarung. Gio menggangguk, ia lalu membuka pintu itu lebar lebar.
Tembakan mulai meluncur dari pistol yang ada di tangan mereka. Sebuah anak panah, melesat menembus kepala salah satu mayat hidup itu. Panah itu berasal dari Nayla yang menemukan senjata itu dan langsung menyukainya.
Wira tidak memakai senjata apa pun. Ia hanya mendekat ke para mayat hidup itu, lalu menekan dada mereka. Sinar biru yang menyilaukan, membuat mereka mati dalam sekejap. Yah, begitulah malaikat bekerja. Luar biasa.
Sudah banyak mayat bergelimpangan. Dengan darah yang cukup banyak tercecer di lantai, tembok dan perabotan lainnya. Begitu cepat mereka memusnahkan Vivum Vunus.
Sampai pada akhirnya, bumi terasa bergetar. Mereka panik namun berpegangan pada apa pun di dekat mereka.
Sesuatu muncul. Sebuah asap hitam tebal masuk melalui jendela. Dan akhirnya berubah wujud menjadi seorang manusia. "Galiyan?!" gumam Wira yang mengenal sosok di depan mereka.
"Samael?"
regmekujo dan 6 lainnya memberi reputasi
7