- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
rumahkarya0405 dan 195 lainnya memberi reputasi
192
276.8K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#782
#62 - I Love You
Spoiler for #62 - I Love You:
Jeje pergi mengantar cewek bule bernama Claire keluar dari kamar. Sementara gua melanjutkan menyisir dan mengeringkan rambut Anggi yang masih basah.
Nggak seberapa lama, Jeje kembali masuk ke dalam kamar. Ia berjalan cepat menuju ke arah sofa tempat tadi ia duduk. Kemudian beralih ke koper yang tergeletak di ujung kamar, membuka dan mengambil jaket miliknya.
Gua berhenti menyisir rambut Anggi, menggeser duduk hingga ke tepi ranjang lalu bertanya kepadanya; “Lo mau langsung nyari Aldina?”
Jeje memberi jawaban dengan anggukan kepala.
“... Nggak mau istirahat dulu?”Tanya gua lagi.
“Nanti aja..” Ia memberi jawaban singkat.
Setelahnya ia naik ke atas ranjang, memberi kecupan di kening Anggi dan bicara; “Papah keluar sebentar, Anggi sama tante cantik dulu ya..” Yang lantas di respon Anggi dengan anggukan kepala.
Ia lalu beralih ke gua.
“Tunggu ya, gua pasti balik ke elo kok” Ucapnya pelan seraya membelai kepala gua.
Gua mendongan, menatap ke arahnya.
“Janji?”
“Iya Janji…” Jawabnya penuh keyakinan.
Lalu, ia pergi meninggalkan kami berdua di dalam kamar. Sesaat kemudian, hati ini terasa kosong; Takut. Takut ia tak akan kembali ke pelukan gua. Takut, Takut nanti ia kembali sebagai orang yang berbeda.
Seakan tau dengan kegelisahan gua, Anggi mendekat, lalu memeluk gua dari belakang. Dengan gayanya yang menggemaskan, ia mulai bicara; “Tante cantik, jangan sedih ya.. kan ada Anggi…”
Gua lalu berpaling ke arahnya lalu tersenyum; “Iya sayang…”
Selesai berpakaian, kami berdua lalu keluar dari kamar, berkeliling hotel tanpa Jeje; hanya gua dan Anggi. Masuk ke restoran, makan sepuasnya, lalu kembali berkeliling. Saat tiba di area kolam renang, Anggi lantas menarik ujung kaos yang gua kenakan.
“Tante cantik, Anggi boleh nggak berenang?” Tanyanya seraya menunjuk ke arah kolam renang.
Gua membungkuk di sebelahnya lalu bicara; “Boleh sih.. Tapi, kan kita abis mandi. Nanti kalo berenang harus mandi lagi dong…”
“Iya ya.. Yaudah kalo gitu besok aja ya Tante cantik..”
“Iya..” Gua menjawab sambil tersenyum. Merasa bangga dengannya karena nggak rewel saat meminta sesuatu, apalagi berenang, sesuatu yang ia sukai dan bakal ia perjuangkan mati-matian seperti kebiasaannya. Ini bukan seperti Anggi yang gua kenal, ia seperti tau akan kegundahan hati gua dan berusaha menghibur dengan caranya sendiri.
Setelah puas berkeliling hotel, gua memberanikan diri keluar dari area hotel, berbelok ke kiri dan mendapati bangunan persegi yang rupanya sebuah supermarket. Anggi menarik lengan gua dan menunjuk ke arah supermarket tersebut, mengajak masuk ke dalam.
“Duh, Tante nggak bawa dompet lagi…” Gumam gua pelan.
“...”
“... Kita balik ke kamar dulu ya, ambil dompet…”
“Iya…” Jawab Anggi.
Kami kembali ke hotel dan menuju ke kamar. Begitu meraih dompet, barulah gua menyadari kalau saat ini, gua sama sekali nggak memiliki dollar Kanada. “Yah, tante lupa nuker duit lagi nggi. Kita nggak bisa jajan deh..” Ucap gua seraya menatap Anggi yang sudah menunggu.
Gua mengeluarkan ponsel, berniat untuk menghubungi Jeje, ingin bertanya apakah kartu kredit gua bisa digunakan disini, tapi gua urungkan; takut mengganggunya. Lalu, terlihat sebuah notifikasi pesan pada layar ponsel gua; dari Jeje.
‘Kalo ada apa2 atau mau jajan pake kartu gua di atas meja TV’ begitu isi pesan dari Jeje.
“Nggi, coba di deket TV ada kartu Papah nggak?” ucap gua ke Anggi. Ia lalu dengan cekatan mendekat ke arah meja TV, meraba permukaannya dan menemukan sebuah kartu. Dengan tangannya yang mungil, ia mengangkat kartu berwarna hitam dengan tulisan emas ke atas; “Ada tante cantik.. yeay..”
Gua tersenyum. Kemudian meraih kartu tersebut dari tangan Anggi dan kembali ke luar.
“Kalo pake kartu papah, kita bisa jajan kan tante?” Tanya Anggi.
“Bisa dong…”
“Kita bisa beli es krim tante?”
“Bisa…”
“Segini?” Tanya dengan kedua tangannya ia bentangkan.
“Haha, Kalo sebanyak itu nanti batuk…” Ucap gua.
Anggi lantas mengecilkan bentangan tangannya, kemudian kembali bertanya; “Kalo segini, masih batuk?”
“Haha, masih lah… Kita beli tiga aja, satu buat tante, dua buat Anggi…”
“Papah?”
“Papah kan lagi pergi, kalo kita beli sekarang nanti lumer dong..”
“Oiya..”
Dengan es krim di tangan dan sebuah roti dalam pelukan, Anggi berjalan di depan gua, sambil sesekali melompat saat ada gundukan di sisi trotoar. Setelah keluar dari supermarket, gua nggak kembali ke hotel. Melainkan terus ke kiri, ke arah tempat yang terlihat ramai.
Beberapa meter dari sana, terdapat sebuah pertigaan, yang salah satunya menuju ke dermaga. Sambil menggenggam lengan Anggi, gua membawanya menuju ke tepian dermaga dimana terlihat banyak burung merpati yang sibuk terbang lalu kembali begitu melihat makanan yang diberikan oleh pengunjung.
Terdapat papan bertuliskan ‘Halifax Harbour Walk’ di salah satu sudut dermaga. Di ujung kanan terlihat sebuah bangunan besar bergaya Victoria yang sepertinya merupakan sebuah restoran tepi laut. Sementara, di sebelah kiri terdapat bangunan minimalis modern yang ternyata merupakan terminal kapal Ferry.
Gua duduk di tepian dermaga dan Anggi sibuk melindungi roti miliknya dari sergapan burung merpati. Gua tersenyum kemudian melambaikan tangan, memanggilnya. Anggi mendekat lalu duduk di pangkuan gua, ia melayangkan protes sembari menunjuk ke arah gerombolan burung merpati yang mengikutinya.
“Coba Anggi kasih rotinya…” Ucap gua ke Anggi.
Penuh keraguan, Anggi memotong roti milinya menjadi remahan kecil dan menyebar remahan tersebut tepat di depan kami. Sontak, gerombolan burung merpati yang jumlahnya puluhan langsung berkumpul.
Melihat hal tersebut, Anggi menoleh ke arah gua lalu tersenyum; “Hehehe…” dan mulai melakukan hal yang sama berkali-kali hingga gua mencegahnya.
“Udah, nanti rotinya abis.. Kamu malah nggak makan..” Ucap gua.
“Gapapa, nanti kita beli lagi. Kan ada kartunya papah…”
Setelah roti miliknya habis dan tak ada lagi sesuatu untuk ia berikan ke gerombolan burung merpati, Anggi kembali duduk di pangkuan. Kami berbalik, gua duduk bersila dan menatap ke arah teluk di depan kami. Terlihat, di kejauhan sebuah dataran lain, dimana kapal Ferry wara-wiri kesana.
Lama kami berdua duduk, tanpa bicara. Hingga terlihat Anggi mulai menguap.
“Anggi ngantuk?” Tanya gua. Yang lantas diresponnya dengan anggukan kepala.
“Pulang yuk…”
“Yuk..”
Nggak butuh waktu lama buat Anggi untuk langsung terlelap begitu kami tiba di kamar hotel. Sementara Anggi tidur, gua duduk di sofa panjang dan memandangi layar ponsel, tak ada lagi pesan darinya.
Gua nyaris tertidur saat terdengar ketukan di pintu kamar. Sambil menghela nafas, gua mendekat dan membuka pintu. Terlihat Jeje berdiri di ambang pintu.
“Lama banget…” Gua menggumam pelan sambil pasang tampang cemberut. Mata gua lalu tertuju ke sosok perempuan yang sejak tadi berdiri di belakangnya; Aldina.
Kedua lutut gua mulai lemas saat menyadari Jeje kembali bersama Aldina. ‘Iya, memang benar ia kembali, tapi gua nggak berharap ia kembali bersamanya’
Gua berbalik, kembali masuk ke dalam kamar, meninggalkan mereka berdua dengan posisi pintu kamar masih terbuka.
Mereka berdua lalu masuk, sementara gua hanya duduk terdiam di tepi ranjang, membelakangi mereka berdua. Nggak lama, Jeje memanggil gua.
“Apa?” Tanya gua, ketus.
“Aldina mau ngomong” Jawab Jeje seraya menunjuk ke arah Aldina.
Sebelum mulai bicara, Aldina sempat melirik ke arah Anggi, memastikan kalau ia masih terlelap.
“Udah ngomong aja, Anggi kalo tidur kayak Papahnya; kayak kebo!” Respon gua begitu melihat sikap Aldina barusan.
Aldina berdehem sebentar kemudian mulai buka suara.
“Apa kabar Lad?” Tanyanya, berbasa-basi.
“Alah, udah nggak usah banyak intro deh..”
“Heh, gini-gini gue lebih tua dari elo. Bisa sopan dikit nggak?” Ia bicara, kini nada suaranya mulai sedikit tinggi.
“Emang lebih tua berarti lebih bijak?” Balas gua.
“Heh, lo denger ya.. Kalo sampe lo ngecewain Jeje, apa lagi sampe ninggalin dia, gue cari lo sampe ke neraka..” Ujarnya seraya menunjuk ke arah gua.
“Heh, gue nggak kayak elo ya.. Yang dengan gampangnya ninggalin dia!” Balas gua sambil terus mendekat ke arahnya.
Mungkin ia nggak terima dengan ucapan gua barusan, Aldina ikut berdiri; “Elo anak kecil tau apaan!?”
“Gue tau semua!! dan gue bukan anak kecil!!” Balas gua lagi
Saat perseteruan kami berdua semakin intens, tiba-tiba Jeje mendekat, menatap gua dan menyebut nama gua dengan nada yang berbeda, nada bicara yang selama ini belum pernah gua dengar; “Lad”
Nada bicaranya terlihat penuh dengan penekanan, rasanya gua seperti tengah ditegur olehnya, seperti sebuah teguran keras.
Gua kecewa, mendapat perlakuan seperti itu. Rasanya nggak adil. Padahal perseteruan ini melibatkan kami berdua; gua dan Aldina, tapi kenapa hanya gua yang diperlakukan seperti ini.
Perlahan, gua melangkah mundur, sementara kedua ujung mata ini mulai basah.
“Kenapa cuma gue.. kan dia yang mulai…” Gumam gua pelan.
Ada penyesalan yang terlihat di wajah Jeje. Ia menghela nafas, kemudian berpaling ke Aldina; “Lo mau ngobrol kan, bukan berdebat?” Tanyanya pelan.
Mendengarnya bicara dengan pelan ke Aldina, membuat gua semakin merasa kesal; “Tuh, giliran sama dia lo nggak nge-gas” Ucap gua seraya menghentakkan kaki ke lantai.
Jeje malah tersenyum, lalu mulai meraih dan menggenggam tangan gua; “Nggak, gua nggak nge-gas kok” Ucapnya pelan.
“Sorry… gue yang salah..” Aldina buka suara, sementara pandangannya ia tujukan ke arah lain. Mungkin enggan melihat Jeje memegang tangan gua.
Aldina menarik nafas dalam-dalam, sambil mengepalkan kedua tangan dan menundukkan kepala, ia bicara; “Sorry ya Lad… Gue sebenernya cuma mau bilang kalo lo jangan sampe ninggalin Jeje. Gue dulu masih muda, naif dan labil, gue tau gue salah… dan gue nggak mau lo ngikutin jejak gue…”
“Iya…” Jawab gua pelan.
“Gue titip Jeje sama Anggi ya..”
“Iya..”
“And thank you, kemaren udah ngasih kabar waktu Anggi sakit..”
Aldina lalu berpaling ke Jeje.
“Elo juga! kalo ada apa-apa sama Anggi, kasih tau gue…”
“Iya Sorry…”
Lalu, tanpa di duga, Aldina kembali berdiri, mendekat dan memeluk gua. Tak ingin terlihat canggung, gua lalu membalas pelukan Aldina sambil memberi tepukan lembut di punggungnya.
Masih dalam pelukan, ia lalu berbisik; “Inget ya, kalo lo pergi dari dia, gua patahin batang leher lo..”
“Kan gue udah bilang, gue nggak kayak elo nenek sihir…” Balas gua, juga sambil berbisik.
Aldina lantas melepas pelukannya dan tersenyum, layaknya tak terjadi apa-apa. Ia lalu mendekat ke ranjang, memberikan kecupan lembut kepada Anggi lalu pergi.
—
Setelah Aldina pergi, gua langsung menjauh dari Jeje. Duduk di tepi ranjang yang lebih dekat ke arah pintu kamar. Sementara, Jeje duduk di tepi ranjang satunya; kami saling membelakangi.
“Kenapa sih lo tadi cuma manggil nama gue. Kan dia yang duluan mulai, bukan gue..” Gumam gua pelan.
“Iya Sorry. Gue nggak mau aja lo jadi keliatan jahat…” Jeje bicara, mengajukan pembelaan.
“...”
“... Lagian kok bisa-bisanya lo jadi ketus begitu ke dia. Bukannya sebelumnya kalian sempet ngobrol banyak berdua?”
“Kalo sekarang gimana nggak kesel. Lo tau-tau bawa dia kesini…”
“...”
“... gue kan takut. Gue pikir lo berubah pikiran…” Ucap gua pelan.
Jeje lalu mendekat, ia berdiri tepat di depan gua yang masih duduk di tepi ranjang. Dengan tangannya, ia meraih dagu, membuat gua mendongak, menatap ke arahnya, lalu bicara; “Gua kan udah janji, bakal balik ke elo…” Ucapnya. Ia lalu membungkuk. Saat ini posisi kepala kami sejajar.
Gua lantas membelai kepalanya, masih sambil terisak, gua bicara; “Besok kita jalan-jalan ya Je, tadi gue bosen banget. Masa di Kanada tapi cuma diem di kamar…”
“Iya… besok kita jalan-jalan..”
“...”
“... Lho, bukannya lo jajan ke supermarket?” Tanya Jeje.
“Kok tau?”
“Iya, soalnya notifikasinya kan keliatan di HP gua…” Jawabnya sambil tersenyum.
Jeje lalu mulai mendekap gua erat, begitu erat daripada pelukan pelukan sebelumnya. Tanpa aba-aba, ia meraih pinggul, mengangkat tubuh gua dalam pelukan dan membawanya ke ujung ruangan, lalu merebahkan tubuh gua tepat di atas sofa.
Wajah kami berdua begitu dekat. Sesekali, ia menyibak helaian rambut gua yang menutupi wajah sambil tersenyum.
“Kenapa, senyum-senyum?” Tanya gua seraya menyentuh bibirnya dengan ujung jari gua.
“Gapapa… gua kagum aja..”
“Kagum sama kecantikan gue?” Tanya gua lagi, yang lalu diresponnya dengan anggukan kepala, lalu tanpa jeda, Jeje mulai mengecup bibir gua.
Gua membalas kecupannya.
Sementara, ciuman kami belum berakhir, perlahan, Jeje mulai melepas kancing piyama yang gua kenakan satu persatu. Gua menepuk tangannya dan mengerling ke arah Anggi yang terlelap di atas ranjang, memberinya kode; bahwa Anggi bisa saja bangun tiba-tiba.
Jeje kembali tersenyum dan berbisik; “Kan tadi lo yang bilang, Anggi kalo tidur kaya kebo..”
Gua membalas senyumnya kemudian kembali memberinya kecupan.
Lalu, sisa malam itu, suhu di Halifax yang hangat berubah menjadi ‘Panas’!
—
Menjelang pagi, gua terbangun dan menyadari saat ini tengah berada dalam pelukan Jeje di atas sofa. Gua menyibak selimut yang menyelubungi kami berdua, berpakaian dan pindah ke ranjang, tepat di sebelah Anggi. Takut saat bangun nanti ia mendapati kami berdua terlelap sambil berpelukan.
Menyadari gua ‘hilang’ dari pelukannya, Jeje terbangun.
“Kok pindah?” Tanyanya.
“Iya.. takut Anggi bangun nanti..” Jawab gua sambil berbisik.
Jeje lalu bangun, naik ke atas ranjang. Dengan tangannya yang panjang, ia mampu menjangkau kami berdua dan memberikan pelukan.
Kemudian, untuk pertama kalinya ia bicara; “I love you…”
Masih dalam pelukannya, gua tersenyum dan menjawab; “I love you too..”
Lalu, tiba-tiba Anggi bangkit, terduduk di atas ranjang dan bicara; "Anggi mau berenang mamah cantik" Sementara kedua matanya masih terpejam. Setelahnya, ia menjatuhkan dirinya, dan kembali terlelap.
Gua dan Jeje saling menatap.
Hanson - MMMBop
Oh oh oh oh oh
Yeah
You have so many relationships in this life
Only one or two will last
You go through all the pain and strife
Then you turn your back and they're gone so fast
Oh yeah
And they're gone so fast, yeah
Oh
So hold on the ones who really care
In the end they'll be the only ones there
And when you get old and start losing your hair
Tell me who will still care
Can you tell me who will still care?
Oh care
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du
Yeah
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du
Yeah
Oh yeah
In an Mmmbop they're gone
Yeah yeah
Plant a seed, plant a flower, plant a rose
You can plant any one of those
Keep planting to find out which one grows
It's a secret no one knows
It's a secret no one knows
Oh, no one knows
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du, yeah
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du, yeah
Oh
Yeah oh
In an mmm bop they're gone
Oh yeah oh
In an mmmbop they're gone
In an mmmbop they're not there
In an mmmbop they're gone
In an mmmbop they're not there
In an mmmbop they're gone
In an mmmbop they're not there
In an mmmbop they're gone
In an mmmbop they're not there
Until you lose your hair
Oh
But you don't care
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du, yeah
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du, yeah
Yeah
Oh yeah oh oh
So hold on the ones who really care
In the end they'll be the only ones there
And when you get old and start losing your hair
Tell me who will still care
Can you tell me who will still care?
Oh care
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du, yeah
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du, care
Can you tell me? oh
No you can't 'cause you don't know
Can you tell me? oh
You say you can but you don't know
Can you tell me? oh
(Which flower's going to grow?)
No you can't 'cause you don't know
Can you tell me? oh
(If it's going to be a daisy or a rose?)
You say you can but you don't know
Can you tell me? oh
(which flower's going to grow?)
No you can't 'cause you don't know
Can you tell me? oh
You say you can but you don't know
Oh yeah
You say you can but you don't know
You don't know
You don't know, oh
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du bop, ba duba dop
Ba du, yeah
Mmmbop, ba duba dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du bop, Ba du dop
Ba du, care
Oh
Can you tell me? oh
No you can't 'cause you don't know
Can you tell me? oh
You say you can but you don't know
Can you tell me? oh
No you can't 'cause you don't know
Can you tell me?
You say you can but you don't know
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:33
jiyanq dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup