- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#136
131. Desa Angikuni
Mobil mengerem mendadak, dan membuat penumpang di belakang yang sedang tidur nyenyak terbangun.
"Bi, gimana sih nyetirnya!" omel Gio sambil menguap dengan rambut acak acakan.
"Kita di mana?" tanya Nayla dengan suara serak khas bangun tidur. Ia juga melihat ke sekitar dengan kondisi gelap dan hanya ditumbuhi pepohonan lebat. "Ini jam berapa sih?" tanya Ellea sambil melihat ponsel yang ia letakkan di bawah bantalnya. "Astaga jam 3 pagi?!"
"Hei, kamu cuma muter muter aja, ya?" tanya Arya yang sejak awal tidur dengan posisi duduk di dekat jendela. "Perasaan pohon ini udah kita lewatin tadi," tunjuknya ke sepasang pohon di samping mobil yang bentuknya aneh.
Abi baru sadar kalau sejak tadi mereka hanya berputar putar dan kembali lagi ke jalan di awal mereka melihat 4 sosok hantu tersebut. Kini semua orang sudah bangun. Abi dan Wira saling pandang.
"Heh! Kalian berdua kenapa sih?" tanya Gio yang sekarang duduk di antara Wira dan Abimanyu. Kedua pria itu diam dengan wajah kebingungan. Arya yang melihat hal itu lantas menyapu pandang ke sekitar.
"Siapa mereka?" tanyanya menunjuk keempat sosok di luar sana dengan dagunya.
Wira dan Abi lantas saling pandang dengan dahi berkerut. "Kamu lihat juga, Ya?" tanya Wira.
"Lihat apa sih?" Gio malah makin dibuat bingung oleh mereka. Arya melirik ke pria di sampingnya yang kini duduk di lantai caravan yang sudah dilapisi karpet tebal. "Oh, jadi mereka setan?" tanya Arya tanpa beban.
"Apa? Setan?" pekik Gio sambil mencari sosok yang sedang menjadi bahan pembicaraan tiga pria di samping dan depannya.
"Setan? Setan seperti apa sih?" tanya Nayla dengan sedikit berteriak karena posisinya yang berada agak jauh dari mereka yang ada di depan.
"Kita harus gimana, Om?" tanya Abi ke Wira.
"Biar aku yang turun!" tukas Arya yakin. Semua orang terkejut dengan reaksi Arya yang santai dan tiba tiba itu.
"Eh, jangan gila, Ya! Itu hantu!" cegah Gio sambil menahan Arya yang sudah berdiri.
"Justru karena mereka hantu, mereka nggak akan menyakiti kita secara fisik, tapi mental. Dan, harus dilawan!"
Dengan santai nya dia berjalan menuju ke empat sosok yang sejak tadi mengganggu perjalanan mereka. Suasana di sekitar terasa dingin. Hawa sejuk dan dingin ini makin terasa ke tulang, hingga Arya mengharuskan merapatkan jaket yang ia pakai. Ia memperhatikan sekitar dan akhirnya kini berdiri di samping salah satu sosok itu.
Arya berdeham, memperhatikan sosok di depannya yang diam dengan ranting kayu di punggungnya.
"Permisi, maaf mengganggu. Boleh, kah, saya bertanya, Pak?" sapa nya dengan tenang tanpa terlihat ketakutan dalam dirinya.
"Desa Angikuni di mana, ya?" tanya Arya terus terang tanpa memperdulikan sosok itu yang tak menyahut sapaannya tadi.
Tiba tiba keempat sosok itu menoleh padanya. Tatapannya tajam dan dingin. Kemudian keempatnya menjerit kencang dan keras. Bahkan sampai sampai Arya merasakan angin yang berembus kuat mengenai wajahnya. Baunya busuk dan menyengat tajam. Arya hanya mundur selangkah tanpa memalingkan wajahnya dari empat sosok tersebut.
"Di mana desa itu?" kembali pertanyaan itu dilontarkan Arya tanpa sedikit pun merasa gentar.
Dan tiba tiba saja mereka menunjuk ke arah jalanan di depan. Arya mengikuti arah yang mereka tunjuk, lalu mundur dan mulai meninggalkan tempat itu. Ia kembali masuk ke dalam caravan dan meminta Abimanyu segera pergi dari tempat tersebut.
Caravan sudah berjalan menjauh dari sosok sosok tadi. Mereka berharap kalau tidak akan ada lagi pertemuan dengan mereka yang membuat Arya dan yang lain berputar putar saja di tempat itu.
Sampai akhirnya mereka melihat sebidang tanah yang luas dengan gapura yang berada di tengah jalan. "Selamat datang di Desa Angikuni."
Mereka saling tatap dengan rona bahagia. Semua terlihat lega karena akhirnya menemukan tempat ini.
"Sampai juga!"
Desa ini terletak jauh dari kota, berjarak sekitar 3000 mill dari desa sebelumnya. Untuk sampai ke tempat ini harus melewati beberapa kilometer hutan dan lahan persawahan yang sudah kering dan tandus. Butuh banyak perjuangan agar sampai ke desa ini. Jalanan nya yang tidak beraspal membuat akses ke tempat ini cukup sulit.
Mereka sampai saat fajar mulai muncul dari ufuk timur. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Disertai dengan kejadian aneh yang mereka alami semalam, membuat mereka tidak gentar. Dan kini mereka sudah memasuki kawasan Desa Angikuni tersebut.
Caravan berhenti di dekat gerbang desa. Papan nama besar ada di atas gapura desa ini. Bertuliskan nama Desa Angikuni dengan huruf kapital besar dan sangat jelas. "Selamat datang di desa tak berpenghuni," celetuk Gio saat sudah turun dari caravan. Satu persatu dari mereka mulai turun dan menikmati udara pagi di Desa Angikuni.
Sunyi dan tidak ada satu pun makhluk hidup di sana. Jangankan manusia, bahkan hewan peliharaan pun tidak ada di tempat itu. "Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Ke mana semua orang?" tanya Abimanyu, menyapu pandang ke sekitar. Rumah dan beberapa toko kelontong masih kokoh berdiri. Sangat mirip seperti desa berpenghuni lainnya.
Mereka memutuskan berpencar, menelusuri satu persatu bangunan di sana. Mencari kehidupan atau kemungkinan adanya manusia di tempat itu. Di kanan dan kiri jalanan, berdiri bangunan yang masih kokoh walau cat nya sudah memudar. Semua penduduk di desa ini mendadak hilang sejak 30 tahun lalu. Letak desa yang termasuk jauh dari desa lain mengharuskan seorang bidan desa untuk sering memantau tempat ini, guna memeriksa kesehatan balita dan para ibu hamil. Bidan desa memang akan datang tiap satu bulan satu kali. Dan itu sudah rutin di lakukan sejak beberapa tahun lalu.
Tetapi saat bulan berikutnya seorang bidan desa akan melakukan kunjungannya bersama asisten, mereka terkejut, karena tidak menemukan satu pun warga desa. Anehnya mereka seperti hilang dalam semalam, karena saat bidan itu datang, ia masih melihat lampu di tiap rumah menyala. Tak hanya itu, televisi dan alat elektronik lainnya juga masih berfungsi. Seolah para warga meninggalkan tempat itu dengan tergesa gesa. Radio, lampu jalan, bahkan tungku untuk memasak masih menyala dengan penanak nasi yang sudah hangus karena ditinggalkan cukup lama.
Bidan desa itu melaporkan ke polisi dan perangkat desa lain. Setelah mendapat laporan itu beberapa polisi dan perangkat desa mengunjungi desa Angikuni, dan mereka pun sama sama terkejut karena melihat keadaan desa itu yang sepi tanpa satu pun warga dan ternak mereka. Namun, masih ada terlihat bekas aktivitas sebelum mereka pergi. Mereka seperti hilang begitu saja.
Satu persatu masuk ke dalam rumah. Namun untuk para wanita akan tetap di dampingi, karena mereka tetap harus waspada. Ini kali pertama mereka datang ke tempat ini. Semua rumah yang mereka datangi masih dalam keadaan utuh. Perabotannya, bahkan sampai makanan yang ada di meja makan. Seolah mereka memang hendak makan dengan beberapa lauk yang sudah tersedia. Namun kini makanan itu sudah basi dan banyak terdapat belatung yang bercampur dengan debu. Meja makan sudah dilapisi debu tebal, wajar saja, karena rumah ini sudah ditinggalkan selama puluhan tahun lamanya.
"Nay, jangan jauh jauh dari aku," cegah Arya saat Nayla hendak masuk ke sebuah rumah yang belum diperiksa. Nayla mengangguk lalu kembali mengekor pada Arya yang berjalan di depannya.
Kini hari sudah mulai beranjak siang, mereka yang lelah kini mulai muak dengan pencarian tanpa hasil. Tidak ada petunjuk apa pun dan benda yang mereka cari pun tidak tau ada di mana. Mereka kembali berkumpul di luar. "Ada petunjuk?" tanya Abimanyu menatap mereka satu persatu. Mereka semua menggeleng sambil mendengus sebal. Lelah dan lapar kini mulai menggerogoti mereka perlahan. Ellea yang ada di dekat Abimanyu mulai mengelus perutnya. Hal itu membuat perhatian Abi terpecah dan sadar kalau kekasihnya dan semua orang di sini belum makan apa pun juga sejak tiba di desa Angikuni ini. "Sayang, laper, ya?" tanya Abimanyu sambil merapikan anak rambut Ellea yang berantakan karena angin dan kotor karena kejatuhan debu. Ellea berpegangan pada pinggang Abi lalu mendongak sambil menampilkan senyum tipis. Ia memang lelah sekaligus lapar, dan ia juga tau kalau pria di depannya juga pasti merasakan hal yang sama. Abi mengelus pipi gadisnya dengan tatapan penuh cinta.
Nayla berdeham sambil melirik pemuda di sampingnya yang sejak tadi mencuri pandang dari pemandangan romantis di depan mereka. Sadar sedang di perhatikan oleh Nayla, Arya lantas menoleh dengan tatapan sinis. "Apa?!"
Nayla lantas mendekat ke Arya sambil berbisik, "Lihat, anak kita romantis, ya. Aku jadi penasaran, apakah Arya di kehidupan dulu romantis seperti anaknya atau tetap sedingin ini, ya," gumam Nayla bermaksud menyindir Arya. Arya mendengus sebal, lalu merangkul gadis di sampingnya dan menariknya ke dalam pelukan. Nayla tersenyum dan membalas pelukan Arya.
Matahari sudah naik di atas kepala, cuaca terik mulai dirasakan. Mereka memilih menunggu di sebuah tempat makan yang masih terlihat aman untuk tempat berlindung dan makan siang. Nayla dan Ellea bertugas menyiapkan makanan seadanya. Mereka sudah membawa perbekalan yang cukup untuk asupan nutrisi masing masing. Yah, walau hanya makanan kaleng dan makanan instant setidaknya itu sudah lebih dari cukup.
Meja sudah dibersihkan dari debu tebal yang menempel, mungkin hampir 30 tahun lamanya. Sejauh ini tidak ada tanda tanda kalau ada orang lain sebelum mereka yang mendatangi tempat ini. Mie instant sudah tersaji di mangkuk masing- masing. Anehnya air dan listrik masih ada di tempat ini, jadi mereka bisa memakainya untuk sementara waktu. Piring dan mangkuk yang memang kotor, bisa segera bersih dan dapat digunakan untuk makan.
"Jadi kira kira ke mana kita harus mencari kunci itu?" tanya Nayla dengan mulut penuh makanan. Arya lantas mengelap sudut bibir Nayla yang terdapat bekas makanan. Nayla sedikit terkejut, lalu tersenyum dengan tatapan hangat namun terlihat menjijikkan bagi Arya.
"Mirip anak kecil, makan belepotan. Bersihin sendiri itu!" cetus Arya lalu memberikan tissue yang baru saja ia minta dari Ellea. Nayla mengerucutkan bibirnya pertanda sebal. Namun dalam dua menit berikutnya, Arya terdiam. Ia merasakan denyut di kepalanya yang cukup hebat, namun ia hanya diam sambil menunduk. Karena kini denyutan kepala itu mulai menampilkan siluet kejadian yang belum pernah ia alami sebelumnya. Namun kejadiannya sama persis seperti yang baru saja ia lakukan dengan Nayla. Anehnya lagi, gadis dalam penglihatannya sangat mirip Nayla.
Arya sampai menatap gadis itu yang masih makan dengan wajah kesal. Membandingkan dengan gadis yang ada di bayangannya tadi. Mirip. Sama. Kepalanya kembali berdenyut, dan kini sebuah suara membuat Arya makin yakin kalau wanita dalam bayangannya memang Nayla. Dan bayangan itu tak lantas pergi begitu saja. Arya justru seolah tersedot dalam pusaran waktu dan melihat pemandangan lain yang tak kalah aneh. Di mana dia belum pernah mengalami semua hal itu, tapi ia bisa membayangkan hal ini. Nayla dan Abimanyu. Dua orang itu ada di dalam bayangannya. Juga Gio dan Adi yang ia belum pernah bertemu dengan sosoknya. Arya tiba tiba menjerit saat semua bayangan itu membuat kepalanya terasa penuh. Hal ini membuat mereka menatap aneh ke Arya. Arya beranjak dan keluar dari tempat itu.
Pemuda itu memutuskan duduk di sebuah kursi yang ada di depan bangunan tua tersebut. Ia berusaha mengingat tapi semakin diingat, kepalanya makin terasa sakit. Wira menyusul Arya dan kini sudah duduk di samping pemuda itu. Arya berusaha bersikap biasa, seolah apa yang sedang ia rasakan tidak ingin ia beritahukan pada siapa pun juga.
"Ya, kamu tau nggak kalau sejak pertama kali kita dilempar ke bumi, semua karakter dan sifatmu tidak pernah berubah. Kamu tetap Arya yang seperti ini. Dan, sebenarnya Nayla memang hanya mencintaimu saja. Sejak dulu, laki laki yang Nayla cintai pertama kali hanya kamu. Ada satu masa di mana aku merebut hati Nayla lebih dulu. Aku menang, Ya. Tapi rupanya, itu bukan lah takdir yang harus terjadi. Justru itu adalah satu satunya masa di mana hidupku hancur. Aku menjadi orang paling jahat, terutama pada kalian. Dan saat aku mencoba memperbaiki semuanya, itu sudah terlambat."
"..." Arya hanya diam, tak menanggapi perkataan Wira tersebut. Padahal dalam lubuk hatinya, ia ingin menanyakan banyak sekali pertanyaan yang sampai sekarang mengganjal di hati dan pikirannya.
"Kamu adalah sahabatku sejak dulu, dan selamanya akan begitu. Maafkan aku,Ya."
"Kita ini ...." Belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, ia melihat bayangan orang lari di ujung jalan. Arya sangat yakin kalau dia melihat seseorang yang kini bersembunyi di sudut sana. "Siapa itu?!" panggil Arya, lalu beranjak. Wira yang melihat hal itu ikut mengikuti langkah Arya.
Sementara teman teman yang lain yang masih makan, hanya menatap kepergian mereka dengan tatapan bingung. Gio dan Abi yang awalnya hendak beranjak menyusul, dilarang oleh Wira. Mereka tetap harus di sana, setidaknya untuk memastikan pada wanita itu aman.
Wira dan Arya terus menyusuri tempat orang tadi menghilang. "Aku yakin tadi dia ke sini!" ujar Arya menunjuk sudut rumah yang terkunci rapat. Tidak ada jejak satu pun orang yang melewati tempat tersebut.
"Biar aku yang periksa!" kata Wira lalu berjalan ke arah itu, sendirian. Arya yang diperintahkan menunggu di tempatnya berdiri, tentu tidak akan diam saja. Bukan Arya namanya kalau dia hanya diam dan menuruti perintah orang lain begitu saja. Ia menyapu pandang ke sekitar, melihat lihat lingkungan yang memang belum mereka jamah sejak datang tadi.
Lingkungan desa ini hanya dipenuhi rumah rumah kayu yang modelnya hampir sama semuanya. Hanya warna cat saja yang membedakan. Dan ada beberapa kursi kayu yang ada di depan halaman rumah masing masing bangunan.
Arya melihat Wira yang tengah menyeret seorang pria dengan pakaian lusuh. Mirip pengemis dengan karung goni di tangannya. Wira lantas mendorongnya hingga berada di harapan Arya. Laki laki itu hanya diam sambil terus menunduk. Dia juga seperti merasakan ke tidak nyaman di sekitarnya.
"Tolong, biarkan saya pergi," kata pria itu dengan menyatukan kedua telapak tangannya di depan, menghadap Wira dan bergantian ke Arya.
"Anda siapa? Kenapa ada di sini?" tanya Wira. Serius.
"Saya hanya pemulung yang mencari makanan dan barang yang masih bisa dipakai."
"Sudah lama anda memulung di sini?" tanya Arya terus menatap pria tersebut.
"Baru ... Saya baru satu minggu di sini." Ia terus terlihat ketakutan, seolah menunjukan dirinya di tempat terbuka adalah ancaman.
"Apa anda tau tentang apa yang terjadi di desa ini?"
"Kita tidak boleh ada di sini! Berbahaya!" katanya serius.
Tentu Wira dan Arya makin penasaran. Mereka saling pandang dengan beribu pertanyaan dalam pikiran. "Maksudmu?!"
"Ayok! Pergi dari sini!" ajaknya. Di ujung jalan tempat Gio dan yang lain menunggu terdengar jeritan dari para wanita. Sontak mereka melotot dan segera berlari kembali ke tempat semula.
Pintu dibuka kasar, Gio sedang mendekat ke sebuah pintu penghubung ke dapur, didampingi Abimanyu di belakangnya. Gio jongkok dengan ujung pedang yang mencoba menyingkap sesuatu di sudut gelap itu.
"Ada apa?!" tanya Arya mendekat ke Nayla. Nayla dan Ellea yang berdiri bersebelahan terlihat ketakutan dan menunjuk ke arah Gio.
"Mayat!" ujarnya dengan ekspresi ngeri.
"Mayat?" tanya Arya mengulangi perkataan Nayla barusan.
Arya dan Wira penasaran, lantas ikut mendekat ke sesuatu yang menjadi pusat perhatian hingga membuat para wanita menjerit tadi.
"Apa itu?" tanya Arya. Abimanyu menoleh, menarik nafas panjang. "Tadi, waktu Ellea mau ke belakang, tiba- tiba orang ini muncul. Mungkin dia memang udah lama sembunyi di sini. Tapi kondisinya mengenaskan. Kulit tubuhnya mengelupas. Mirip bekas terbakar tapi ... Lihat saja sendiri," jelas Abi menunjuk tubuh hangus tersebut lalu menatap arah lain.
Gio tanpa ragu memperhatikan sosok di depannya. Mayat itu kini sudah tidak bergerak. Gio masih memeriksa kondisinya. Penyebab kematian, hingga apa yang terjadi pada sekujur tubuhnya itu.
"Endri!" jerit pemulung yang tadi datang bersama Arya dan Wira. Ia lantas berlari mendekat dengan wajah tidak percaya.
"Endri? Kau kenal dia?" tanya Wira. Pria tersebut langsung jongkok dan menatap nanar ke orang yang ia kenal tersebut. Ia menangis tanpa berani memeluk atau menyentuh Endri dengan tangannya sendiri.
"Yah, dia saudaraku. Seminggu lalu, kami datang ke sini. Sebenarnya kami adalah perampok yang sedang bersembunyi dari polisi. Dan saat melihat desa ini, kami pikir ini adalah tempat paling aman." Dia terus menceritakan awal mula mereka datang. Dan Abi, Arya, Wira dan yang lain terus mendengarkan dengan seksama.
"Tapi di hari ketiga, desa ini mulai terasa aneh. Saat malam hari, saat kami tidur, sering terdengar aktivitas beberapa orang manusia. Mereka memasak dan aktivitas lainnya. Layaknya manusia pada umumnya. Tapi ... Ada yang aneh."
"Aneh?"
"Iya, kami ... Mengintip dari jendela, dan ternyata manusia itu mengerikan. Sosok mereka mirip seperti ...." Dia menunjuk ke arah kawannya yang sudah meregang nyawa di lantai. "Seperti Endri!" Wajahnya ketakutan, dan tegang. Sorot matanya menunjukkan rasa takut yang teramat sangat.
"Maksudmu?"
"Tubuh mereka tidak memiliki kulit. Seperti Endri. Berdarah di sekujur tubuhnya. Bahkan ada yang menonjol yang mengeluarkan cairan menjijikan. Dan baunya ... Baunya busuk sekali."
"Jadi saat malam hari kalian melihat beberapa orang dengan wujud seperti ini?" tanya Arya menunjuk mayat Endri di lantai. "Hampir setiap malam atau hanya sekali kalian melihatnya?"
"Malam pertama dan kedua, kami tidak menemukan hal aneh. Desa yang kosong tak berpenghuni seperti sekarang. Tapi saat malam ketiga, mulai terdengar suara riuh di luar."
"Lalu kenapa kalian bisa terpisah?" tanya Abimanyu. Pria itu menarik nafas panjang. Wajahnya terlihat kelelahan sekali. Peluh dan kotor membuatnya sangat jelek. Benar benar mirip gembel atau orang gila yang ada di jalanan.
"Setelah malam itu. Kami tidak bisa tidur. Dan terus bersembunyi. Kami bersembunyi di sebuah rumah penduduk, dan untungnya di rumah itu tidak ada penghuninya. Kami putuskan, akan pergi dari tempat ini besok pagi."
"Keesokan harinya, kami mulai berkemas dan membawa barang seadanya. Pakaian dan makanan dari desa ini," lanjutnya
"Tunggu kamu bilang makanan? Yakin? Bukannya desa ini sudah kosong 30 tahun, ya? Lalu makanan apa yang kalian dapatkan di sini?"
"Rupanya makhluk semalam mengadakan pesta. Mereka memasak makanan, ada kambing guling, aneka sayur mayur dan lauk pauk hingga buah buahan."
"Benar, kah? Wow!"
"Iya, makanan itu kami bawa seperlunya untuk bekal perjalanan nanti. Karena tempat ini dikelilingi hutan dan jauh dari pemukiman penduduk desa lain, kan?"
"Kamu yakin, yang disajikan bukan sup tulang manusia atau daging manusia guling?" tanya Nayla sambil bergidik ngeri. Arya melirik gadis itu sambil garuk garuk kepala. "Kenapa? Wajar, kan, pertanyaan ku. Liat aja bentuknya Endri ini. Kata dia sosok yang datang malam itu bentuknya seperti ini!"
"Saya yakin, itu memang daging kambing, karena kami melihat saat mereka memasaknya."
"Terus?"
"Saya dan Endri berpencar. Untuk mencari barang berharga lain nya, eum, agar nanti bisa kami jual di kota. Nah, setelah itu saya nggak ketemu Endri lagi. Saya keliling desa ini, setiap rumah dan bangunan saya telusuri, tapi Endri nggak ketemu."
"Terus kenapa kamu masih di sini? Bukannya tempat ini mengerikan? Harusnya pergi saja, kan?" tukas Gio.
"Iya, saya pergi. Saya putuskan pergi tanpa Endri, tapi sayang nya, saya nggak bisa keluar dari desa ini. Saya selalu kembali ke sini. Saya nggak bisa keluar dari desa ini. Hanya berputar putar di hutan sekitar. Saya frustrasi. Ingin mati, tapi nggak bisa," rengek nya yang kini mulai menangis.
Semua orang saling tatap, mereka bingung dan tidak tau harus berbuat apa. Jika dia saja yang sudah lama di sini tidak bisa keluar, bagaimana dengan mereka yang baru saja datang?
"Siapa namamu?" tanya Wira.
"Saya Hidayat."
"Bi, gimana sih nyetirnya!" omel Gio sambil menguap dengan rambut acak acakan.
"Kita di mana?" tanya Nayla dengan suara serak khas bangun tidur. Ia juga melihat ke sekitar dengan kondisi gelap dan hanya ditumbuhi pepohonan lebat. "Ini jam berapa sih?" tanya Ellea sambil melihat ponsel yang ia letakkan di bawah bantalnya. "Astaga jam 3 pagi?!"
"Hei, kamu cuma muter muter aja, ya?" tanya Arya yang sejak awal tidur dengan posisi duduk di dekat jendela. "Perasaan pohon ini udah kita lewatin tadi," tunjuknya ke sepasang pohon di samping mobil yang bentuknya aneh.
Abi baru sadar kalau sejak tadi mereka hanya berputar putar dan kembali lagi ke jalan di awal mereka melihat 4 sosok hantu tersebut. Kini semua orang sudah bangun. Abi dan Wira saling pandang.
"Heh! Kalian berdua kenapa sih?" tanya Gio yang sekarang duduk di antara Wira dan Abimanyu. Kedua pria itu diam dengan wajah kebingungan. Arya yang melihat hal itu lantas menyapu pandang ke sekitar.
"Siapa mereka?" tanyanya menunjuk keempat sosok di luar sana dengan dagunya.
Wira dan Abi lantas saling pandang dengan dahi berkerut. "Kamu lihat juga, Ya?" tanya Wira.
"Lihat apa sih?" Gio malah makin dibuat bingung oleh mereka. Arya melirik ke pria di sampingnya yang kini duduk di lantai caravan yang sudah dilapisi karpet tebal. "Oh, jadi mereka setan?" tanya Arya tanpa beban.
"Apa? Setan?" pekik Gio sambil mencari sosok yang sedang menjadi bahan pembicaraan tiga pria di samping dan depannya.
"Setan? Setan seperti apa sih?" tanya Nayla dengan sedikit berteriak karena posisinya yang berada agak jauh dari mereka yang ada di depan.
"Kita harus gimana, Om?" tanya Abi ke Wira.
"Biar aku yang turun!" tukas Arya yakin. Semua orang terkejut dengan reaksi Arya yang santai dan tiba tiba itu.
"Eh, jangan gila, Ya! Itu hantu!" cegah Gio sambil menahan Arya yang sudah berdiri.
"Justru karena mereka hantu, mereka nggak akan menyakiti kita secara fisik, tapi mental. Dan, harus dilawan!"
Dengan santai nya dia berjalan menuju ke empat sosok yang sejak tadi mengganggu perjalanan mereka. Suasana di sekitar terasa dingin. Hawa sejuk dan dingin ini makin terasa ke tulang, hingga Arya mengharuskan merapatkan jaket yang ia pakai. Ia memperhatikan sekitar dan akhirnya kini berdiri di samping salah satu sosok itu.
Arya berdeham, memperhatikan sosok di depannya yang diam dengan ranting kayu di punggungnya.
"Permisi, maaf mengganggu. Boleh, kah, saya bertanya, Pak?" sapa nya dengan tenang tanpa terlihat ketakutan dalam dirinya.
"Desa Angikuni di mana, ya?" tanya Arya terus terang tanpa memperdulikan sosok itu yang tak menyahut sapaannya tadi.
Tiba tiba keempat sosok itu menoleh padanya. Tatapannya tajam dan dingin. Kemudian keempatnya menjerit kencang dan keras. Bahkan sampai sampai Arya merasakan angin yang berembus kuat mengenai wajahnya. Baunya busuk dan menyengat tajam. Arya hanya mundur selangkah tanpa memalingkan wajahnya dari empat sosok tersebut.
"Di mana desa itu?" kembali pertanyaan itu dilontarkan Arya tanpa sedikit pun merasa gentar.
Dan tiba tiba saja mereka menunjuk ke arah jalanan di depan. Arya mengikuti arah yang mereka tunjuk, lalu mundur dan mulai meninggalkan tempat itu. Ia kembali masuk ke dalam caravan dan meminta Abimanyu segera pergi dari tempat tersebut.
Caravan sudah berjalan menjauh dari sosok sosok tadi. Mereka berharap kalau tidak akan ada lagi pertemuan dengan mereka yang membuat Arya dan yang lain berputar putar saja di tempat itu.
Sampai akhirnya mereka melihat sebidang tanah yang luas dengan gapura yang berada di tengah jalan. "Selamat datang di Desa Angikuni."
Mereka saling tatap dengan rona bahagia. Semua terlihat lega karena akhirnya menemukan tempat ini.
"Sampai juga!"
Desa ini terletak jauh dari kota, berjarak sekitar 3000 mill dari desa sebelumnya. Untuk sampai ke tempat ini harus melewati beberapa kilometer hutan dan lahan persawahan yang sudah kering dan tandus. Butuh banyak perjuangan agar sampai ke desa ini. Jalanan nya yang tidak beraspal membuat akses ke tempat ini cukup sulit.
Mereka sampai saat fajar mulai muncul dari ufuk timur. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Disertai dengan kejadian aneh yang mereka alami semalam, membuat mereka tidak gentar. Dan kini mereka sudah memasuki kawasan Desa Angikuni tersebut.
Caravan berhenti di dekat gerbang desa. Papan nama besar ada di atas gapura desa ini. Bertuliskan nama Desa Angikuni dengan huruf kapital besar dan sangat jelas. "Selamat datang di desa tak berpenghuni," celetuk Gio saat sudah turun dari caravan. Satu persatu dari mereka mulai turun dan menikmati udara pagi di Desa Angikuni.
Sunyi dan tidak ada satu pun makhluk hidup di sana. Jangankan manusia, bahkan hewan peliharaan pun tidak ada di tempat itu. "Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Ke mana semua orang?" tanya Abimanyu, menyapu pandang ke sekitar. Rumah dan beberapa toko kelontong masih kokoh berdiri. Sangat mirip seperti desa berpenghuni lainnya.
Mereka memutuskan berpencar, menelusuri satu persatu bangunan di sana. Mencari kehidupan atau kemungkinan adanya manusia di tempat itu. Di kanan dan kiri jalanan, berdiri bangunan yang masih kokoh walau cat nya sudah memudar. Semua penduduk di desa ini mendadak hilang sejak 30 tahun lalu. Letak desa yang termasuk jauh dari desa lain mengharuskan seorang bidan desa untuk sering memantau tempat ini, guna memeriksa kesehatan balita dan para ibu hamil. Bidan desa memang akan datang tiap satu bulan satu kali. Dan itu sudah rutin di lakukan sejak beberapa tahun lalu.
Tetapi saat bulan berikutnya seorang bidan desa akan melakukan kunjungannya bersama asisten, mereka terkejut, karena tidak menemukan satu pun warga desa. Anehnya mereka seperti hilang dalam semalam, karena saat bidan itu datang, ia masih melihat lampu di tiap rumah menyala. Tak hanya itu, televisi dan alat elektronik lainnya juga masih berfungsi. Seolah para warga meninggalkan tempat itu dengan tergesa gesa. Radio, lampu jalan, bahkan tungku untuk memasak masih menyala dengan penanak nasi yang sudah hangus karena ditinggalkan cukup lama.
Bidan desa itu melaporkan ke polisi dan perangkat desa lain. Setelah mendapat laporan itu beberapa polisi dan perangkat desa mengunjungi desa Angikuni, dan mereka pun sama sama terkejut karena melihat keadaan desa itu yang sepi tanpa satu pun warga dan ternak mereka. Namun, masih ada terlihat bekas aktivitas sebelum mereka pergi. Mereka seperti hilang begitu saja.
Satu persatu masuk ke dalam rumah. Namun untuk para wanita akan tetap di dampingi, karena mereka tetap harus waspada. Ini kali pertama mereka datang ke tempat ini. Semua rumah yang mereka datangi masih dalam keadaan utuh. Perabotannya, bahkan sampai makanan yang ada di meja makan. Seolah mereka memang hendak makan dengan beberapa lauk yang sudah tersedia. Namun kini makanan itu sudah basi dan banyak terdapat belatung yang bercampur dengan debu. Meja makan sudah dilapisi debu tebal, wajar saja, karena rumah ini sudah ditinggalkan selama puluhan tahun lamanya.
"Nay, jangan jauh jauh dari aku," cegah Arya saat Nayla hendak masuk ke sebuah rumah yang belum diperiksa. Nayla mengangguk lalu kembali mengekor pada Arya yang berjalan di depannya.
Kini hari sudah mulai beranjak siang, mereka yang lelah kini mulai muak dengan pencarian tanpa hasil. Tidak ada petunjuk apa pun dan benda yang mereka cari pun tidak tau ada di mana. Mereka kembali berkumpul di luar. "Ada petunjuk?" tanya Abimanyu menatap mereka satu persatu. Mereka semua menggeleng sambil mendengus sebal. Lelah dan lapar kini mulai menggerogoti mereka perlahan. Ellea yang ada di dekat Abimanyu mulai mengelus perutnya. Hal itu membuat perhatian Abi terpecah dan sadar kalau kekasihnya dan semua orang di sini belum makan apa pun juga sejak tiba di desa Angikuni ini. "Sayang, laper, ya?" tanya Abimanyu sambil merapikan anak rambut Ellea yang berantakan karena angin dan kotor karena kejatuhan debu. Ellea berpegangan pada pinggang Abi lalu mendongak sambil menampilkan senyum tipis. Ia memang lelah sekaligus lapar, dan ia juga tau kalau pria di depannya juga pasti merasakan hal yang sama. Abi mengelus pipi gadisnya dengan tatapan penuh cinta.
Nayla berdeham sambil melirik pemuda di sampingnya yang sejak tadi mencuri pandang dari pemandangan romantis di depan mereka. Sadar sedang di perhatikan oleh Nayla, Arya lantas menoleh dengan tatapan sinis. "Apa?!"
Nayla lantas mendekat ke Arya sambil berbisik, "Lihat, anak kita romantis, ya. Aku jadi penasaran, apakah Arya di kehidupan dulu romantis seperti anaknya atau tetap sedingin ini, ya," gumam Nayla bermaksud menyindir Arya. Arya mendengus sebal, lalu merangkul gadis di sampingnya dan menariknya ke dalam pelukan. Nayla tersenyum dan membalas pelukan Arya.
Matahari sudah naik di atas kepala, cuaca terik mulai dirasakan. Mereka memilih menunggu di sebuah tempat makan yang masih terlihat aman untuk tempat berlindung dan makan siang. Nayla dan Ellea bertugas menyiapkan makanan seadanya. Mereka sudah membawa perbekalan yang cukup untuk asupan nutrisi masing masing. Yah, walau hanya makanan kaleng dan makanan instant setidaknya itu sudah lebih dari cukup.
Meja sudah dibersihkan dari debu tebal yang menempel, mungkin hampir 30 tahun lamanya. Sejauh ini tidak ada tanda tanda kalau ada orang lain sebelum mereka yang mendatangi tempat ini. Mie instant sudah tersaji di mangkuk masing- masing. Anehnya air dan listrik masih ada di tempat ini, jadi mereka bisa memakainya untuk sementara waktu. Piring dan mangkuk yang memang kotor, bisa segera bersih dan dapat digunakan untuk makan.
"Jadi kira kira ke mana kita harus mencari kunci itu?" tanya Nayla dengan mulut penuh makanan. Arya lantas mengelap sudut bibir Nayla yang terdapat bekas makanan. Nayla sedikit terkejut, lalu tersenyum dengan tatapan hangat namun terlihat menjijikkan bagi Arya.
"Mirip anak kecil, makan belepotan. Bersihin sendiri itu!" cetus Arya lalu memberikan tissue yang baru saja ia minta dari Ellea. Nayla mengerucutkan bibirnya pertanda sebal. Namun dalam dua menit berikutnya, Arya terdiam. Ia merasakan denyut di kepalanya yang cukup hebat, namun ia hanya diam sambil menunduk. Karena kini denyutan kepala itu mulai menampilkan siluet kejadian yang belum pernah ia alami sebelumnya. Namun kejadiannya sama persis seperti yang baru saja ia lakukan dengan Nayla. Anehnya lagi, gadis dalam penglihatannya sangat mirip Nayla.
Arya sampai menatap gadis itu yang masih makan dengan wajah kesal. Membandingkan dengan gadis yang ada di bayangannya tadi. Mirip. Sama. Kepalanya kembali berdenyut, dan kini sebuah suara membuat Arya makin yakin kalau wanita dalam bayangannya memang Nayla. Dan bayangan itu tak lantas pergi begitu saja. Arya justru seolah tersedot dalam pusaran waktu dan melihat pemandangan lain yang tak kalah aneh. Di mana dia belum pernah mengalami semua hal itu, tapi ia bisa membayangkan hal ini. Nayla dan Abimanyu. Dua orang itu ada di dalam bayangannya. Juga Gio dan Adi yang ia belum pernah bertemu dengan sosoknya. Arya tiba tiba menjerit saat semua bayangan itu membuat kepalanya terasa penuh. Hal ini membuat mereka menatap aneh ke Arya. Arya beranjak dan keluar dari tempat itu.
Pemuda itu memutuskan duduk di sebuah kursi yang ada di depan bangunan tua tersebut. Ia berusaha mengingat tapi semakin diingat, kepalanya makin terasa sakit. Wira menyusul Arya dan kini sudah duduk di samping pemuda itu. Arya berusaha bersikap biasa, seolah apa yang sedang ia rasakan tidak ingin ia beritahukan pada siapa pun juga.
"Ya, kamu tau nggak kalau sejak pertama kali kita dilempar ke bumi, semua karakter dan sifatmu tidak pernah berubah. Kamu tetap Arya yang seperti ini. Dan, sebenarnya Nayla memang hanya mencintaimu saja. Sejak dulu, laki laki yang Nayla cintai pertama kali hanya kamu. Ada satu masa di mana aku merebut hati Nayla lebih dulu. Aku menang, Ya. Tapi rupanya, itu bukan lah takdir yang harus terjadi. Justru itu adalah satu satunya masa di mana hidupku hancur. Aku menjadi orang paling jahat, terutama pada kalian. Dan saat aku mencoba memperbaiki semuanya, itu sudah terlambat."
"..." Arya hanya diam, tak menanggapi perkataan Wira tersebut. Padahal dalam lubuk hatinya, ia ingin menanyakan banyak sekali pertanyaan yang sampai sekarang mengganjal di hati dan pikirannya.
"Kamu adalah sahabatku sejak dulu, dan selamanya akan begitu. Maafkan aku,Ya."
"Kita ini ...." Belum sempat Arya menyelesaikan kalimatnya, ia melihat bayangan orang lari di ujung jalan. Arya sangat yakin kalau dia melihat seseorang yang kini bersembunyi di sudut sana. "Siapa itu?!" panggil Arya, lalu beranjak. Wira yang melihat hal itu ikut mengikuti langkah Arya.
Sementara teman teman yang lain yang masih makan, hanya menatap kepergian mereka dengan tatapan bingung. Gio dan Abi yang awalnya hendak beranjak menyusul, dilarang oleh Wira. Mereka tetap harus di sana, setidaknya untuk memastikan pada wanita itu aman.
Wira dan Arya terus menyusuri tempat orang tadi menghilang. "Aku yakin tadi dia ke sini!" ujar Arya menunjuk sudut rumah yang terkunci rapat. Tidak ada jejak satu pun orang yang melewati tempat tersebut.
"Biar aku yang periksa!" kata Wira lalu berjalan ke arah itu, sendirian. Arya yang diperintahkan menunggu di tempatnya berdiri, tentu tidak akan diam saja. Bukan Arya namanya kalau dia hanya diam dan menuruti perintah orang lain begitu saja. Ia menyapu pandang ke sekitar, melihat lihat lingkungan yang memang belum mereka jamah sejak datang tadi.
Lingkungan desa ini hanya dipenuhi rumah rumah kayu yang modelnya hampir sama semuanya. Hanya warna cat saja yang membedakan. Dan ada beberapa kursi kayu yang ada di depan halaman rumah masing masing bangunan.
Arya melihat Wira yang tengah menyeret seorang pria dengan pakaian lusuh. Mirip pengemis dengan karung goni di tangannya. Wira lantas mendorongnya hingga berada di harapan Arya. Laki laki itu hanya diam sambil terus menunduk. Dia juga seperti merasakan ke tidak nyaman di sekitarnya.
"Tolong, biarkan saya pergi," kata pria itu dengan menyatukan kedua telapak tangannya di depan, menghadap Wira dan bergantian ke Arya.
"Anda siapa? Kenapa ada di sini?" tanya Wira. Serius.
"Saya hanya pemulung yang mencari makanan dan barang yang masih bisa dipakai."
"Sudah lama anda memulung di sini?" tanya Arya terus menatap pria tersebut.
"Baru ... Saya baru satu minggu di sini." Ia terus terlihat ketakutan, seolah menunjukan dirinya di tempat terbuka adalah ancaman.
"Apa anda tau tentang apa yang terjadi di desa ini?"
"Kita tidak boleh ada di sini! Berbahaya!" katanya serius.
Tentu Wira dan Arya makin penasaran. Mereka saling pandang dengan beribu pertanyaan dalam pikiran. "Maksudmu?!"
"Ayok! Pergi dari sini!" ajaknya. Di ujung jalan tempat Gio dan yang lain menunggu terdengar jeritan dari para wanita. Sontak mereka melotot dan segera berlari kembali ke tempat semula.
Pintu dibuka kasar, Gio sedang mendekat ke sebuah pintu penghubung ke dapur, didampingi Abimanyu di belakangnya. Gio jongkok dengan ujung pedang yang mencoba menyingkap sesuatu di sudut gelap itu.
"Ada apa?!" tanya Arya mendekat ke Nayla. Nayla dan Ellea yang berdiri bersebelahan terlihat ketakutan dan menunjuk ke arah Gio.
"Mayat!" ujarnya dengan ekspresi ngeri.
"Mayat?" tanya Arya mengulangi perkataan Nayla barusan.
Arya dan Wira penasaran, lantas ikut mendekat ke sesuatu yang menjadi pusat perhatian hingga membuat para wanita menjerit tadi.
"Apa itu?" tanya Arya. Abimanyu menoleh, menarik nafas panjang. "Tadi, waktu Ellea mau ke belakang, tiba- tiba orang ini muncul. Mungkin dia memang udah lama sembunyi di sini. Tapi kondisinya mengenaskan. Kulit tubuhnya mengelupas. Mirip bekas terbakar tapi ... Lihat saja sendiri," jelas Abi menunjuk tubuh hangus tersebut lalu menatap arah lain.
Gio tanpa ragu memperhatikan sosok di depannya. Mayat itu kini sudah tidak bergerak. Gio masih memeriksa kondisinya. Penyebab kematian, hingga apa yang terjadi pada sekujur tubuhnya itu.
"Endri!" jerit pemulung yang tadi datang bersama Arya dan Wira. Ia lantas berlari mendekat dengan wajah tidak percaya.
"Endri? Kau kenal dia?" tanya Wira. Pria tersebut langsung jongkok dan menatap nanar ke orang yang ia kenal tersebut. Ia menangis tanpa berani memeluk atau menyentuh Endri dengan tangannya sendiri.
"Yah, dia saudaraku. Seminggu lalu, kami datang ke sini. Sebenarnya kami adalah perampok yang sedang bersembunyi dari polisi. Dan saat melihat desa ini, kami pikir ini adalah tempat paling aman." Dia terus menceritakan awal mula mereka datang. Dan Abi, Arya, Wira dan yang lain terus mendengarkan dengan seksama.
"Tapi di hari ketiga, desa ini mulai terasa aneh. Saat malam hari, saat kami tidur, sering terdengar aktivitas beberapa orang manusia. Mereka memasak dan aktivitas lainnya. Layaknya manusia pada umumnya. Tapi ... Ada yang aneh."
"Aneh?"
"Iya, kami ... Mengintip dari jendela, dan ternyata manusia itu mengerikan. Sosok mereka mirip seperti ...." Dia menunjuk ke arah kawannya yang sudah meregang nyawa di lantai. "Seperti Endri!" Wajahnya ketakutan, dan tegang. Sorot matanya menunjukkan rasa takut yang teramat sangat.
"Maksudmu?"
"Tubuh mereka tidak memiliki kulit. Seperti Endri. Berdarah di sekujur tubuhnya. Bahkan ada yang menonjol yang mengeluarkan cairan menjijikan. Dan baunya ... Baunya busuk sekali."
"Jadi saat malam hari kalian melihat beberapa orang dengan wujud seperti ini?" tanya Arya menunjuk mayat Endri di lantai. "Hampir setiap malam atau hanya sekali kalian melihatnya?"
"Malam pertama dan kedua, kami tidak menemukan hal aneh. Desa yang kosong tak berpenghuni seperti sekarang. Tapi saat malam ketiga, mulai terdengar suara riuh di luar."
"Lalu kenapa kalian bisa terpisah?" tanya Abimanyu. Pria itu menarik nafas panjang. Wajahnya terlihat kelelahan sekali. Peluh dan kotor membuatnya sangat jelek. Benar benar mirip gembel atau orang gila yang ada di jalanan.
"Setelah malam itu. Kami tidak bisa tidur. Dan terus bersembunyi. Kami bersembunyi di sebuah rumah penduduk, dan untungnya di rumah itu tidak ada penghuninya. Kami putuskan, akan pergi dari tempat ini besok pagi."
"Keesokan harinya, kami mulai berkemas dan membawa barang seadanya. Pakaian dan makanan dari desa ini," lanjutnya
"Tunggu kamu bilang makanan? Yakin? Bukannya desa ini sudah kosong 30 tahun, ya? Lalu makanan apa yang kalian dapatkan di sini?"
"Rupanya makhluk semalam mengadakan pesta. Mereka memasak makanan, ada kambing guling, aneka sayur mayur dan lauk pauk hingga buah buahan."
"Benar, kah? Wow!"
"Iya, makanan itu kami bawa seperlunya untuk bekal perjalanan nanti. Karena tempat ini dikelilingi hutan dan jauh dari pemukiman penduduk desa lain, kan?"
"Kamu yakin, yang disajikan bukan sup tulang manusia atau daging manusia guling?" tanya Nayla sambil bergidik ngeri. Arya melirik gadis itu sambil garuk garuk kepala. "Kenapa? Wajar, kan, pertanyaan ku. Liat aja bentuknya Endri ini. Kata dia sosok yang datang malam itu bentuknya seperti ini!"
"Saya yakin, itu memang daging kambing, karena kami melihat saat mereka memasaknya."
"Terus?"
"Saya dan Endri berpencar. Untuk mencari barang berharga lain nya, eum, agar nanti bisa kami jual di kota. Nah, setelah itu saya nggak ketemu Endri lagi. Saya keliling desa ini, setiap rumah dan bangunan saya telusuri, tapi Endri nggak ketemu."
"Terus kenapa kamu masih di sini? Bukannya tempat ini mengerikan? Harusnya pergi saja, kan?" tukas Gio.
"Iya, saya pergi. Saya putuskan pergi tanpa Endri, tapi sayang nya, saya nggak bisa keluar dari desa ini. Saya selalu kembali ke sini. Saya nggak bisa keluar dari desa ini. Hanya berputar putar di hutan sekitar. Saya frustrasi. Ingin mati, tapi nggak bisa," rengek nya yang kini mulai menangis.
Semua orang saling tatap, mereka bingung dan tidak tau harus berbuat apa. Jika dia saja yang sudah lama di sini tidak bisa keluar, bagaimana dengan mereka yang baru saja datang?
"Siapa namamu?" tanya Wira.
"Saya Hidayat."
regmekujo dan 5 lainnya memberi reputasi
6