- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283.7K
Kutip
2.2K
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#723
#59 - Start Over Again - Part 2
Spoiler for #59 - Start Over Again - Part 2:
Beberapa jam berikutnya, kami bertiga sudah berada di pesawat yang akan membawa kami ke Halifax. Saat ini, belum ada pesawat atau maskapai yang bisa membawa kami langsung ke Kanada. Pada penerbangan kali ini, kami harus transit dua kali; Haneda, Tokyo lalu berganti pesawat dan transit berikutnya di New York untuk kembali berganti pesawat.
Lama? sudah pasti.
Jenuh? kalau sendirian, pasti jenuh.
Kebetulan ada Anggi dan Lady yang selalu memenuhi waktu membosankan di dalam pesawat dengan keceriaan mereka berdua. Kadang, kami menghabiskan waktu dengan menonton film, bermain monopoli hingga saling bercerita. Dan tanpa terasa, perjalanan yang panjang dan melelahkan berlalu.
Cuaca berangin langsung menyambut begitu kami keluar dari bandara. Saat ini, sedang pertengahan musim panas, suhu udara cukup bersahabat, sinar matahari terik menerpa wajah namun rasa panasnya nggak terlalu menggigit kulit.
“Anget.. terakhir gue kesini kok dingin banget…”Lady buka suara, seraya melepas sweater hitam yang ia kenakan.
“Terakhir lo kesini kan menjelang akhir tahun. Dingin lah pasti..” Jawab gua.
Sambil membawa Anggi dalam gendongan dan satu koper besar di tangan kanan, gua berjalan menyusuri beranda bandara untuk menuju ke deretan taksi yang sudah siap menunggu pelanggan. Sementara, Lady berjalan di belakang gua sambil sesekali mengambil foto dirinya sendiri dengan ponsel.
Nggak lama berselang kami bertiga tiba di sebuah hotel di pusat kota Halifax. Gua dan Lady langsung saling menatap begitu masuk ke dalam kamar dan menyadari kalau kamar ini hanya terdiri dari satu ranjang King Size. Claire yang memesankan kamar ini untuk kami, dan agak sedikit merepotkan kalau harus request ganti kamar, jadi ya sudahlah.
Lady sendiri nggak begitu ambil pusing dengan perkara satu ranjang ini. Ia malah lebih tertarik saat melihat view teluk dengan beberapa kapal ferry yang wara-wiri dari jendela besar di sisi kamar. Ia langsung duduk di sofa panjang yang berada tepat di sisi jendela, menyibak tirainya, mengeluarkan ponsel dan melakukan selfie; Hal yang entah sudah ratusan kali ia lakukan sejak turun dari pesawat.
“Anggi sini nggi, kita foto..” Ajaknya ke Anggi yang kayaknya sekarang jadi ketularan Lady; doyan berfoto.
Sementara gua langsung meletakkan koper besar kami di sudut ruangan dan merebahkan diri diatas ranjang. Mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memberi kabar ke Reni kalau kami sudah tiba dengan selamat melalui chat.
Setelah selesai berfoto, Lady dan Anggi lalu mulai berkeliling kamar.
“Kita mandi yuk Nggi..” Ajak Lady.
“Asik…” Respon Anggi yang langsung berusaha membuka bajunya.
Gua mengambil kaleng minuman ringan dari kulkas dan membuka sedikit jendela, tercium aroma laut dan angin yang berhembus sepoi-sepoi, menerpa wajah dan membelai rambut. Sementara, samar suara suling kapal ferry menggema membuat suasana laut semakin terasa. Gua duduk, bersandar pada sofa, seraya meluruskan kedua kaki, menatap keluar dan menyulut sebatang rokok.
Baru saja Lady dan Anggi selesai mandi, sebuah ketukan terdengar di pintu kamar hotel. Lady yang masih mengenakan kimono mandi lengkap dengan handuk melingkar, membalut rambut di kepalanya langsung menghampiri pintu dan membukanya.
Samar terdengar panggilan Lady yang lemah; “Mmm.. Je..”
Gua berdiri, mendekat ke arah pintu masuk hotel dan mendapati seorang perempuan bule tengah berdiri di ambang pintu. Dengan rambut pirangnya, setelan kaos hitam berlogo swoosh putih, celana jeans pendek dan sepatu kets berwarna putih, Claire masih terlihat sama seperti yang biasa gua lihat melalui layar laptop saat kami biasa meeting online.
“Come in..” Ucap gua seraya melambaikan tangan dari kejauhan.
Claire tersenyum ke arah Lady dan bicara; “You must be Lady, right?" Tanyanya seraya menunjuk ke arah Lady.
“Ya.. and you?”
Claire lantas menjabat tangan Lady dan menyebutkan namanya; “Claire..”
Begitu Claire masuk ke dalam, ia mendapati Anggi yang juga terlihat masih mengenakan kimono mandi berukuran kecil, lengkap dengan handuk menyelubungi kepalanya. Jelas-jelas, ia mencoba mengikuti apapun yang dilakukan Lady.
“Wow, this is.. Anggi?” Tanya Claire dengan tatapan takjub seraya menoleh ke arah gua.
“Ya..” Gua memberi jawaban sambil tersenyum dan kembali duduk di sofa.
“Oh my gosh, How long has it been? Five years?” Tanya Claire sambil melangkah mendekat ke arah Anggi. Sementara Anggi justru mundur dan bersembunyi di balik kaki Lady.
“...”
“... Did you remember me, Anggi?”
“...”
“..Time really flies, doesn't it?"
“Ya..”
Gua lantas bicara ke Anggi; “Anggi, ayo salim sama Aunty Claire. Aunty dulu sempet jagain kamu loh waktu masih bayi..”
Perlahan, Anggi beringsut pelan dari persembunyiannya dan menjulurkan tangan. Claire menjabat tangan mungil Anggi sambil menyapa ulang; “Hello Anggi, my name is Claire, nice to meet you.. again..”
Anggi lalu menjawab pelan sambil menundukkan kepala; “Nice to meet you too..”
Claire lalu berpaling ke Lady, memberi tepukan lembut di bahu kemudian melangkah mendekat. Ia memberi pelukan dan kecupan di kedua pipi, lalu duduk di sofa di sebelah gua.
“Nice timing right? there’s sunshine, warm, and you know what? hard to get this room with a nice view during the high season like now..” Gumam Claire seraya mengeluarkan beberapa lembar dokumen dari dalam tas dan sebuah kunci mobil.
“Well yes, thank you again then..” Jawab gua santai, kemudian meraih lembaran dokumen darinya.
“There a black, ford expedition out there, in the parking lot..” Ucapnya seraya menyerahkan kunci mobil ke gua.
“Thank you..”
Setelah gua dan Claire ngobrol sebentar, ia pun pamit. Gua mengantarnya hingga ke lobby hotel. Dan sesaat sebelum ia benar-benar pergi, gua meraih tangannya.
“Where’s Aldina?” Tanya gua pelan.
Claire nggak langsung menjawab, ia terdiam sebentar kemudian tersenyum dan bicara pelan.
“Right now?”
“Yes..”
“Some place, you both now..” Jawabnya singkat kemudian pergi.
Gua bergegas kembali ke kamar untuk mengambil kunci mobil dan jaket dari dalam koper. Saat tengah membongkar koper, Lady duduk di tepi ranjang dan mengajukan pertanyaan; “Lo mau langsung nyari Aldina?”
Gua mengangguk pelan tanpa memalingkan wajah ke arahnya.
“... Nggak mau istirahat dulu?” Tanyanya lagi.
“Nanti aja..” Gua memberi jawaban singkat.
Setelah mendapatkan jaket dari tumpukan pakaian di dalam koper gua berdiri, memberi kecupan di kening Anggi dan bicara; “Papah keluar sebentar, Anggi sama tante cantik dulu ya..” Yang lantas di respon Anggi dengan anggukan kepala.
Gua beralih ke Lady yang masih duduk di tepian ranjang sambil termenung. Sambil membelai kepalanya, gua berbisik; “Tunggu ya, gua pasti balik ke elo kok”
Lady lalu mendongak, menatap gua.
“Janji?”
“Iya Janji…”
—
Tanpa menunggu lama, gua langsung menuju ke area parkir. Menekan tombol alarm pada kunci mobil dan bergegas menghampiri salah satu SUV hitam dengan lampu yang berkedip.
Tempat pertama yang gua tuju adalah, rumah pertama kami di Pine Drive.
Gua nggak mendapati Aldina disana. Kemudian gua bergegas ke apartemen lama yang jaraknya nggak sampai 5 menit berkendara; dan gua juga nggak mendapati Aldina disana. Satu tempat spesial yang tersisa; Peggy's Cove.
Hampir satu jam gua tempuh untuk menuju ke Peggy’s Cove. Persis seperti yang dibilang Claire tadi; musim panas dan high season, banyak orang yang berlibur. Jalanan menuju ke tempat wisata pun ramai dan sedikit tersendat.
Begitu tiba di Peggy’s Cove, area parkir pun terlihat ramai. Gua sampai kesulitan untuk mendapatkan slot parkir. Setelah menunggu sambil berputar-putar, gua akhirnya mendapat slot parkir begitu ada satu mobil yang keluar.
Gua meraih jaket dan segera turun dari mobil, kemudian berlari menuju ke arah bebatuan tepi laut dimana sebuah mercusuar beratap merah berdiri kokoh.
Hari sudah cukup sore, namun sinar matahari masih hadir menyilaukan mata. Sementara, suasana dan kondisi di sekitar mercusuar begitu ramai dan dipenuhi pengunjung. Gua menyisir area, sambil sesekali memicingkan mata untuk memastikan sosok yang mirip dengan Aldina.
Saat hampir menyerah, tanpa sengaja gua melihat sosok perempuan tengah duduk sendiri diatas bebatuan yang jauh dari kerumunan. Gua kembali memicingkan mata sambil menghalau sinar matahari dengan telapak tangan dan terus mendekat ke arah perempuan tersebut. Hingga jarak antara kami tersisa beberapa meter, barulah gua yakin kalau sosok tersebut merupakan Aldina.
Gua menghela nafas panjang.
Aldina terlihat duduk sambil memeluk kedua lututnya yang dilipat. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, melambai dihempas angin laut, beberapa helai rambutnya menutupi wajahnya yang cantik. Sementara sebuah kacamata hitam terpasang menutupi matanya.
Gua lalu duduk di sebelahnya, di atas batuan besar tanpa alas. Sambil terus memicingkan mata gua menatap ke arah yang sama dengannya, ke arah horizon, ke arah laut yang tak berujung. Sepertinya ia belum juga menyadari kehadiran gua sampai akhirnya gua buka suara; “Apa sekarang lautnya masih terlihat cantik?”
Tiba-tiba Aldina menoleh ke arah gua dan langsung melepas kacamata hitamnya. Sementara gua nggak berpaling, masih memicingkan mata menatap ke arah laut yang tanpa batas.
“Elo kok?”
“Sstt… udah nggak usah ngomong…” Jawab gua sambil menempelkan telunjuk di bibir.
Aldina terdiam, tetapi matanya masih menatap ke arah gua yang juga duduk dalam diam. Dan kami tenggelam dalam diam hingga cukup lama. Saking lamanya, kini sinar matahari sudah tak lagi menyilaukan mata.
Ia lantas menyandarkan kepalanya di bahu gua.
“Ayo kita mulai lagi dari awal Je…” Ucap Aldina pelan.
Gua lantas tersenyum, kemudian menggapai bahu dan memeluknya.
“Ya, ayo kita mulai dari awal…”
—
Good Charlotte - I Just Wanna Live
I need an alarm system in my house
So I know when people are
Creeping about
These people are
Freaking me out (these days)
It’s getting hectic everywhere that I go
They won’t leave me alone
There’s things they all wanna know
I'm paranoid of all the people I meet
Why are they talking to me?
And why can’t anyone see
I just wanna live
Don’t really care about the things that they say
Don’t really care about what happens to me
I just wanna live
Just wanna live [x6]
I rock a
Lawsuit when I’m going to court
A white suit when I’m gettin’ divorced
A black suit at the funeral home
And my birthday suit when I’m home alone
Talkin’ on the phone
Got an interview
With the rolling stone
They’re saying
“Now you’re rich and
Now you’re famous
Fake ass girls all know your name and
Lifestyles of the rich and famous
Your first hit aren’t you ashamed?”
Of the life [x2]
Of the life we’re livin’
I just wanna live
Don’t really care about the things that they say
Don’t really care about what happens to me
I just wanna live
Stop your messin’ around boy
Better think of your future
Better make some good plans boy
Said everyone of my teachers
Lookout
You better play it safe
You never know what hard times will come your way
We say
Where we’re coming from
We’ve already seen
The worst that this life can bring
Now we expect it everywhere that we go
All the things that they say
Yeah we already know
I just wanna live
Don’t really care about the things that they say
Don’t really care about what happens to me
Just wanna live [x3]
I just wanna live
Just wanna live [x3]
I just wanna live
Just wanna live [x3]
Don’t really care about the things that they say
Just wanna live [x3]
Don’t really care about what happens to me
I just wanna live
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:35
jiyanq dan 57 lainnya memberi reputasi
58
Kutip
Balas
Tutup