- Beranda
- Stories from the Heart
KELOPAK BUNGA ANGGREK
...
TS
beavermoon
KELOPAK BUNGA ANGGREK

Halo semuanya.
Beavermoon kembali hadir dengan cerita terbaru, dan kali ini kita akan mengusung tema detektif.
Kenapa tema detektif? Karena sebenarnya cerita ini berawal dari cerita pendek yang dibuat untuk perlombaan. Berhubung terbatasnya jumlah kata saat itu, akhirnya dibuatlah versi lengkapnya yang baru selesai beberapa bulan lalu.
Kenapa tidak buat cerita romantis lagi? Kehabisan ide, atau bisa dibilang butuh waktu untuk mengistirahatkan diri dari romansa-romansa yang sudah semakin banyak.
Apa tidak akan membuat cerita romantis lagi? Masih dalam pembuatan.
Jika ada dari suhu-suhu sekalian yang belum sempat membaca karya-karya Beavermoon sebelumnya, bisa langsung ke TKP :
Semoga suhu-suhu terhibur dengan cerita tema detektif perdana dari Beavermoon.
Salam Lemon.
Spoiler for Ringkasan:
Kasus pembunuhan kembali terjadi setelah sekian lama. Ali dan Damar, yang bekerja sebagai detektif pun mulai memecahkan kasus yang ada. Sayangnya, belum selesai dengan satu kasus, muncul kasus lain yang semakin memperkeruh keadaan.
Teringat akan satu kasus beberapa tahun silam, dimana sang pembunuh memiliki pola yang terstruktur hingga sulit untuk dipecahkan. Ali dan Damar menjadikan laporan kasus itu sebagai alat bantu untuk mencari, siapa pembunuh yang kembali beraksi. Dugaan demi dugaan terus bermunculan, mulai dari orang yang belum pernah mereka temui, hingga orang-orang terdekat.
Lalu, siapakah pembunuh kali ini?
Spoiler for Episode:
1. Kasus Lama yang Terulang. (Part 1)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
Diubah oleh beavermoon 20-05-2023 18:38
sukhhoi dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.4K
Kutip
35
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#14
Spoiler for 13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1):
Damar membuka matanya dengan berat, ia mencoba untuk kembali memejamkan matanya namun tak bisa. Ia bangun dari tidurnya dengan kepala yang pusing, kemudian ia berjalan gontai menuju lantai bawah.
TOK! TOK! TOK!Suara pintu yang diketuk dengan keras dari luar menjadi alasan Damar bangun dari tidurnya, ia menghampiri pintu untuk mencari tau apa yang terjadi.
“Mar!...”
Ali mengetuk pintu beberapa kali.
“…mana sih dia?” Ucapnya seorang diri.
Damar membuka pintu dari dalam, ia melihat Ali yang sudah berada di sana dengan pakaian rapi yang sudah ia kenakan.
“Lo ngapain sih Li? Ini masih jam...”
“Pak Candra dibunuh...”
Damar terdiam setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Ali, pikirannya bekerja lebih keras dalam kondisi yang belum sepenuhnya sadar.
Mobil yang dikemudikan Ali mendekat ke arah kerumunan orang-orang, seorang petugas kepolisian mendekati mobil mereka bersamaan dengan Ali yang membuka kaca jendela mobilnya.
“Pak detektif...” petugas itu memberikan hormat, “silahkan parkir di sana Pak.”
Ali mengikuti arahan dari petugas itu lalu memarkirkan mobilnya di belakang ambulans. Mereka pun keluar dari mobil dan mendekat menuju kerumunan. Ali melewati garis pembatas yang dibuat oleh pihak kepolisian, Damar pun menyusul di belakangnya.
Mereka berjalan mendekat ke arah pintu, di mana sudah ada Agung yang berdiri di sana. Ia pun menyadari kedatangan mereka seraya menghela nafas cukup dalam. Ali dan Damar pun berjalan melewati Agung untuk masuk ke dalam toko.
Mereka menemukan Candra, seorang penjahit sekaligus pemilik toko jahit yang mereka kenal, yang sudah membantu mereka dalam penyelidikan kasus pembunuhan, mati mengenaskan di dalam tokonya sendiri.
Candra ditemukan duduk di depan mesin jahit tuanya, kepalanya terbaring di meja dan menghadap ke arah mesin jahit. Setengah dari wajahnya sudah dipenuhi oleh bunga anggrek dan juga benang jahit, yang masih terpasang pada mesin.
Ali dan Damar pun mendekat, mereka melihat bola mata Candra yang terlepas dan diletakkan di atas bunga anggrek yang tersebar di atas meja. Di bagian belakang kepalanya, ada banyak sekali benang-benang yang terbentang dan menggantung ke arah dinding. Bentangan benang-benang itu terisi oleh bunga anggrek yang berjarak dengan rapi. Benang-benang itu tertancap di belakang kepalanya dengan banntuan jarum-jarum kecil.
Ali menghela nafasnya, sementara pandangan Damar beralih menuju kursi di mana sudah ada beberapa petugas medis dan pihak kepolisian yang berdiri mengelilingi seseorang. Damar pun menghampiri mereka untuk melihat apa yang ada di sana.
“Talia...”
Damar melihat Talia yang menatap ke arahnya dengan rasa takut. Talia pun bangun dari duduknya dengan cepat, lalu memeluk Damar sambil menangis.
“Pak... saya takut...”
Damar membalas pelukan Talia dan mencoba menenangkannya. Ali mendekat ke arah mereka, Agung pun juga mendekat lalu menyentuh lengannya hingga Ali menatap ke arah Agung. Ia memberikan isyarat kepada Ali untuk mengikutinya ke luar, Ali pun mengangguk pertanda setuju.
Mereka berdiri di depan pintu, Agung menyalakan sebatang rokok yang diikuti oleh Ali. Hembusan asap dari mulut mereka berhasil disapu oleh angin yang berhembus.
“Kok bisa ada Talia Pak?” Tanya Ali.
“Kamu kenal dengan dia?” Tanya Agung balik.
“Dia salah satu wartawan LTV yang meliput dari kasus pertama.” Jawab Ali.
“Dia orang yang menghubungi kami pertama kali.” Ucap Agung.
Ali menatap ke arah Talia sekali lagi, ia pun melihat Talia yang masih menangis dalam pelukan Damar. Segudang tanya pun berputar-putar dalam pikiran Ali saat ini, ia kembali menghisap rokoknya lalu kembali menatap Agung yang sedang menghisap rokoknya.
“Pemirsa, kasus pembunuhan kembali terjadi. Seorang pria ditemukan tewas mengenaskan di dalam toko jahit miliknya sendiri. Korban diketahui berinisial C...”
Pagi menjelang dengan awan mendung yang menyelimuti, Damar berjalan masuk ke dalam ruangan dengan dua cangkir teh hangat yang ada di tangannya. Ia memberikan satu cangkir kepada Talia yang sudah duduk di balik meja dengan tatapannya yang masih kosong, Damar pun duduk di hadapannya. Damar sempat melihat ke arah cermin dua arah, di mana ada Agung yang sedang memperhatikan mereka bersama beberapa petugas kepolisian lain.
“Silahkan diminum...” Damar kembali menatap Talia, “saya akan ajukan beberapa pertanyaan kepada kamu. Apa benar, kamu orang pertama yang melaporkan kejadian semalam?”
Talia mengangguk pelan.
“Baik. Apa benar, kamu menemukan korban sudah tidak bernyawa?” Tanya Damar lanjut.
Talia kembali mengangguk dengan tatapannya yang kosong.
“Pukul berapa kamu melaporkan kejadian itu?” Tanya Damar.
“Dua belas lewat.” Jawabnya singkat.
“Apa yang kamu lakukan di sana saat tengah malam?” Tanya Damar.
“Saya ingin bertanya... mengenai kejadian-kejadian yang sudah lewat, mungkin saja... ada perkembangan lain yang bisa saya tanyakan kepada korban.” Jawab Talia.
“Tolong ceritakan kronologi kejadian semalam.” Ucap Damar.
Talia menatap Damar, “Setelah bertemu Pak Damar dan Pak Ali di Rumah Sakit, saya merasa tidak puas jika belum menemukan perkembangan lain mengenai kasus ini. Dengan inisiatif, saya mencoba untuk mengunjungi toko jahit korban. Setibanya di sana, saya melihat toko sudah tutup dengan tanda yang ada di pintu. Namun, saya melihat ada suara mesin jahit dan bayangan korban dari jendela. Saya mengetuk beberapa kali, dan ternyata pintu terbuka sedikit. Ketika saya membuka pintu, saya menemukan korban sudah duduk di sana.”
“Apakah tidak ada suara lain dari dalam?” Tanya Damar.
Talia menggeleng, “Saya berteriak histeris hingga beberapa orang yang tinggal di daerah sana pun keluar dari rumah, kemudian saya menghubungi anggota kepolisian untuk segera datang.”
“Kamu datang sendiri?” Tanya Damar.
Talia mengangguk dengan pasti.
“Baik. Apakah kamu mendekat ke arah korban setelah melaporkan kejadian itu?” Tanya Damar.
“Tidak. Bagaimana saya bisa mendekat jika ada dua bola mata yang ada di atas meja? Itu sangat menyeramkan.” Jawab Talia.
Damar sempat melirik ke arah cermin dua arah. Beralih di tempat kejadian, Ali bersama beberapa orang dari tim forensik sedang memeriksa toko jahit. Dengan sarung tangan karet di tangannya, ia mencoba untuk memeriksa apakah ada yang tersembunyi di balik mesin jahit tua itu. Dengan seksama, ia melihat mesin tersebut lalu membuka laci kecil yang ada di sampingnya.
Ali menemukan sebuah gulungan benang yang tidak rapi sebagaimana mestinya, ia pun mengambil gulungan itu lalu diletakkan di atas meja. Secara perlahan, ia membuka gulungan itu dan menemukan adanya kartu memori kecil di sana. Setelah melihat keadaan sekitar, Ali memasukkan benda itu ke dalam sakunya dan mengembalikan gulungan itu ke dalam laci.
Ia berlalu menuju benang-benang yang menempel pada dinding, di mana saat kejadian semalam, benang-benang itu tertancap pada bagian belakang kepala korban dengan bantuan jarum-jarum kecil. Benang itu membentuk sebuah pola warna, mulai dari merah hingga ungu. Namun, anggrek yang berjarak pada tiap benang memiliki warna yang sama. Ali memutar otaknya untuk mencari tahu apa maksud dari itu semua.
Ting! Ponsel Ali berbunyi. Ia sempat terdiam memandang ke arah benang-benang itu beberapa saat, sampai akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari toko seraya melepas sarung tangan karet di tangannya.
“Talia mencurigakan.” Damar.
Ali menghembuskan asap rokok dari mulutnya selagi ia membaca pesan tersebut. Ia pun memasukkan ponsel ke dalam sakunya lalu menyalakan mesin mobil. Ali pun meninggalkan tempat kejadian menuju kantor polisi.
Setibanya di sana, ia bergabung dengan Agung dan beberapa petugas lain yang masih menyaksikan Damar menginterogasi Talia.
“Gimana Pak?” Tanya Ali.
“Sudah empat jam berlalu, tapi Damar masih mencari celah.” Jawabnya.
“Mungkin ada kecurigaan yang dirasakan Damar.” Ucap Ali.
Agung menghela nafas, “Semoga kecurigaannya membuahkan hasil. Ngomong-ngomong, saya ada rapat dengan anggota lain. Saya bisa minta tolong kamu dan ajudan saya untuk memantau investigasi?”
“Siap, bisa Pak.” Jawab ajudannya.
Ali menganggukkan kepalanya pertanda setuju. Agung dan beberapa petugas pun meninggalkan ruangan, tersisa Ali dan juga ajudan Agung yang melihat ke arah Damar dan Talia.
“Terduga mencurigakan Pak?” Tanya Ali.
“Sejauh ini jawabannya lancar Pak, tidak ada tanda-tanda kecurigaan sama sekali. Tapi, kenapa Pak Damar masih berkutat dengan pertanyaan yang sama ya Pak?” Ucapnya.
“Mungkin dia cuma mau memastikan.” Jawab Ali.
“Ngomong-ngomong...”
Ali menatap ke arah ajudan.
“...kemarin saya menemani Pak Agung ke toko jahit. Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya beliau kembali masuk ke dalam mobil dan memerintahkan saya untuk mengendarai mobil kembali menuju Rumah Sakit...”
Ali menganggukkan kepalanya.
“...selagi berjalan, saya liat dari spion tengah ke arah Pak Agung. Beliau sedang membersihkan tangannya dengan tisu basah, tapi warna kemerahan memenuhi tisu tersebut.” Ucapnya.
“Kemerahan?” Tanya Ali.
Ajudan sempat melihat ke arah sekitar, “Saya ngga tau itu berasal dari mana Pak. Yang jelas, saya melihat beliau membersihkan tangan dari noda berwarna kemerahan dengan tisu basah.”
“Bapak masih simpen ngga sampahnya?” Tanya Ali.
“Masih Pak, nanti saya berikan, tapi jangan bilang beliau ya Pak.” Ucapnya.
Ali mengangguk pertanda setuju. Beberapa jam berlalu, akhirnya Damar keluar dari ruangan bersama dengan Talia. Mereka pun menuju parkiran disusul oleh Ali.
“Kamu nggapapa kan?” Tanya Damar.
“Nggapapa Pak.” Jawabnya.
“Kamu pulang sama siapa?” Tanya Ali.
“Nanti ada yang jemput Pak. Ngomong-ngomong, apa saya akan ditahan Pak?” Ucap Talia.
“Untuk sementara, kamu wajib lapor ke kantor polisi setiap hari dengan status sebagai saksi mata. Kamu dilarang untuk keluar kota dan pergerakan kamu dibatasi dalam radius maksimal empat puluh kilometer.” Jelas Damar.
“Baik Pak.” Jawabnya.
“Kalau kamu butuh apa-apa, kabarin kita.” Sahut Ali.
Talia menganggukkan kepala. Ada sebuah mobil milik stasiun televisi tempat Talia bekerja yang datang untuk menjemputnya, Talia pun pamit kepada mereka lalu masuk ke dalam mobil. Ali dan Damar pun beranjak menuju mobil seraya menyalakan sebatang rokok.
“Beneran mencurigakan?” Tanya Ali.
Damar menghembuskan asap rokok, “Gimana ya, ada satu sisi di mana gue yakin dia tercengang dengan kejadian semalam. Ada sisi lain yang gue rasa kalau dia menyembunyikan yang sebenarnya.”
“Secara ngga langsung, lo nuduh dia tanpa bukti?” Tanya Ali.
“Bisa jadi sih.” Jawab Damar singkat.
Ali menyenggol lengan Damar, mereka sempat beradu pandang lalu Ali mengisyaratkan Damar untuk melihat ke arah bawah. Damar mengikuti isyarat tersebut, ia pun melihat tangan Ali yang sudah memegang kartu memori. Damar dibuat bingung lalu kembali menatapnya.
“Kantor.” Ucap Ali singkat.
Mereka pun masuk ke dalam mobil dan bergegas menuju kantor. Setibanya di sana, Ali mengunci pintu ruangan dari dalam. Ia berlalu menuju komputernya lalu memasukkan kartu memori itu untuk dibaca.
“Lo nemu di mana?” Tanya Damar.
“Dari laci mesin jahit tua, ada di dalam gulungan benang.” Jawabnya.
Sebuah folder tanpa nama pun muncul di layar. Ali membuka folder tersebut dan menemukan satu video pendek di sana. Ia sempat menatap Damar, akhirnya ia pun memutar video itu untuk disaksikan bersama.
Damar dan Ali benar-benar dibuat terkejut dengan awal mula video, di mana rekaman dari sudut pandang pelaku sedang memaksa mata Candra keluar dari tempatnya dengan gunting kain.
“To...long...”
Mereka juga masih bisa mendengarkan suara Candra dengan samar. Setelah berhasil mengeluarkan kedua matanya, pelaku pun menyandarkan kepala Candra lalu menjahit bunga anggrek di wajahnya dengan mesin jahit tua. Yang lebih mencengangkan lagi, ketika pelaku tertawa sambil mengoperasikan mesin jahit tersebut di wajah Candra.
“Suara wanita?” Tanya Ali terkejut.
Setelah rangkaian pada wajah Candra selesai, ia pun mengerjakan bagian belakang kepala Candra seperti yang ditemukan di tempat kejadian. Benang-benang berbagai macam warna terbentang dengan bunga anggrek yang berjarak di antaranya. Kembali terdengar suara tawa dari pelaku, hingga video pun berhenti di penghujung durasi.
“Lo denger kan suara wanita?” Tanya Ali.
“Iya, dia tertawa.” Jawab Damar.
“Astaga.” Ucap Ali singkat.
“Gue boleh minjem mobil lo?” Tanya Damar.
“Lo mau ke mana?” Tanya Ali.
“Gue mau cek Sasa di rumah.” Jawab Damar.
“Pakai aja. Abis itu lo balik lagi terus kita ke Rumah Sakit.” Ucap Ali.
Damar mengangguk setuju. Ia meraih kunci mobil yang diletakkan Ali di dekat pintu masuk. Ia bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kantor pada siang hari ini.
Beberapa saat berlalu, Damar memarkirkan mobil di tepi jalan. Namun bukan di depan rumahnya, melainkan di depan kantor Sasa. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju resepsionis yang ada di lantai dasar.
“Selamat Pagi, eh Mas Damar.” Sapa resepsionis.
“Pagi. Eh, aku mau tanya-tanya boleh?” Ucap Damar.
“Boleh kok Mas, mau nanya soal apa?” Ucapnya.
“Semalem, emang ada meeting ya di kantor mengenai acara peragaan busana internasional? Katanya, kantor kalian dipilih jadi kolaborator acara tersebut.” Ucap Damar.
“Kalau kolaborator memang betul sih Mas. Kalau untuk meeting semalem, aku periksa dulu ya Mas...”
Resepsionis itu memeriksa jadwal di komputernya.
“...semalem ngga ada meeting Mas, terakhir itu sore. Ada apa ya Mas?” Ucapnya.
“Oh, nggapapa aku cuma nanya aja...” Damar mengeluarkan selembar uang dari dompetnya, “kamu jangan bilang-bilang Sasa ya kalau aku ke sini dan nanya-nanya.”
“Siap Mas, makasih ya.” Jawabnya.
Damar dengan segera keluar dari kantor dan kembali masuk ke dalam mobil. Ia terdiam sesaat dan kembali memikirkan apa yang baru saja ia dengar, lalu dibandingkan dengan ucapan Sasa semalam. Isi kepalanya bermain-main dengan cepat, rasa curiga kembali muncul kepada pasangannya sendiri. Namun rasa sayangnya membentengi semua kecurigaan itu begitu saja, memposisikan Damar sebagai orang yang dipertaruhkan.
Drrt! Drrt! Damar mengambil ponsel dari saku, ada panggilan masuk dari Sasa. Ia sempat menghela nafasnya sebelum menjawab panggilan tersebut.
“Halo Sa.” Jawabnya.
“Kamu nggapapa kan?” Tanya Sasa.
“Nggapapa kok.” Jawabnya.
“Aku khawatir setelah baca berita. Aku sekalian mau ngabarin kalau aku udah di rumah. Kamu mau aku masakin ngga? Aku abis dikasih resep sama Kak Anggi.” Ucap Sasa.
“Boleh, nanti aku cobain pas pulang ya.” Jawab Damar.
“Oke. Kamu hati-hati ya.” Ucap Sasa.
Panggilan pun terhenti, pikiran Damar kembali bermain-main begitu saja. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum akhirnya ia mengemudikan mobil untuk kembali menuju kantor.
Beberapa saat berlalu, Ali dan Damar sudah berada di perjalanan menuju Rumah Sakit. Damar menghembuskan asap rokoknya, Ali pun melirik ke arahnya.
“Lo kenapa?” Tanyanya.
“Seandainya ya Li, lo tau kalau Anggi adalah pembunuh berantai dari semua kasus ini. Apa yang bakalan lo lakuin?” Tanya Damar.
“Aneh juga pertanyaan lo, tapi...” Ali berpikir sejenak, “semisal Anggi pelakunya, mungkin gue jadi orang terakhir yang dia bunuh. Semisal gue tau lebih dulu, gue masih bisa interfensi, entah setelah itu gue dibunuh apa ngga ya. Kenapa lo tiba-tiba nanya begitu?”
“Kepikiran aja, bisa aja kan mungkin pelakunya selama ini orang deket kita.” Ucap Damar.
“Kemungkinannya ada sih.” Sahutnya.
Mobil pun berhenti. Ali dan Damar keluar dari mobil lalu masuk ke dalam ruang otopsi menembus banyaknya wartawan yang ingin mendapatkan informasi mengenai kasus pembunuhan semalam.
Setibanya di dalam, Kania sudah memulai otopsi bersama dua dokter lainnya. Agung yang menyadari kedatangan mereka pun memberikan kertas yang ada di tangannya.
Ali menerima kertas itu lalu membacanya bersama Damar. Informasi mengenai korban yang mereka kenal pun terpampang di sana, Damar pun menundukkan kepalanya seraya menghela nafas.
“Ada barang bukti?” Tanya Agung.
Ali menggeleng berbohong. Mereka pun menyaksikan Kania yang sedang melakukan tugasnya. Beberapa saat berlalu, Kania menghampiri mereka seraya melepas sarung tangan karet di tangannya.
“Organ ginjal korban menghilang, tidak ada surat atau apapun di dalamnya. Hasil laboratorium juga menunjukkan tidak ada indikasi racun di dalam tubuh, menandakan bahwa korban dibunuh dengan benda tajam.” Jelas Kania.
“Baik, kita bisa konferensi pers sekarang?” Tanya Agung.
Damar menganggukkan kepalanya, mereka pun berjalan menuju pintu. Namun langkah Kania ditahan oleh Ali, ia pun menatapnya dengan bingung.
“Dok...”
Ali menyerahkan tisu basah yang diberikan ajudan Agung ke dalam saku kemeja Kania.
“...tolong periksa ini, dan jaga rahasia dari Pak Agung dan Damar.” Ucapnya.
Kania sempat melihat ke dalam saku kemejanya. Ia mengangguk pelan, kemudian mereka kembali bergabung dengan Agung dan Damar yang sudah berdiri di hadapan para wartawan.
Beberapa saat berlalu, konferensi pers berakhir dengan informasi yang ada. Agung pun pamit terlebih dahulu dengan urusannya yang lain. Tersisa Ali dan Damar yang berjalan menuju mobil mereka.
“Aduh, gue sakit perut Mar. Lo tunggu di mobil ya, gue nyusul.” Ucap Ali berbohong.
“Jangan lama-lama, Sasa udah nungguin nih.” Ucap Damar.
Ali berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam koridor yang menuju kamar mandi. Ia mengintip dari dinding dan melihat Damar yang sudah menjauh darinya, Ali pun kembali berjalan masuk menuju ruang otopsi di mana Kania berada.
“Dok, gimana hasilnya?” Tanya Ali.
“Noda merah dari tisu ini hanya pewarna pakaian...”
Ali menghela nafasnya cukup dalam.
“...memangnya ini dari siapa?” Tanya Kania.
“Saya dapat informasi dari ajudannya Pak Agung. Sekembalinya dia dari toko jahit, ia mengusap tangannya dengan tisu itu dengan noda merah. Saya pikir, mungkin korban sudah dibunuh beberapa hari sebelumnya. Ternyata saya salah.” Jelas Ali.
Kania menghela nafasanya.
“Dok, jaga rahasia ini ya.” Pinta Ali.
Kania mengangguk pertanda setuju. Akhirnya Ali keluar dari ruangan untuk menyusul Damar yang sudah duduk di dalam mobil dengan rokoknya yang sudah menyala. Ia pun duduk di kursi kemudi.
“Kayaknya lega banget.” Ucap Damar.
“Ya namanya abis sakit perut, lega lah. Eh, mampir beli minum dulu ya. Gue haus banget.” Kata Ali.
“Boleh, jangan lama-lama. Sasa udah nungguin gue, katanya dia masak dari resep yang dikasih Anggi.” Ucap Damar.
“Serius? Bisa dong kita diundang?” Tanya Ali.
“Gue cek dulu masakannya malam ini, kalau cocok baru gue undang kalian besok. Resep emang dari Anggi, cuma kan yang masak Sasa.” Ucap Damar.
Beberapa saat berlalu, Damar pun keluar dari mobil setibanya di rumah. Ia masuk ke dalam dan menemukan Sasa yang berada di dapur. Sasa pun menyadari kedatangan Damar hingga ia menoleh.
“Eh, udah pulang.” Sapa Sasa.
Damar berjalan ke arahnya seraya tersenyum. Ia memeluk Sasa dari belakang kemudian mencium pipinya, Sasa pun tak bisa menyembunyikan senyumnya.
“Gimana hari ini?” Tanya Sasa.
“Melelahkan seperti biasa.” Jawabnya.
Sasa mengusap tangan Damar beberapa kali. Mereka pun berpindah menuju meja makan di mana ada beberapa makanan yang sudah tersaji di atas meja. Damar pun dibuat takjub dengan apa yang sudah dibuat oleh Sasa.
“Kamu masak semuanya?” Tanya Damar.
“Iya, kan resepnya dari Kak Anggi semua.” Jawabnya.
“Apa aja ini?” Tanya Damar lanjut.
“Aku masak tumis kangkung pakai telur, cumi goreng tepung, sama ginjal bumbu sate.” Jawabnya.
“Ginjal?...”
Pikiran Damar kembali bermain dengan liar. Ia kembali menarik garis mengenai apa saja yang sudah terlewat, mulai dari tidak adanya meeting di kantor Sasa semalam, hingga hilangnya organ ginjal dari Candra.
“...kamu...beli ginjal di mana?” Tanya Damar.
“Oh, tadi aku dikasih Kak Anggi. Tadinya aku mau ke swalayan atau pasaraya buat beli, cuma Kak Anggi ngabarin untuk mampir ke sana buat ambil bahannya.” Jawabnya.
“Kalau gitu, aku cuci tangan dulu ya.” Ucap Damar.
TOK! TOK! TOK!Suara pintu yang diketuk dengan keras dari luar menjadi alasan Damar bangun dari tidurnya, ia menghampiri pintu untuk mencari tau apa yang terjadi.
“Mar!...”
Ali mengetuk pintu beberapa kali.
“…mana sih dia?” Ucapnya seorang diri.
Damar membuka pintu dari dalam, ia melihat Ali yang sudah berada di sana dengan pakaian rapi yang sudah ia kenakan.
“Lo ngapain sih Li? Ini masih jam...”
“Pak Candra dibunuh...”
Damar terdiam setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Ali, pikirannya bekerja lebih keras dalam kondisi yang belum sepenuhnya sadar.
Mobil yang dikemudikan Ali mendekat ke arah kerumunan orang-orang, seorang petugas kepolisian mendekati mobil mereka bersamaan dengan Ali yang membuka kaca jendela mobilnya.
“Pak detektif...” petugas itu memberikan hormat, “silahkan parkir di sana Pak.”
Ali mengikuti arahan dari petugas itu lalu memarkirkan mobilnya di belakang ambulans. Mereka pun keluar dari mobil dan mendekat menuju kerumunan. Ali melewati garis pembatas yang dibuat oleh pihak kepolisian, Damar pun menyusul di belakangnya.
Mereka berjalan mendekat ke arah pintu, di mana sudah ada Agung yang berdiri di sana. Ia pun menyadari kedatangan mereka seraya menghela nafas cukup dalam. Ali dan Damar pun berjalan melewati Agung untuk masuk ke dalam toko.
Mereka menemukan Candra, seorang penjahit sekaligus pemilik toko jahit yang mereka kenal, yang sudah membantu mereka dalam penyelidikan kasus pembunuhan, mati mengenaskan di dalam tokonya sendiri.
Candra ditemukan duduk di depan mesin jahit tuanya, kepalanya terbaring di meja dan menghadap ke arah mesin jahit. Setengah dari wajahnya sudah dipenuhi oleh bunga anggrek dan juga benang jahit, yang masih terpasang pada mesin.
Ali dan Damar pun mendekat, mereka melihat bola mata Candra yang terlepas dan diletakkan di atas bunga anggrek yang tersebar di atas meja. Di bagian belakang kepalanya, ada banyak sekali benang-benang yang terbentang dan menggantung ke arah dinding. Bentangan benang-benang itu terisi oleh bunga anggrek yang berjarak dengan rapi. Benang-benang itu tertancap di belakang kepalanya dengan banntuan jarum-jarum kecil.
Ali menghela nafasnya, sementara pandangan Damar beralih menuju kursi di mana sudah ada beberapa petugas medis dan pihak kepolisian yang berdiri mengelilingi seseorang. Damar pun menghampiri mereka untuk melihat apa yang ada di sana.
“Talia...”
Damar melihat Talia yang menatap ke arahnya dengan rasa takut. Talia pun bangun dari duduknya dengan cepat, lalu memeluk Damar sambil menangis.
“Pak... saya takut...”
Damar membalas pelukan Talia dan mencoba menenangkannya. Ali mendekat ke arah mereka, Agung pun juga mendekat lalu menyentuh lengannya hingga Ali menatap ke arah Agung. Ia memberikan isyarat kepada Ali untuk mengikutinya ke luar, Ali pun mengangguk pertanda setuju.
Mereka berdiri di depan pintu, Agung menyalakan sebatang rokok yang diikuti oleh Ali. Hembusan asap dari mulut mereka berhasil disapu oleh angin yang berhembus.
“Kok bisa ada Talia Pak?” Tanya Ali.
“Kamu kenal dengan dia?” Tanya Agung balik.
“Dia salah satu wartawan LTV yang meliput dari kasus pertama.” Jawab Ali.
“Dia orang yang menghubungi kami pertama kali.” Ucap Agung.
Ali menatap ke arah Talia sekali lagi, ia pun melihat Talia yang masih menangis dalam pelukan Damar. Segudang tanya pun berputar-putar dalam pikiran Ali saat ini, ia kembali menghisap rokoknya lalu kembali menatap Agung yang sedang menghisap rokoknya.
“Pemirsa, kasus pembunuhan kembali terjadi. Seorang pria ditemukan tewas mengenaskan di dalam toko jahit miliknya sendiri. Korban diketahui berinisial C...”
Pagi menjelang dengan awan mendung yang menyelimuti, Damar berjalan masuk ke dalam ruangan dengan dua cangkir teh hangat yang ada di tangannya. Ia memberikan satu cangkir kepada Talia yang sudah duduk di balik meja dengan tatapannya yang masih kosong, Damar pun duduk di hadapannya. Damar sempat melihat ke arah cermin dua arah, di mana ada Agung yang sedang memperhatikan mereka bersama beberapa petugas kepolisian lain.
“Silahkan diminum...” Damar kembali menatap Talia, “saya akan ajukan beberapa pertanyaan kepada kamu. Apa benar, kamu orang pertama yang melaporkan kejadian semalam?”
Talia mengangguk pelan.
“Baik. Apa benar, kamu menemukan korban sudah tidak bernyawa?” Tanya Damar lanjut.
Talia kembali mengangguk dengan tatapannya yang kosong.
“Pukul berapa kamu melaporkan kejadian itu?” Tanya Damar.
“Dua belas lewat.” Jawabnya singkat.
“Apa yang kamu lakukan di sana saat tengah malam?” Tanya Damar.
“Saya ingin bertanya... mengenai kejadian-kejadian yang sudah lewat, mungkin saja... ada perkembangan lain yang bisa saya tanyakan kepada korban.” Jawab Talia.
“Tolong ceritakan kronologi kejadian semalam.” Ucap Damar.
Talia menatap Damar, “Setelah bertemu Pak Damar dan Pak Ali di Rumah Sakit, saya merasa tidak puas jika belum menemukan perkembangan lain mengenai kasus ini. Dengan inisiatif, saya mencoba untuk mengunjungi toko jahit korban. Setibanya di sana, saya melihat toko sudah tutup dengan tanda yang ada di pintu. Namun, saya melihat ada suara mesin jahit dan bayangan korban dari jendela. Saya mengetuk beberapa kali, dan ternyata pintu terbuka sedikit. Ketika saya membuka pintu, saya menemukan korban sudah duduk di sana.”
“Apakah tidak ada suara lain dari dalam?” Tanya Damar.
Talia menggeleng, “Saya berteriak histeris hingga beberapa orang yang tinggal di daerah sana pun keluar dari rumah, kemudian saya menghubungi anggota kepolisian untuk segera datang.”
“Kamu datang sendiri?” Tanya Damar.
Talia mengangguk dengan pasti.
“Baik. Apakah kamu mendekat ke arah korban setelah melaporkan kejadian itu?” Tanya Damar.
“Tidak. Bagaimana saya bisa mendekat jika ada dua bola mata yang ada di atas meja? Itu sangat menyeramkan.” Jawab Talia.
Damar sempat melirik ke arah cermin dua arah. Beralih di tempat kejadian, Ali bersama beberapa orang dari tim forensik sedang memeriksa toko jahit. Dengan sarung tangan karet di tangannya, ia mencoba untuk memeriksa apakah ada yang tersembunyi di balik mesin jahit tua itu. Dengan seksama, ia melihat mesin tersebut lalu membuka laci kecil yang ada di sampingnya.
Ali menemukan sebuah gulungan benang yang tidak rapi sebagaimana mestinya, ia pun mengambil gulungan itu lalu diletakkan di atas meja. Secara perlahan, ia membuka gulungan itu dan menemukan adanya kartu memori kecil di sana. Setelah melihat keadaan sekitar, Ali memasukkan benda itu ke dalam sakunya dan mengembalikan gulungan itu ke dalam laci.
Ia berlalu menuju benang-benang yang menempel pada dinding, di mana saat kejadian semalam, benang-benang itu tertancap pada bagian belakang kepala korban dengan bantuan jarum-jarum kecil. Benang itu membentuk sebuah pola warna, mulai dari merah hingga ungu. Namun, anggrek yang berjarak pada tiap benang memiliki warna yang sama. Ali memutar otaknya untuk mencari tahu apa maksud dari itu semua.
Ting! Ponsel Ali berbunyi. Ia sempat terdiam memandang ke arah benang-benang itu beberapa saat, sampai akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari toko seraya melepas sarung tangan karet di tangannya.
“Talia mencurigakan.” Damar.
Ali menghembuskan asap rokok dari mulutnya selagi ia membaca pesan tersebut. Ia pun memasukkan ponsel ke dalam sakunya lalu menyalakan mesin mobil. Ali pun meninggalkan tempat kejadian menuju kantor polisi.
Setibanya di sana, ia bergabung dengan Agung dan beberapa petugas lain yang masih menyaksikan Damar menginterogasi Talia.
“Gimana Pak?” Tanya Ali.
“Sudah empat jam berlalu, tapi Damar masih mencari celah.” Jawabnya.
“Mungkin ada kecurigaan yang dirasakan Damar.” Ucap Ali.
Agung menghela nafas, “Semoga kecurigaannya membuahkan hasil. Ngomong-ngomong, saya ada rapat dengan anggota lain. Saya bisa minta tolong kamu dan ajudan saya untuk memantau investigasi?”
“Siap, bisa Pak.” Jawab ajudannya.
Ali menganggukkan kepalanya pertanda setuju. Agung dan beberapa petugas pun meninggalkan ruangan, tersisa Ali dan juga ajudan Agung yang melihat ke arah Damar dan Talia.
“Terduga mencurigakan Pak?” Tanya Ali.
“Sejauh ini jawabannya lancar Pak, tidak ada tanda-tanda kecurigaan sama sekali. Tapi, kenapa Pak Damar masih berkutat dengan pertanyaan yang sama ya Pak?” Ucapnya.
“Mungkin dia cuma mau memastikan.” Jawab Ali.
“Ngomong-ngomong...”
Ali menatap ke arah ajudan.
“...kemarin saya menemani Pak Agung ke toko jahit. Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya beliau kembali masuk ke dalam mobil dan memerintahkan saya untuk mengendarai mobil kembali menuju Rumah Sakit...”
Ali menganggukkan kepalanya.
“...selagi berjalan, saya liat dari spion tengah ke arah Pak Agung. Beliau sedang membersihkan tangannya dengan tisu basah, tapi warna kemerahan memenuhi tisu tersebut.” Ucapnya.
“Kemerahan?” Tanya Ali.
Ajudan sempat melihat ke arah sekitar, “Saya ngga tau itu berasal dari mana Pak. Yang jelas, saya melihat beliau membersihkan tangan dari noda berwarna kemerahan dengan tisu basah.”
“Bapak masih simpen ngga sampahnya?” Tanya Ali.
“Masih Pak, nanti saya berikan, tapi jangan bilang beliau ya Pak.” Ucapnya.
Ali mengangguk pertanda setuju. Beberapa jam berlalu, akhirnya Damar keluar dari ruangan bersama dengan Talia. Mereka pun menuju parkiran disusul oleh Ali.
“Kamu nggapapa kan?” Tanya Damar.
“Nggapapa Pak.” Jawabnya.
“Kamu pulang sama siapa?” Tanya Ali.
“Nanti ada yang jemput Pak. Ngomong-ngomong, apa saya akan ditahan Pak?” Ucap Talia.
“Untuk sementara, kamu wajib lapor ke kantor polisi setiap hari dengan status sebagai saksi mata. Kamu dilarang untuk keluar kota dan pergerakan kamu dibatasi dalam radius maksimal empat puluh kilometer.” Jelas Damar.
“Baik Pak.” Jawabnya.
“Kalau kamu butuh apa-apa, kabarin kita.” Sahut Ali.
Talia menganggukkan kepala. Ada sebuah mobil milik stasiun televisi tempat Talia bekerja yang datang untuk menjemputnya, Talia pun pamit kepada mereka lalu masuk ke dalam mobil. Ali dan Damar pun beranjak menuju mobil seraya menyalakan sebatang rokok.
“Beneran mencurigakan?” Tanya Ali.
Damar menghembuskan asap rokok, “Gimana ya, ada satu sisi di mana gue yakin dia tercengang dengan kejadian semalam. Ada sisi lain yang gue rasa kalau dia menyembunyikan yang sebenarnya.”
“Secara ngga langsung, lo nuduh dia tanpa bukti?” Tanya Ali.
“Bisa jadi sih.” Jawab Damar singkat.
Ali menyenggol lengan Damar, mereka sempat beradu pandang lalu Ali mengisyaratkan Damar untuk melihat ke arah bawah. Damar mengikuti isyarat tersebut, ia pun melihat tangan Ali yang sudah memegang kartu memori. Damar dibuat bingung lalu kembali menatapnya.
“Kantor.” Ucap Ali singkat.
Mereka pun masuk ke dalam mobil dan bergegas menuju kantor. Setibanya di sana, Ali mengunci pintu ruangan dari dalam. Ia berlalu menuju komputernya lalu memasukkan kartu memori itu untuk dibaca.
“Lo nemu di mana?” Tanya Damar.
“Dari laci mesin jahit tua, ada di dalam gulungan benang.” Jawabnya.
Sebuah folder tanpa nama pun muncul di layar. Ali membuka folder tersebut dan menemukan satu video pendek di sana. Ia sempat menatap Damar, akhirnya ia pun memutar video itu untuk disaksikan bersama.
Damar dan Ali benar-benar dibuat terkejut dengan awal mula video, di mana rekaman dari sudut pandang pelaku sedang memaksa mata Candra keluar dari tempatnya dengan gunting kain.
“To...long...”
Mereka juga masih bisa mendengarkan suara Candra dengan samar. Setelah berhasil mengeluarkan kedua matanya, pelaku pun menyandarkan kepala Candra lalu menjahit bunga anggrek di wajahnya dengan mesin jahit tua. Yang lebih mencengangkan lagi, ketika pelaku tertawa sambil mengoperasikan mesin jahit tersebut di wajah Candra.
“Suara wanita?” Tanya Ali terkejut.
Setelah rangkaian pada wajah Candra selesai, ia pun mengerjakan bagian belakang kepala Candra seperti yang ditemukan di tempat kejadian. Benang-benang berbagai macam warna terbentang dengan bunga anggrek yang berjarak di antaranya. Kembali terdengar suara tawa dari pelaku, hingga video pun berhenti di penghujung durasi.
“Lo denger kan suara wanita?” Tanya Ali.
“Iya, dia tertawa.” Jawab Damar.
“Astaga.” Ucap Ali singkat.
“Gue boleh minjem mobil lo?” Tanya Damar.
“Lo mau ke mana?” Tanya Ali.
“Gue mau cek Sasa di rumah.” Jawab Damar.
“Pakai aja. Abis itu lo balik lagi terus kita ke Rumah Sakit.” Ucap Ali.
Damar mengangguk setuju. Ia meraih kunci mobil yang diletakkan Ali di dekat pintu masuk. Ia bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kantor pada siang hari ini.
Beberapa saat berlalu, Damar memarkirkan mobil di tepi jalan. Namun bukan di depan rumahnya, melainkan di depan kantor Sasa. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju resepsionis yang ada di lantai dasar.
“Selamat Pagi, eh Mas Damar.” Sapa resepsionis.
“Pagi. Eh, aku mau tanya-tanya boleh?” Ucap Damar.
“Boleh kok Mas, mau nanya soal apa?” Ucapnya.
“Semalem, emang ada meeting ya di kantor mengenai acara peragaan busana internasional? Katanya, kantor kalian dipilih jadi kolaborator acara tersebut.” Ucap Damar.
“Kalau kolaborator memang betul sih Mas. Kalau untuk meeting semalem, aku periksa dulu ya Mas...”
Resepsionis itu memeriksa jadwal di komputernya.
“...semalem ngga ada meeting Mas, terakhir itu sore. Ada apa ya Mas?” Ucapnya.
“Oh, nggapapa aku cuma nanya aja...” Damar mengeluarkan selembar uang dari dompetnya, “kamu jangan bilang-bilang Sasa ya kalau aku ke sini dan nanya-nanya.”
“Siap Mas, makasih ya.” Jawabnya.
Damar dengan segera keluar dari kantor dan kembali masuk ke dalam mobil. Ia terdiam sesaat dan kembali memikirkan apa yang baru saja ia dengar, lalu dibandingkan dengan ucapan Sasa semalam. Isi kepalanya bermain-main dengan cepat, rasa curiga kembali muncul kepada pasangannya sendiri. Namun rasa sayangnya membentengi semua kecurigaan itu begitu saja, memposisikan Damar sebagai orang yang dipertaruhkan.
Drrt! Drrt! Damar mengambil ponsel dari saku, ada panggilan masuk dari Sasa. Ia sempat menghela nafasnya sebelum menjawab panggilan tersebut.
“Halo Sa.” Jawabnya.
“Kamu nggapapa kan?” Tanya Sasa.
“Nggapapa kok.” Jawabnya.
“Aku khawatir setelah baca berita. Aku sekalian mau ngabarin kalau aku udah di rumah. Kamu mau aku masakin ngga? Aku abis dikasih resep sama Kak Anggi.” Ucap Sasa.
“Boleh, nanti aku cobain pas pulang ya.” Jawab Damar.
“Oke. Kamu hati-hati ya.” Ucap Sasa.
Panggilan pun terhenti, pikiran Damar kembali bermain-main begitu saja. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali sebelum akhirnya ia mengemudikan mobil untuk kembali menuju kantor.
Beberapa saat berlalu, Ali dan Damar sudah berada di perjalanan menuju Rumah Sakit. Damar menghembuskan asap rokoknya, Ali pun melirik ke arahnya.
“Lo kenapa?” Tanyanya.
“Seandainya ya Li, lo tau kalau Anggi adalah pembunuh berantai dari semua kasus ini. Apa yang bakalan lo lakuin?” Tanya Damar.
“Aneh juga pertanyaan lo, tapi...” Ali berpikir sejenak, “semisal Anggi pelakunya, mungkin gue jadi orang terakhir yang dia bunuh. Semisal gue tau lebih dulu, gue masih bisa interfensi, entah setelah itu gue dibunuh apa ngga ya. Kenapa lo tiba-tiba nanya begitu?”
“Kepikiran aja, bisa aja kan mungkin pelakunya selama ini orang deket kita.” Ucap Damar.
“Kemungkinannya ada sih.” Sahutnya.
Mobil pun berhenti. Ali dan Damar keluar dari mobil lalu masuk ke dalam ruang otopsi menembus banyaknya wartawan yang ingin mendapatkan informasi mengenai kasus pembunuhan semalam.
Setibanya di dalam, Kania sudah memulai otopsi bersama dua dokter lainnya. Agung yang menyadari kedatangan mereka pun memberikan kertas yang ada di tangannya.
Ali menerima kertas itu lalu membacanya bersama Damar. Informasi mengenai korban yang mereka kenal pun terpampang di sana, Damar pun menundukkan kepalanya seraya menghela nafas.
“Ada barang bukti?” Tanya Agung.
Ali menggeleng berbohong. Mereka pun menyaksikan Kania yang sedang melakukan tugasnya. Beberapa saat berlalu, Kania menghampiri mereka seraya melepas sarung tangan karet di tangannya.
“Organ ginjal korban menghilang, tidak ada surat atau apapun di dalamnya. Hasil laboratorium juga menunjukkan tidak ada indikasi racun di dalam tubuh, menandakan bahwa korban dibunuh dengan benda tajam.” Jelas Kania.
“Baik, kita bisa konferensi pers sekarang?” Tanya Agung.
Damar menganggukkan kepalanya, mereka pun berjalan menuju pintu. Namun langkah Kania ditahan oleh Ali, ia pun menatapnya dengan bingung.
“Dok...”
Ali menyerahkan tisu basah yang diberikan ajudan Agung ke dalam saku kemeja Kania.
“...tolong periksa ini, dan jaga rahasia dari Pak Agung dan Damar.” Ucapnya.
Kania sempat melihat ke dalam saku kemejanya. Ia mengangguk pelan, kemudian mereka kembali bergabung dengan Agung dan Damar yang sudah berdiri di hadapan para wartawan.
Beberapa saat berlalu, konferensi pers berakhir dengan informasi yang ada. Agung pun pamit terlebih dahulu dengan urusannya yang lain. Tersisa Ali dan Damar yang berjalan menuju mobil mereka.
“Aduh, gue sakit perut Mar. Lo tunggu di mobil ya, gue nyusul.” Ucap Ali berbohong.
“Jangan lama-lama, Sasa udah nungguin nih.” Ucap Damar.
Ali berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam koridor yang menuju kamar mandi. Ia mengintip dari dinding dan melihat Damar yang sudah menjauh darinya, Ali pun kembali berjalan masuk menuju ruang otopsi di mana Kania berada.
“Dok, gimana hasilnya?” Tanya Ali.
“Noda merah dari tisu ini hanya pewarna pakaian...”
Ali menghela nafasnya cukup dalam.
“...memangnya ini dari siapa?” Tanya Kania.
“Saya dapat informasi dari ajudannya Pak Agung. Sekembalinya dia dari toko jahit, ia mengusap tangannya dengan tisu itu dengan noda merah. Saya pikir, mungkin korban sudah dibunuh beberapa hari sebelumnya. Ternyata saya salah.” Jelas Ali.
Kania menghela nafasanya.
“Dok, jaga rahasia ini ya.” Pinta Ali.
Kania mengangguk pertanda setuju. Akhirnya Ali keluar dari ruangan untuk menyusul Damar yang sudah duduk di dalam mobil dengan rokoknya yang sudah menyala. Ia pun duduk di kursi kemudi.
“Kayaknya lega banget.” Ucap Damar.
“Ya namanya abis sakit perut, lega lah. Eh, mampir beli minum dulu ya. Gue haus banget.” Kata Ali.
“Boleh, jangan lama-lama. Sasa udah nungguin gue, katanya dia masak dari resep yang dikasih Anggi.” Ucap Damar.
“Serius? Bisa dong kita diundang?” Tanya Ali.
“Gue cek dulu masakannya malam ini, kalau cocok baru gue undang kalian besok. Resep emang dari Anggi, cuma kan yang masak Sasa.” Ucap Damar.
Beberapa saat berlalu, Damar pun keluar dari mobil setibanya di rumah. Ia masuk ke dalam dan menemukan Sasa yang berada di dapur. Sasa pun menyadari kedatangan Damar hingga ia menoleh.
“Eh, udah pulang.” Sapa Sasa.
Damar berjalan ke arahnya seraya tersenyum. Ia memeluk Sasa dari belakang kemudian mencium pipinya, Sasa pun tak bisa menyembunyikan senyumnya.
“Gimana hari ini?” Tanya Sasa.
“Melelahkan seperti biasa.” Jawabnya.
Sasa mengusap tangan Damar beberapa kali. Mereka pun berpindah menuju meja makan di mana ada beberapa makanan yang sudah tersaji di atas meja. Damar pun dibuat takjub dengan apa yang sudah dibuat oleh Sasa.
“Kamu masak semuanya?” Tanya Damar.
“Iya, kan resepnya dari Kak Anggi semua.” Jawabnya.
“Apa aja ini?” Tanya Damar lanjut.
“Aku masak tumis kangkung pakai telur, cumi goreng tepung, sama ginjal bumbu sate.” Jawabnya.
“Ginjal?...”
Pikiran Damar kembali bermain dengan liar. Ia kembali menarik garis mengenai apa saja yang sudah terlewat, mulai dari tidak adanya meeting di kantor Sasa semalam, hingga hilangnya organ ginjal dari Candra.
“...kamu...beli ginjal di mana?” Tanya Damar.
“Oh, tadi aku dikasih Kak Anggi. Tadinya aku mau ke swalayan atau pasaraya buat beli, cuma Kak Anggi ngabarin untuk mampir ke sana buat ambil bahannya.” Jawabnya.
“Kalau gitu, aku cuci tangan dulu ya.” Ucap Damar.
0
Kutip
Balas