- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#134
Part 130 Perjalanan Pertama
Sepuluh kunci yang berada di sepuluh tempat misterius dan berbahaya adalah tujuan mereka sekarang. Sesuai kesepakatan, Rendra dan Vin tidak ikut dalam misi kali ini. Karena kondisi Allea yang sedang kembali berbadan dua, sekaligus Abi membutuhkan mereka untuk menjaga keamanan desa selama mereka pergi.
Tidak semua tempat itu dipaparkan dengan jelas letaknya di dalam buku. Maka tugas mereka adalah mencari di mana ke sepuluh tempat itu berada. Di mulai dari tempat pertama, yaitu Desa Angikuni. Karena perjalanan yang diberikan Wira kemarin membuat Arya dan Nayla mabuk selama hampir seharian lamanya, mereka tidak akan melakukan hal itu lagi. "Jangan harap aku mau pergi sama dia lagi!" cetus Arya melirik Wira sesaat sebelum mereka memulai perjalanan. Wira hanya menarik sebelah bibirnya lalu masuk ke dalam mobil di mana Gio yang menjadi pengemudinya.
Mereka hanya memakai sebuah Caravan yang sudah dibuat oleh Gio sejak setahun belakangan. Ia memang berencana melakukan perjalanan ke berbagai kota, sendirian. Tidak dapat dipungkiri, diumurnya yang sudah tidak lagi muda, dan juga dengan semua hal buruk yang ia alami, kehilangan seorang sahabat, membuat Gio lelah dengan kehidupannya. Ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Ternyata semua impiannya untuk bepergian terlaksana. Namun dia tidak melakukannya sendirian. Justru ia melakukannya bersama para sahabatnya. Sahabat yang kini sudah kembali lagi. Tampak aneh dan keadaannya sedikit berbeda, tapi bagi Gio ini adalah hal terbaik yang ia inginkan.
Sebagai pemilik caravan, Gio kini sudah duduk di kursi kemudi. Wira kini sudah duduk di sampingnya sebagai pemandu tur mereka, dengan buku catatan yang memang mereka butuhkan untuk menuju ke sepuluh tempat tersebut. Di bagian belakang mobil sudah ada Ellea, Nayla, Arya dan Abimanyu. Bagian tengah mobil memang disediakan dua jok mobil yang menghadap dengan depan.
"Tante Nayla, kita duduk di belakang aja, ya," ajak Ellea. Nayla sedikit terganggu dengan panggilan tante yang ia sandang. "Eh, tunggu! Bagaimana kalau kita saling panggil nama saja? " tanya Nayla dengan penawaran yang masuk akal. Walau dulu Nayla dan Arya adalah orang tua Abimanyu, tapi keadaan kini berbeda. Bahkan umur mereka jauh lebih muda dari Abimanyu. Hal itu membuat Abimanyu sedikit tidak nyaman, ia pasti orang yang paling sulit untuk menyesuaikan keadaan dengan memanggil kedua orang itu dengan tanpa embel embel Ayah dan Ibu.
Tak berapa lama, ada sebuah mobil yang terlihat di ujung jalan melaju ke arah mereka. Ini kesempatan Wira untuk meminta tumpangan. Ia lantas melambaikan tangan ke atas sambil berdiri di tengah jalan. Mobil yang awalnya melaju kencang, perlahan memperlambat lajunya. Dan saat jarak mereka sudah makin dekat, mobil itu berhenti mendadak. Membuat suara decitan karena ban mobilnya yang di rem secara paksa dengan tiba-tiba.
Wira menurunkan tangannya, dan menatap ke dalam kaca mobil depan. Pengendara mobil itu lantas membuka pintu mobilnya. Wira lantas mengerutkan kening saat melihat siapa orang di depannya itu. "Gio?!" gumamnya.
Pria yang terlihat makin tua tersebut melongo melihat pemandangan di depannya. Tiga orang itu adalah orang orang yang sangat ia kenal sebelumnya, namun dengan wujud yang sama saat mereka dulu bertemu. "Wira?" kata Gio dengan bibir bergetar. Ia mulai berjalan pelan mendekati tiga orang itu. "Arya?" Langkahnya pelan tapi pasti, hanya saja tubuhnya makin bergetar hebat. Membuat kakinya lemas dan sebenarnya tak sanggup lagi untuk melangkah. Gio kacau. Ini bagai mimpi ujarnya. Atau dia memang sudah mati sekarang. Itu hal lain yang merasuki otaknya sekarang. "Nayla?"
Arya mendekat ke Wira, "Siapa dia?" tanyanya berbisik.
"Kawan lama kita, Gio."
"Kawan lama?"
Gio berhenti, memukul pipinya sendiri sambil terus menatap tiga orang di depannya itu tanpa berkedip. Wira tersenyum, ia juga mulai berjalan mendekat ke Gio. Sampai akhirnya jarak yang sudah hanya tinggal selangkah membuat Gio berhambur memeluk Wira. Wira pun menyambut pelukan Gio. Wira masih mengingat semua tentang Gio. Awal mereka bertemu sampai akhirnya mereka saling berkelahi. Namun semua itu adalah kenangan yang membuat keduanya tetap saling merindukan.
"Bagaimana bisa kamu ada di sini, kalian?" tanya Gio menatap kawan kawan lamanya tersebut heran. "Apa aku udah mati, ya? Ini surga? Kenapa mirip desa Amethys?" tanyanya dengan pertanyaan beruntun dan membuat Wira terkekeh.
"Kamu masih hidup, Gi. Begitu juga kami, eum, mereka lebih tepatnya," sahut Wira sambil menoleh kepada dua orang di belakang mereka. Gio ikut menatap Arya dan Nayla dengan mata berkaca kaca.
"Kenapa mereka seolah nggak kenal aku?" tanya Gio dengan wajah sedikit kesal, dan hendak meluapkan hal itu ke Arya dan Nayla. Tetapi Wira menahan tangannya, mendekatkan sedikit kepalanya dan berbisik. "Mereka ... nggak ingat siapa kamu. Jadi tahan dulu emosimu, Gi."
"Maksudmu?"
"Hm, ceritanya panjang. Bisa kita pulang dulu ke rumah, dua orang itu butuh teh hangat dan makanan. Biasa, mabuk perjalanan," jelas Wira dengan senyum tipis.
Gio mengerutkan kening lalu mengajak mereka masuk ke dalam mobil.
Langit mulai gelap, mereka semua turun dari mobil dan berjalan ke rumah tersebut. Siluet bayangan mulai Nayla rasakan saat melihat rumah ini. Ia sempat berhenti dan memandangi bangunan di depan mereka. Gambaran samar mulai datang di pikirannya, masih samar. Tidak begitu jelas. Hanya saja, ia yakin kalau bangunan itu adalah rumah di depannya sekarang. Gio menjerit memanggil nama pemilik rumah sambil tetap memandangi para tamunya. Ia masih menganggap sedang bermimpi karena kembali bertemu dua orang tersebut dengan wujud yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Pintu rumah Gio buka, tetap sambil berteriak memanggil nama Abimanyu. Lalu tak lama kemudian, suara sahutan terdengar dari lantas atas. Dengan suara langkah kaki yang mantap dan perlahan jelas, mereka terus menatap ujung anak tangga yang ada di tengah ruangan. Kini seorang pemuda berumur sekitar 35 tahunan muncul dari sana. Langkahnya terhenti tatkala melihat tamu yang datang bersama pamannya. Jantungnya seolah langsung berhenti berdetak selama dua detik, lalu kembali memacu dengan cepat hingga memaksanya harus menekan dadanya tersebut untuk mengurangi perasaan aneh yang tiba tiba muncul.
"Ayah? Ibu?" panggilnya sambil menatap dua orang yang sangat ia kenal dan tentu ia rindukan. Walau mereka jauh lebih muda dari orang tuanya saat terakhir kali ia lihat dulu. Bahkan kini, Abimanyu jauh lebih tua daripada kedua orang tuanya. Nayla dan Arya yang kini masih berumur 25 tahun hanya menatap pemuda itu dengan kebingungan. Tapi jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, di sudut lain hati mereka, ada perasaan getir dan bahagia yang bercampur menjadi satu saat kedua bola mata mereka bertemu dengan bola mata Abimanyu.
"Eum, Arya, Nayla ... Dia Abimanyu. Anak kalian di kehidupan kalian sebelumnya," jelas Wira menatap mereka bergantian. Ketiga orang tersebut hanya diam, Abimanyu kembali melangkahkan kakinya mendekat kepada dua sosok yang sangat ia kenal dulu. Matanya berkaca kaca, bibirnya bergetar, ia menahan sesak di dada dengan berusaha mengatupkan kedua rahangnya. Ia menoleh ke Wira yang berdiri di samping Arya.
"Jadi Om Wira berhasil menemukan mereka?" tanyanya dengan menahan tangis yang hampir pecah. Wira mengangguk pelan dengan senyum getir. Ia yakin ini bukanlah suasana terbaik yang bisa ia ciptakan. Karena baik Arya mau pun Nayla belum bisa mengingat semua kenangan mereka di masa lalu, dan hal ini pasti sangat menyakiti Abimanyu karena tidak dikenal oleh orang tuanya sendiri.
Abi kembali menatap Arya, ia tersenyum getir. Sementara Arya hanya berdiri diam dengan memaksa senyum yang sama seperti apa yang dilakukan pria di depannya. Abimanyu yang menyadari kekakuan ini, tidak bisa memaksakan apa pun. Ia tau dan sangat sadar kalau semua butuh waktu. Dan baginya asal dapat melihat kembali dua orang itu, rasanya sudah lebih dari cukup.
"Hai, kamu ... Abimanyu?" sapa Nayla dengan pertanyaan basa basi. Abi menoleh ke wanita muda di samping Arya yang dengan ramah menyapanya terlebih dahulu. Terlihat aneh, namun ia menghargainya, sangat. Dan sikap Nayla barusan benar benar merobohkan pertahanan air mata Abimanyu. Tangisnya pecah. Kedua bola matanya mengalirkan air bening dengan cukup deras. Abimanyu mengangguk cepat menanggapi pertanyaan Nayla. Sambil mengelap air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi dengan telapak tangan kirinya, tangan kanan Abi menjulur ke arah wanita muda itu. Bermaksud saling berkenalan. Nayla justru menepis tangan itu dan langsung memeluk Abimanyu erat.
Sikap Nayla justru membuat Abi makin menangis lagi. Seorang Abimanyu yang terkenal tegar dan kuat kini terlihat sangat rapuh di depan ibunya. Isak tangis Abi mampu didengar Nayla dengan cukup jelas. Walau dirinya belum mengingat apa pun, tapi hatinya tersentuh dan ikut sakit mendengar Abi menangis. Bahunya terasa basah karena tangis Abimanyu. Nayla mengelus punggung Abimanyu lembut. Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya, hanya ada suara tangis. Dan makin lama, kedua mata Nayla juga mulai mengeluarkan air bening yang sama. Ia bahkan tidak sadar dan tidak tau mengapa ia juga menangis. Siluet bayangan kembali muncul, menunjukkan beberapa kenangan yang pernah terjadi di rumah ini. Nayla sangat yakin kalau wanita dalam penglihatannya adalah dirinya sendiri. Wanita itu sedang menggendong seorang anak kecil yang sangat aktif, dan berakhir dengan panggilan, "Abimanyu!"
Nayla segera melepaskan pelukannya. Lalu menatap pria yang memiliki nama yang sama tersebut. Ia menggeleng pelan.
"Kenapa, Nay?" tanya Wira. Nayla yang sejak tadi diam dan hanya menatap Abimanyu lantas menggeleng cepat. "Ngga apa apa!"
Wira tersenyum tipis dan sedikit lega..
***
"Jadi di mana saja kunci yang Om maksud tadi?" tanya Abimanyu dingin. Sorot matanya penuh hasrat ingin menyelesaikan semua ujian yang terdapat di dalam buku catatan yang dibawa oleh Wira. Ia yang memang sudah terbiasa menantang bahaya, kini sudah tidak takut lagi akan maut yang ada di depan mata. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu rumah Abimanyu.
"Kita harus mendatangi satu persatu tempat itu untuk mengambil kunci kunci tersebut."
"Apa nggak sebaiknya kita berpencar, Ra?" tanya Arya.
"Enggak. Kita harus menghadapinya bersama sama, Ya. Karena kesepuluh tempat ini adalah beberapa tempat misterius dan berbahaya. Aku saja nggak tau apa saja bahaya yang akan mengintai kita nanti di sana. Dan aku yakin kalau kita ke sana bersama sama, akan lebih memungkinkan untuk mendapat kunci kunci itu."
"Gue ikut, Bi!" cetus Vin, antusias. Semua orang menatapnya dingin, namun Abi justru menggeleng cepat.
"Jangan, Vin. Harus ada yang tinggal di sini. Kasihan Allea, dia lagi hamil, kan? Kita harus bagi tugas sekarang. Elu sama Rendra tetap di desa. Jaga semua orang. Gue yakin para iblis itu bakal mencari kami, dan bisa saja sampai ke sini saat kami pergi. Gue nggak sanggup lagi kalau terjadi sesuatu sama desa ini. Tolong, jagain mereka semua. Gue yakin kalian berdua bisa melakukan itu," pinta Abimanyu pada Vin dan Rendra.
Walau butuh waktu agak lama, akhirnya mereka berdua setuju dengan permintaan Abimanyu. IA lantas menoleh ke Gio yang duduk di sampingnya. "Paman ... paman juga harus tinggal di sini buat bantu ...."
"Nggak! Gue nggak bakal diam saja di saat kalian bertarung lagi, Bi. Inget, gue udah janji sama Arya, kalau gue bakal jagain anaknya! Gue ikut!" kata Gio yang memotong perkataan Abimanyu. Hal ini membuat Abi menarik nafas panjang dan menghembuskannya cepat. Ia sadar kalau ucapan Gio tidak akan bisa dicabut kembali. Abi sebenarnya takut jika terjadi sesuatu dalam misi mereka kali ini. Firasatnya tidak enak sejak ia mendengar penjelasan Wira tadi. IA yakin, akan ada pertempuran besar besaran. Dan ia takut. Baru kali ini ia merasa takut menghadapi kematian.
Mobil sudah berjalan meninggalkan rumah. Allea, Vin dan Rendra hanya menatap kepergian mereka dari teras rumah itu. Rumah itu akan kosong dalam waktu yang cukup lama, dan tidak dapat diprediksi kapan mereka akan kembali. Bahkan mereka juga tidak tau, apakah mereka akan kembali ke sana atau tidak.
Keadaan di dalam mobil hening, hingga akhirnya Gio menyalakan musik untuk mengisi keheningan kali ini. "Wah lagu ini, memang legendaris, ya," ucap Arya saat sebuah lagu milik Aerosmith melantun keras di sepanjang caravan, mengiringi perjalanan mereka.
"Bukannya ini lagu kesukaanmu sejak dulu, Ya," cetus Gio sambil melirik ke arah pemuda di belakangnya.
"Benar, kah? Wah, rupanya seleraku nggak berubah, ya," kata Arya sambil menikmati lagu tersebut. Abimanyu yang duduk di sampingnya hanya diam, dengan perasaan tidak karuan. Ia sesekali melirik ke ayahnya yang kini lebih muda darinya. Arya yang menyadarinya lalu menoleh pada Abi.
"Hei, Bi, Apakah aku dulu menyebalkan?" tanya Arya dengan pertanyaan yang membuat Abimanyu sedikit tersentak.
"Eum, menyebalkan dalam artian bagaimana?" tanya Abi, ragu.
"Nayla bilang aku ini manusia paling menyebalkan dan dingin."
Abi terkekeh mendengar kalimat itu, karena ia bisa membayangkan kalau ayahnya itu tetap sama. Walau sudah berganti kehidupan.
"Ayah, memang orang yang menyebalkan, eh ... Maaf, aku ... eum." Kalimat Abi terpotong karena menyadari panggilan nya untuk Arya sudah meluncur mulus dengan kebiasaannya dulu.
Keadaan menjadi sedikit kaku, Wira dan Gio juga sempat melirik ke belakang. Di mana percakapan ayah dan anak beda generasi itu terhenti.
"Santai aja. Kalau kamu lebih nyaman memanggilku begitu, aku nggak masalah," jelas Arya sambil menepuk bahu Abimanyu. Ia lalu bersandar di punggung kursi dan merapatkan jaketnya. Matanya terpejam dan tidak menyadari kalau pria di sampingnya masih diam membisu. Tapi bibir Abimanyu tersenyum samar. Ia kini membetulkan posisi duduknya dan menoleh ke arah jendela samping. Mungkin dalam kehidupan ini mereka bukanlah ayah dan anak, tapi setidaknya Abi seolah mendapat kesempatan kedua untuk bisa dekat kembali dengan sosok Arya dan Nayla.
Di bagian belakang caravan, dua wanita yang baru bertemu beberapa jam lalu justru terlihat akrab. Ellea memang terkadang masih terlihat kikuk jika berhadapan dengan Nayla. Bukan karena Nayla adalah ibu dari pria yang ia cintai, tapi karakter Nayla yang unik dan cerdas membuat Ellea kagum.
"Wow, jujur aku baru pertama kali ini bertemu Nephilim. Kamu terlihat cantik untuk seorang Nephilim, Ell," puji Nayla dengan mata berbinar. Ia terlihat tulus bagi Ellea.
"Seberapa kamu tau tentang Nephilim, Nay?"
Gadis itu menerawang ke langit langit caravan, menatap lampu panjang yang ada di atas mereka.
"Sekilas aja sih, karena informasi tentang Nephilim nggak begitu banyak dijelaskan. Mungkin karena kalian hanya ada sedikit saja di dunia ini. Dan Wira bilang, kalau kamu Nephilim terakhir, ya? Wah, para iblis itu pasti benar benar gencar membunuh para Nephilim lain."
"Yah, sepertinya memang begitu. Tapi paling tidak, aku bukan makhluk aneh satu satunya di mata manusia. Masih ada Rendra, hehe. Lucu, kan, kalau kami ini kelompok makhluk dengan berbagai jenis."
"Hm, itu bukan lucu sih menurutku, tapi luar biasa, Ell. Kalian bersahabat dengan saling melindungi satu sama lain. Rendra, yang seorang werewolf, eum ... aku hampir tidak percaya kalau ada werewolf yang berhati manusia."
"Aku juga nggak sangka, kalau bisa ngobrol dengan reinkarnasi ibunya Abi." Nayla menatap Ellea, lalu keduanya tertawa bersama. "Kita ini bagai kelompok orang orang aneh, ya," cetus Nayla.
****
Perjalanan mereka sudah memakan waktu lebih dari 24 jam, tujuan yang mereka tuju hanya tinggal beberapa jam lagi. Kini Abimanyu bergantian menyetir di dampingi Wira. Malam sudah makin larut, keempat orang di belakang sudah tidur nyenyak. Caravan milik Gio memang disediakan kasur dan beberapa tempat tidur yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa untuk tempat sempit ini. Dan suara dengkuran terdengar bersahutan di belakang.
"Rasanya lama banget aku nggak denger suara dengkuran Gio dan Arya yang saling bersahutan seperti itu," kekeh Wira sambil menoleh sebentar ke belakang. Abimanyu tersenyum dan tetap fokus menyetir. Mereka melewati lahan persawahan dan sebentar lagi akan masuk ke dalam hutan. Tentu jalanan beraspal memang masih terlihat dalam jarak pandang mereka sekarang.
Kini jalanan berubah menjadi bebatuan, jalan beraspal sudah habis sejak beberapa meter di belakang mereka. "Om yakin kalau ini tempatnya?" tanya Abi sambil menyapu pandang ke sekitar.
"Yakin, Bi. Aku udah nyari tau tentang desa ini, dan memang desa ini yang kita cari," jelas Wira.
Namun samar samar di depan mereka ada beberapa orang yang sedang berjalan dengan memikul ranting ranting pohon di punggung mereka.
"Eh, itu ada orang, Om," kata Abi menunjuk 4 orang di depan mereka. Mobil mulai melambat dan Abi seperti ingin menghampiri orang orang itu. Ia lantas menghentikan mobil tanpa mematikan mesin mobil. "Bi, mau apa?"
"Abi mau coba tanya mereka."
"Tunggu! Mereka itu bukan manusia!" cegah Wira, dengan tatapan dingin.
Saat Abi mulai meyakini perkataan Wira, orang orang di depan mereka berhenti berjalan. Diam tanpa menoleh atau bergerak sedikit pun dari tempat mereka berdiri. Abi dan Wira makin was was. Abi lantas melirik jam di pergelangan tangannya. Dan ini sudah lewat tengah malam, dan memang aneh jika mendapati ada orang yang ada di tempat terpencil seperti ini. Karena desa terakhir yang mereka lewati tadi sudah jauh sekali. Tidak ada lagi pemukiman penduduk dalam jarak dekat.
"Jadi mereka apa?" tanya Abi terus memperhatikan keempat orang tersebut.
"Hantu! Dan, aku yakin cuma kita berdua yang bisa melihat mereka," kata Wira sambil menoleh ke teman teman mereka di belakang.
"Masa sih, Om?"
"Mau bukti?" tanya Wira, dan Abi tentu mengangguk pelan. Hantu? Wah, ini memang unik. Abi memang beberapa kali bisa melihat keberadaan hantu, tetapi akhir akhir ini dia sudah tidak melihat mereka lagi. Wira menjulurkan tangannya ke belakang, di mana Gio yang paling dekat dengan mereka. Tubuh Gio dibangunkan, dalam sekali sentuh Gio langsung terbangun kaget. Ia segera duduk dan langsung kesal.
"Apa sih?! Gue lagi mimpi tadi tau!" omel Gio.
"Gi, lihat orang orang itu nggak?" tanya Wira sambil menunjuk di mana keempat orang itu berdiri di luar. Gio mengerutkan kening dan mengikuti jari telunjuk Wira. Namun, tidak ada yang Gio lihat, hanya padang ilalang di tengah hutan.
"Apaan sih? Mana ada orang? Terus, kenapa kita berhenti? Ini masih di hutan, kan?" Gio lantas membetulkan letak bantal miliknya dan kembali tidur.
"Lihat, kan? Cuma kita yang melihat mereka," jelas Wira.
"Jadi kita harus gimana, Om?"
"Jalan terus aja."
Mobil kembali dinyalakan, Abi mengikuti saran Wira dengan meninggalkan orang orang yang diindikasi adalah hantu di daerah ini. Sedikit merinding ia rasakan. Dan ia terus melajukan mobil meninggalkan sosok sosok yang masih berdiri tanpa gerakan apa pun.
Mereka terus maju sampai akhirnya bertemu kembali dengan sosok sosok tersebut. "Om! Mereka lagi!" cetus Abimanyu kebingungan. Karena sosok yang mereka lihat tadi, kini kembali terlihat dengan posisi yang sama. Abi mempercepat laju kendaraannya. Kini mereka mulai tidak nyaman dengan keadaan ini. Abi terus memperhatikan dari spion dan makin lama sosok itu makin tidak terlihat lagi.
Ia kembali mengendarai mobil dengan santai, namun baru beberapa meter ia mulai tenang, kini sosok 4 hantu tadi kembali terlihat di depan.
"Astaga! Apa apaan ini!" pekik Abimanyu. Wira ikut terheran heran dan merasa ada yang tidak beres dengan perjalanan mereka ini.
"Stop, Bi!"
Tidak semua tempat itu dipaparkan dengan jelas letaknya di dalam buku. Maka tugas mereka adalah mencari di mana ke sepuluh tempat itu berada. Di mulai dari tempat pertama, yaitu Desa Angikuni. Karena perjalanan yang diberikan Wira kemarin membuat Arya dan Nayla mabuk selama hampir seharian lamanya, mereka tidak akan melakukan hal itu lagi. "Jangan harap aku mau pergi sama dia lagi!" cetus Arya melirik Wira sesaat sebelum mereka memulai perjalanan. Wira hanya menarik sebelah bibirnya lalu masuk ke dalam mobil di mana Gio yang menjadi pengemudinya.
Mereka hanya memakai sebuah Caravan yang sudah dibuat oleh Gio sejak setahun belakangan. Ia memang berencana melakukan perjalanan ke berbagai kota, sendirian. Tidak dapat dipungkiri, diumurnya yang sudah tidak lagi muda, dan juga dengan semua hal buruk yang ia alami, kehilangan seorang sahabat, membuat Gio lelah dengan kehidupannya. Ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Ternyata semua impiannya untuk bepergian terlaksana. Namun dia tidak melakukannya sendirian. Justru ia melakukannya bersama para sahabatnya. Sahabat yang kini sudah kembali lagi. Tampak aneh dan keadaannya sedikit berbeda, tapi bagi Gio ini adalah hal terbaik yang ia inginkan.
Sebagai pemilik caravan, Gio kini sudah duduk di kursi kemudi. Wira kini sudah duduk di sampingnya sebagai pemandu tur mereka, dengan buku catatan yang memang mereka butuhkan untuk menuju ke sepuluh tempat tersebut. Di bagian belakang mobil sudah ada Ellea, Nayla, Arya dan Abimanyu. Bagian tengah mobil memang disediakan dua jok mobil yang menghadap dengan depan.
"Tante Nayla, kita duduk di belakang aja, ya," ajak Ellea. Nayla sedikit terganggu dengan panggilan tante yang ia sandang. "Eh, tunggu! Bagaimana kalau kita saling panggil nama saja? " tanya Nayla dengan penawaran yang masuk akal. Walau dulu Nayla dan Arya adalah orang tua Abimanyu, tapi keadaan kini berbeda. Bahkan umur mereka jauh lebih muda dari Abimanyu. Hal itu membuat Abimanyu sedikit tidak nyaman, ia pasti orang yang paling sulit untuk menyesuaikan keadaan dengan memanggil kedua orang itu dengan tanpa embel embel Ayah dan Ibu.
Tak berapa lama, ada sebuah mobil yang terlihat di ujung jalan melaju ke arah mereka. Ini kesempatan Wira untuk meminta tumpangan. Ia lantas melambaikan tangan ke atas sambil berdiri di tengah jalan. Mobil yang awalnya melaju kencang, perlahan memperlambat lajunya. Dan saat jarak mereka sudah makin dekat, mobil itu berhenti mendadak. Membuat suara decitan karena ban mobilnya yang di rem secara paksa dengan tiba-tiba.
Wira menurunkan tangannya, dan menatap ke dalam kaca mobil depan. Pengendara mobil itu lantas membuka pintu mobilnya. Wira lantas mengerutkan kening saat melihat siapa orang di depannya itu. "Gio?!" gumamnya.
Pria yang terlihat makin tua tersebut melongo melihat pemandangan di depannya. Tiga orang itu adalah orang orang yang sangat ia kenal sebelumnya, namun dengan wujud yang sama saat mereka dulu bertemu. "Wira?" kata Gio dengan bibir bergetar. Ia mulai berjalan pelan mendekati tiga orang itu. "Arya?" Langkahnya pelan tapi pasti, hanya saja tubuhnya makin bergetar hebat. Membuat kakinya lemas dan sebenarnya tak sanggup lagi untuk melangkah. Gio kacau. Ini bagai mimpi ujarnya. Atau dia memang sudah mati sekarang. Itu hal lain yang merasuki otaknya sekarang. "Nayla?"
Arya mendekat ke Wira, "Siapa dia?" tanyanya berbisik.
"Kawan lama kita, Gio."
"Kawan lama?"
Gio berhenti, memukul pipinya sendiri sambil terus menatap tiga orang di depannya itu tanpa berkedip. Wira tersenyum, ia juga mulai berjalan mendekat ke Gio. Sampai akhirnya jarak yang sudah hanya tinggal selangkah membuat Gio berhambur memeluk Wira. Wira pun menyambut pelukan Gio. Wira masih mengingat semua tentang Gio. Awal mereka bertemu sampai akhirnya mereka saling berkelahi. Namun semua itu adalah kenangan yang membuat keduanya tetap saling merindukan.
"Bagaimana bisa kamu ada di sini, kalian?" tanya Gio menatap kawan kawan lamanya tersebut heran. "Apa aku udah mati, ya? Ini surga? Kenapa mirip desa Amethys?" tanyanya dengan pertanyaan beruntun dan membuat Wira terkekeh.
"Kamu masih hidup, Gi. Begitu juga kami, eum, mereka lebih tepatnya," sahut Wira sambil menoleh kepada dua orang di belakang mereka. Gio ikut menatap Arya dan Nayla dengan mata berkaca kaca.
"Kenapa mereka seolah nggak kenal aku?" tanya Gio dengan wajah sedikit kesal, dan hendak meluapkan hal itu ke Arya dan Nayla. Tetapi Wira menahan tangannya, mendekatkan sedikit kepalanya dan berbisik. "Mereka ... nggak ingat siapa kamu. Jadi tahan dulu emosimu, Gi."
"Maksudmu?"
"Hm, ceritanya panjang. Bisa kita pulang dulu ke rumah, dua orang itu butuh teh hangat dan makanan. Biasa, mabuk perjalanan," jelas Wira dengan senyum tipis.
Gio mengerutkan kening lalu mengajak mereka masuk ke dalam mobil.
Langit mulai gelap, mereka semua turun dari mobil dan berjalan ke rumah tersebut. Siluet bayangan mulai Nayla rasakan saat melihat rumah ini. Ia sempat berhenti dan memandangi bangunan di depan mereka. Gambaran samar mulai datang di pikirannya, masih samar. Tidak begitu jelas. Hanya saja, ia yakin kalau bangunan itu adalah rumah di depannya sekarang. Gio menjerit memanggil nama pemilik rumah sambil tetap memandangi para tamunya. Ia masih menganggap sedang bermimpi karena kembali bertemu dua orang tersebut dengan wujud yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Pintu rumah Gio buka, tetap sambil berteriak memanggil nama Abimanyu. Lalu tak lama kemudian, suara sahutan terdengar dari lantas atas. Dengan suara langkah kaki yang mantap dan perlahan jelas, mereka terus menatap ujung anak tangga yang ada di tengah ruangan. Kini seorang pemuda berumur sekitar 35 tahunan muncul dari sana. Langkahnya terhenti tatkala melihat tamu yang datang bersama pamannya. Jantungnya seolah langsung berhenti berdetak selama dua detik, lalu kembali memacu dengan cepat hingga memaksanya harus menekan dadanya tersebut untuk mengurangi perasaan aneh yang tiba tiba muncul.
"Ayah? Ibu?" panggilnya sambil menatap dua orang yang sangat ia kenal dan tentu ia rindukan. Walau mereka jauh lebih muda dari orang tuanya saat terakhir kali ia lihat dulu. Bahkan kini, Abimanyu jauh lebih tua daripada kedua orang tuanya. Nayla dan Arya yang kini masih berumur 25 tahun hanya menatap pemuda itu dengan kebingungan. Tapi jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, di sudut lain hati mereka, ada perasaan getir dan bahagia yang bercampur menjadi satu saat kedua bola mata mereka bertemu dengan bola mata Abimanyu.
"Eum, Arya, Nayla ... Dia Abimanyu. Anak kalian di kehidupan kalian sebelumnya," jelas Wira menatap mereka bergantian. Ketiga orang tersebut hanya diam, Abimanyu kembali melangkahkan kakinya mendekat kepada dua sosok yang sangat ia kenal dulu. Matanya berkaca kaca, bibirnya bergetar, ia menahan sesak di dada dengan berusaha mengatupkan kedua rahangnya. Ia menoleh ke Wira yang berdiri di samping Arya.
"Jadi Om Wira berhasil menemukan mereka?" tanyanya dengan menahan tangis yang hampir pecah. Wira mengangguk pelan dengan senyum getir. Ia yakin ini bukanlah suasana terbaik yang bisa ia ciptakan. Karena baik Arya mau pun Nayla belum bisa mengingat semua kenangan mereka di masa lalu, dan hal ini pasti sangat menyakiti Abimanyu karena tidak dikenal oleh orang tuanya sendiri.
Abi kembali menatap Arya, ia tersenyum getir. Sementara Arya hanya berdiri diam dengan memaksa senyum yang sama seperti apa yang dilakukan pria di depannya. Abimanyu yang menyadari kekakuan ini, tidak bisa memaksakan apa pun. Ia tau dan sangat sadar kalau semua butuh waktu. Dan baginya asal dapat melihat kembali dua orang itu, rasanya sudah lebih dari cukup.
"Hai, kamu ... Abimanyu?" sapa Nayla dengan pertanyaan basa basi. Abi menoleh ke wanita muda di samping Arya yang dengan ramah menyapanya terlebih dahulu. Terlihat aneh, namun ia menghargainya, sangat. Dan sikap Nayla barusan benar benar merobohkan pertahanan air mata Abimanyu. Tangisnya pecah. Kedua bola matanya mengalirkan air bening dengan cukup deras. Abimanyu mengangguk cepat menanggapi pertanyaan Nayla. Sambil mengelap air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi dengan telapak tangan kirinya, tangan kanan Abi menjulur ke arah wanita muda itu. Bermaksud saling berkenalan. Nayla justru menepis tangan itu dan langsung memeluk Abimanyu erat.
Sikap Nayla justru membuat Abi makin menangis lagi. Seorang Abimanyu yang terkenal tegar dan kuat kini terlihat sangat rapuh di depan ibunya. Isak tangis Abi mampu didengar Nayla dengan cukup jelas. Walau dirinya belum mengingat apa pun, tapi hatinya tersentuh dan ikut sakit mendengar Abi menangis. Bahunya terasa basah karena tangis Abimanyu. Nayla mengelus punggung Abimanyu lembut. Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya, hanya ada suara tangis. Dan makin lama, kedua mata Nayla juga mulai mengeluarkan air bening yang sama. Ia bahkan tidak sadar dan tidak tau mengapa ia juga menangis. Siluet bayangan kembali muncul, menunjukkan beberapa kenangan yang pernah terjadi di rumah ini. Nayla sangat yakin kalau wanita dalam penglihatannya adalah dirinya sendiri. Wanita itu sedang menggendong seorang anak kecil yang sangat aktif, dan berakhir dengan panggilan, "Abimanyu!"
Nayla segera melepaskan pelukannya. Lalu menatap pria yang memiliki nama yang sama tersebut. Ia menggeleng pelan.
"Kenapa, Nay?" tanya Wira. Nayla yang sejak tadi diam dan hanya menatap Abimanyu lantas menggeleng cepat. "Ngga apa apa!"
Wira tersenyum tipis dan sedikit lega..
***
"Jadi di mana saja kunci yang Om maksud tadi?" tanya Abimanyu dingin. Sorot matanya penuh hasrat ingin menyelesaikan semua ujian yang terdapat di dalam buku catatan yang dibawa oleh Wira. Ia yang memang sudah terbiasa menantang bahaya, kini sudah tidak takut lagi akan maut yang ada di depan mata. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu rumah Abimanyu.
"Kita harus mendatangi satu persatu tempat itu untuk mengambil kunci kunci tersebut."
"Apa nggak sebaiknya kita berpencar, Ra?" tanya Arya.
"Enggak. Kita harus menghadapinya bersama sama, Ya. Karena kesepuluh tempat ini adalah beberapa tempat misterius dan berbahaya. Aku saja nggak tau apa saja bahaya yang akan mengintai kita nanti di sana. Dan aku yakin kalau kita ke sana bersama sama, akan lebih memungkinkan untuk mendapat kunci kunci itu."
"Gue ikut, Bi!" cetus Vin, antusias. Semua orang menatapnya dingin, namun Abi justru menggeleng cepat.
"Jangan, Vin. Harus ada yang tinggal di sini. Kasihan Allea, dia lagi hamil, kan? Kita harus bagi tugas sekarang. Elu sama Rendra tetap di desa. Jaga semua orang. Gue yakin para iblis itu bakal mencari kami, dan bisa saja sampai ke sini saat kami pergi. Gue nggak sanggup lagi kalau terjadi sesuatu sama desa ini. Tolong, jagain mereka semua. Gue yakin kalian berdua bisa melakukan itu," pinta Abimanyu pada Vin dan Rendra.
Walau butuh waktu agak lama, akhirnya mereka berdua setuju dengan permintaan Abimanyu. IA lantas menoleh ke Gio yang duduk di sampingnya. "Paman ... paman juga harus tinggal di sini buat bantu ...."
"Nggak! Gue nggak bakal diam saja di saat kalian bertarung lagi, Bi. Inget, gue udah janji sama Arya, kalau gue bakal jagain anaknya! Gue ikut!" kata Gio yang memotong perkataan Abimanyu. Hal ini membuat Abi menarik nafas panjang dan menghembuskannya cepat. Ia sadar kalau ucapan Gio tidak akan bisa dicabut kembali. Abi sebenarnya takut jika terjadi sesuatu dalam misi mereka kali ini. Firasatnya tidak enak sejak ia mendengar penjelasan Wira tadi. IA yakin, akan ada pertempuran besar besaran. Dan ia takut. Baru kali ini ia merasa takut menghadapi kematian.
Mobil sudah berjalan meninggalkan rumah. Allea, Vin dan Rendra hanya menatap kepergian mereka dari teras rumah itu. Rumah itu akan kosong dalam waktu yang cukup lama, dan tidak dapat diprediksi kapan mereka akan kembali. Bahkan mereka juga tidak tau, apakah mereka akan kembali ke sana atau tidak.
Keadaan di dalam mobil hening, hingga akhirnya Gio menyalakan musik untuk mengisi keheningan kali ini. "Wah lagu ini, memang legendaris, ya," ucap Arya saat sebuah lagu milik Aerosmith melantun keras di sepanjang caravan, mengiringi perjalanan mereka.
"Bukannya ini lagu kesukaanmu sejak dulu, Ya," cetus Gio sambil melirik ke arah pemuda di belakangnya.
"Benar, kah? Wah, rupanya seleraku nggak berubah, ya," kata Arya sambil menikmati lagu tersebut. Abimanyu yang duduk di sampingnya hanya diam, dengan perasaan tidak karuan. Ia sesekali melirik ke ayahnya yang kini lebih muda darinya. Arya yang menyadarinya lalu menoleh pada Abi.
"Hei, Bi, Apakah aku dulu menyebalkan?" tanya Arya dengan pertanyaan yang membuat Abimanyu sedikit tersentak.
"Eum, menyebalkan dalam artian bagaimana?" tanya Abi, ragu.
"Nayla bilang aku ini manusia paling menyebalkan dan dingin."
Abi terkekeh mendengar kalimat itu, karena ia bisa membayangkan kalau ayahnya itu tetap sama. Walau sudah berganti kehidupan.
"Ayah, memang orang yang menyebalkan, eh ... Maaf, aku ... eum." Kalimat Abi terpotong karena menyadari panggilan nya untuk Arya sudah meluncur mulus dengan kebiasaannya dulu.
Keadaan menjadi sedikit kaku, Wira dan Gio juga sempat melirik ke belakang. Di mana percakapan ayah dan anak beda generasi itu terhenti.
"Santai aja. Kalau kamu lebih nyaman memanggilku begitu, aku nggak masalah," jelas Arya sambil menepuk bahu Abimanyu. Ia lalu bersandar di punggung kursi dan merapatkan jaketnya. Matanya terpejam dan tidak menyadari kalau pria di sampingnya masih diam membisu. Tapi bibir Abimanyu tersenyum samar. Ia kini membetulkan posisi duduknya dan menoleh ke arah jendela samping. Mungkin dalam kehidupan ini mereka bukanlah ayah dan anak, tapi setidaknya Abi seolah mendapat kesempatan kedua untuk bisa dekat kembali dengan sosok Arya dan Nayla.
Di bagian belakang caravan, dua wanita yang baru bertemu beberapa jam lalu justru terlihat akrab. Ellea memang terkadang masih terlihat kikuk jika berhadapan dengan Nayla. Bukan karena Nayla adalah ibu dari pria yang ia cintai, tapi karakter Nayla yang unik dan cerdas membuat Ellea kagum.
"Wow, jujur aku baru pertama kali ini bertemu Nephilim. Kamu terlihat cantik untuk seorang Nephilim, Ell," puji Nayla dengan mata berbinar. Ia terlihat tulus bagi Ellea.
"Seberapa kamu tau tentang Nephilim, Nay?"
Gadis itu menerawang ke langit langit caravan, menatap lampu panjang yang ada di atas mereka.
"Sekilas aja sih, karena informasi tentang Nephilim nggak begitu banyak dijelaskan. Mungkin karena kalian hanya ada sedikit saja di dunia ini. Dan Wira bilang, kalau kamu Nephilim terakhir, ya? Wah, para iblis itu pasti benar benar gencar membunuh para Nephilim lain."
"Yah, sepertinya memang begitu. Tapi paling tidak, aku bukan makhluk aneh satu satunya di mata manusia. Masih ada Rendra, hehe. Lucu, kan, kalau kami ini kelompok makhluk dengan berbagai jenis."
"Hm, itu bukan lucu sih menurutku, tapi luar biasa, Ell. Kalian bersahabat dengan saling melindungi satu sama lain. Rendra, yang seorang werewolf, eum ... aku hampir tidak percaya kalau ada werewolf yang berhati manusia."
"Aku juga nggak sangka, kalau bisa ngobrol dengan reinkarnasi ibunya Abi." Nayla menatap Ellea, lalu keduanya tertawa bersama. "Kita ini bagai kelompok orang orang aneh, ya," cetus Nayla.
****
Perjalanan mereka sudah memakan waktu lebih dari 24 jam, tujuan yang mereka tuju hanya tinggal beberapa jam lagi. Kini Abimanyu bergantian menyetir di dampingi Wira. Malam sudah makin larut, keempat orang di belakang sudah tidur nyenyak. Caravan milik Gio memang disediakan kasur dan beberapa tempat tidur yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa untuk tempat sempit ini. Dan suara dengkuran terdengar bersahutan di belakang.
"Rasanya lama banget aku nggak denger suara dengkuran Gio dan Arya yang saling bersahutan seperti itu," kekeh Wira sambil menoleh sebentar ke belakang. Abimanyu tersenyum dan tetap fokus menyetir. Mereka melewati lahan persawahan dan sebentar lagi akan masuk ke dalam hutan. Tentu jalanan beraspal memang masih terlihat dalam jarak pandang mereka sekarang.
Kini jalanan berubah menjadi bebatuan, jalan beraspal sudah habis sejak beberapa meter di belakang mereka. "Om yakin kalau ini tempatnya?" tanya Abi sambil menyapu pandang ke sekitar.
"Yakin, Bi. Aku udah nyari tau tentang desa ini, dan memang desa ini yang kita cari," jelas Wira.
Namun samar samar di depan mereka ada beberapa orang yang sedang berjalan dengan memikul ranting ranting pohon di punggung mereka.
"Eh, itu ada orang, Om," kata Abi menunjuk 4 orang di depan mereka. Mobil mulai melambat dan Abi seperti ingin menghampiri orang orang itu. Ia lantas menghentikan mobil tanpa mematikan mesin mobil. "Bi, mau apa?"
"Abi mau coba tanya mereka."
"Tunggu! Mereka itu bukan manusia!" cegah Wira, dengan tatapan dingin.
Saat Abi mulai meyakini perkataan Wira, orang orang di depan mereka berhenti berjalan. Diam tanpa menoleh atau bergerak sedikit pun dari tempat mereka berdiri. Abi dan Wira makin was was. Abi lantas melirik jam di pergelangan tangannya. Dan ini sudah lewat tengah malam, dan memang aneh jika mendapati ada orang yang ada di tempat terpencil seperti ini. Karena desa terakhir yang mereka lewati tadi sudah jauh sekali. Tidak ada lagi pemukiman penduduk dalam jarak dekat.
"Jadi mereka apa?" tanya Abi terus memperhatikan keempat orang tersebut.
"Hantu! Dan, aku yakin cuma kita berdua yang bisa melihat mereka," kata Wira sambil menoleh ke teman teman mereka di belakang.
"Masa sih, Om?"
"Mau bukti?" tanya Wira, dan Abi tentu mengangguk pelan. Hantu? Wah, ini memang unik. Abi memang beberapa kali bisa melihat keberadaan hantu, tetapi akhir akhir ini dia sudah tidak melihat mereka lagi. Wira menjulurkan tangannya ke belakang, di mana Gio yang paling dekat dengan mereka. Tubuh Gio dibangunkan, dalam sekali sentuh Gio langsung terbangun kaget. Ia segera duduk dan langsung kesal.
"Apa sih?! Gue lagi mimpi tadi tau!" omel Gio.
"Gi, lihat orang orang itu nggak?" tanya Wira sambil menunjuk di mana keempat orang itu berdiri di luar. Gio mengerutkan kening dan mengikuti jari telunjuk Wira. Namun, tidak ada yang Gio lihat, hanya padang ilalang di tengah hutan.
"Apaan sih? Mana ada orang? Terus, kenapa kita berhenti? Ini masih di hutan, kan?" Gio lantas membetulkan letak bantal miliknya dan kembali tidur.
"Lihat, kan? Cuma kita yang melihat mereka," jelas Wira.
"Jadi kita harus gimana, Om?"
"Jalan terus aja."
Mobil kembali dinyalakan, Abi mengikuti saran Wira dengan meninggalkan orang orang yang diindikasi adalah hantu di daerah ini. Sedikit merinding ia rasakan. Dan ia terus melajukan mobil meninggalkan sosok sosok yang masih berdiri tanpa gerakan apa pun.
Mereka terus maju sampai akhirnya bertemu kembali dengan sosok sosok tersebut. "Om! Mereka lagi!" cetus Abimanyu kebingungan. Karena sosok yang mereka lihat tadi, kini kembali terlihat dengan posisi yang sama. Abi mempercepat laju kendaraannya. Kini mereka mulai tidak nyaman dengan keadaan ini. Abi terus memperhatikan dari spion dan makin lama sosok itu makin tidak terlihat lagi.
Ia kembali mengendarai mobil dengan santai, namun baru beberapa meter ia mulai tenang, kini sosok 4 hantu tadi kembali terlihat di depan.
"Astaga! Apa apaan ini!" pekik Abimanyu. Wira ikut terheran heran dan merasa ada yang tidak beres dengan perjalanan mereka ini.
"Stop, Bi!"
regmekujo dan 6 lainnya memberi reputasi
7