- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#88
Part 84 Rencana
Tak terasa mereka sudah sampai ibukota. Mencari alamat kantor Nabila dan akhirnya sampai di kompleks BIN.
Mereka mulai masuk ke pos penjagaan pertama yang biasanya disebut Garda. Setiap tamu atau siapa pun yang akan masuk, harus melalui pemeriksaan. Identitas dan barang bawaan. Kecuali pegawai BIN sendiri.
Tepat di sudut jalan masuk antara komplek pemukiman anggota BIN dan komplek perkantoran yang dibatasi pagar besi dengan kerimbunan pohon bambu, terdapat tulisan di papan besi permanen yang bunyinya : "For Your Eyes Only".
Mereka berbelok ke gedung perkantoran. Setelah sebelumnya sudah menghubungi Nabila untuk janji temu, sampai di dekat gedung itu, Abi meraih telepon genggamnya dan kembali mengirim pesan.
"Ellea nggak cemburu? Elu ketemu Nabila lagi?" tanya Vin sembarin menunggu Nabila keluar dari kantornya.
Abi menggeleng, sedikit tersenyum. "Yah, wajar sih. Dia cemburu. Tapi bukan yang over posesif sampai nggak ngebolehin gue ketemu Nabila. Dia ngerti kok."
"Bagus lah. Takutnya abis ini kalian perang dunia lagi." Vin memundurkan jok yang ia duduki. Matanya yang terpejam, tak terlihat karena memakai kacamata hitam.
Pintu kantor dibuka, menampilkan seorang gadis yang melambaikan tangan ke arah mobil Abi. Abi lantas menyenggol Vin dan menyuruhnya keluar sesuai instruksi Nabila.
"Hai! Apa kabar?" tanya Nabila ramah, menyalami dua pria itu bergantian.
"Baik. Elu gimana?"
"Yah, gini lah. Biasa aja. Ini?" tanya Nabila menunjuk Vin yang memang mereka baru saja bertemu.
"Oh iya, ini Vin. Temen gue."
"Oh, ya udah yuk, masuk aja. Ada Rizal juga di dalam. Ngobrol di dalam aja, ya," ajak Nabila lalu berjalan masuk ke dalam.
Vin menarik tangan Abimanyu dan berbisik. "Pantesan Ellea cemburu. Lah cantik begini," bisik Vin ke Abi.
"Ck. Berisik!" kata Abi lalu ikut masuk menyusul Nabila.
"Eh, Bi. Nabila sama Allea pernah ketemu emangnya?" tanyanya masih dengan nada pelan, agar yang sedang mereka bicarakan tidak mendengarnya. Nabila terlihat menyapa beberapa teman kerjanya yang berpapasan sepanjang jalan. Kadang terlibat obrolan basa basi, dan juga mengenalkan dua tamunya itu.
"Belum."
"Tapi kenapa Ellea bisa seposesif itu?"
"Hah? Posesif gimana sih? Kan gue bilang, Ellea nggak gimana-gimana. Cuma cemburu. Simple."
Nabila menoleh dan menunjuk sofa panjang. "Duduk dulu, ya. Gue panggil Rizal sebentar."
"Oke, Bil. Thanks," sahut Abi mencoba bersikap ramah.
"Udah deh. Nggak usah dibahas." Abi duduk di sebuah sofa panjang dengan warna brown. Ada dispenser di sampingnya, lengkap dengan gelasnya.
Suasana tempat ini sepi tapi tidak sunyi. Dalam artian, banyak orang lalu lalang, entah membawa beberapa tumpukan kertas, atau berjalan dengan mengobrol tentang kasus yang sedang dihadapi bersama rekannya, bahkan tak jarang ada yang mondar mandir mengambil minum, melirik mereka berdua tentunya dengan tatapan tidak bersahabat.
Suara langkah terdengar menggema di sepanjang ruangan. Keadaan lobi ini yang sepi, membuat sedikit saja suara langsung terdengar nyaring.
Nampak Nabila dan Rizal yang keluar dari koridor tempat Nabila tadi pergi. Rizal tersenyum ke Abimanyu.
"Wah, lama nggak ketemu nih!" sapa Rizal, langsung menjabat tangan pemuda itu. Abi menyambutnya dan berakhir dengan pelukan salam pertemuan mereka.
"Vin, temen seperjuangan gue juga," kata Abi menunjuk pemuda di samping.
"Hai, Vin. Rizal."
"Hai, Zal."
"Ada hal penting apa, Bi?" tanya Nabila begitu mereka duduk di sofa.
"Gini, kita mau minta bantuan kalian," kata Abi serius. Abi lantas menyuruh Vin mengeluarkan laptop yang ada di tasnya.
"Kalian harus lihat ini!" kata Vin yang mulai menyalakan laptopnya. "Sim cardnya, dodol!" pinta Vin ke Abi.
Abi lantas mengeluarkan benda kecil itu dari liontinnya. Rizal dan Nabila hanya diam dan menyimak. Mereka juga penasaran pada apa yang akan dibicarakan oleh Abi. Ini pasti sesuatu yang penting karena jarang-jarang seorang Abimanyu akan keluar dari kandangnya. Jika bukan masalah serius, dia pasti tidak akan mau repot-repot menemui Nabila dan Rizal jauh-jauh ke sini.
"Gue beberapa bulan lalu pergi ke Venesia. Nyari Ellea, pacar gue, breng Vin. Kebetulan dia ini lagi liburan di sana. Vin ini seorang militer. Nah, ternyata di sana, kami mengalami hal-hal yang cukup hampir membuat Vin mau mati," jelas Abi. Vin melirik dan mendengus sebal.
"Kok bisa? Kalian ngacak-ngacak San Pas?" tanya Rizal.
Mendengar tempat tersebut di ucapkan Rizal, Vin dan Abi lantas menatapnya heran. "Kok elu tau San Paz?" tanya Vin.
"Ya taulah. Di sana kan memang tempat gangster nya di sana. Kalau sampai kalian bilang, kalian hampir mati saat di sana, berarti kalian macam-macam ke salah satu orang di San Paz. Bener, kan?"
"Yah, bener. Elu liat dulu semua video dan foto ini!" suruh Abi.
Nabila dan Rizal melihat semua file di dalam laptop itu. Foto dan video terus membuat mereka tercengang.
"Waw. Ini temuan besar, dan ... Berbahaya sekali," kata Rizal geleng-geleng kepala.
"Makanya kita minta tolong kalian. Karena mereka masih ngejar kita, dan kemarin salah satu temen kami, meninggal. Gue yakin itu ulah mereka karena dia mang menyimpan flash disk itu."
"Jadi kalian bikin salinannya?" tanya Nabila. Abi dan Vin mengangguk.
"Pinter."
"Tapi, Zal, kita harus menyembunyikan hal ini sementara waktu. Jangan sampai ada orang lain tau, karena kita nggak tau siapa kawan dan siapa lawan. Gue cuma percaya kalian berdua di sini," jelas Abimanyu.
Nabila dan Rizal mengangguk. Pembicaraan saat ini memang terlalu beresiko jika ada orang lain yang mendengar. Baik kawan maupun lawan. Memang benar, masalah ini jangan sampai menyebar. Mereka harus bertindak diam-diam, untuk membongkar semua ini.
"Mending kita jangan bahas itu di sini. Terlalu banyak telinga," kata Nabila saat beberapa rekan kerjanya bolak- balik di sekitar mereka. Kedatangan dua tamu Rizal sekarang memang mengundang perhatian orang-orang di tempat itu. Beberapa pasang mata selalu menoleh dan memperhatikan mereka berempat. Hal itu membuat pembicaraan mereka beberapa kali juga terhambat, dan terpaksa berhenti hingga keadaan kembali aman.
"Terus di mana?" tanya Abimanyu yang sependapat dengan hal itu.
"Ke apartment gue saja nanti sepulang kami kerja," sahut Rizal, menatap jam dipergelangan tangannya.
Mereka sepakat pergi ke rumah Rizal guna membahas masalah ini lebih lanjut. Jam masih menunjukkan pukul 14.00, sementara Rizal dan Nabila pulang sekitar pukul 17.00. Baik Abi dan Vin terpaksa harus melakukan hal lain untuk membunuh waktu. Vin ingat pada salah satu anggota Kartel Ransford yaitu kenalannya sendiri.
"Bi, gabut ini. Cari masalah, yuk," ajak Vin saat mereka sudah ada di dalam mobil, bersiap pergi dari kantor Nabila. Abimanyu melirik jengah pada temannya dan geleng-geleng kepala. "Mau ngapain sih?"
"Kita ke rumah Kapten Nicho!" kata Vin, menyalakan mesin mobil. Memakai sabuk pengaman, dan tersenyum sinis ke Abi. "Wow," tukas Abi dan melakukan hal yang sama seperti Vin. Memakai seatbelt, dan bersiap membuat masalah. Beberapa jam akan terasa menjenuhkan jika mereka tidak melakukan apa pun. Karena menunggu adalah hal yang membosankan.
Sampai di sebuah halaman rumah yang cukup luas, dengan barikade pengamanan gerbang dan tembok keliling yang cukup membuat tiap orang bergidik ngeri melihatnya. Bukan lilitan kawat atau bahkan pecahan beling, tapi barisan pisau tajam mengelilingi rumah ini. "Gila!" gumam Abimanyu begitu melihat benda tajam itu berbaris rapi di sana.
"Beda dong, Bi, pengamanan di rumah orang kaya sama rakyat jelata kayak elu," gurau Vin.
"Elu lihat, kan, bagaimana pengamanan di rumah gue? Seorang rakyat jelata ini?!" cetus Abi.
Vin meliriknya dan mengangguk cepat, "Yes, i see. Coba kita cek ada apa aja di dalam," katanya lalu turun dari mobil, Abi mengekor padanya, karena Vin yang lebih mengenal Kapten Nicholas. Mereka tengak tengok mencari bel rumah yang pasti ada di setiap bangunan besar seperti ini. Karena ketukan di pintu gerbang tentu tidak akan berguna, bahkan jika sampai tangan mereka sakit sekali pun. Rumah ini cukup besar, halamannya saja pasti luas, jadi jarak dari pintu gerbang ke rumah itu cukup jauh bukan?
Benda kecil berwarna putih itu kini sudah Vin tekan beberapa kali. Mereka tinggal menunggu respon pemilik rumah. "Siapa, ya?" Sebuah suara terdengar nyaring. Dan tentu membuat mereka berdua sedikit terkejut. Rupanya ada semacam speaker di dekat pintu, untuk komunikasi antara pemilik rumah dan tamunya.
"Maaf, Kapten Nicho ada di rumah?" tanya Vin dengan mendekatkan mulutnya di benda persegi dengan rongga yang kecil.
"Anda siapa?" tanya suara dari seberang.
"Saya anak buahnya, Vin Adhitama."
Beberapa detik, suara wanita di seberang tampak terhenti. Lalu menyuruh mereka untuk masuk ke dalam, dan tentu pintu gerbang ini terbuka otomatis setelahnya. Baik Vin dan Abimanyu menunjukkan ekspresi takjub. Saling pandang dan melangkah ke dalam, meninggalkan mobil di luar.
Benar dugaan mereka, rumah ini bahkan lebih besar dari yang mereka kira. Pintu rumah itu sudah terbuka lebar, lalu seorang wanita tua dengan pakaian serba putih menghampiri. "Silakan masuk. Pak Nicho ada di dalam. Beliau berpesan, katanya Mas-nya disuruh menunggu sebentar," katanya dengan tubuh membungkuk ke depan sedikit. Sikapnya sungguh sopan penuh tata krama.
"Terima kasih, Bu."
Mereka lantas duduk di sofa besar yang ada di ruang tamu. Foto Kapten Nicholas terpampang dengan ukuran satu meter bersama wanita yang terlihat menawan, yang sudah pasti adalah istrinya. Mereka memiliki 2 orang anak, semuanya perempuan.
"Rumahnya gede banget, Vin."
"Pastilah. Jabatannya saja sudah tinggi, ayahnya Kapten Nicho juga mantan prajurit, sama kayak anaknya. Istrinya pengusaha sukses, dan mereka keturunan orang kaya. Yah, kaya sejak lahir dan hartanya juga nggak habis dimakan 7 turunan sekalipun," jelas Vin sambil berbisik pada Abi yang duduk di sampingnya.
"Pantes otaknya melenceng."
"Maksud loe?"
"Ya orang kaya model ini kan nggak pernah merasakan nggak punya uang, sejak kecil hidupnya sudah tercukupi, nah sekarang saking bingungnya itu duit mau buat apa lagi, makanya punya hobi aneh. Sinting!" hardik Abi sedikit emosi.
"Hm, bisa jadi."
Suara langkah kaki yang makin mendekat ke mereka membuat diskusi ini terhenti. Keduanya berdeham, guna menetralkan suara dan nafas mereka. Bagaimana pun tidak mudah berhadapan dengan manusia seperti Nicholas. Mereka tidak tau apakah Nicholas sudah tau tentang pemberontakan mereka selama di Venesia kemarin. Dan mengingat apa yang sudah di lakukan Nicho, membuat mereka sedikit terpancing emosi. Bahkan dia tidak layak disebut manusia.
Seorang pria berwajah tampan muncul. Ia mengenakan kemeja putih polos, dan celana jeans belel. Wajahnya terlihat segar dan sedap dipandang. Tidak ada yang akan menyangka dibalik wajah tampan itu terdapat otak busuk. Otak pembunuh dan seorang sosiopat berkedok Kapten yang selama ini dipuja dan dipuji orang-orang.
"Hai, Vin," sapa pria itu dengan senyum lebar menyambut dua orang tamunya. Vin beranjak dan mengulurkan tangan sebagai salam penyambutan.
"Baik, Kep!"
"Duduk," suruh Nicholas pada mereka berdua, " Ini?" tanyanya menunjuk Abimanyu yang menatapnya tanpa kedip sejak tadi.
"Eum, Abimanyu, teman saya. Kebetulan kami sedang ada di sini, lalu teringat Anda, Kep. Saya pikir tidak ada salahnya menyapa Anda di luar pekerjaan."
"Tentu. Tidak masalah. Kamu masih cuti?"
"Yah, masih. Saya menambah jatah cuti saya lagi. Masih ada beberapa urusan yang harus saya kerjakan."
Wanita tua yang tadi menyambut mereka kembali keluar dengan membawa nampan berisi minuman dan aneka camilan, sebagai bentuk penyambutan pada tamu. "Silakan diminum," kata Nicholas.
Vin tersenyum, tapi Abimanyu tidak. Sorot matanya benar-benar menunjukkan kebenciannya pada pria di hadapan mereka ini. Nicho yang menyadari tatapan benci yang terus ditunjukkan oleh Abimanyu, tersenyum. "Abimanyu ... silakan diminum. Ngomong-ngomong kalian teman ....?" tanya Nicho menunjuk mereka bergantian sebagai sebuah pertanyaan yang tidak ia lanjutkan.
"Oh ya, Abi adalah teman saya sebelum saya masuk kembali ke militer, Kep. Dia yang pernah saya ceritakan dulu," jelas Vin, mencoba mengingatkan ke Nicho. Hal itu membuat Abi menoleh ke arahnya, meminta penjelasan.
"Oh ya? Jadi dia, laki-laki kuat yang kamu bilang?"
Mendengar perkataan Nicho, Abi makin gusar. Ia cemas jika rahasianya sudah dibeberkan ke Nicholas, yang sekarang merupakan musuh mereka. "Cerita apa lu?!" bisik Abi yang tentu mampu didengar Nicho. Nicho hanya tersenyum, dan Vin hanya melotot merasa tak enak dengan situasi ini. "Tenang aja. Gue nggak ngomong macem-macem!" tegas Vin, melotot ke Abi dan beralih tersenyum ke Nicho.
"Tenang saja, Vin cuma bilang kalau dia ketemu teman yang baik, dan membawa dia kembali bersemangat hidup. Memangnya ada rahasia apa yang tidak kutahu, Vin? Dia seorang superhero mungkin?" gurau Nicho menunjuk Abi yang terus menunjukkan tidak sukaan pada dirinya.
"Eum, tidak ada, Kep. Rahasia besarnya ya hanya pria desa yang menyebalkan. Haha." Tawa Vin terasa garing, tidak bersungguh-sungguh. Terasa dari nada dan ekspresinya.
"Nyatanya setiap manusia pasti punya rahasia, kan, Kep?" tanya Abimanyu, sengaja menarik perhatian Nicho. Nicho menarik salah satu sudut bibirnya, sinis. Tatapannya berubah.
"Yah, tentu saja. Semua orang punya rahasia." Tatapan Nicho tajam, seolah menembus mata Abi. Keduanya seperti sedang bertarung melalui tatapan mata tajam dan membunuh milik mereka masing-masing. Vin yang merasa bingung, hanya garuk-garuk kepala, menarik nafas panjang. Lalu berdeham untuk mencairkan suasana.
Suasana yang makin panas, membuat Vin sadar kalau ia harus membawa Abi angkat kaki dari tempat ini. Respon Nicholas menunjukkan kalau dia sudah tau kalau Vin dan Abi adalah musuhnya. Orang yang mengetahui rahasianya dan yakin kalau keberadaan mereka berdua pasti akan membahayakan Kartelnya.
"Kep, kalau begitu kami pamit dulu, sepertinya kami harus segera pulang, masih ada urusan," kata Vin, sambil menarik tangan Abi. Netra Abi tak lepas dari sorot mata tajam Nicholas. Belum sampai pintu, Nicho kembali memanggil dua pria itu, dan berhasil membuat keduanya menghentikan langkah.
"Sebaiknya kalian jangan macam-macam, karena kalian tidak tau bagaimana kekuatan Kartel Ransford," kata Nicholas lantang. Sebagai bentuk tantangan pada dua pria itu. Dan pernyataannya itu membuatnya mengiyakan semua kejahatan Kartelnya. Abi dan Vin menoleh.
"Seharusnya kalian yang takut, jika kami sampai bertindak. Aku pastikan kalian akan hancur satu persatu," tantang Abi, serius.
"Benar, kah? Kita lihat saja, siapa di antara kita yang bertahan!"
Vin menarik Abi dan segera pergi dari rumah itu. Pertemuan itu benar-benar seolah sengaja menancapkan bendera peperangan di antara mereka. Tentu sebagai salah satu pembuktian kalau keberadaan mereka memang sudah diketahui Kartel Ransford.
Dering nada panggilan di ponsel Abimanyu mengalihkan perhatian mereka berdua. Keduanya masih diam sejak pergi dari kediaman Nicholas tadi. Meredam emosi, gundah, dan naluri untuk membunuh Nicholas tentunya. Tak dapat dipungkiri, Abi dan Vin akan dengan mudah membunuh orang itu tadi. Tadi mereka masih waras untuk melakukan pembunuhan secara terang-terangan. Karena dampaknya akan sangat besar nantinya. Mereka tidak hanya butuh keberanian, tapi juga strategi.
"Ya."
"...."
"Gue lagi ke sana." Abi mematikan telepon itu begitu saja, wajahnya masih menunjukkan kekesalan. Vin melirik, "Nabila?" Dan dijawab hanya dengan anggukan oleh pemuda itu. Laju mobil makin dipercepat, mereka kini menuju rumah Rizal. Tempat tinggalnya dan Nabila berada di pusat kota. Jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sana.
Kediaman Rizal dan Nabila hanya berbeda gedung apartment saja. Dan letaknya berseberangan. Bahkan tak jarang mereka akan tinggal bersama. Entah kenapa, mereka tidak menikah saja, kan?
Mobil parkir di basement. Suasana di bawah sini cukup sunyi. Bahkan terkesan sangat sunyi. Langkah mereka menggema di sepanjang tempat parkir ini. Hanya ada beberapa mobil di tempat ini. Mungkin penghuni apartment masih banyak yang belum pulang dari aktivitasnya. Berkali-kali Abimanyu menoleh ke belakang, lalu ke samping dan sekitarnya.
"Kenapa lu?" tanya Vin yang melihat kegelisahan temannya.
"Hm, nggak apa-apa. Perasaan gue nggak enak saja," jelas Abi lalu kembali meneruskan berjalan menyusul Vin yang sudah beberapa langkah lebih dulu.
"Maksudnya?"
"Vin, lu sadar, kan? Kalau Nicholas tau soal kita? Dan gue yakin dia nggak akan diem gitu saja. Dia pasti bakal menyerang kita cepat atau lambat."
"Iya gue tau. Makanya buruan kita ke tempat Rizal, kita harus bikin strategi, gimana baiknya tindakan kita untuk mereka."
Abi menghentikan langkahnya. Kembali menyapu pandang ke sekitar, Vin terpaksa ikut menghentikan langkahnya. Kini dua pemuda itu saling berhadapan. Saat Abi hendak mengucapkan sesuatu, ia justru melihat sebuah bayangan yang tertangkap spion mobil yang parkir di depannya. Sadar kalau apa yang ia takutkan sudah mulai terjadi, ia memberikan isyarat ke Vin. Berdeham dengan menutup mulutnya, namun matanya melirik ke tempat persembunyian orang itu. Vin yang cepat tanggap, mengangguk samar. Ia menunjuk ke arah pintu masuk dengan menggerakkan kepalanya. Tapi para penyusup itu sepertinya sudah paham kalau persembunyian mereka sudah diketahui targetnya.
Mereka keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang dua pria itu. Abimanyu dan Vin terkepung. Tanpa senjata, hanya tangan kosong. Dan perkelahian dimulai. Sekalipun mereka hanya berdua saja, tapi keahlian mereka tentu tidak diragukan lagi. Bahkan Vin adalah salah satu prajurit terbaik di tim nya. Karena itulah, Nicholas menyukainya. Jauh sebelum Vin mengetahui rahasia pemimpinnya itu.
"Bi!" jerit Vin, saat melihat seseorang mengangkat pistol hendak menembak temannya itu. Abimanyu tertembak di punggungnya. Namun dengan gerakan cepat, Vin melempar pisau ke arah penembak itu, tepat mengenai lehernya. Beberapa musuh sudah berhasil dikalahkan. Sebagian mati, sebagian lagi sekarat, tak mampu bergerak. Abimanyu yang sudah menahan emosi sejak tadi, kini memiliki cara untuk melampiaskannya. Ia bertindak cukup cepat dan tepat. Walau ia terluka, tapi masih sanggup berdiri tegak dan kembali menyerang pria-pria bertopeng di sekitarnya.
"Vin! Elu ke tempat Rizal!" jerit Abi dengan mengapit leher salah satu dari mereka, lalu memutar dan mematahkannya dengan mudah. Ia terus menyerang sisa dari prajurit yang dikirimkan Nicholas untuk mereka.
Vin berlari sesuai perintah Abimanyu. mencari tempat tinggal Rizal, karena ia pun berpikir hal yang sama. Rizal dan Nabila juga pasti dalam bahaya, karena mengetahui hal ini. Sedikit ada rasa penyesalan di lubuk hati Vin. Setiap langkahnya menyusuri koridor apartment, ia terus terbayang keadaan pasangan itu. Ia takut apa yang ada di bayangannya terjadi pada Rizal dan Nabila. Karena jika sampai itu terjadi maka ia dan pasti Abimanyu akan merasa sangat bersalah telah menyeret mereka dalam pusaran masalah yang cukup berbahaya ini.
Kamar 189
Vin berhenti di depan pintu kamar itu. Tak langsung mengetuk, namun mendekatkan telinganya di pintu. Sunyi. Ia lantas mengintip dari key hole, matanya terbelalak, saat melihat tubuh Nabila terkapar dengan bersimbah darah di lantai. "Nabila!" raung Vin, berusaha membuka pintu itu. Terkunci. Terpaksa ia mendobrak kamar itu dan masuk ke dalam.
Vin menjambak rambutnya sendiri saat melihat ruangan itu berantakan. Nabila yang terkapar di lantai terlihat masih dapat membuka matanya. Sementara Rizal yang berada di dekat pintu balkon kamarnya tidak bergerak sama sekali. Darah berceceran di mana-mana.
"Bil!" Vin mendekat ke Nabila dan mengangkat tubuhnya.
Mereka mulai masuk ke pos penjagaan pertama yang biasanya disebut Garda. Setiap tamu atau siapa pun yang akan masuk, harus melalui pemeriksaan. Identitas dan barang bawaan. Kecuali pegawai BIN sendiri.
Tepat di sudut jalan masuk antara komplek pemukiman anggota BIN dan komplek perkantoran yang dibatasi pagar besi dengan kerimbunan pohon bambu, terdapat tulisan di papan besi permanen yang bunyinya : "For Your Eyes Only".
Mereka berbelok ke gedung perkantoran. Setelah sebelumnya sudah menghubungi Nabila untuk janji temu, sampai di dekat gedung itu, Abi meraih telepon genggamnya dan kembali mengirim pesan.
"Ellea nggak cemburu? Elu ketemu Nabila lagi?" tanya Vin sembarin menunggu Nabila keluar dari kantornya.
Abi menggeleng, sedikit tersenyum. "Yah, wajar sih. Dia cemburu. Tapi bukan yang over posesif sampai nggak ngebolehin gue ketemu Nabila. Dia ngerti kok."
"Bagus lah. Takutnya abis ini kalian perang dunia lagi." Vin memundurkan jok yang ia duduki. Matanya yang terpejam, tak terlihat karena memakai kacamata hitam.
Pintu kantor dibuka, menampilkan seorang gadis yang melambaikan tangan ke arah mobil Abi. Abi lantas menyenggol Vin dan menyuruhnya keluar sesuai instruksi Nabila.
"Hai! Apa kabar?" tanya Nabila ramah, menyalami dua pria itu bergantian.
"Baik. Elu gimana?"
"Yah, gini lah. Biasa aja. Ini?" tanya Nabila menunjuk Vin yang memang mereka baru saja bertemu.
"Oh iya, ini Vin. Temen gue."
"Oh, ya udah yuk, masuk aja. Ada Rizal juga di dalam. Ngobrol di dalam aja, ya," ajak Nabila lalu berjalan masuk ke dalam.
Vin menarik tangan Abimanyu dan berbisik. "Pantesan Ellea cemburu. Lah cantik begini," bisik Vin ke Abi.
"Ck. Berisik!" kata Abi lalu ikut masuk menyusul Nabila.
"Eh, Bi. Nabila sama Allea pernah ketemu emangnya?" tanyanya masih dengan nada pelan, agar yang sedang mereka bicarakan tidak mendengarnya. Nabila terlihat menyapa beberapa teman kerjanya yang berpapasan sepanjang jalan. Kadang terlibat obrolan basa basi, dan juga mengenalkan dua tamunya itu.
"Belum."
"Tapi kenapa Ellea bisa seposesif itu?"
"Hah? Posesif gimana sih? Kan gue bilang, Ellea nggak gimana-gimana. Cuma cemburu. Simple."
Nabila menoleh dan menunjuk sofa panjang. "Duduk dulu, ya. Gue panggil Rizal sebentar."
"Oke, Bil. Thanks," sahut Abi mencoba bersikap ramah.
"Udah deh. Nggak usah dibahas." Abi duduk di sebuah sofa panjang dengan warna brown. Ada dispenser di sampingnya, lengkap dengan gelasnya.
Suasana tempat ini sepi tapi tidak sunyi. Dalam artian, banyak orang lalu lalang, entah membawa beberapa tumpukan kertas, atau berjalan dengan mengobrol tentang kasus yang sedang dihadapi bersama rekannya, bahkan tak jarang ada yang mondar mandir mengambil minum, melirik mereka berdua tentunya dengan tatapan tidak bersahabat.
Suara langkah terdengar menggema di sepanjang ruangan. Keadaan lobi ini yang sepi, membuat sedikit saja suara langsung terdengar nyaring.
Nampak Nabila dan Rizal yang keluar dari koridor tempat Nabila tadi pergi. Rizal tersenyum ke Abimanyu.
"Wah, lama nggak ketemu nih!" sapa Rizal, langsung menjabat tangan pemuda itu. Abi menyambutnya dan berakhir dengan pelukan salam pertemuan mereka.
"Vin, temen seperjuangan gue juga," kata Abi menunjuk pemuda di samping.
"Hai, Vin. Rizal."
"Hai, Zal."
"Ada hal penting apa, Bi?" tanya Nabila begitu mereka duduk di sofa.
"Gini, kita mau minta bantuan kalian," kata Abi serius. Abi lantas menyuruh Vin mengeluarkan laptop yang ada di tasnya.
"Kalian harus lihat ini!" kata Vin yang mulai menyalakan laptopnya. "Sim cardnya, dodol!" pinta Vin ke Abi.
Abi lantas mengeluarkan benda kecil itu dari liontinnya. Rizal dan Nabila hanya diam dan menyimak. Mereka juga penasaran pada apa yang akan dibicarakan oleh Abi. Ini pasti sesuatu yang penting karena jarang-jarang seorang Abimanyu akan keluar dari kandangnya. Jika bukan masalah serius, dia pasti tidak akan mau repot-repot menemui Nabila dan Rizal jauh-jauh ke sini.
"Gue beberapa bulan lalu pergi ke Venesia. Nyari Ellea, pacar gue, breng Vin. Kebetulan dia ini lagi liburan di sana. Vin ini seorang militer. Nah, ternyata di sana, kami mengalami hal-hal yang cukup hampir membuat Vin mau mati," jelas Abi. Vin melirik dan mendengus sebal.
"Kok bisa? Kalian ngacak-ngacak San Pas?" tanya Rizal.
Mendengar tempat tersebut di ucapkan Rizal, Vin dan Abi lantas menatapnya heran. "Kok elu tau San Paz?" tanya Vin.
"Ya taulah. Di sana kan memang tempat gangster nya di sana. Kalau sampai kalian bilang, kalian hampir mati saat di sana, berarti kalian macam-macam ke salah satu orang di San Paz. Bener, kan?"
"Yah, bener. Elu liat dulu semua video dan foto ini!" suruh Abi.
Nabila dan Rizal melihat semua file di dalam laptop itu. Foto dan video terus membuat mereka tercengang.
"Waw. Ini temuan besar, dan ... Berbahaya sekali," kata Rizal geleng-geleng kepala.
"Makanya kita minta tolong kalian. Karena mereka masih ngejar kita, dan kemarin salah satu temen kami, meninggal. Gue yakin itu ulah mereka karena dia mang menyimpan flash disk itu."
"Jadi kalian bikin salinannya?" tanya Nabila. Abi dan Vin mengangguk.
"Pinter."
"Tapi, Zal, kita harus menyembunyikan hal ini sementara waktu. Jangan sampai ada orang lain tau, karena kita nggak tau siapa kawan dan siapa lawan. Gue cuma percaya kalian berdua di sini," jelas Abimanyu.
Nabila dan Rizal mengangguk. Pembicaraan saat ini memang terlalu beresiko jika ada orang lain yang mendengar. Baik kawan maupun lawan. Memang benar, masalah ini jangan sampai menyebar. Mereka harus bertindak diam-diam, untuk membongkar semua ini.
"Mending kita jangan bahas itu di sini. Terlalu banyak telinga," kata Nabila saat beberapa rekan kerjanya bolak- balik di sekitar mereka. Kedatangan dua tamu Rizal sekarang memang mengundang perhatian orang-orang di tempat itu. Beberapa pasang mata selalu menoleh dan memperhatikan mereka berempat. Hal itu membuat pembicaraan mereka beberapa kali juga terhambat, dan terpaksa berhenti hingga keadaan kembali aman.
"Terus di mana?" tanya Abimanyu yang sependapat dengan hal itu.
"Ke apartment gue saja nanti sepulang kami kerja," sahut Rizal, menatap jam dipergelangan tangannya.
Mereka sepakat pergi ke rumah Rizal guna membahas masalah ini lebih lanjut. Jam masih menunjukkan pukul 14.00, sementara Rizal dan Nabila pulang sekitar pukul 17.00. Baik Abi dan Vin terpaksa harus melakukan hal lain untuk membunuh waktu. Vin ingat pada salah satu anggota Kartel Ransford yaitu kenalannya sendiri.
"Bi, gabut ini. Cari masalah, yuk," ajak Vin saat mereka sudah ada di dalam mobil, bersiap pergi dari kantor Nabila. Abimanyu melirik jengah pada temannya dan geleng-geleng kepala. "Mau ngapain sih?"
"Kita ke rumah Kapten Nicho!" kata Vin, menyalakan mesin mobil. Memakai sabuk pengaman, dan tersenyum sinis ke Abi. "Wow," tukas Abi dan melakukan hal yang sama seperti Vin. Memakai seatbelt, dan bersiap membuat masalah. Beberapa jam akan terasa menjenuhkan jika mereka tidak melakukan apa pun. Karena menunggu adalah hal yang membosankan.
Sampai di sebuah halaman rumah yang cukup luas, dengan barikade pengamanan gerbang dan tembok keliling yang cukup membuat tiap orang bergidik ngeri melihatnya. Bukan lilitan kawat atau bahkan pecahan beling, tapi barisan pisau tajam mengelilingi rumah ini. "Gila!" gumam Abimanyu begitu melihat benda tajam itu berbaris rapi di sana.
"Beda dong, Bi, pengamanan di rumah orang kaya sama rakyat jelata kayak elu," gurau Vin.
"Elu lihat, kan, bagaimana pengamanan di rumah gue? Seorang rakyat jelata ini?!" cetus Abi.
Vin meliriknya dan mengangguk cepat, "Yes, i see. Coba kita cek ada apa aja di dalam," katanya lalu turun dari mobil, Abi mengekor padanya, karena Vin yang lebih mengenal Kapten Nicholas. Mereka tengak tengok mencari bel rumah yang pasti ada di setiap bangunan besar seperti ini. Karena ketukan di pintu gerbang tentu tidak akan berguna, bahkan jika sampai tangan mereka sakit sekali pun. Rumah ini cukup besar, halamannya saja pasti luas, jadi jarak dari pintu gerbang ke rumah itu cukup jauh bukan?
Benda kecil berwarna putih itu kini sudah Vin tekan beberapa kali. Mereka tinggal menunggu respon pemilik rumah. "Siapa, ya?" Sebuah suara terdengar nyaring. Dan tentu membuat mereka berdua sedikit terkejut. Rupanya ada semacam speaker di dekat pintu, untuk komunikasi antara pemilik rumah dan tamunya.
"Maaf, Kapten Nicho ada di rumah?" tanya Vin dengan mendekatkan mulutnya di benda persegi dengan rongga yang kecil.
"Anda siapa?" tanya suara dari seberang.
"Saya anak buahnya, Vin Adhitama."
Beberapa detik, suara wanita di seberang tampak terhenti. Lalu menyuruh mereka untuk masuk ke dalam, dan tentu pintu gerbang ini terbuka otomatis setelahnya. Baik Vin dan Abimanyu menunjukkan ekspresi takjub. Saling pandang dan melangkah ke dalam, meninggalkan mobil di luar.
Benar dugaan mereka, rumah ini bahkan lebih besar dari yang mereka kira. Pintu rumah itu sudah terbuka lebar, lalu seorang wanita tua dengan pakaian serba putih menghampiri. "Silakan masuk. Pak Nicho ada di dalam. Beliau berpesan, katanya Mas-nya disuruh menunggu sebentar," katanya dengan tubuh membungkuk ke depan sedikit. Sikapnya sungguh sopan penuh tata krama.
"Terima kasih, Bu."
Mereka lantas duduk di sofa besar yang ada di ruang tamu. Foto Kapten Nicholas terpampang dengan ukuran satu meter bersama wanita yang terlihat menawan, yang sudah pasti adalah istrinya. Mereka memiliki 2 orang anak, semuanya perempuan.
"Rumahnya gede banget, Vin."
"Pastilah. Jabatannya saja sudah tinggi, ayahnya Kapten Nicho juga mantan prajurit, sama kayak anaknya. Istrinya pengusaha sukses, dan mereka keturunan orang kaya. Yah, kaya sejak lahir dan hartanya juga nggak habis dimakan 7 turunan sekalipun," jelas Vin sambil berbisik pada Abi yang duduk di sampingnya.
"Pantes otaknya melenceng."
"Maksud loe?"
"Ya orang kaya model ini kan nggak pernah merasakan nggak punya uang, sejak kecil hidupnya sudah tercukupi, nah sekarang saking bingungnya itu duit mau buat apa lagi, makanya punya hobi aneh. Sinting!" hardik Abi sedikit emosi.
"Hm, bisa jadi."
Suara langkah kaki yang makin mendekat ke mereka membuat diskusi ini terhenti. Keduanya berdeham, guna menetralkan suara dan nafas mereka. Bagaimana pun tidak mudah berhadapan dengan manusia seperti Nicholas. Mereka tidak tau apakah Nicholas sudah tau tentang pemberontakan mereka selama di Venesia kemarin. Dan mengingat apa yang sudah di lakukan Nicho, membuat mereka sedikit terpancing emosi. Bahkan dia tidak layak disebut manusia.
Seorang pria berwajah tampan muncul. Ia mengenakan kemeja putih polos, dan celana jeans belel. Wajahnya terlihat segar dan sedap dipandang. Tidak ada yang akan menyangka dibalik wajah tampan itu terdapat otak busuk. Otak pembunuh dan seorang sosiopat berkedok Kapten yang selama ini dipuja dan dipuji orang-orang.
"Hai, Vin," sapa pria itu dengan senyum lebar menyambut dua orang tamunya. Vin beranjak dan mengulurkan tangan sebagai salam penyambutan.
"Baik, Kep!"
"Duduk," suruh Nicholas pada mereka berdua, " Ini?" tanyanya menunjuk Abimanyu yang menatapnya tanpa kedip sejak tadi.
"Eum, Abimanyu, teman saya. Kebetulan kami sedang ada di sini, lalu teringat Anda, Kep. Saya pikir tidak ada salahnya menyapa Anda di luar pekerjaan."
"Tentu. Tidak masalah. Kamu masih cuti?"
"Yah, masih. Saya menambah jatah cuti saya lagi. Masih ada beberapa urusan yang harus saya kerjakan."
Wanita tua yang tadi menyambut mereka kembali keluar dengan membawa nampan berisi minuman dan aneka camilan, sebagai bentuk penyambutan pada tamu. "Silakan diminum," kata Nicholas.
Vin tersenyum, tapi Abimanyu tidak. Sorot matanya benar-benar menunjukkan kebenciannya pada pria di hadapan mereka ini. Nicho yang menyadari tatapan benci yang terus ditunjukkan oleh Abimanyu, tersenyum. "Abimanyu ... silakan diminum. Ngomong-ngomong kalian teman ....?" tanya Nicho menunjuk mereka bergantian sebagai sebuah pertanyaan yang tidak ia lanjutkan.
"Oh ya, Abi adalah teman saya sebelum saya masuk kembali ke militer, Kep. Dia yang pernah saya ceritakan dulu," jelas Vin, mencoba mengingatkan ke Nicho. Hal itu membuat Abi menoleh ke arahnya, meminta penjelasan.
"Oh ya? Jadi dia, laki-laki kuat yang kamu bilang?"
Mendengar perkataan Nicho, Abi makin gusar. Ia cemas jika rahasianya sudah dibeberkan ke Nicholas, yang sekarang merupakan musuh mereka. "Cerita apa lu?!" bisik Abi yang tentu mampu didengar Nicho. Nicho hanya tersenyum, dan Vin hanya melotot merasa tak enak dengan situasi ini. "Tenang aja. Gue nggak ngomong macem-macem!" tegas Vin, melotot ke Abi dan beralih tersenyum ke Nicho.
"Tenang saja, Vin cuma bilang kalau dia ketemu teman yang baik, dan membawa dia kembali bersemangat hidup. Memangnya ada rahasia apa yang tidak kutahu, Vin? Dia seorang superhero mungkin?" gurau Nicho menunjuk Abi yang terus menunjukkan tidak sukaan pada dirinya.
"Eum, tidak ada, Kep. Rahasia besarnya ya hanya pria desa yang menyebalkan. Haha." Tawa Vin terasa garing, tidak bersungguh-sungguh. Terasa dari nada dan ekspresinya.
"Nyatanya setiap manusia pasti punya rahasia, kan, Kep?" tanya Abimanyu, sengaja menarik perhatian Nicho. Nicho menarik salah satu sudut bibirnya, sinis. Tatapannya berubah.
"Yah, tentu saja. Semua orang punya rahasia." Tatapan Nicho tajam, seolah menembus mata Abi. Keduanya seperti sedang bertarung melalui tatapan mata tajam dan membunuh milik mereka masing-masing. Vin yang merasa bingung, hanya garuk-garuk kepala, menarik nafas panjang. Lalu berdeham untuk mencairkan suasana.
Suasana yang makin panas, membuat Vin sadar kalau ia harus membawa Abi angkat kaki dari tempat ini. Respon Nicholas menunjukkan kalau dia sudah tau kalau Vin dan Abi adalah musuhnya. Orang yang mengetahui rahasianya dan yakin kalau keberadaan mereka berdua pasti akan membahayakan Kartelnya.
"Kep, kalau begitu kami pamit dulu, sepertinya kami harus segera pulang, masih ada urusan," kata Vin, sambil menarik tangan Abi. Netra Abi tak lepas dari sorot mata tajam Nicholas. Belum sampai pintu, Nicho kembali memanggil dua pria itu, dan berhasil membuat keduanya menghentikan langkah.
"Sebaiknya kalian jangan macam-macam, karena kalian tidak tau bagaimana kekuatan Kartel Ransford," kata Nicholas lantang. Sebagai bentuk tantangan pada dua pria itu. Dan pernyataannya itu membuatnya mengiyakan semua kejahatan Kartelnya. Abi dan Vin menoleh.
"Seharusnya kalian yang takut, jika kami sampai bertindak. Aku pastikan kalian akan hancur satu persatu," tantang Abi, serius.
"Benar, kah? Kita lihat saja, siapa di antara kita yang bertahan!"
Vin menarik Abi dan segera pergi dari rumah itu. Pertemuan itu benar-benar seolah sengaja menancapkan bendera peperangan di antara mereka. Tentu sebagai salah satu pembuktian kalau keberadaan mereka memang sudah diketahui Kartel Ransford.
Dering nada panggilan di ponsel Abimanyu mengalihkan perhatian mereka berdua. Keduanya masih diam sejak pergi dari kediaman Nicholas tadi. Meredam emosi, gundah, dan naluri untuk membunuh Nicholas tentunya. Tak dapat dipungkiri, Abi dan Vin akan dengan mudah membunuh orang itu tadi. Tadi mereka masih waras untuk melakukan pembunuhan secara terang-terangan. Karena dampaknya akan sangat besar nantinya. Mereka tidak hanya butuh keberanian, tapi juga strategi.
"Ya."
"...."
"Gue lagi ke sana." Abi mematikan telepon itu begitu saja, wajahnya masih menunjukkan kekesalan. Vin melirik, "Nabila?" Dan dijawab hanya dengan anggukan oleh pemuda itu. Laju mobil makin dipercepat, mereka kini menuju rumah Rizal. Tempat tinggalnya dan Nabila berada di pusat kota. Jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sana.
Kediaman Rizal dan Nabila hanya berbeda gedung apartment saja. Dan letaknya berseberangan. Bahkan tak jarang mereka akan tinggal bersama. Entah kenapa, mereka tidak menikah saja, kan?
Mobil parkir di basement. Suasana di bawah sini cukup sunyi. Bahkan terkesan sangat sunyi. Langkah mereka menggema di sepanjang tempat parkir ini. Hanya ada beberapa mobil di tempat ini. Mungkin penghuni apartment masih banyak yang belum pulang dari aktivitasnya. Berkali-kali Abimanyu menoleh ke belakang, lalu ke samping dan sekitarnya.
"Kenapa lu?" tanya Vin yang melihat kegelisahan temannya.
"Hm, nggak apa-apa. Perasaan gue nggak enak saja," jelas Abi lalu kembali meneruskan berjalan menyusul Vin yang sudah beberapa langkah lebih dulu.
"Maksudnya?"
"Vin, lu sadar, kan? Kalau Nicholas tau soal kita? Dan gue yakin dia nggak akan diem gitu saja. Dia pasti bakal menyerang kita cepat atau lambat."
"Iya gue tau. Makanya buruan kita ke tempat Rizal, kita harus bikin strategi, gimana baiknya tindakan kita untuk mereka."
Abi menghentikan langkahnya. Kembali menyapu pandang ke sekitar, Vin terpaksa ikut menghentikan langkahnya. Kini dua pemuda itu saling berhadapan. Saat Abi hendak mengucapkan sesuatu, ia justru melihat sebuah bayangan yang tertangkap spion mobil yang parkir di depannya. Sadar kalau apa yang ia takutkan sudah mulai terjadi, ia memberikan isyarat ke Vin. Berdeham dengan menutup mulutnya, namun matanya melirik ke tempat persembunyian orang itu. Vin yang cepat tanggap, mengangguk samar. Ia menunjuk ke arah pintu masuk dengan menggerakkan kepalanya. Tapi para penyusup itu sepertinya sudah paham kalau persembunyian mereka sudah diketahui targetnya.
Mereka keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang dua pria itu. Abimanyu dan Vin terkepung. Tanpa senjata, hanya tangan kosong. Dan perkelahian dimulai. Sekalipun mereka hanya berdua saja, tapi keahlian mereka tentu tidak diragukan lagi. Bahkan Vin adalah salah satu prajurit terbaik di tim nya. Karena itulah, Nicholas menyukainya. Jauh sebelum Vin mengetahui rahasia pemimpinnya itu.
"Bi!" jerit Vin, saat melihat seseorang mengangkat pistol hendak menembak temannya itu. Abimanyu tertembak di punggungnya. Namun dengan gerakan cepat, Vin melempar pisau ke arah penembak itu, tepat mengenai lehernya. Beberapa musuh sudah berhasil dikalahkan. Sebagian mati, sebagian lagi sekarat, tak mampu bergerak. Abimanyu yang sudah menahan emosi sejak tadi, kini memiliki cara untuk melampiaskannya. Ia bertindak cukup cepat dan tepat. Walau ia terluka, tapi masih sanggup berdiri tegak dan kembali menyerang pria-pria bertopeng di sekitarnya.
"Vin! Elu ke tempat Rizal!" jerit Abi dengan mengapit leher salah satu dari mereka, lalu memutar dan mematahkannya dengan mudah. Ia terus menyerang sisa dari prajurit yang dikirimkan Nicholas untuk mereka.
Vin berlari sesuai perintah Abimanyu. mencari tempat tinggal Rizal, karena ia pun berpikir hal yang sama. Rizal dan Nabila juga pasti dalam bahaya, karena mengetahui hal ini. Sedikit ada rasa penyesalan di lubuk hati Vin. Setiap langkahnya menyusuri koridor apartment, ia terus terbayang keadaan pasangan itu. Ia takut apa yang ada di bayangannya terjadi pada Rizal dan Nabila. Karena jika sampai itu terjadi maka ia dan pasti Abimanyu akan merasa sangat bersalah telah menyeret mereka dalam pusaran masalah yang cukup berbahaya ini.
Kamar 189
Vin berhenti di depan pintu kamar itu. Tak langsung mengetuk, namun mendekatkan telinganya di pintu. Sunyi. Ia lantas mengintip dari key hole, matanya terbelalak, saat melihat tubuh Nabila terkapar dengan bersimbah darah di lantai. "Nabila!" raung Vin, berusaha membuka pintu itu. Terkunci. Terpaksa ia mendobrak kamar itu dan masuk ke dalam.
Vin menjambak rambutnya sendiri saat melihat ruangan itu berantakan. Nabila yang terkapar di lantai terlihat masih dapat membuka matanya. Sementara Rizal yang berada di dekat pintu balkon kamarnya tidak bergerak sama sekali. Darah berceceran di mana-mana.
"Bil!" Vin mendekat ke Nabila dan mengangkat tubuhnya.
obdiamond dan 6 lainnya memberi reputasi
7