- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#89
Part 85 Kampung...
Nabila dan Rizal kini sedang tidur di ranjang pasien. Untung Vin cepat bertindak dengan memanggil ambulance. Sehingga nyawa mereka berdua masih bisa tertolong. Nabila dan Rizal mengalami luka di sekujur tubuhnya, tapi beruntung tidak mengenai organ vitalnya. Untung kartu memori masih ada di tangan Abimanyu, setidaknya bukti masih aman berada di pihak mereka. Abi dan Vin masih berada di rumah sakit guna menunggu dua orang itu sadar. Keadaan mereka sudah stabil, hanya saja karena pengaruh obat bius, maka mereka harus beristirahat lebih lama lagi. Namun baik Abimanyu dan Vin memutuskan terus menjaga mereka berdua, karena keselamatan mereka sedang terancam.
"Menurut lu kita harus bagaimana, Bi?" tanya Vin. Dua pemuda itu duduk di kursi ruang tunggu yang ada di koridor rumah sakit. Koridor ini sunyi, mungkin karena hari sudah malam, dan jam tunggu pasien akan segera berakhir.
Abi yang sedang duduk, menatap lantai rumah sakit dengan kedua tangan yang bertumpu di lutut, menarik nafas kasar. Ia beranjak. "Elu sini saja, jagain mereka, gue mau ke suatu tempat!" kata Abi, menunjuk Vin yang terkejut melihat reaksi Abi yang tiba-tiba.
"Hah? Eh, eh elu mau ke mana? Bi!" teriak Vin yang tidak ditanggapi oleh Abi. Ia terus berjalan menyusuri koridor menuju pintu keluar. Vin tidak mungkin meninggalkan dua pasien di dalam. Karena anak buah Nicholas bisa sewaktu-waktu datang dan mencelakakan Nabila dan Rizal, lagi. Vin sedikit frustrasi dan akhirnya pasrah. Ia yakin Abimanyu tidak akan bertindak tanpa akal. Ia pasti sudah merencanakan sesuatu, dan semoga rencananya berhasil.
Mobil melaju dengan cukup kencang. Kebetulan jalanan sudah mulai sunyi, hanya ada beberapa kendaraan yang melewati jalan utama. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Abi mulai masuk ke sebuah perkantoran yang masih buka. Walau karyawannya tidak begitu banyak, tapi tempat ini salah satu perusahaan yang tidak akan tutup hingga tengah malam nanti.
"Cari siapa, Pak?" tanya salah seorang sekuriti yang berjaga di lobi.
Abi berhenti sambil terus menatap ke dalam gedung besar itu, berharap melihat orang yang ia cari. "Eum, Heru ada?" tanyanya sedikit panik. Melihat gelagat tamu aneh ini saat hampir malam, membuat penjaga ini sedikit ragu. Ia justru menyuruh Abi untuk datang esok hari, dengan dalih kalau orang yang dicarinya sudah pulang.
"Pak, sebentar!" Tubuh besarnya di dorong keluar oleh satpam itu, namun saat seorang laki-laki turun ke bawah sambil menenteng tas, ia lantas menjerit memanggil namanya. " Her! Heru!"
Orang yang dipanggil, menoleh ke segala arah, mencari sosok yang memanggilnya. Abi kembali memanggilnya, dan akhirnya Heru menemukan Abimanyu yang mirip maling, sedang di tahan oleh Pak Satpam. Ia lantas segera menghampiri mereka dengan tatapan heran, terus melihat Abimanyu dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Abimanyu?" tanyanya heran.
"Iya, ini gue."
"Astaga, apa lu ke sini? Eh, Pak ini temen saya, udah nggak apa-apa kok."
Akhirnya Abimanyu dilepaskan, walau dengan sorot mata masih menaruh curiga pada teman Heru. Heru mengajaknya pergi karena jam kerjanya juga sudah berakhir. Mereka sampai di pelataran parkiran kantor yang sudah sepi. "Gue minta bantuan elu, Her, please!" pinta Abimanyu saat mereka sudah sampai di mobil masing-masing. Kebetulan posisi mobil mereka berdekatan.
"Gue harus liat dulu buktinya. Kalau memang ini berita besar, bakal gue bantu. Dari cerita elu sih, ini cukup menggemparkan, ya. Tapi gue harus liat dulu."
"Tapi ... elu yakin, Her? Soalnya temen gue yang tadi siang liat video dan semua bukti itu, sekarang belum siuman di rumah sakit." Abimanyu kembali ragu, padahal tadi dia sangat antusias untuk membongkar kasus ini ke media sosial, TV dan media massa. Ia mencari Heru karena bekerja di salah satu perusahaan penerbitan besar di Indonesia. Abi hanya mengenal Heru dan hanya Heru yang bisa ia percaya. Heru terlihat diam beberapa saat.
"Gue yakin. Gue bakal terima konsekuensinya."
Mereka sekarang menuju ke rumah Heru. Beberapa kali Vin menghubungi Abi namun tak kunjung ia jawab dan balas pesannya. Hingga pada dering selanjutnya, Abi mengangkat telepon Vin.
"Ya."
"...."
"Gue nggak apa-apa. Gimana di sana? Aman, kan?"
"..."
"Pokoknya kita bagi tugas. Elu jaga mereka, biar gue yang kerjain sisanya. Terus satu lagi, hubungi Allea, bilang kalau kita belum bisa pulang dalam waktu dekat. Sampein, kalau handphone gue habis baterai, jadi nggak bisa telepon Ellea. Bilang gue baik-baik saja."
"..."
Dan akhirnya ponsel Abi benar-benar mati. Dia memang tidak bohong kalau ponselnya kehabisan baterai. Nanti setelah sampai rumah Heru, dan mengisi daya, dia akan menghubungi Ellea. Dia tau kalau gadis itu pasti gelisah menunggu kabar darinya.
_____________
Sampai di sebuah rumah yang berada di kompleks padat penduduk, Abi dan Heru masuk. Heru tinggal seorang diri, di rumah peninggalan orang tuanya yang sudah meninggal saat dirinya masih SMU. Heru dan Abi adalah teman masa kecil, karena dulu Heru tinggal bersama neneknya di desa Amethys. Setelah orang tuanya meninggal Heru kembali ke rumah ini, ia bekerja paruh waktu sebagai wartawan magang. Dan sekarang ia sudah menjadi karyawan tetap di perusahaan itu. Kariernya menanjak karena keuletannya dalam mencari berita. Beberapa kali Heru mendapatkan berita besar walau itu juga hampir beberapa kali merenggut nyawanya. Mungkin sekarang akan terulang lagi. Jadi dia sudah terbiasa dengan situasi ini.
Lampu dinyalakan, dan Abi duduk di ruang tamu. Keadaan rumahnya cukup rapi untuk seorang lelaki dengan predikat single. Heru termasuk orang yang rajin.
"Ngomong-ngomong gue ikut berduka, soal orang tua lu," kata Heru, meletakkan dua botol minuman bersoda di meja. Abi tersenyum tipis, "Iya, terima kasih. Akhirnya gue jadi yatim juga kayak elu, ya."
Keduanya lantas tertawa bersama. Mereka mengingat kejadian saat SMU dulu. Di mana Heru dan Abi terlibat perkelahian karena Heru yang menjadi frustrasi setelah kematian orang tuanya. "Elu liat aja, apa lu bakal bersikap biasa aja saat kedua orang tua lu meninggal!" Begitulah kalimat Heru yang ia lontarkan pada Abimanyu.
Saat kedua orang tua Abi meninggal, ia teringat kalimat ini. Dulu, Abi juga frustrasi sama seperti Heru, bahkan lebih buruk lagi. Saat itu Abi merasa kalau ini adalah karma yang sudah ia perbuat pada sahabatnya, Heru. Tapi sekarang keduanya sudah baik-baik saja dan berdamai dengan luka itu.
Laptop Heru mulai dinyalakan, sambil menunggu mie instant yang sudah mereka seduh matang, mereka memulai melihat video yang sudah diceritakan secara singkat oleh Abi tadi.
"Kok bisa sih, elu nemu ginian, Bi? Memang lu, tukang cari gara-gara dari dulu. Ada aja masalah yang datengin elu, heran gue!" kata Heru sambil geleng-geleng kepala.
"Ya mana gue tau. Lagian gue ke sana buat cari pacar gue, malah ada masalah ini. Jadi ... bagaimana? elu bisa bantu, kan?"
Heru menarik nafas panjang, menatap wajah-wajah yang ada di video itu, lalu beralih ke Abimanyu. Ia terlihat diam sambil berpikir keras. "Oke, gue bakal bantu. Lagi pula ini berita besar. Gue yakin rating bakal naik."
"Tapi ... elu siap juga? Kalau mereka nyerang elu, kayak apa yang mereka lakuin ke kami?
"Lah elu pikir udah berapa kali gue mau mati demi kerjaan gue? Ibarat hewan, gue ini kucing, nyawanya banyak."
Abimanyu hanya tersenyum, ia belum merasa lega atas tindakannya ini. Karena siapa pun yang berhubungan dengan hal ini, atau mengetahuinya pasti akan mengalami hal buruk. Ia cemas, jika Heru akan mengalaminya juga.
"Ya sudah. Elu mau balik apa nginep sini aja?" tanya Heru.
Abi melihat jam di pergelangan tangannya. "Eum, gue balik saja, ya. Kasian teman gue sendirian di rumah sakit. Tapi elu nggak apa-apa, kan?"
"Astaga, Abimanyu! Sejak kapan elu dramatis gini? Jijik tau jadinya. Berasa gue ini pacar lelakimu saja!" kata Heru dengan logat alay, dibuat-buat. Abi tersenyum, walau demikian ia masih cemas dan khawatir.
Getaran di ponselnya membuat Abi segera menerima panggilan itu. Vin kembali menelepon dan mengabarkan kalau Rizal dan Nabila sudah siuman. Hal itu membuat Abi makin yakin untuk segera kembali ke rumah sakit, dan meninggalkan Heru. Mungkin memang Abi tidak perlu terlalu mencemaskan keadaan ini. Karena Heru pasti bisa menjaga dirinya sendiri. "Ya udah, gue balik, ya."
_________________
Pukul 00.30
Abimanyu baru saja pergi beberapa menit lalu. Sementara Heru tidak langsung tertidur. Ia justru kembali mempelajari tentang kasus ini. Sebelum Abimanyu pergi, ia sudah menyalin semua file dari memori itu. "Bener-bener berbahaya sih ini, kalau sampai mereka tau gue punya bukti ini. Dan untung besar buat gue juga. Bakal naik jabatan ini nanti. Huh, Barcelona ... I'am coming," gumamnya dengan senyum yang menampilkan barisan putih giginya. Heru memang ingin pergi ke Barcelona setelah tabungannya cukup, karena itu adalah tempat impiannya. Selama bertahun-tahun ia selalu sibuk bergelut dengan urusan pekerjaan, dan kini ia ingin sekali berlibur. Setelah kasus ini selesai tentunya.
Suara berisik di luar membuat dahi Heru berkerut. Ia merasakan kehadiran orang lain di sekitar rumahnya. Sadar akan bahaya ini, ia segera mengetik beberapa hal sambil memperhatikan sekitarnya. "Hm, gila, nggak nyangka gerakan mereka secepat ini. Bahkan gue nggak dikasih kesempatan buat tidur dulu."
Brakk! Pintu rumahnya didobrak kasar oleh beberapa orang yang kini mulai menerobos masuk ke dalam. Menodongkan senjata api dan beberapa senjata tajam. "Angkat tangan!"suruh salah satu dari mereka dengan sebuah shotgun yang ditodongkan pada Heru. Tangan Heru yang masih ada di keyboard laptop, berhenti. Tapi sebelum ia menuruti perkataan mereka, jari telunjuknya menekan tombol enter dengan pelan. Matanya melirik ke layar laptopnya, dan status centang hijau di sana, membuatnya lega. Ia lantas mengangkat kedua tangannya. Tapi salah satu dari kawanan itu melihat ke laptop milik Heru dan mengetahui kalau file itu sudah dikirimkan kepada seseorang.
Rahang kanan Heru dipukul dengan ujung senjata yang awalnya akan meledak di kepala Heru. "Kau ... Jangan main-main dengan kami, ya. Kamu bakal dapat hukuman karena hal ini!" Laptop diserahkan pada seseorang yang lain. Ia mengetik dengan cepat, berusaha membatalkan hal itu, dan itu tidak bisa tentunya. "Cari penerimanya!" suruh yang lain.
Heru hanya menarik sebelah bibirnya sinis. Ia merasa sedang berhadapan dengan orang-orang bodoh yang hanya mengandalkan kekuatan fisik mereka saja. Heru merasa menang. Karena penerima file itu tidak akan bisa dilacak oleh siapa pun.
"Oh, sial! Nggak bisa gue lacak!" umpatnya kesal. Satu orang yang sebagai pemimpin tim mereka, mendekat, merampas laptop Heru, lalu dengan keras membantingnya ke lantai. Hancur. Beberapa bagian benda itu remuk apalagi setelah diinjak oleh orang tadi. Heru geleng-geleng kepala, ia pasrah kalau semua file pekerjaannya selama ini rusak begitu saja. "Toh, gue juga bakal mati malam ini," gumamnya dalam hati. Ia merasa tidak dapat lagi mengelak dari kematiannya sekarang. Mungkin jika kucing memiliki 7 nyawa, ini adalah nyawa Heru yang ketujuh, nyawa yang tersisa miliknya.
Kepalanya dipukul dari belakang, membuatnya tersungkur begitu saja di lantai. Ia tidak bisa menggerakkan lagi tubuhnya, hanya jemarinya saja yang berusaha hendak meraih karpet yang ada di dekatnya. Ia ingin kabur, tapi sadar kalau sudah tidak mampu lagi. Kepalanya berdenyut hebat, sakit sangat. Membuat sekujur tubuhnya juga terasa ngilu.
Salah satu dari mereka menodongkan senjatanya ke arah Heru yang sedang menggerakkan tubuhnya, berusaha menghindari lagi malaikat kematiannya yang ke sekian kalinya. Bunyi pelatuk yang ditarik terdengar nyaring. Heru pasrah.
DOR!
Suara tembakan terdengar menggema. Tapi bukan Heru yang mengeluarkan darah, justru orang yang hendak membunuhnya. Ia lantas roboh dengan kepala yang berlubang. Semua orang menoleh ke arah pintu rumah ini. Begitu juga Heru yang kini tersenyum lebar. "Huh, untung dia balik lagi!" ucap Heru yang ditujukan pada temannya itu. Satu persatu dari mereka mulai menyerang Abimanyu dengan membabi buta. Abi dengan santai membalas mereka dengan pukulan yang jauh lebih telak dan membuat mereka langsung roboh. Bahkan saat salah satu dari mereka menodongkan senjata api ke Abi, pemuda itu terus berjalan mendekat dan merampas pistol itu. Hal ini membuat musuh ketakutan.
Seseorang lain yang berada di belakang Abimanyu sudah menodongkan senjatanya, peluru sudah menembus punggung Abi. Dan ia hanya menoleh tanpa reaksi sakit atau apa pun. Tatapan mata Abi dingin dan tajam, ia mirip manusia yang sedang dirasuki setan. Saat Abi akan ditembak untuk kedua kalinya, ia segera mengambil kursi kayu yang dekat dengannya dan menghantamkan pada orang di depan. Ia langsung terkapar, dengan bersimbah darah di kepalanya.
Satu persatu dari mereka, mulai mundur teratur. Abi menatap tajam ke arah mereka, yang mulai ketakutan. di tendangnya meja di depannya, hingga membuat orang-orang yang hendak kabur itu terjatuh. Abi berlari dan mulai menghajar mereka satu persatu. Hampir semua perabotan di rumah Heru hancur karena dijadikan alat untuk melumpuhkan lawannya.
"Ampun! Ampun," rengek orang terakhir dari mereka yang kini sudah tidak bisa berjalan lagi. Kakinya patah karena injakan Abi. Semua orang di rumah ini sudah tak sadarkan diri. Abi menoleh ke Heru yang sudah duduk dengan memegang dadanya, ia tersenyum sebagai ucapan terima kasih.
"Elu nggak apa-apa?" tanya Abimanyu sembari membantu Heru berdiri. Walau keadaannya cukup berantakan, tapi setidaknya Heru masih bisa bernafas dan seluruh anggota tubuhnya masih dalam keadaan utuh. Ia menghela nafas panjang, dan mengembuskannya kasar. Heru menatap keadaan rumahnya yang berantakan sama seperti wajahnya.
"Elu kok balik lagi, Bi?" tanya Heru sambil meringis kesakitan. Mereka duduk begitu saja di lantai, tak peduli lagi pada nuansa berantakan di sekitar.
"Iya. Soalnya hand phone gue ketinggalan. Itu lagi di charger," tunjuk Abi ke sudut ruang tamu, di mana ponsel miliknya masih tertancap di kabel pengisi daya. Heru tertawa sambil batuk-batuk.
"Untung hand phone elu ketinggalan, kalau nggak mati gue, Bi!" ujarnya.
Alhasil Abimanyu terpaksa menginap di rumah Heru, untuk memastikan keadaannya aman. Walau orang-orang suruhan Nicholas sudah dipukul mundur, mereka masih cemas kalau akan datang serangan saat tengah malam nanti. Sementara di rumah sakit sendiri, sudah ada beberapa orang polisi yang sengaja diminta untuk menjaga Rizal dan Nabila, ditemani Vin tentunya.
Abi mengambil gawai miliknya. Akhirnya sudah bisa menyala dan kini ia bisa menghubungi Ellea juga.
"Halo?"
"...."
"Maaf. Hand phone ku baru nyala. Tadi seharian lowbatt. Kamu belum tidur, sayang?" tanyaku.
"...."
"Iya, besok aku pulang kok. Kenapa? Kangen?"
"...."
"Perasaan kamu nggak enak kenapa, Ell? Aku baik-baik saja. Kamu jaga diri di sana, ya. Sekarang tidur."
"...'
Telepon akhirnya dimatikan. Hari makin larut, tubuh Abi butuh istirahat. Agar esok ia dapat beraktivitas lagi seperti biasanya. Dan pasti, keadaan tidak akan berjalan mulus lagi seperti yang sudah-sudah. Teror Nicholas tidak akan berhenti hanya karena insiden semalam. Karena ia pasti akan melakukan berbagai cara untuk merebut barang bukti yang sudah ada ditangan Abi. Abi mengelus liontin itu, pikirannya menerawang jauh. Membayangkan hari-hari di mana dia dan Ellea berbincang dengan santai. Mengingat awal pertemuannya dengan gadis itu dan semua kenangan indah mereka. Ia rindu. Merindukan kekasihnya yang baru beberapa menit lalu ia dengar suaranya. Hatinya gundah. Bahkan ia tak mampu segera terlelap.
Di tempat lain. Jauh dari jangkauan Abimanyu, rumah kayu yang berada di dekat pantai, sedang di dekati beberapa orang penyusup. Bayangan beberapa orang yang mendekati tempat itu terlihat jelas dari bibir pantai. Tapi seluruh penghuni di rumah itu sudah terlelap. Gio yang terbiasa tidur di sofa depan TV, sudah mendengkur dengan TV yang sedang menontonnya. Ia selalu melakukan kebiasaan buruk ini setiap malam. Menonton TV sampai tertidur, dan berakhir dengan sofa sebagai tempat tidurnya. Itulah mengapa kamar Gio paling rapi di antara yang lainnya.
Lampu sudah banyak yang dimatikan. Kecuali lampu teras dan lampu yang berada di tangga menuju lantai atas. Tempat semua kamar berada. Sekali pun rumah ini memiliki keamanan yang cukup tinggi, tapi jika tidak di aktifkan oleh penghuninya, keamanan seperti kemarin tidak akan bekerja. Dan kini para penyusup mulai menginjakkan kaki di teras rumah itu. Mereka memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala yang hanya menunjukkan matanya saja. Mereka sangat banyak, dan kini mulai mengepung rumah itu.
Pintu berhasil dibobol. Satu persatu dari mereka masuk ke dalam. Sebagian mendekat ke Gio, sebagian lainnya naik ke lantai atas. Semua orang membawa senjata tajam dan juga senjata api. Semua berbagi tugas. Masuk ke tiap kamar di lantai atas. Adi, Ellea, dan Allea.
Suara pistol terdengar nyaring, dan bersamaan. Ujung pistol itu serempak menuju ke arah kepala Adi, Allea, dan Ellea yang sedang tertidur lelap. Adi menggeliat karena merasakan sensasi dingin di kepalanya. "Gi! Nggak usah bercanda deh!" runtuk Adi dengan mata yang masih berat dan enggan untuk terbuka. Ia mengira kalau Gio sedang iseng padanya. Karena keisengan Gio sudah terkenal seantero desa. Dan Adi sudah sangat hafal tingkah Gio. Kembali pelatuk terdengar dari telinga Adi. Sontak ia membuka matanya. Ia melotot saat dikelilingi orang-orang yang tidak ia kenali.
"Damn!" umpatnya, sadar kalau rumah ini sudah dibobol oleh musuh. Ia mulai bergerak perlahan sesuai instruksi orang di depannya.
"Jongkok di situ! Tangan di atas kepala! Bergerak sedikit saja, kepalamu saya pecahkan! Mengerti?!" ancamnya. Alhasil Adi pasrah, karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan posisinya tidak bisa berkutik lagi.
Suara teriakan wanita terdengar sampai ke kamar Adi. Ellea dan Allea kini diseret secara kasar oleh mereka. "Om, Adi!" rengek Ellea, melewati kamar Adi. Wajah Adi merah padam. Ia berusaha menahan emosinya, karena dirinya pun sedang tidak aman sekarang. Jangankan melawan, bergerak saja dia bisa mati. "Bangun!" kata orang tadi. Adi yang bisa membaca situasi sudah mengira kalau mereka akan mengumpulkan dirinya, Ellea, dan Allea di lantai bawah. Benar saja, saat sampai lantai bawah, tiga orang itu sudah ada di sana dengan posisi yang sama seperti Adi tadi saat di atas.
Adi tau, Gio pun tidak bisa melawan orang-orang ini. Saat semua sudah berkumpul di bawah. Salah satu dari mereka meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ponsel Gio. "Mana nomor si cecunguk itu?"
Mereka semua mengerutkan dahi, walau tau kalau yang dimaksudkan cecunguk pasti Abimanyu. Ellea melirik ke Adi, sementara Adi menggeleng pelan dengan kepala masih di atas kepala. Ellea mendengus sebal. Ia tau kalau keadaan mereka sudah tidak bisa lagi melawan. Mereka butuh bantuan. Tapi ... siapa? Abimanyu tidak ada di sini.
"Heh! Bawa itu perempuan ke sini!" suruhnya menunjuk ke arah Ellea. Gadis itu ditarik paksa sampai-sampai meringis karena menahan sakit. Cengkeraman orang itu sungguh kuat, hingga menyakiti lengannya. Telepon di dekatkan ke telinga Ellea. "Halo?' kata Ellea ragu.
"Loh, Ell?" sapa suara dari seberang sana yang sungguh khas. Abimanyu tentunya.
"Bi ... Tolong kami ....!" Belum selesai kalimat itu terucap dari mulut Ellea, telepon genggam Gio kembali dirampas.
"Heh! Dengar! Semua orang-orang ini ada di tangan gue. Elu bawa kartu memori itu ke tempat gue besok! Kalau sampai elu nggak datang, apalagi nggak bawa benda itu, gue bunuh mereka semua! Ngerti!" Panggilan diakhiri secara sepihak. "Bawa mereka!" suruh orang itu.
Keempat orang itu ditarik paksa tanpa berani melawan.
"Menurut lu kita harus bagaimana, Bi?" tanya Vin. Dua pemuda itu duduk di kursi ruang tunggu yang ada di koridor rumah sakit. Koridor ini sunyi, mungkin karena hari sudah malam, dan jam tunggu pasien akan segera berakhir.
Abi yang sedang duduk, menatap lantai rumah sakit dengan kedua tangan yang bertumpu di lutut, menarik nafas kasar. Ia beranjak. "Elu sini saja, jagain mereka, gue mau ke suatu tempat!" kata Abi, menunjuk Vin yang terkejut melihat reaksi Abi yang tiba-tiba.
"Hah? Eh, eh elu mau ke mana? Bi!" teriak Vin yang tidak ditanggapi oleh Abi. Ia terus berjalan menyusuri koridor menuju pintu keluar. Vin tidak mungkin meninggalkan dua pasien di dalam. Karena anak buah Nicholas bisa sewaktu-waktu datang dan mencelakakan Nabila dan Rizal, lagi. Vin sedikit frustrasi dan akhirnya pasrah. Ia yakin Abimanyu tidak akan bertindak tanpa akal. Ia pasti sudah merencanakan sesuatu, dan semoga rencananya berhasil.
Mobil melaju dengan cukup kencang. Kebetulan jalanan sudah mulai sunyi, hanya ada beberapa kendaraan yang melewati jalan utama. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Abi mulai masuk ke sebuah perkantoran yang masih buka. Walau karyawannya tidak begitu banyak, tapi tempat ini salah satu perusahaan yang tidak akan tutup hingga tengah malam nanti.
"Cari siapa, Pak?" tanya salah seorang sekuriti yang berjaga di lobi.
Abi berhenti sambil terus menatap ke dalam gedung besar itu, berharap melihat orang yang ia cari. "Eum, Heru ada?" tanyanya sedikit panik. Melihat gelagat tamu aneh ini saat hampir malam, membuat penjaga ini sedikit ragu. Ia justru menyuruh Abi untuk datang esok hari, dengan dalih kalau orang yang dicarinya sudah pulang.
"Pak, sebentar!" Tubuh besarnya di dorong keluar oleh satpam itu, namun saat seorang laki-laki turun ke bawah sambil menenteng tas, ia lantas menjerit memanggil namanya. " Her! Heru!"
Orang yang dipanggil, menoleh ke segala arah, mencari sosok yang memanggilnya. Abi kembali memanggilnya, dan akhirnya Heru menemukan Abimanyu yang mirip maling, sedang di tahan oleh Pak Satpam. Ia lantas segera menghampiri mereka dengan tatapan heran, terus melihat Abimanyu dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Abimanyu?" tanyanya heran.
"Iya, ini gue."
"Astaga, apa lu ke sini? Eh, Pak ini temen saya, udah nggak apa-apa kok."
Akhirnya Abimanyu dilepaskan, walau dengan sorot mata masih menaruh curiga pada teman Heru. Heru mengajaknya pergi karena jam kerjanya juga sudah berakhir. Mereka sampai di pelataran parkiran kantor yang sudah sepi. "Gue minta bantuan elu, Her, please!" pinta Abimanyu saat mereka sudah sampai di mobil masing-masing. Kebetulan posisi mobil mereka berdekatan.
"Gue harus liat dulu buktinya. Kalau memang ini berita besar, bakal gue bantu. Dari cerita elu sih, ini cukup menggemparkan, ya. Tapi gue harus liat dulu."
"Tapi ... elu yakin, Her? Soalnya temen gue yang tadi siang liat video dan semua bukti itu, sekarang belum siuman di rumah sakit." Abimanyu kembali ragu, padahal tadi dia sangat antusias untuk membongkar kasus ini ke media sosial, TV dan media massa. Ia mencari Heru karena bekerja di salah satu perusahaan penerbitan besar di Indonesia. Abi hanya mengenal Heru dan hanya Heru yang bisa ia percaya. Heru terlihat diam beberapa saat.
"Gue yakin. Gue bakal terima konsekuensinya."
Mereka sekarang menuju ke rumah Heru. Beberapa kali Vin menghubungi Abi namun tak kunjung ia jawab dan balas pesannya. Hingga pada dering selanjutnya, Abi mengangkat telepon Vin.
"Ya."
"...."
"Gue nggak apa-apa. Gimana di sana? Aman, kan?"
"..."
"Pokoknya kita bagi tugas. Elu jaga mereka, biar gue yang kerjain sisanya. Terus satu lagi, hubungi Allea, bilang kalau kita belum bisa pulang dalam waktu dekat. Sampein, kalau handphone gue habis baterai, jadi nggak bisa telepon Ellea. Bilang gue baik-baik saja."
"..."
Dan akhirnya ponsel Abi benar-benar mati. Dia memang tidak bohong kalau ponselnya kehabisan baterai. Nanti setelah sampai rumah Heru, dan mengisi daya, dia akan menghubungi Ellea. Dia tau kalau gadis itu pasti gelisah menunggu kabar darinya.
_____________
Sampai di sebuah rumah yang berada di kompleks padat penduduk, Abi dan Heru masuk. Heru tinggal seorang diri, di rumah peninggalan orang tuanya yang sudah meninggal saat dirinya masih SMU. Heru dan Abi adalah teman masa kecil, karena dulu Heru tinggal bersama neneknya di desa Amethys. Setelah orang tuanya meninggal Heru kembali ke rumah ini, ia bekerja paruh waktu sebagai wartawan magang. Dan sekarang ia sudah menjadi karyawan tetap di perusahaan itu. Kariernya menanjak karena keuletannya dalam mencari berita. Beberapa kali Heru mendapatkan berita besar walau itu juga hampir beberapa kali merenggut nyawanya. Mungkin sekarang akan terulang lagi. Jadi dia sudah terbiasa dengan situasi ini.
Lampu dinyalakan, dan Abi duduk di ruang tamu. Keadaan rumahnya cukup rapi untuk seorang lelaki dengan predikat single. Heru termasuk orang yang rajin.
"Ngomong-ngomong gue ikut berduka, soal orang tua lu," kata Heru, meletakkan dua botol minuman bersoda di meja. Abi tersenyum tipis, "Iya, terima kasih. Akhirnya gue jadi yatim juga kayak elu, ya."
Keduanya lantas tertawa bersama. Mereka mengingat kejadian saat SMU dulu. Di mana Heru dan Abi terlibat perkelahian karena Heru yang menjadi frustrasi setelah kematian orang tuanya. "Elu liat aja, apa lu bakal bersikap biasa aja saat kedua orang tua lu meninggal!" Begitulah kalimat Heru yang ia lontarkan pada Abimanyu.
Saat kedua orang tua Abi meninggal, ia teringat kalimat ini. Dulu, Abi juga frustrasi sama seperti Heru, bahkan lebih buruk lagi. Saat itu Abi merasa kalau ini adalah karma yang sudah ia perbuat pada sahabatnya, Heru. Tapi sekarang keduanya sudah baik-baik saja dan berdamai dengan luka itu.
Laptop Heru mulai dinyalakan, sambil menunggu mie instant yang sudah mereka seduh matang, mereka memulai melihat video yang sudah diceritakan secara singkat oleh Abi tadi.
"Kok bisa sih, elu nemu ginian, Bi? Memang lu, tukang cari gara-gara dari dulu. Ada aja masalah yang datengin elu, heran gue!" kata Heru sambil geleng-geleng kepala.
"Ya mana gue tau. Lagian gue ke sana buat cari pacar gue, malah ada masalah ini. Jadi ... bagaimana? elu bisa bantu, kan?"
Heru menarik nafas panjang, menatap wajah-wajah yang ada di video itu, lalu beralih ke Abimanyu. Ia terlihat diam sambil berpikir keras. "Oke, gue bakal bantu. Lagi pula ini berita besar. Gue yakin rating bakal naik."
"Tapi ... elu siap juga? Kalau mereka nyerang elu, kayak apa yang mereka lakuin ke kami?
"Lah elu pikir udah berapa kali gue mau mati demi kerjaan gue? Ibarat hewan, gue ini kucing, nyawanya banyak."
Abimanyu hanya tersenyum, ia belum merasa lega atas tindakannya ini. Karena siapa pun yang berhubungan dengan hal ini, atau mengetahuinya pasti akan mengalami hal buruk. Ia cemas, jika Heru akan mengalaminya juga.
"Ya sudah. Elu mau balik apa nginep sini aja?" tanya Heru.
Abi melihat jam di pergelangan tangannya. "Eum, gue balik saja, ya. Kasian teman gue sendirian di rumah sakit. Tapi elu nggak apa-apa, kan?"
"Astaga, Abimanyu! Sejak kapan elu dramatis gini? Jijik tau jadinya. Berasa gue ini pacar lelakimu saja!" kata Heru dengan logat alay, dibuat-buat. Abi tersenyum, walau demikian ia masih cemas dan khawatir.
Getaran di ponselnya membuat Abi segera menerima panggilan itu. Vin kembali menelepon dan mengabarkan kalau Rizal dan Nabila sudah siuman. Hal itu membuat Abi makin yakin untuk segera kembali ke rumah sakit, dan meninggalkan Heru. Mungkin memang Abi tidak perlu terlalu mencemaskan keadaan ini. Karena Heru pasti bisa menjaga dirinya sendiri. "Ya udah, gue balik, ya."
_________________
Pukul 00.30
Abimanyu baru saja pergi beberapa menit lalu. Sementara Heru tidak langsung tertidur. Ia justru kembali mempelajari tentang kasus ini. Sebelum Abimanyu pergi, ia sudah menyalin semua file dari memori itu. "Bener-bener berbahaya sih ini, kalau sampai mereka tau gue punya bukti ini. Dan untung besar buat gue juga. Bakal naik jabatan ini nanti. Huh, Barcelona ... I'am coming," gumamnya dengan senyum yang menampilkan barisan putih giginya. Heru memang ingin pergi ke Barcelona setelah tabungannya cukup, karena itu adalah tempat impiannya. Selama bertahun-tahun ia selalu sibuk bergelut dengan urusan pekerjaan, dan kini ia ingin sekali berlibur. Setelah kasus ini selesai tentunya.
Suara berisik di luar membuat dahi Heru berkerut. Ia merasakan kehadiran orang lain di sekitar rumahnya. Sadar akan bahaya ini, ia segera mengetik beberapa hal sambil memperhatikan sekitarnya. "Hm, gila, nggak nyangka gerakan mereka secepat ini. Bahkan gue nggak dikasih kesempatan buat tidur dulu."
Brakk! Pintu rumahnya didobrak kasar oleh beberapa orang yang kini mulai menerobos masuk ke dalam. Menodongkan senjata api dan beberapa senjata tajam. "Angkat tangan!"suruh salah satu dari mereka dengan sebuah shotgun yang ditodongkan pada Heru. Tangan Heru yang masih ada di keyboard laptop, berhenti. Tapi sebelum ia menuruti perkataan mereka, jari telunjuknya menekan tombol enter dengan pelan. Matanya melirik ke layar laptopnya, dan status centang hijau di sana, membuatnya lega. Ia lantas mengangkat kedua tangannya. Tapi salah satu dari kawanan itu melihat ke laptop milik Heru dan mengetahui kalau file itu sudah dikirimkan kepada seseorang.
Rahang kanan Heru dipukul dengan ujung senjata yang awalnya akan meledak di kepala Heru. "Kau ... Jangan main-main dengan kami, ya. Kamu bakal dapat hukuman karena hal ini!" Laptop diserahkan pada seseorang yang lain. Ia mengetik dengan cepat, berusaha membatalkan hal itu, dan itu tidak bisa tentunya. "Cari penerimanya!" suruh yang lain.
Heru hanya menarik sebelah bibirnya sinis. Ia merasa sedang berhadapan dengan orang-orang bodoh yang hanya mengandalkan kekuatan fisik mereka saja. Heru merasa menang. Karena penerima file itu tidak akan bisa dilacak oleh siapa pun.
"Oh, sial! Nggak bisa gue lacak!" umpatnya kesal. Satu orang yang sebagai pemimpin tim mereka, mendekat, merampas laptop Heru, lalu dengan keras membantingnya ke lantai. Hancur. Beberapa bagian benda itu remuk apalagi setelah diinjak oleh orang tadi. Heru geleng-geleng kepala, ia pasrah kalau semua file pekerjaannya selama ini rusak begitu saja. "Toh, gue juga bakal mati malam ini," gumamnya dalam hati. Ia merasa tidak dapat lagi mengelak dari kematiannya sekarang. Mungkin jika kucing memiliki 7 nyawa, ini adalah nyawa Heru yang ketujuh, nyawa yang tersisa miliknya.
Kepalanya dipukul dari belakang, membuatnya tersungkur begitu saja di lantai. Ia tidak bisa menggerakkan lagi tubuhnya, hanya jemarinya saja yang berusaha hendak meraih karpet yang ada di dekatnya. Ia ingin kabur, tapi sadar kalau sudah tidak mampu lagi. Kepalanya berdenyut hebat, sakit sangat. Membuat sekujur tubuhnya juga terasa ngilu.
Salah satu dari mereka menodongkan senjatanya ke arah Heru yang sedang menggerakkan tubuhnya, berusaha menghindari lagi malaikat kematiannya yang ke sekian kalinya. Bunyi pelatuk yang ditarik terdengar nyaring. Heru pasrah.
DOR!
Suara tembakan terdengar menggema. Tapi bukan Heru yang mengeluarkan darah, justru orang yang hendak membunuhnya. Ia lantas roboh dengan kepala yang berlubang. Semua orang menoleh ke arah pintu rumah ini. Begitu juga Heru yang kini tersenyum lebar. "Huh, untung dia balik lagi!" ucap Heru yang ditujukan pada temannya itu. Satu persatu dari mereka mulai menyerang Abimanyu dengan membabi buta. Abi dengan santai membalas mereka dengan pukulan yang jauh lebih telak dan membuat mereka langsung roboh. Bahkan saat salah satu dari mereka menodongkan senjata api ke Abi, pemuda itu terus berjalan mendekat dan merampas pistol itu. Hal ini membuat musuh ketakutan.
Seseorang lain yang berada di belakang Abimanyu sudah menodongkan senjatanya, peluru sudah menembus punggung Abi. Dan ia hanya menoleh tanpa reaksi sakit atau apa pun. Tatapan mata Abi dingin dan tajam, ia mirip manusia yang sedang dirasuki setan. Saat Abi akan ditembak untuk kedua kalinya, ia segera mengambil kursi kayu yang dekat dengannya dan menghantamkan pada orang di depan. Ia langsung terkapar, dengan bersimbah darah di kepalanya.
Satu persatu dari mereka, mulai mundur teratur. Abi menatap tajam ke arah mereka, yang mulai ketakutan. di tendangnya meja di depannya, hingga membuat orang-orang yang hendak kabur itu terjatuh. Abi berlari dan mulai menghajar mereka satu persatu. Hampir semua perabotan di rumah Heru hancur karena dijadikan alat untuk melumpuhkan lawannya.
"Ampun! Ampun," rengek orang terakhir dari mereka yang kini sudah tidak bisa berjalan lagi. Kakinya patah karena injakan Abi. Semua orang di rumah ini sudah tak sadarkan diri. Abi menoleh ke Heru yang sudah duduk dengan memegang dadanya, ia tersenyum sebagai ucapan terima kasih.
"Elu nggak apa-apa?" tanya Abimanyu sembari membantu Heru berdiri. Walau keadaannya cukup berantakan, tapi setidaknya Heru masih bisa bernafas dan seluruh anggota tubuhnya masih dalam keadaan utuh. Ia menghela nafas panjang, dan mengembuskannya kasar. Heru menatap keadaan rumahnya yang berantakan sama seperti wajahnya.
"Elu kok balik lagi, Bi?" tanya Heru sambil meringis kesakitan. Mereka duduk begitu saja di lantai, tak peduli lagi pada nuansa berantakan di sekitar.
"Iya. Soalnya hand phone gue ketinggalan. Itu lagi di charger," tunjuk Abi ke sudut ruang tamu, di mana ponsel miliknya masih tertancap di kabel pengisi daya. Heru tertawa sambil batuk-batuk.
"Untung hand phone elu ketinggalan, kalau nggak mati gue, Bi!" ujarnya.
Alhasil Abimanyu terpaksa menginap di rumah Heru, untuk memastikan keadaannya aman. Walau orang-orang suruhan Nicholas sudah dipukul mundur, mereka masih cemas kalau akan datang serangan saat tengah malam nanti. Sementara di rumah sakit sendiri, sudah ada beberapa orang polisi yang sengaja diminta untuk menjaga Rizal dan Nabila, ditemani Vin tentunya.
Abi mengambil gawai miliknya. Akhirnya sudah bisa menyala dan kini ia bisa menghubungi Ellea juga.
"Halo?"
"...."
"Maaf. Hand phone ku baru nyala. Tadi seharian lowbatt. Kamu belum tidur, sayang?" tanyaku.
"...."
"Iya, besok aku pulang kok. Kenapa? Kangen?"
"...."
"Perasaan kamu nggak enak kenapa, Ell? Aku baik-baik saja. Kamu jaga diri di sana, ya. Sekarang tidur."
"...'
Telepon akhirnya dimatikan. Hari makin larut, tubuh Abi butuh istirahat. Agar esok ia dapat beraktivitas lagi seperti biasanya. Dan pasti, keadaan tidak akan berjalan mulus lagi seperti yang sudah-sudah. Teror Nicholas tidak akan berhenti hanya karena insiden semalam. Karena ia pasti akan melakukan berbagai cara untuk merebut barang bukti yang sudah ada ditangan Abi. Abi mengelus liontin itu, pikirannya menerawang jauh. Membayangkan hari-hari di mana dia dan Ellea berbincang dengan santai. Mengingat awal pertemuannya dengan gadis itu dan semua kenangan indah mereka. Ia rindu. Merindukan kekasihnya yang baru beberapa menit lalu ia dengar suaranya. Hatinya gundah. Bahkan ia tak mampu segera terlelap.
Di tempat lain. Jauh dari jangkauan Abimanyu, rumah kayu yang berada di dekat pantai, sedang di dekati beberapa orang penyusup. Bayangan beberapa orang yang mendekati tempat itu terlihat jelas dari bibir pantai. Tapi seluruh penghuni di rumah itu sudah terlelap. Gio yang terbiasa tidur di sofa depan TV, sudah mendengkur dengan TV yang sedang menontonnya. Ia selalu melakukan kebiasaan buruk ini setiap malam. Menonton TV sampai tertidur, dan berakhir dengan sofa sebagai tempat tidurnya. Itulah mengapa kamar Gio paling rapi di antara yang lainnya.
Lampu sudah banyak yang dimatikan. Kecuali lampu teras dan lampu yang berada di tangga menuju lantai atas. Tempat semua kamar berada. Sekali pun rumah ini memiliki keamanan yang cukup tinggi, tapi jika tidak di aktifkan oleh penghuninya, keamanan seperti kemarin tidak akan bekerja. Dan kini para penyusup mulai menginjakkan kaki di teras rumah itu. Mereka memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala yang hanya menunjukkan matanya saja. Mereka sangat banyak, dan kini mulai mengepung rumah itu.
Pintu berhasil dibobol. Satu persatu dari mereka masuk ke dalam. Sebagian mendekat ke Gio, sebagian lainnya naik ke lantai atas. Semua orang membawa senjata tajam dan juga senjata api. Semua berbagi tugas. Masuk ke tiap kamar di lantai atas. Adi, Ellea, dan Allea.
Suara pistol terdengar nyaring, dan bersamaan. Ujung pistol itu serempak menuju ke arah kepala Adi, Allea, dan Ellea yang sedang tertidur lelap. Adi menggeliat karena merasakan sensasi dingin di kepalanya. "Gi! Nggak usah bercanda deh!" runtuk Adi dengan mata yang masih berat dan enggan untuk terbuka. Ia mengira kalau Gio sedang iseng padanya. Karena keisengan Gio sudah terkenal seantero desa. Dan Adi sudah sangat hafal tingkah Gio. Kembali pelatuk terdengar dari telinga Adi. Sontak ia membuka matanya. Ia melotot saat dikelilingi orang-orang yang tidak ia kenali.
"Damn!" umpatnya, sadar kalau rumah ini sudah dibobol oleh musuh. Ia mulai bergerak perlahan sesuai instruksi orang di depannya.
"Jongkok di situ! Tangan di atas kepala! Bergerak sedikit saja, kepalamu saya pecahkan! Mengerti?!" ancamnya. Alhasil Adi pasrah, karena jumlah mereka yang terlalu banyak dan posisinya tidak bisa berkutik lagi.
Suara teriakan wanita terdengar sampai ke kamar Adi. Ellea dan Allea kini diseret secara kasar oleh mereka. "Om, Adi!" rengek Ellea, melewati kamar Adi. Wajah Adi merah padam. Ia berusaha menahan emosinya, karena dirinya pun sedang tidak aman sekarang. Jangankan melawan, bergerak saja dia bisa mati. "Bangun!" kata orang tadi. Adi yang bisa membaca situasi sudah mengira kalau mereka akan mengumpulkan dirinya, Ellea, dan Allea di lantai bawah. Benar saja, saat sampai lantai bawah, tiga orang itu sudah ada di sana dengan posisi yang sama seperti Adi tadi saat di atas.
Adi tau, Gio pun tidak bisa melawan orang-orang ini. Saat semua sudah berkumpul di bawah. Salah satu dari mereka meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ponsel Gio. "Mana nomor si cecunguk itu?"
Mereka semua mengerutkan dahi, walau tau kalau yang dimaksudkan cecunguk pasti Abimanyu. Ellea melirik ke Adi, sementara Adi menggeleng pelan dengan kepala masih di atas kepala. Ellea mendengus sebal. Ia tau kalau keadaan mereka sudah tidak bisa lagi melawan. Mereka butuh bantuan. Tapi ... siapa? Abimanyu tidak ada di sini.
"Heh! Bawa itu perempuan ke sini!" suruhnya menunjuk ke arah Ellea. Gadis itu ditarik paksa sampai-sampai meringis karena menahan sakit. Cengkeraman orang itu sungguh kuat, hingga menyakiti lengannya. Telepon di dekatkan ke telinga Ellea. "Halo?' kata Ellea ragu.
"Loh, Ell?" sapa suara dari seberang sana yang sungguh khas. Abimanyu tentunya.
"Bi ... Tolong kami ....!" Belum selesai kalimat itu terucap dari mulut Ellea, telepon genggam Gio kembali dirampas.
"Heh! Dengar! Semua orang-orang ini ada di tangan gue. Elu bawa kartu memori itu ke tempat gue besok! Kalau sampai elu nggak datang, apalagi nggak bawa benda itu, gue bunuh mereka semua! Ngerti!" Panggilan diakhiri secara sepihak. "Bawa mereka!" suruh orang itu.
Keempat orang itu ditarik paksa tanpa berani melawan.
obdiamond dan 5 lainnya memberi reputasi
6