diaz420Avatar border
TS
diaz420
Rendra Karno, Aktor Legendaris Indonesia di Era Revolusi Nasional


       Raden Soekarno atau yang dikenal sebagai Rendra Karno adalah seorang aktor legendaris Indonesia kelahiran 7 Mei 1920 asal Kutoarjo, Jawa Tengah. Beliau adalah putra dari seorang priyayi dan berhasil menempuh pendidikan hingga ke jenjang Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO. Pada masa penjajahan Belanda, MULO ini merupakan tingkat pendidikan primer lanjutan (setara SMA). Setelah lulus, Beliau bekerja sebagai asisten Boekhouderatau Asisten Pembukuan di sebuah bioskop.

       Pada tahun 1941, industri perfilman Indonesia tengah mencari sosok pemuda berpendidikan tinggi untuk memajukan nama industri perfilman Nusantara. Hal tersebut menarik minat Pak Rendra yang saat itu masih berusia 21 tahun. Beliau akhirnya direkrut oleh perusahaan film Union Films untuk berperan sebagai salah satu tokoh utama di film Soeara Berbisa. Union Films sendiri adalah sebuah perusahaan film Nasional yang didirikan pada tahun 1940 oleh 2 orang pengusaha beretnis Tiongkok bernama Ang Hock Liem dan Tjoa Ma Tjoen. Perusahaan yang bertempat di Batavia (sekarang Jakarta) ini merupakan salah satu upaya pemerintah Hindia Belanda untuk memajukan industri perfilman Nusantara usai sukses dengan rilisnya sejumlah film legendaris Indonesia, seperti Terang Boelan (1937), Fatima (1938) dan Alang-Alang (1939).



Logo Union Films


       Film Soeara Berbisamerupakan film bergenre drama yang menurut Ane punya plot twist yang cukup menarik. Menceritakan tentang kisah cinta antara seorang atlet muda bernama Mitra dengan sang kekasih bernama Mardinah. Akan tetapi, dalam perjalanan cintanya, seorang lelaki bernama Mardjohan juga jatuh hati dengan Mardinah. Namun, untuk mendapatkan hatinya Mardinah, Mardjohan menggunakan cara kotor, dimana Ia memfitnah Mitra sebagai anak dari seorang pelaku kriminal yang saat ini sedang dipenjara. Cara Mardjohan berhasil mengusik pikiran Mitra. Alhasil, Mitra pun memutuskan untuk merantau ke kota untuk mencari pekerjaan baru sekaligus menenangkan pikirannya dari fitnah Mardjohan, walaupun Ia terpaksa harus berpisah dengan Mardinah.


       Saat di kota, Mitra berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik yang tanpa Ia sangka adalah pabrik milik Mardjohan. Mengetahui hal tersebut, Mitra memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Namun di satu waktu, Mardjohan yang punya niat buruk berusaha untuk melukai Mitra. Naas, malah Mardjohan sendiri yang terluka parah akibat ulahnya sendiri. Mitra menolong Mardjohan dan akhirnya bertemu dengan Ibu dari Mardjohan. Disinilah plot twist tersebut dimulai.

       Ibu Mardjohan terkejut melihat Mitra karena Ia mirip sekali dengan sosok anaknya yang hilang saat umur 3 tahun. Mitra yang tidak mengingat asal usul orang tuanya tidak mempercayai omongan Ibunya Mardjohan. Sampai akhirnya sang Ibu menunjukkan sejumlah bukti yang sangat konkrit yang membuktikan bahwa Mitra selama ini adalah anak kandungnya plus Kakaknya Mardjohan yang hilang bertahun-tahun lamanya. Setelah plot twist tersebut terungkap, barulah Mitra mencoba untuk menyelesaikan masalahnya dengan Mardjohan adiknya. Dan akhirnya, nama Mitra berhasil dibersihkan dari semua fitnahnya Mardjohan dan Mitra pun kembali kepada sang kekasih Mardinah. Mereka pun menikah dan hidup bahagia setelahnya, sakinah-mawaddah-warahmah.

       Film Soeara Berbisa ini tergolong sukses di pasar Nasional dan berhasil menarik perhatian penonton baik dari warga pribumi maupun warga Belanda. Dari segi ulasan kritikus media De Indische Courant (media cetak pada masa pemerintahan Hindia Belanda saat itu) pun hasilnya sangat bagus. Film tersebut diputar di bioskop bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dengan rating “Semua Umur”. Akan tetapi, setelah sempat ditayangkan kembali pasca kemerdekaan pada tahun 1949, film ini dinyatakan telah hilang. Dalam proses produksinya, film Soeara Berbisa direkam menggunakan gulungan film berbahan nitroselulosa yang sifatnya mudah terbakar. Pada tahun 1952, terjadi kebakaran di gudang milik Produksi Film Negara yang menyebabkan sejumlah arsip film hangus terbakar. Dan salah satunya adalah film Soeara Berbisa.


Iklan Film "Soeara Berbisa" di sebuah koran zaman dulu


       Usai sukses dengan film Soeara Berbisa, Pak Rendra Karno kembali dengan film terbarunya yang berjudul Mega Mendoeng, yang dirilis pada tahun 1942. Kembali berperan sebagai pemeran utama, pada film ini Pak Rendra berperan sebagai Soedjono, seorang asisten apoteker yang jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Koestini. Kisah cinta mereka harus terganggu oleh hasutan koleganya Soedjono yang bernama Soekatma. Ia menghasut Ayah dari Koestini yang menurut alur cerita film memiliki trust issue, dimana Soekatma menuduh Koestini malah main laki-laki daripada fokus kuliah di luar kota. Dengan sifat Ayahnya yang seperti itu, Koestini dipaksa sang Ayah untuk pulang ke kampung dan membuatnya harus terpisah dengan Soedjono. Sampai satu waktu, Soedjono mendapat kabar kalau Koestini meninggal dunia karena sakit. Ia pun murka dan tak terima dengan kabar tersebut. Soedjono terus mencari keberadaan Koestini yang sebenarnya. Dan berkat “kekuatan cinta” mereka, Soedjono berhasil bertemu dengan Koestini yang rupanya kabur dari rumah dan memilih untuk tinggal di Megamendung, Bogor. Film pun berakhir dengan kehidupan Soedjono dan Koestini yang memutuskan untuk menikah dan hidup bahagia di Megamendung.


Poster Film "Mega Mendoeng"

       Film Mega Mendoeng menjadi film terakhir yang diproduksi oleh Union Films yang terpaksa harus tutup akibat pergantian kekuasaan penjajahan dari Belanda ke Jepang. Perusahaan tersebut hanya memproduksi 7 film di masa berdirinya selama 2 tahun (1940-1942) dengan judul Kedok Ketawa (1940), Harta Berdarah (1940), Bajar Dengan Djiwa (1941), Asmara Moerni (1941), Wanita dan Satria (1941), Soeara Berbisa (1941) dan Mega Mendoeng (1942). Selama masa penjajahan Jepang hingga era Revolusi Nasional Indonesia, Pak Rendra Karno beralih menjadi aktor teater. Pada tahun 1943, Beliau tergabung dalam Grup Teater Maya, sebuah grup teater amatir pimpinan sutradara Usmar Ismail. Pasca kemerdekaan pada tahun 1945-1947, Pak Rendra beralih ke grup teater profesional bernama Bintang Soerabaja dibawah pimpinan sutradara Fred Young. Pada saat Beiau masih tegabung dengan Grup Teater Maya, Beliau pernah bermain film propaganda berjudul Di Menara.


       Di penghujung era revousi Nasional tepatnya pada tahun 1948, Pak Rendra Karno kembali ke pekerjaannya sebagai aktor layar lebar dengan bergabung bersama perusahaan film South Pasific Film Corporation (SPFC). Beliau bermain di 3 film produksi SPFC sebelum nantinya perusahaan tersebut bergabung dengan Berita Film Indonesia dan berganti nama menjadi Produksi Film Negara. Film tersebut diantaranya ada Anggrek Bulan, Harta Karun dan Tjitra. Memasuki awal dekade 1950-an, Pak Rendra mulai dikenal sebagai aktor ternama Indonesia saat itu usai memainkan sejumlah film yang diproduksi oleh beberapa perusahaan film yang berbeda. Puncaknya adalah ketika Beliau bermain di 2 film karya studio Perfini yang berjudul Kafedo dan Krisisdi tahun 1953. Di film tersebut Beliau juga kembali bekerja sama dengan Usmar Ismail selaku sutradaranya. Film Krisis juga menjadi salah satu film terlaris Beliau karena berhasil menghasikan sebuah sekuel bejudul Lagi-Lagi Krisis pada tahun 1955. Pak Rendra yang saat itu masih menggunakan nama kelahirannya (Raden Soekarno) mulai mengganti namanya menjadi Rendra Karno atas mandat dari Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa segala bentuk nama kedaerahan (termasuk Raden) dan kebarat-baratan harus diganti.

       Nggak cuma aktif sebagai aktor, Pak Rendra juga aktif dibelakang layar dengan bertugas sutradara dan asisten sutradara di beberapa perusahaan film, juga aktif sebagai aktivis perfilman Indonesia dengan menjadi anggota Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI). Sebagai anggota PARFI, Beliau menyuarakan pendapatnya untuk memajukan nama industri perfilman dalam negeri agar mampu bersaing dengan film luar negeri. Beliau juga sampai diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Presiden untuk membahas beberapa kebijakan tentang perfilman di Indonesia, seperti pengkajian ulang aturan impor film di dalam negeri, pembuatan arsip film dan meningkatkan kontribusi Indonesia di beberapa festival film kelas Internasional.



Pak Rendra Karno saat bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Presiden


      Puncak karier Pak Rendra tercapai di tahun 1963, usai Beliau memenangkan penghargaan level Internasional pertamanya sebagai Aktor Pendukung Terbaik (Best Supporting Actor) di ajang Asian Film Festival di Tokyo, Jepang. Bajangan di Waktu Fadjar adalah judul dari film yang membawanya menuju kemenangan pertamanya di kancah Internasional. Sedikit fun fact, film Bajangan di Waktu Fadjar ini merupakan film hasil kolaborasi antara Perfini dengan perusahaan film asal Malaysia, yaitu Merdeka Film.Usai sukses dengan penghargaan Internasional perdananya, pada tahun 1965 usai bermain di film Takkan Lari Gunung Dikedjar, Pak Rendra memutuskan untuk hiatus sementara dari dunia perfilman.

       Barulah pada dekade 1970-an Beliau kembali aktif baik sebagai aktor maupun sutradara di sejumlah judul film. Hingga pada tahun 1980, Kembang Semusim menjadi judul film terakhir Beliau sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir di tanggal 27 November 1985. Semasa hidupnya, Beliau memiliki seorang istri bernama Djuriah Karno dan merupakan Ayah dari Rita Subowo, Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di tahun 2007-2011. Untuk segi filmografi, Beliau tercatat memiliki peran di 50+ judul film.



Ibu Rita Subowo, Ketua Umum KONI periode 2007-2011











rinandya
nyonyo2
scorpiolama
scorpiolama dan 5 lainnya memberi reputasi
6
2K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.4KAnggota
Tampilkan semua post
bonek.kamarAvatar border
bonek.kamar
#6
Ni ada hubungan sama tino, rano, & suti Karno Gan?
diaz420
diaz420 memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.