- Beranda
- Stories from the Heart
story keluarga indigo.
...
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:
KKN Di Dusun Kalimati
Quote:
Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.
Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.
Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.

INDEKS
Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah

Quote:
Quote:
Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.
Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.
Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).
INDEKS
Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end

Quote:
Quote:
INDEKS
Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang
Konten Sensitif
Quote:
Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.
INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu

Quote:
Quote:
INDEKS
part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 21:46
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
21.6K
306
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#109
Part 29 Kembali Ke Dusun Kalimati
"Kamu sudah makan, Li?" tanya Aretha.
Gadis kecil itu sejak tadi hanya diam saja. Dia tampak cemas dan putus asa karena memikirkan ibunya. Ia hanya menggeleng pelan tanpa berniat terlibat obrolan yang lebih jauh.
"Liya, mau tidur? Ayo, sama Kak Aretha," ajak Aretha lagi.
"Enggak, Kak. Liya mau sama Ibu." Gadis kecil itu justru terisak. Dia menutup wajahnya untuk menyembunyikan kesedihannya itu.
Aretha yang iba lantas memeluknya. Hendra dan Radit yang melihat adegan itu hanya bisa menarik nafas panjang.
"Liya ... Liya ... Kamu di mana, Nak? Ini Ibu," kata sebuah suara.
Liya yang awalnya masih berada di pelukan Aretha lantas menoleh ke sekitar. Tatapan matanya berubah drastis. Yang awalnya dia sedih, kini menjadi senang.
"Itu ibu!" pekik Liya bersemangat. "Ibu! Ibu!" Liya malah bangkit dan berjalan ke sekitar. Dia berusaha mencari sumber suara yang ia yakini adalah ibunya.
"Liya? Liya! Jangan pergi, Nak! Sini aja!" jerit Aretha.
Aretha menyusul Liya, begitu juga Radit dan Hendra. Rupanya dia pergi ke pintu depan. Dengan sigap, Radit menarik tangan anak kecil itu karena sudah siap memegang gagang pintu hendak membukanya.
"Lepasin, Om! Lepas! Itu Ibu! Liya mau sama Ibu!" jerit Liya terus meronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan Radit.
"Liya, jangan! Itu bukan Ibu kamu!" kata Radit masih memegangi tangan Liya.
"Itu Ibu, Om! Itu Ibu! Liya mau sama Ibu!" Anak itu terus berteriak. Apalagi saat suara wanita di luar terus menggodanya sehingga membuat tangisan Liya semakin menjadi.
Aretha lantas mendekat ke pintu. Ia menempelkan telinga di belakang pintu untuk mendengar suara yang ada di luar. Dia memang mendengar suara seseorang. Tapi Aretha tidak berani membukanya.
"Ibu! Ibu!" Liya masih menjerit, lalu tiba tiba pegangan Radit terlepas. Tapi anehnya anak itu justru berlari ke dalam.
"Lah, ke mana itu bocah?" tanya Hendra. Ia langsung menyusul Liya diikuti Radit dan Aretha juga.
Naasnya, Liya ternyata membuka pintu belakang yang berada di dapur. Mereka bertiga terlambat, karena kini sosok di luar sudah tampak jelas di hadapan mereka. Ia terbang melayang sambil menarik tangan Liya hingga gadis itu kini berada di pelukannya.
"Liya!" jerit Aretha.
Dia berlari keluar, hendak meraih Liya. Namun Jin tersebut sudah terlanjur membawanya pergi. Aretha tidak berhenti sampai di situ, dia terus keluar rumah dan berusaha mengejar sosok Ummu Sibyan. Radit dan Hendra juga mengikutinya keluar. Jin tersebut terbang sambil membawa Liya.
"Aretha! Aretha! Berhenti!" cegah Radit. Begitu Radit berhasil meraih tangan Aretha, Aretha justru berontak.
"Lepas, Dit! Kita harus menolong Liya!" kata Aretha yang melepaskan tangan Radit dan kembali mengejar Ummu Sibyan.
"Tapi, Sayang!" Belum selesai dia mengatakan tujuannya, Aretha sudah kembali berlari.
"Ayo, Dit! Kejar!" ajak Hendra yang sudah berlari lebih dulu mengejar Aretha.
Alhasil Radit mengikuti mereka mengejar jin tadi. Sayangnya suasana di sekitar tampak sangat sepi. Padahal Hendra sejak tadi terus berteriak, memanggil Aretha, dan juga sosok Ummu Sibyan yang masih dapat terlihat oleh mereka. Warga desa tampaknya tidak mendengar mereka, atau justru bertingkah pengecut dengan tidak memedulikan apa yang terjadi di luar.
Malam sebenarnya terasa dingin, tapi tidak bagi mereka bertiga yang kini mulai masuk ke kebun kebun warga. Dan sayangnya Ummu Sibyan sudah tidak lagi terlihat. Aretha berhenti, begitu pun dengan Hendra dan Radit.
"Lah, hilang! Ke mana dia, Tha?" tanya Hendra.
"Nggak tahu, Hen. Tadi masih ada, tapi tiba tiba kok nggak kelihatan setelah ada pohon pohon di sini. Apa jangan jangan dia sembunyi di salah satu pohon, ya?"
"Yah, bisa aja sih. Sebaiknya kita coba cek satu satu deh. Mungkin dia masih ada di sekitar sini!" kata Hendra.
"Sayang, kamu jangan jauh jauh dari aku!" tukas Radit sambil memegangi tangan Aretha.
Mereka mulai bergerak mencari sosok Ummu Sibyan yang bersembunyi di sekitar. Suasana tempat ini berbeda dengan pemukiman penduduk sebelumnya. Di sini hanya ada kebun kebun palawija dan hutan hutan yang ada di sekitar. Sudah tidak ada lagi rumah penduduk, karena mereka sudah sampai di batas desa.
"Dit, ini kan tempat yang kita datangi pas joging, ya? Bener ini, kan?" tanya Aretha masih memperhatikan sekitar.
"Hem, iya. Ini sepertinya batas desa. Batu yang itu mana, ya?" tanya Radit lalu mengambil ponselnya dan menyalakan lampu flash.
"Batu apa, Dit?" tanya Aretha.
"Batu batas desa. Kamu ingat, kan, kita lihat Batu itu waktu datang ke sini."
"Batu batas desa? Emangnya kenapa lo cari itu batu?" tanya Hendra.
"Ada tulisan di batu itu. Tulisan nama daerah yang ada di sebelah."
"Jadi maksud kamu kita ada di wilayah Dusun Kalimati?" tanya Aretha.
"Iya, Tha!" ucap Radit menatap istrinya dengan wajah tegang.
"Kenapa emangnya? Ada masalah?" tanya Hendra.
"Gue pernah cerita soal Aretha tinggal di desa orang mati?" tanya Radit.
"Oh yang itu, iya pernah. Eh, jadi maksud nya... Desa ini adalah desa yang lo ceritain waktu itu, Dit?"
"Iya."
"Yang manusianya udah mati semua tinggal satu nenek nenek doang?"
"Iya."
"Astaga! Yang bener aja!" pekik Hendra.
"Terus gimana? Kita lanjutin aja atau gimana? Aku rasa, Liya disembunyikan di desa itu, Dit. Apalagi sejarah tentang Dusun Kalimati kan, kita udah tahu banget. Bisa aja warga yang selama ini di sandera sengaja disembunyikan di sana. Apalagi tiap dicari, warga bahkan nggak pernah bisa menemukannya."
"Masuk akal sih. Kayaknya emang Liya dibawa ke desa itu. Cuma... Apa kita bener bener harus ke sana juga? Itu desa mati, kan?"
Radit menatap Aretha. Mereka bertiga diam beberapa saat. Sampai akhirnya Radit pun memutuskan. "Ya udah. Kita masuk aja ke desa itu. Mumpung Liya belum lama dibawa oleh makhluk itu. Setidaknya dia bisa kita selamatkan!" ucap Radit.
"Iya, ayo kita masuk ke sana. Lagian udah tanggung. Kita udah sampai di sini masa mau balik lagi?" tanya Aretha.
Radit dan Aretha lantas melanjutkan langkah memasuki batas desa Alas Purwo dan Kalimati. Walau ingatan mengenai kenangan mengerikan itu masih tergambar jelas, tetapi tidak menyurutkan niat mereka memasuki tempat itu lagi. Apalagi mereka memiliki tujuan yang jelas. Menyangkut nyawa seseorang yang harus diselamatkan.
"Duh, gimana nih? Kalau gue balik sendirian... Takut juga. Kalau lanjut... Ada setan itu! Ah, ya udah deh! Seenggaknya ada Radit sama Aretha! Hei, tunggu! Jangan cepet cepet jalannya!" jerit Hendra.
***
Begitu memasuki tempat itu, mereka langsung sampai di jalan yang pernah mereka lewati sebelumnya.
"Wah, gelap banget, ya? Nggak ada lampu atau penerangan jalan apa?" tanya Hendra terus menerus mengeluh.
"Kalau ada lampu justru mencurigakan!" sahut Radit.
"Eum, iya juga, ya."
"Kita ke mana nih?" tanya Aretha sambil tengak tengok sekitar. Namun fokus nya justru menatap sebuah rumah yang tidak asing sama sekali. Rumah Nek Siti.
"Yang jelas, gue nggak mau berpencar di sini, " tandas Hendra.
"Aretha, kenapa?" Tanya Radit yang menyadari kalau istrinya yang sejak masuk desa ini lebih banyak diam.
"Itu, aku jadi ingat sama Nek Siti," sahut Areta sambil menunjuk ke bangunan tua yang tak jauh di dekat mereka.
Sebagian besar bangunan di sini sudah roboh. Hanya menyisakan beberapa bangunan saja yang masih berdiri walau sebenarnya juga tidak aman untuk dihuni.
"Bukannya kata kalian tempat ini bakalan dijadikan tempat wisata? Kok nggak ada tanda-tanda pembangunan wisata seperti itu ya?" tanya Hendra.
"Kalau menurut salah satu warga di desa Alas Purwo pembangunan objek wisata di sini terhenti karena beberapa hal. Makanya kondisinya belum sepenuhnya berubah. Masih banyak tempat yang belum di robohkan," jelas Radit.
"Oh pantes. Hem, padahal udah bagus kalau dijadikan tempat wisata. Biar gak jadi sarang setan," sahut Hendra.
"Heh! Jangan sembarangan kalau ngomong di sini!" timpal Radit.
"Eh, iya! Lupa," ucap Hendra sambil menutup mulutnya dengan tangan.
"Tapi di sini sepi banget," kata Aretha.
"Iya kalau ramai mah pasar malam kali, Tha," sahut Hendra.
"Apa kita coba periksa di rumah rumah sekitar yang masih utuh, ya? Siapa tahu ada di salah satu bangunan itu?" tanya Radit.
"Iya, ide yang bagus. Ayo," ajak Aretha.
Mereka lantas berjalan menuju ke sebuah bangunan yang paling dekat. Dari sejauh mata memandang, hanya ada sekitar 5 rumah yang masih berdiri lengkap, dan 3 rumah yang sudah setengah roboh.
"Emang bener kata orang orang, kalau alat beratnya aja sampai ditinggal di sini," tutur Radit.
"Kenapa ditinggal, Dit?" tanya Hendra.
"Enggak tahu juga sih. Cuma emang tempat ini mangkrak, dan pihak pengelola pergi gitu aja. Gue juga heran, kalau pun mau stop ya harusnya kan alat berat nya di bawa. Bahan material aja masih banyak di sini," cetus Radit.
"Jangan jangan diganggu sama penunggu sini kali. Makanya mereka nggak berani buat ambil alat berat yang tertinggal."
"Hem, entahlah."
Aretha melongok ke jendela yang tidak memiliki korden lagi. Karena tempat tersebut tidak memiliki penerangan sama sekali, alhasil mereka pun mulai menyalakan lampu flash di ponsel masing masing.
Saat menyorot ke dalam, hanya ada ruangan kotor penuh debu. Tidak ada tanda tanda kehidupan sejauh ini. Aretha lantas memegang gagang pintu.
"Mau ngapain?" tanya Radit yang langsung menahan tangan Aretha.
"Mau cek ke dalam," sahut Aretha.
"Tapi...."
"Kalau cuma lihat dari luar, kita nggak bisa tahu kalau ternyata Ummu Sibyan sembunyi di dalam sini, kan?"
"Hem, iya sih."
Akhirnya Radit melepaskan tangan Aretha dan membiarkannya masuk ke dalam. Namun, Radit tetap mengekor di belakang Aretha, dan Hendra terus membuntuti Radit.
Begitu masuk mereka langsung berjalan ke dalam, menuju ke ruangan berikutnya. Karena ruang tamu masih terpantau aman. Hanya ada dua kamar di rumah tersebut yang tidak memiliki apa pun lagi di dalamnya. Perabotan di rumah itu sudah lenyap. Hanya menyisakan bangunan yang siap roboh kapan saja.
Tiba tiba mereka mendengar jeritan di luar. Ketiganya sontak saling pandang dan bergegas lari keluar. Saat sampai di teras, mereka melihat sebuah kaki seorang gadis kecil yang di seret masuk ke rumah yang ada di samping.
Alhasil mereka bertiga pun segera berlari ke rumah tersebut. Tapi saat hendak masuk ke dalam, Aretha berhenti sejenak. Dia memperhatikan rumah itu dari depan. Tapi Hendra langsung masuk dan memanggilnya untuk turut serta.
Aretha menyusul Hendra dan Radit yang susah masuk lebih dulu. Namun langkahnya pelan saat memasuki rumah tersebut. Dia langsung teringat Danu. Karena di tempat itu, dia dan Danu pertama kali berada. Yah, rumah Nek Siti.
Radit dan Hendra mulai memeriksa semua tempat. Aretha pun melakukan hal yang sama. Dia membuka pintu kamar pertama, di mana dia pernah tidur di sana dalam waktu yang cukup lama. Kenangan itu masih sangat membekas di dalam hatinya. Lalu Aretha pindah ke kamar selanjutnya, di mana Danu menempatinya dulu. Aretha jadi rindu dengan manusia satu itu. Sayangnya dia tidak berada di sini bersamanya.
Ia kembali melangkah dan sampai di kamar Nek Siti. Perabotan di rumah ini masih utuh. Tidak seperti rumah sebelumnya. Dia pun membuka pintu kamar tersebut. Derit pintu terdengar nyaring. Namun, betapa terkejutnya Aretha saat mendapati ada sosok jin Ummu Sibyan di sana. Makhluk itu sedang duduk di pinggir ranjang sambil menatap jendela yang terbuka di luar. Saat Aretha berdiri di depan pintu, sosok itu menoleh dengan gerakan pelan. Dia menyeringai, lalu dalam sekejap melompat menabrak tubuh Aretha.
"Arrg!" jerit Aretha sambil menutup wajahnya. Tubuhnya tiba tiba terasa dingin. Seperti ada angin kencang yang menerpa tubuh serta wajahnya.
Saat Aretha membuka mata, tiba tiba suasana di sekitarnya berubah. Tempat yang awalnya gelap gulita kini berubah terang. Dia tengak tengok sekitar sambil berteriak memanggil nama Radit.
"Aretha? Aretha!" sahut Radit lalu muncul dari belakang bersama Hendra. "Kamu nggak apa apa, kan?" tanya Radit sambil memeriksa tubuh Aretha. Hendra yang berada di belakang Radit ngos ngosan seperti habis berlari jauh.
"Nggak apa apa. Tapi ini... Kenapa ini?" tanya Aretha sambil menatap sekitar.
"Iya, aku sama Hendra juga bingung. Tiba tiba semua terang. Makanya kami langsung keluar cari kamu!" tukas Radit.
"Tapi ini kenapa, Tha? Kok jadi gini. Padahal tadi masih malam, kan?" tanya Hendra kebingungan.
"Aku juga nggak tahu. Tapi tadi ada Ummu Sibyan di sini, di kamar ini," tunjuk Aretha.
"Yang bener? Terus ke mana dia? Kamu diapain?" tanya Radit cemas.
"Nggak tahu. Dia cuma duduk aja di sana. Tapi dia lihat aku. Karena takut aku tutup mata, dan pas aku buka mata ternyata udah gini. Aku juga bingung!" jelas Aretha.
"Apa ini cuma ilusi aja, ya?" tanya Hendra.
Pintu berderit. Tak lama seseorang menyapa dari arah depan. Suara seorang wanita yang tidak asing bagi Aretha. Dia yakin pernah mendengar suara tersebut walau sudah lama berlalu.
"Loh, Mbak Aretha? Sudah lama?" tanya Bu Heni lalu meletakkan belanjaannya di meja makan.
Aretha melotot dan bahkan mundur perlahan saat melihat sosok wanita tersebut nyata di depannya. Radit yang berada di belakangnya lantas menarik tangan Aretha dan menyembunyikan istri nya di belakang tubuh.
"Oh, sama Mas Radit juga, ya? Eh, ada teman satu lagi? Wah, suatu kehormatan. Kami kedatangan tamu. Pak Karjo di mana? Sudah ketemu?" tanya Bu Heni lalu berjalan masuk ke dalam sambil memanggil nama suaminya itu.
Radit menatap Aretha begitu pun sebaliknya. "Ini apa sih, Dit? Kenapa mereka muncul lagi?" tanya Aretha.
"Kenapa sih? Mereka siapa? Itu siapa tadi?" tanya Hendra.
Gadis kecil itu sejak tadi hanya diam saja. Dia tampak cemas dan putus asa karena memikirkan ibunya. Ia hanya menggeleng pelan tanpa berniat terlibat obrolan yang lebih jauh.
"Liya, mau tidur? Ayo, sama Kak Aretha," ajak Aretha lagi.
"Enggak, Kak. Liya mau sama Ibu." Gadis kecil itu justru terisak. Dia menutup wajahnya untuk menyembunyikan kesedihannya itu.
Aretha yang iba lantas memeluknya. Hendra dan Radit yang melihat adegan itu hanya bisa menarik nafas panjang.
"Liya ... Liya ... Kamu di mana, Nak? Ini Ibu," kata sebuah suara.
Liya yang awalnya masih berada di pelukan Aretha lantas menoleh ke sekitar. Tatapan matanya berubah drastis. Yang awalnya dia sedih, kini menjadi senang.
"Itu ibu!" pekik Liya bersemangat. "Ibu! Ibu!" Liya malah bangkit dan berjalan ke sekitar. Dia berusaha mencari sumber suara yang ia yakini adalah ibunya.
"Liya? Liya! Jangan pergi, Nak! Sini aja!" jerit Aretha.
Aretha menyusul Liya, begitu juga Radit dan Hendra. Rupanya dia pergi ke pintu depan. Dengan sigap, Radit menarik tangan anak kecil itu karena sudah siap memegang gagang pintu hendak membukanya.
"Lepasin, Om! Lepas! Itu Ibu! Liya mau sama Ibu!" jerit Liya terus meronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan Radit.
"Liya, jangan! Itu bukan Ibu kamu!" kata Radit masih memegangi tangan Liya.
"Itu Ibu, Om! Itu Ibu! Liya mau sama Ibu!" Anak itu terus berteriak. Apalagi saat suara wanita di luar terus menggodanya sehingga membuat tangisan Liya semakin menjadi.
Aretha lantas mendekat ke pintu. Ia menempelkan telinga di belakang pintu untuk mendengar suara yang ada di luar. Dia memang mendengar suara seseorang. Tapi Aretha tidak berani membukanya.
"Ibu! Ibu!" Liya masih menjerit, lalu tiba tiba pegangan Radit terlepas. Tapi anehnya anak itu justru berlari ke dalam.
"Lah, ke mana itu bocah?" tanya Hendra. Ia langsung menyusul Liya diikuti Radit dan Aretha juga.
Naasnya, Liya ternyata membuka pintu belakang yang berada di dapur. Mereka bertiga terlambat, karena kini sosok di luar sudah tampak jelas di hadapan mereka. Ia terbang melayang sambil menarik tangan Liya hingga gadis itu kini berada di pelukannya.
"Liya!" jerit Aretha.
Dia berlari keluar, hendak meraih Liya. Namun Jin tersebut sudah terlanjur membawanya pergi. Aretha tidak berhenti sampai di situ, dia terus keluar rumah dan berusaha mengejar sosok Ummu Sibyan. Radit dan Hendra juga mengikutinya keluar. Jin tersebut terbang sambil membawa Liya.
"Aretha! Aretha! Berhenti!" cegah Radit. Begitu Radit berhasil meraih tangan Aretha, Aretha justru berontak.
"Lepas, Dit! Kita harus menolong Liya!" kata Aretha yang melepaskan tangan Radit dan kembali mengejar Ummu Sibyan.
"Tapi, Sayang!" Belum selesai dia mengatakan tujuannya, Aretha sudah kembali berlari.
"Ayo, Dit! Kejar!" ajak Hendra yang sudah berlari lebih dulu mengejar Aretha.
Alhasil Radit mengikuti mereka mengejar jin tadi. Sayangnya suasana di sekitar tampak sangat sepi. Padahal Hendra sejak tadi terus berteriak, memanggil Aretha, dan juga sosok Ummu Sibyan yang masih dapat terlihat oleh mereka. Warga desa tampaknya tidak mendengar mereka, atau justru bertingkah pengecut dengan tidak memedulikan apa yang terjadi di luar.
Malam sebenarnya terasa dingin, tapi tidak bagi mereka bertiga yang kini mulai masuk ke kebun kebun warga. Dan sayangnya Ummu Sibyan sudah tidak lagi terlihat. Aretha berhenti, begitu pun dengan Hendra dan Radit.
"Lah, hilang! Ke mana dia, Tha?" tanya Hendra.
"Nggak tahu, Hen. Tadi masih ada, tapi tiba tiba kok nggak kelihatan setelah ada pohon pohon di sini. Apa jangan jangan dia sembunyi di salah satu pohon, ya?"
"Yah, bisa aja sih. Sebaiknya kita coba cek satu satu deh. Mungkin dia masih ada di sekitar sini!" kata Hendra.
"Sayang, kamu jangan jauh jauh dari aku!" tukas Radit sambil memegangi tangan Aretha.
Mereka mulai bergerak mencari sosok Ummu Sibyan yang bersembunyi di sekitar. Suasana tempat ini berbeda dengan pemukiman penduduk sebelumnya. Di sini hanya ada kebun kebun palawija dan hutan hutan yang ada di sekitar. Sudah tidak ada lagi rumah penduduk, karena mereka sudah sampai di batas desa.
"Dit, ini kan tempat yang kita datangi pas joging, ya? Bener ini, kan?" tanya Aretha masih memperhatikan sekitar.
"Hem, iya. Ini sepertinya batas desa. Batu yang itu mana, ya?" tanya Radit lalu mengambil ponselnya dan menyalakan lampu flash.
"Batu apa, Dit?" tanya Aretha.
"Batu batas desa. Kamu ingat, kan, kita lihat Batu itu waktu datang ke sini."
"Batu batas desa? Emangnya kenapa lo cari itu batu?" tanya Hendra.
"Ada tulisan di batu itu. Tulisan nama daerah yang ada di sebelah."
"Jadi maksud kamu kita ada di wilayah Dusun Kalimati?" tanya Aretha.
"Iya, Tha!" ucap Radit menatap istrinya dengan wajah tegang.
"Kenapa emangnya? Ada masalah?" tanya Hendra.
"Gue pernah cerita soal Aretha tinggal di desa orang mati?" tanya Radit.
"Oh yang itu, iya pernah. Eh, jadi maksud nya... Desa ini adalah desa yang lo ceritain waktu itu, Dit?"
"Iya."
"Yang manusianya udah mati semua tinggal satu nenek nenek doang?"
"Iya."
"Astaga! Yang bener aja!" pekik Hendra.
"Terus gimana? Kita lanjutin aja atau gimana? Aku rasa, Liya disembunyikan di desa itu, Dit. Apalagi sejarah tentang Dusun Kalimati kan, kita udah tahu banget. Bisa aja warga yang selama ini di sandera sengaja disembunyikan di sana. Apalagi tiap dicari, warga bahkan nggak pernah bisa menemukannya."
"Masuk akal sih. Kayaknya emang Liya dibawa ke desa itu. Cuma... Apa kita bener bener harus ke sana juga? Itu desa mati, kan?"
Radit menatap Aretha. Mereka bertiga diam beberapa saat. Sampai akhirnya Radit pun memutuskan. "Ya udah. Kita masuk aja ke desa itu. Mumpung Liya belum lama dibawa oleh makhluk itu. Setidaknya dia bisa kita selamatkan!" ucap Radit.
"Iya, ayo kita masuk ke sana. Lagian udah tanggung. Kita udah sampai di sini masa mau balik lagi?" tanya Aretha.
Radit dan Aretha lantas melanjutkan langkah memasuki batas desa Alas Purwo dan Kalimati. Walau ingatan mengenai kenangan mengerikan itu masih tergambar jelas, tetapi tidak menyurutkan niat mereka memasuki tempat itu lagi. Apalagi mereka memiliki tujuan yang jelas. Menyangkut nyawa seseorang yang harus diselamatkan.
"Duh, gimana nih? Kalau gue balik sendirian... Takut juga. Kalau lanjut... Ada setan itu! Ah, ya udah deh! Seenggaknya ada Radit sama Aretha! Hei, tunggu! Jangan cepet cepet jalannya!" jerit Hendra.
***
Begitu memasuki tempat itu, mereka langsung sampai di jalan yang pernah mereka lewati sebelumnya.
"Wah, gelap banget, ya? Nggak ada lampu atau penerangan jalan apa?" tanya Hendra terus menerus mengeluh.
"Kalau ada lampu justru mencurigakan!" sahut Radit.
"Eum, iya juga, ya."
"Kita ke mana nih?" tanya Aretha sambil tengak tengok sekitar. Namun fokus nya justru menatap sebuah rumah yang tidak asing sama sekali. Rumah Nek Siti.
"Yang jelas, gue nggak mau berpencar di sini, " tandas Hendra.
"Aretha, kenapa?" Tanya Radit yang menyadari kalau istrinya yang sejak masuk desa ini lebih banyak diam.
"Itu, aku jadi ingat sama Nek Siti," sahut Areta sambil menunjuk ke bangunan tua yang tak jauh di dekat mereka.
Sebagian besar bangunan di sini sudah roboh. Hanya menyisakan beberapa bangunan saja yang masih berdiri walau sebenarnya juga tidak aman untuk dihuni.
"Bukannya kata kalian tempat ini bakalan dijadikan tempat wisata? Kok nggak ada tanda-tanda pembangunan wisata seperti itu ya?" tanya Hendra.
"Kalau menurut salah satu warga di desa Alas Purwo pembangunan objek wisata di sini terhenti karena beberapa hal. Makanya kondisinya belum sepenuhnya berubah. Masih banyak tempat yang belum di robohkan," jelas Radit.
"Oh pantes. Hem, padahal udah bagus kalau dijadikan tempat wisata. Biar gak jadi sarang setan," sahut Hendra.
"Heh! Jangan sembarangan kalau ngomong di sini!" timpal Radit.
"Eh, iya! Lupa," ucap Hendra sambil menutup mulutnya dengan tangan.
"Tapi di sini sepi banget," kata Aretha.
"Iya kalau ramai mah pasar malam kali, Tha," sahut Hendra.
"Apa kita coba periksa di rumah rumah sekitar yang masih utuh, ya? Siapa tahu ada di salah satu bangunan itu?" tanya Radit.
"Iya, ide yang bagus. Ayo," ajak Aretha.
Mereka lantas berjalan menuju ke sebuah bangunan yang paling dekat. Dari sejauh mata memandang, hanya ada sekitar 5 rumah yang masih berdiri lengkap, dan 3 rumah yang sudah setengah roboh.
"Emang bener kata orang orang, kalau alat beratnya aja sampai ditinggal di sini," tutur Radit.
"Kenapa ditinggal, Dit?" tanya Hendra.
"Enggak tahu juga sih. Cuma emang tempat ini mangkrak, dan pihak pengelola pergi gitu aja. Gue juga heran, kalau pun mau stop ya harusnya kan alat berat nya di bawa. Bahan material aja masih banyak di sini," cetus Radit.
"Jangan jangan diganggu sama penunggu sini kali. Makanya mereka nggak berani buat ambil alat berat yang tertinggal."
"Hem, entahlah."
Aretha melongok ke jendela yang tidak memiliki korden lagi. Karena tempat tersebut tidak memiliki penerangan sama sekali, alhasil mereka pun mulai menyalakan lampu flash di ponsel masing masing.
Saat menyorot ke dalam, hanya ada ruangan kotor penuh debu. Tidak ada tanda tanda kehidupan sejauh ini. Aretha lantas memegang gagang pintu.
"Mau ngapain?" tanya Radit yang langsung menahan tangan Aretha.
"Mau cek ke dalam," sahut Aretha.
"Tapi...."
"Kalau cuma lihat dari luar, kita nggak bisa tahu kalau ternyata Ummu Sibyan sembunyi di dalam sini, kan?"
"Hem, iya sih."
Akhirnya Radit melepaskan tangan Aretha dan membiarkannya masuk ke dalam. Namun, Radit tetap mengekor di belakang Aretha, dan Hendra terus membuntuti Radit.
Begitu masuk mereka langsung berjalan ke dalam, menuju ke ruangan berikutnya. Karena ruang tamu masih terpantau aman. Hanya ada dua kamar di rumah tersebut yang tidak memiliki apa pun lagi di dalamnya. Perabotan di rumah itu sudah lenyap. Hanya menyisakan bangunan yang siap roboh kapan saja.
Tiba tiba mereka mendengar jeritan di luar. Ketiganya sontak saling pandang dan bergegas lari keluar. Saat sampai di teras, mereka melihat sebuah kaki seorang gadis kecil yang di seret masuk ke rumah yang ada di samping.
Alhasil mereka bertiga pun segera berlari ke rumah tersebut. Tapi saat hendak masuk ke dalam, Aretha berhenti sejenak. Dia memperhatikan rumah itu dari depan. Tapi Hendra langsung masuk dan memanggilnya untuk turut serta.
Aretha menyusul Hendra dan Radit yang susah masuk lebih dulu. Namun langkahnya pelan saat memasuki rumah tersebut. Dia langsung teringat Danu. Karena di tempat itu, dia dan Danu pertama kali berada. Yah, rumah Nek Siti.
Radit dan Hendra mulai memeriksa semua tempat. Aretha pun melakukan hal yang sama. Dia membuka pintu kamar pertama, di mana dia pernah tidur di sana dalam waktu yang cukup lama. Kenangan itu masih sangat membekas di dalam hatinya. Lalu Aretha pindah ke kamar selanjutnya, di mana Danu menempatinya dulu. Aretha jadi rindu dengan manusia satu itu. Sayangnya dia tidak berada di sini bersamanya.
Ia kembali melangkah dan sampai di kamar Nek Siti. Perabotan di rumah ini masih utuh. Tidak seperti rumah sebelumnya. Dia pun membuka pintu kamar tersebut. Derit pintu terdengar nyaring. Namun, betapa terkejutnya Aretha saat mendapati ada sosok jin Ummu Sibyan di sana. Makhluk itu sedang duduk di pinggir ranjang sambil menatap jendela yang terbuka di luar. Saat Aretha berdiri di depan pintu, sosok itu menoleh dengan gerakan pelan. Dia menyeringai, lalu dalam sekejap melompat menabrak tubuh Aretha.
"Arrg!" jerit Aretha sambil menutup wajahnya. Tubuhnya tiba tiba terasa dingin. Seperti ada angin kencang yang menerpa tubuh serta wajahnya.
Saat Aretha membuka mata, tiba tiba suasana di sekitarnya berubah. Tempat yang awalnya gelap gulita kini berubah terang. Dia tengak tengok sekitar sambil berteriak memanggil nama Radit.
"Aretha? Aretha!" sahut Radit lalu muncul dari belakang bersama Hendra. "Kamu nggak apa apa, kan?" tanya Radit sambil memeriksa tubuh Aretha. Hendra yang berada di belakang Radit ngos ngosan seperti habis berlari jauh.
"Nggak apa apa. Tapi ini... Kenapa ini?" tanya Aretha sambil menatap sekitar.
"Iya, aku sama Hendra juga bingung. Tiba tiba semua terang. Makanya kami langsung keluar cari kamu!" tukas Radit.
"Tapi ini kenapa, Tha? Kok jadi gini. Padahal tadi masih malam, kan?" tanya Hendra kebingungan.
"Aku juga nggak tahu. Tapi tadi ada Ummu Sibyan di sini, di kamar ini," tunjuk Aretha.
"Yang bener? Terus ke mana dia? Kamu diapain?" tanya Radit cemas.
"Nggak tahu. Dia cuma duduk aja di sana. Tapi dia lihat aku. Karena takut aku tutup mata, dan pas aku buka mata ternyata udah gini. Aku juga bingung!" jelas Aretha.
"Apa ini cuma ilusi aja, ya?" tanya Hendra.
Pintu berderit. Tak lama seseorang menyapa dari arah depan. Suara seorang wanita yang tidak asing bagi Aretha. Dia yakin pernah mendengar suara tersebut walau sudah lama berlalu.
"Loh, Mbak Aretha? Sudah lama?" tanya Bu Heni lalu meletakkan belanjaannya di meja makan.
Aretha melotot dan bahkan mundur perlahan saat melihat sosok wanita tersebut nyata di depannya. Radit yang berada di belakangnya lantas menarik tangan Aretha dan menyembunyikan istri nya di belakang tubuh.
"Oh, sama Mas Radit juga, ya? Eh, ada teman satu lagi? Wah, suatu kehormatan. Kami kedatangan tamu. Pak Karjo di mana? Sudah ketemu?" tanya Bu Heni lalu berjalan masuk ke dalam sambil memanggil nama suaminya itu.
Radit menatap Aretha begitu pun sebaliknya. "Ini apa sih, Dit? Kenapa mereka muncul lagi?" tanya Aretha.
"Kenapa sih? Mereka siapa? Itu siapa tadi?" tanya Hendra.
regmekujo dan 5 lainnya memberi reputasi
6