- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#87
Part 83 Mayat
Adi mengerjap, menguap, karena baru terjaga dari tidur panjang, membuat otaknya kekurangan oksigen. Duduk di tepi ranjang sambil melirik ke jendela yang tidak memiliki korden. Adi sengaja. Agar sinar matahari mampu masuk dengan bebas ke dalam kamarnya.
Di kaca dengan bentuk persegi panjang itu, ia melihat beberapa orang yang ia kenal sedang kejar-kejaran. Saling tertawa satu sama lain dengan ekspresi yang lepas. Masalah mereka kemarin, tentu cukup berat. Dan akhirnya tawa itu kembali terlihat sekarang. Adi tersenyum, lalu membuka kaca jendelanya, agar udara pagi yang hampir siang ini bisa mengisi ruangan pribadinya. Menggantikan udara yang sejak semalam ia hirup.
Terlintas kejadian semalam. Ia melirik ke hutan depan rumah di mana ia mendengar suara geraman itu. "Mungkin macan, ya. Atau beruang. Huh, nggak mungkin sih. Tapi ... Apa?" gumamnya berbicara sendiri. Berdiskusi dengan pikiran dan mencoba mencari tau hal yang mengganggu pikirannya sejak semalam. Dan salah satu alasan dia tidak bisa tidur cepat, hingga kini bangun sesiang ini.
Ia segera meraih handuk yang selalu ia sampirkan di luar jendela kamar. Kebiasaan rutin setelah bangun, adalah mandi tentunya. Rambutnya yang masih acak-acakan, khas orang bangun tidur, sama sekali tak ia hiraukan. Sampai di dapur, sudah ada Gio yang sedang sarapan sambil membaca koran pagi. "Juragan baru bangun," sindir Gio.
"Brisik!" sahut Adi langsung masuk ke kamar mandi.
"Di!"
"Paan?!" sahutnya ketus.
"Lu udah baca berita?"
"Lu ngejek? Udah tau gue baru bangun."
"Ada teror beruang di desa kita," kata Gio. Adi yang sedang mandi segera diam, sambil mengingat yang ia lihat semalam.
Ia segera menuntaskan acara mandinya segera. Masih bertelanjang dada, handuk ia sampirkan di leher, lalu duduk di kursi dekat Gio.
"Beruang? Yang bener? Sejak kapan di desa ini ada beruang? Babi hutan aja udah nggak ada perasaan?" tanya Adi.
"Nih, lihat!" sahut Gio menyodorkan koran yang baru saja ia baca. Adi segera meraihnya dan membaca dengan seksama. Hingga dahinya berkerut. Wajahnya terlihat serius. Berbeda dengan Gio yang seolah menganggap berita itu hanya isapan jempol belaka.
"Aneh. Jangan-jangan beneran apa yang gue lihat semalam," gumam Adi.
"Lihat apa lu?"
"Eum, bukan lihat sih. Tapi denger!"
"Hah? Denger apa?" tanya Gio kali ini serius menanggapi.
Adi mendekatkan tubuhnya, melirik ke sekitar. "Semalem, gue liat sesuatu di luar. Cuma nggak jelas. Gue pikir salah satu orang yang mah celakain Abi, jadi gue cek ke luar. Dan lu tau nggak apa yang gue denger?"
"..." Gio menggeleng pelan. Menunggu kelanjutan cerita itu.
"Sesuatu atau seseorang menggeram. Like bear."
"What? Serius? Jadi maksud lu, berita ini beneran?"
"May be." Ia membuka tudung saji dan ada nasi goreng dalam wadah besar yang tinggal setengahnya saja. Adi mengambil piring dan segera sarapan. Hal ini jarang terjadi, ia sudah tau kalau sejak kedatangan Ellea dan Allea, rumah ini akan terasa hidup. Setidaknya dari segi sarapan. Mereka berdua tak perlu lagi membeli makanan atau sarapan di cafe seperti biasanya.
Masih dalam aksi sarapan bersama, Gio dan Adi dikejutkan dengan kedatangan para anak muda yang sejak pagi bermain di tepi pantai. Mereka masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Lalu suara tembakan terdengar dari luar.
Adi dan Gio otomatis beranjak dari duduk dan menatap bingung pada mereka. "Kenapa sih?"
"Mereka nyamperin kami, Om!" kata Vin yang masih ada di belakang pintu. Seolah berusaha menahan apa pun yang hendak menerobos masuk.
Hal ini membuat dua orang yang terganggu sarapannya murka. Mereka mendekat, dan mengintip dari balik jendela yang kordennya sudah ditutup oleh para gadis. Ada beberapa mobil jeep di luar dengan orang-orang yang memakai senjata api. "Siapa mereka?" tanya Gio.
"Pasti orang-orang Austin!" sahut Abimanyu yang sedang berdiri di belakang Gio.
"Wah, mau main-main rupanya mereka?!" sahut Adi dengan tatapan sinis. Ia lantas berjalan ke sebuah lukisan gambar pemandangan dan menggesernya. Ada sebuah tombol di belakang lukisan itu. "ready for war?" tanyanya pada mereka semua.
Abimanyu dan Vin hanya menatapnya bingung. Namun saat tombol di tekan, dari luar halaman terdengar suara gemuruh. Hal itu menarik perhatian mereka semua. Terutama musuh di luar. Tanah terlihat bergetar. Membuat musuh diam dengan tatapan panik. Mungkin, kah, gempa bumi terjadi sekarang? Atau tsunami? Begitulah yang ada dipikiran mereka.
Tapi tanah di sekitar rumah ambles. Hanya tanah di beberapa titik saja. Tak lama keluar beberapa meriam mini secara otomatis. Mata para musuh melotot. "Watch out attack!" seru salah seorang dari mereka.
Tembakan brutal langsung menembus tubuh mereka. Darah muncrat dan mencabik daging ditubuh itu satu persatu. Akhirnya hanya dalam hitungan menit. Mereka semua ... Tewas.
"Wow! Keren!" puji Vin menatap dua orang tua itu kagum.
"Yah, kami memang se-keren itu," sahut Gio menaikan kerah bajunya. Sombong.
"Itu ... Apa, Paman?" tanya sang pemilik rumah kebingungan. Beberapa bulan meninggalkan rumah, membuat banyak perubahan di rumahnya dan cafenya.
"Pertahanan tentunya. Rumah ini sudah kami renovasi total. Kaca seluruh ruangan, diganti dengan kaca anti peluru. Tembok juga. Di luar ... Seperti yang kalian lihat. Itu langkah awal untuk perlindungan rumah ini. Kami trauma dengan hancurnya rumah ini seperti kemarin," jelas Adi sbil berjalan kembali ke meja makan. Meneruskan sarapannya yang sempat tertunda.
"Berapa total renovasi semua ini, Paman?" tanya Abi, mengikuti pamannya itu. Duduk di depan Adi yang melanjutkan menyantap nasi goreng miliknya.
"Lumayan. Cek aja rekening mu. Gue lupa totalnya berapa."
"Hah? Astaga! Tabunganku ...," rengek Abimanyu dengan wajah pucat karena rekeningnya sudah dikuras habis oleh mereka. Yah, Abi sengaja meninggalkan ATM miliknya agar dua orang yang tinggal di rumahnya mampu mengelola dan menyelesaikan renovasi rumahnya setelah dia pergi. Tapi, rupanya ia dimanfaatkan. Sakit, tapi tidak berdarah, Dude.
Gio sudah menelpon polisi dan menceritakan kejadian naas di depan rumahnya. Seluruh penduduk desa tau, bagaimana ekstremnya keluarga ini. Peluru dan bom bukan lagi hal baru bagi seluruh warga. Terutama yang sudah mengenal Abimanyu, Adi dan Gio tentunya. Bahkan mereka dianggap preman kampung. Tidak ada yang berani mengusik kampung ini. Karena kemampuan mereka bertiga sudah tersohor sampai ke desa tetangga.
Mayat itu dibawa dan dikuburkan di pemakaman umum tanpa nama. Tapi polisi masih akan tetap mengusut hal ini.
"Kita harus ke rumah Faizal. Gue nelponin dia nggak bisa terus," kata Abi.
"Iya, aku juga khawatir. Takut dia kenapa-napa lagi, Biyu. Mereka aja bisa segitu nekat nya ke sini, gimana Faizal."
"Astaga. Kenapa aku udah mikir yang enggak-enggak soal Faizal, ya?" mata Allea berkaca-kaca, membayangkan segala kemungkinan terburuk.
"Memangnya dia tinggal di mana?" tanya Gio.
"Zargun. Katanya 2 jam dari sini, kalau kita naik mobil."
"Zargun? Sebentar," kata Gio seolah mengingat sesuatu. Ia mengambil koran pagi dan membuka beberapa halaman yang sudah ia baca tadi.
"Teror perampokan di Zargun, menewaskan satu anggota keluarga. Anehnya tidak ada barang berharga yang dicuri," kata Gio membaca berita lain pagi ini. Ia menatap 4 orang di depannya nanar.
"Ya ampun, jangan-jangan ...." Ellea tak mampu meneruskan kalimatnya.
"Kita harus pergi sekarang, Vin!" rengek Allea sambil menarik tangan Vin yang wajahnya sudah pucat. Semua pikiran hanya tertuju pada 1 kenyataan. Faizal adalah korbannya.
"Jangan-jangan mereka sudah dapetin flash disk itu!" kata Vin menebak.
Abi hanya diam, sambil mengelus liontin di kalungnya. Ia menarik tipis bibirnya dengan nafas berat.
_____
Mereka berangkat ke Zargun. Sebuah kota kecil yang ada di kaki gunung, masih satu provinsi dengan Amethys. Cafe di pasrah kan pada Maya, selalu managernya. Maya adalah satu-satunya orang yang bisa mereka percaya untuk mengelola cafe saat para pria itu sedang menjalankan misi menyelamatkan dunia.
Sepanjang perjalanan, mereka diam. Jarang ada interaksi obrolan yang berarti. Hanya pertanyaan singkat tentang lamanya perjalanan, dan keadaan di daerah itu. Dua mobil membawa mereka ke tempat Faizal. Walau harapan tipis, tapi mereka tetap harus melihat dengan mata kepala sendiri ke sana. Setitik harapan terbesit di benak mereka, semoga berita di koran bukanlah keluarga Faizal. Jika benar mereka, maka Vin adalah orang pertama yang paling merasa bersalah. Karena dialah yang menarik Faizal pertama kali untuk kasus ini. Ia sangat frustasi sekarang.
"Jangan berfikir macam-macam dulu, ya," bujuk Allea sambil menggenggam bahu Vin yang duduk di depan, bersama Gio. Mobil dibagi rata, setiap mobil ada 3 penumpang. Mobil Gio ada Allea dan Vin tentunya. Dan Mobil Adi, ada Abimanyu dan Ellea.
Mereka memasuki gapura kota. Bertanya pada penduduk alamat yanh sudah Vin tau sebelumnya. Faizal memang sudah memberikan alamatnya pada Vin saat mereka berpisah di bandara.
Mereka mulai memasuki daerah pedesaan sesuai petunjuk penduduk. Tinggal lurus saja, maka alamat yang mereka cari sudah terlihat. Karena rumah Faizal memang ada di paling ujung desa.
Jalanan aspal sudah berganti jalan berbatu kerikil. Rumah penduduk sudah makin jarang terlihat. Seorang ibu-ibu terlihat berjalan sambil menggendong tumpukan ranting, Gio berhenti dan menanyakan kembali rumah Faizal.
"Oh, nyari Faizal? Rumahnya ada di ujung. Tinggal rumah dia saja di sana. Tapi ...," kata Ibu itu ragu, menatap mereka yang ada di mobil cemas.
"Tapi apa, Bu?"
"Semalam rumah mereka dirampok, semua orang di bunuh. Kalau mau ketemu, ke Rumah Sakit saja. Karena rumahnya kosong. Hampir hangus semua karena dibakar pencurinya."
Tubuh mereka lemas. Menatap jalan yang ditunjuk ibu tadi. "Terima kasih, Bu." Gio kembali menjalankan mobilnya, menuju rumah Faizal. Mereka juga harus mencari flash disk itu tentunya.
Bau asap khas bekas kebakaran tercium di ujung hidung mereka. Jendela memang sengaja dibuka. Kini sebuah rumah setengah hangus terlihat jelas di depan mata mereka. Mobil parkir. Penumpang semua turun. Berjalan gontai mendekati tempat yang sudah di beri garis polisi di sekitarnya.
Vin langsung menjatuhkan lututnya di atas rerumputan yang masih terasa lembab di bawahnya. Ia menangis. Bahkan meraung. Memanggil nama Faizal dan meminta maaf atas semua hal yang menimpa sahabatnya itu.
"Harusnya gue nggak bawa-bawa elu, Zal," gumamnya terus. Allea mendekat mengelus punggung pemuda itu, tanpa sepatah kata pun terucap. Ia tau, Vin butuh melepas emosi dan rasa bersalahnya. Wajar jika reaksinya seperti ini.
Gio mendekat dan melewati garis polisi. "Heh?! Ngapain lu?" jerit Adi sbil tengak tengok, takut ketahuan polisi yang mungkin masih ada di sekitar sini.
"Nyari flash disk itu lah. Ngapain lagi coba?" tanya balik Gio pada Adi yang juga menyusulnya masuk ke dalam garis polisi itu. Abimanyu kembali mengelus liontin di lehernya. Saat ia hendak memanggil dua pamannya itu, ia mendengar suara ranting pohon yang terinjak seseorang. Ia melirik ke sumber suara. Ada bayangan yang sedang mengintip, dan tak jauh dari pohon itu melihat sosok Faizal dengan kondisi mengenaskan. Ia menunjuk ke pohon yang Abimanyu curigai. Memberi tau kan kalau ada seseorang di sana, tengah memperhatikan mereka.
Abimanyu menggigit bibir bawahnya saat melihat Faizal ada diantara mereka. Mulutnya mengucap sebuah kalimat yang hanya bisa ia dengar seorang diri. "Kami minta maaf."
Faizal hanya tersenyum sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Ia menggeleng sambil tersenyum. Tak lama bayangannya menguar dan hilang.
"Vin, ayok kita cari flash disk itu!" ajak Abi mengulurkan tangannya pada Vin yang masih jongkok di bawah, ditemani Allea.
Vin tidak bereaksi. Hingga saat Abi memanggilnya lagi sembari melirik ke arah yang lain, Vin sadar maksud dari Abi barusan. "Ayok!"
Mereka semua masuk ke dalam rumah Faizal dan mencari apa yang menjadi tujuan mereka datang ke sini. Abi berbisik kepada mereka satu persatu. "Ada yang mengintai."
Mereka mengerti.
"Hah! Nggak ada flash disk itu! Gimana dong ini?!" tanya Ellea dengan ekspresi panik. Aktingnya bagus juga. Karena ia tau, kalau Faizal sudah meng- copy isi flash disk itu ke kartu memori lain, dan sudah akan sekarang.
"Ya udah, balik aja, yuk," ajak Allea.
Mereka bergegas masuk kembali ke mobil. Berbahaya sekali jika tiba-tiba mereka di serang seperti pagi tadi. Tidak ada persiapan sama sekali. Mereka mang membawa beberapa senjata api, tapi itu tidak cukup untuk menghadapi mereka.
Mereka tak langsung pulang. Menuju rumah sakit di mana jenazah Faizal dan keluarganya sedang di otopsi. Pihak keluarga yang lain meminta polisi mengusut kasus kematian keluarga Faizal lebih dalam lagi. Karena ini adalah hal aneh. Pencurian tapi tidak ada barang berharga yang hilang. Emas ibu Faizal saja masih ditemukan di lemari kamar beliau. Tapi kenapa rumah itu mereka bakar.
Abimanyu dan kawan-kawan tentu tau, ini ulah Austin. Dia mengejar sampai ke sini. Dan mereka harus memberi pelajaran pada gangster itu. Harus.
Jenazah Faizal dan keluarganya baru saja dikuburkan. Makam mereka berdekatan satu sama lain. Berita kematian mereka sudah membuat geger warga satu desa. Kasusnya masih diusut polisi. Karena banyak keganjilan dalam kematian keluarga itu. Terlebih dengan terbakarnya rumah Faizal.
Suasana duka masih terasa. Pemakaman masih ramai oleh peziarah. Menebar bunga atau mendoakan jenazah, masih kerap dilakukan dengan bergantian. Desas desus adanya balas dendam dan isu pembunuhan berantai membuat warga cemas. Mereka saling berbisik dan membahas masalah ini, bahkan saat masih ada di makam.
"Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Vin, menatap Abimanyu, Adi, dan Gio bergantian.
"Hm, kita harus mulai menyerang mereka. Jangan terus-menerus pasrah dengan semua serangan dari mereka," sahut Adi dengan wajah dingin dan datar.
"Gue yakin, mereka udah dapetin flash disk itu, kan?" Abi menanggapi.
"Terus kita nggak punya bukti lagi dong?" Gio sedikit cemas.
Abi mengelus liontin kalung yang ia pakai. "Aman, Paman. Kita biarkan saja mereka ambil benda itu. Karena Abi punya salinannya," ucapnya dan membuat mereka terkejut.
"Woho! Pantesan elu santai," pekik Vin dengan wajah sumringah.
"Kita harus balas apa yang udah mereka lakukan selama ini, iya, kan?" tanya Abimanyu meminta persetujuan mereka semua.
"Yah. Pasti!"
Dua gadis dengan setelan hitam dan selendang sebagai penutup kepala nampak berjalan mendekat. Mereka baru saja mengobrol dengan sanak saudara Faizal yang lain.
"Udah?" tanya Abimanyu ke Ellea. Ia membetulkan letak selendang di kepala Ellea. Gadis itu mengangguk, lalu meraih tangan Abi. "Pulang," rengeknya. Setelah memberikan beberapa santunan untuk acara pemakaman, mereka pulang.
_______
Langit sudah gelap saat mereka sudah memasuki desa Amethys. Karena tubuh sudah letih, mereka segera menuju ke rumah. Beberapa kali mobil berpapasan dengan mobil ambulance dan polisi. Hal ini membuat mereka penasaran.
"Coba berhenti sebentar. Tanya ada apa sebenarnya," suruh Adi ke Abi yang kini bergantian mengemudi. Mobil akhirnya menepi, mendekat kerumunan warga dengan polisi yang ada di sekitarnya. Setelah mematikan mesin mobil, Abi menyuruh Ellea tetap di mobil. Gadis itu juga sudah mengantuk, maka ia lebih memilih bersandar di kaca sampingnya dengan memeluk bantal yang sengaja ia bawa agar nyaman saat diperjalanan.
Abi dan Adi turun dari mobil, mendekat ke kerumunan di sana. Sementara di mobil lain, Gio dan Vin juga menyusul.
"Ada apa, Pak?" tanya Adi ke salah satu warga desa yang berdiri paling belakang.
"Itu rumah Pak Jumri Habi dimasuki hewan buas, Mas," kata pria setengah baya itu, berbisik dengan wajah serius dan tegang.
"Hah? Hewan buas? Maksudnya gimana, Pak?"
"Pak Jumri meninggal dengan luka cakaran di dada. Di dekat pintu juga ada cakaran besar."
Kalimat tadi membuat 4 pria ini mendadak pucat. Mereka mengamati keadaan selama beberapa menit. Adi dan Gio memutuskan mendekat agar lebih mudah dan banyak mendapat informasi.
"Bener. Ada bekas cakaran di pintu. Jenazahnya juga sama," jelas Gio.
"Waw. Jangan-jangan ... Yang kemarin gue lihat itu memang binatang ini, Bi!" kata Adi, yakin.
"Paman yakin?"
"Yakin! Suaranya khas. Dan jelas."
"Loh kalian pernah ketemu hewan ini? Eh ini hewan apa sih? Macan? Beruang?" tanya Vin.
"Jadi, malam kalian datang itu, gue menangkap ada pergerakan aneh di luar rumah. Akhirnya gue keluar buat cek. Di situ sih nggak ada penampakan apa pun yang keliatan, cuma suaranya."
"Suara apa, Di?"
"Geraman!"
"Waw. Ngeri juga. Kok bisa ada hewan gitu di desa ini? Perasaan dulu aman-aman aja, kan?" tanya Vin.
"Eh, kita jangan bilang dulu ke Ellea sama Allea. Takutnya mereka panik."
"Bener. Ya udah kita balik, yuk. Kasian mereka. Pasti udah ngantuk."
______
Pagi ini cafe sudah siap untuk kembali beroperasi. Tulisan "open" sudah menghiasi pintu masuk cafe. Meja dan kursi sudah di lap dan dibersihkan. Semua pegawai memakai seragam cafe dan bersiap menerima pengunjung.
Selalu ada pelanggan setia setiap paginya. Menikmati kopi dan sarapan di cafe tercinta mereka. Tidak hanya sajiannya yang lezat dan enak, tapi pelayanannya juga memuaskan. Semua orang di cafe itu ramah, dan memberikan customer services terbaik. Hari ini para gadis ikut membantu mengelola cafe. Karena baik Abi maupun Vin juga tidak mungkin membiarkan Ellea dan Allea di rumah hanya berdua saja. Vin berencana akan pergi ke ibukota bersama Abimanyu. Mereka harus menemui seseorang guna menyelidiki masalah Adventure game yang masih dilakukan oleh beberapa oknum pejabat dan orang kaya.
"Salinan flash disk itu sama elu disimpen di mana, Bi?" tanya Vin.
"Di sini," kata Abi sambil mengelus dadanya.
Plak! Sebuah tamparan yang tepat mengenai lengan tangan Abi membuat pemuda itu meringis menahan sakit. "Sakit ih!" omelnya pada Vin yang duduk di belakang kemudi mobil. Mereka sudah siap akan pergi ke ibukota, sesuai rencana.
"Lagian gue tanya serius."
"Gue juga jawabnya serius, Vin. Ini! Di sini!" kata Abi dengan menunjukkan liontinnya. Vin memincingkan mata dan baru sadar maksud dari perkataan temanmu itu. "Oh di situ? Astaga! Pinter juga lu!"
Liontin itu memiliki sebuah ruang kecil yang sangat muat untuk memasukan kartu memori yang ukurannya kecil. Aman dan tidak ada yang akan mencurigainya.
Mobil mulai dinyalakan, Ellea dan Allea melambaikan tangan melepas kepergian mereka berdua. "Jangan terlalu lama," kata Ellea.
"Hati- hati di jalan," cetus Allea.
Perjalanan ke ibukota tidak begitu jauh dan lama. Kira-kira sama seperti saat mereka ke rumah Faizal kemarin. Mereka berencana menemui Nabila dan Rizal. Hanya mereka berdua orang-orang dari pemerintahan yang mereka kenal dan bisa dipercaya. Mereka tentu tidak bisa bertindak sendiri, dan butuh orang dalam di pemerintahan. Kasus ini harus segera diungkap. Karena ada beberapa orang berpengaruh yang terlibat. Mereka tidak berhadapan dengan sembarangan orang yang mudah ditaklukan, tapi orang besar dan yakin akan banyak kendala dan banyak orang yang mungkin akan menutupi hal ini, jika sampai mereka salah strategi.
"Jadi elu udah move on, Vin? Sekarang lancar, kan, sama Allea?" tanya Abi sambil fokus mengemudi.
"Entahlah, Bi. Gue masih masa penjajakan. Masih harus saling berusaha mengenal satu sama lain." Pandangan mata Vin terus memperhatikan jendela. Pemandangan di luar hanya sebagai kamuflase, untuk menutupi kegundahan hatinya. Matanya memang menatap ke arah luar, tapi pikirannya terus ada di cafe, tempat terakhir Vin bertemu Allea.
"Tapi kalian cocok. Gue juga lihat Allea tertarik sama elu. Elu juga kan, ada perasaan spesial ke dia?" tanya Abi menegaskan.
"Gue akui, iya. Tapi ... Gue masih takut." Ia mendengus teringat mantan istrinya yang kini sudah tiada.
"Jangan terus menerus menghindar dari takdir, Vin. Elu harus hadapi. Hiduplah normal. Menikah, lagi. Jangan terus-terusan menyetor nyawa. Gue yakin, istri lu pengen lu hidup bahagia di sini."
"Yah, gue coba nanti."
Di kaca dengan bentuk persegi panjang itu, ia melihat beberapa orang yang ia kenal sedang kejar-kejaran. Saling tertawa satu sama lain dengan ekspresi yang lepas. Masalah mereka kemarin, tentu cukup berat. Dan akhirnya tawa itu kembali terlihat sekarang. Adi tersenyum, lalu membuka kaca jendelanya, agar udara pagi yang hampir siang ini bisa mengisi ruangan pribadinya. Menggantikan udara yang sejak semalam ia hirup.
Terlintas kejadian semalam. Ia melirik ke hutan depan rumah di mana ia mendengar suara geraman itu. "Mungkin macan, ya. Atau beruang. Huh, nggak mungkin sih. Tapi ... Apa?" gumamnya berbicara sendiri. Berdiskusi dengan pikiran dan mencoba mencari tau hal yang mengganggu pikirannya sejak semalam. Dan salah satu alasan dia tidak bisa tidur cepat, hingga kini bangun sesiang ini.
Ia segera meraih handuk yang selalu ia sampirkan di luar jendela kamar. Kebiasaan rutin setelah bangun, adalah mandi tentunya. Rambutnya yang masih acak-acakan, khas orang bangun tidur, sama sekali tak ia hiraukan. Sampai di dapur, sudah ada Gio yang sedang sarapan sambil membaca koran pagi. "Juragan baru bangun," sindir Gio.
"Brisik!" sahut Adi langsung masuk ke kamar mandi.
"Di!"
"Paan?!" sahutnya ketus.
"Lu udah baca berita?"
"Lu ngejek? Udah tau gue baru bangun."
"Ada teror beruang di desa kita," kata Gio. Adi yang sedang mandi segera diam, sambil mengingat yang ia lihat semalam.
Ia segera menuntaskan acara mandinya segera. Masih bertelanjang dada, handuk ia sampirkan di leher, lalu duduk di kursi dekat Gio.
"Beruang? Yang bener? Sejak kapan di desa ini ada beruang? Babi hutan aja udah nggak ada perasaan?" tanya Adi.
"Nih, lihat!" sahut Gio menyodorkan koran yang baru saja ia baca. Adi segera meraihnya dan membaca dengan seksama. Hingga dahinya berkerut. Wajahnya terlihat serius. Berbeda dengan Gio yang seolah menganggap berita itu hanya isapan jempol belaka.
"Aneh. Jangan-jangan beneran apa yang gue lihat semalam," gumam Adi.
"Lihat apa lu?"
"Eum, bukan lihat sih. Tapi denger!"
"Hah? Denger apa?" tanya Gio kali ini serius menanggapi.
Adi mendekatkan tubuhnya, melirik ke sekitar. "Semalem, gue liat sesuatu di luar. Cuma nggak jelas. Gue pikir salah satu orang yang mah celakain Abi, jadi gue cek ke luar. Dan lu tau nggak apa yang gue denger?"
"..." Gio menggeleng pelan. Menunggu kelanjutan cerita itu.
"Sesuatu atau seseorang menggeram. Like bear."
"What? Serius? Jadi maksud lu, berita ini beneran?"
"May be." Ia membuka tudung saji dan ada nasi goreng dalam wadah besar yang tinggal setengahnya saja. Adi mengambil piring dan segera sarapan. Hal ini jarang terjadi, ia sudah tau kalau sejak kedatangan Ellea dan Allea, rumah ini akan terasa hidup. Setidaknya dari segi sarapan. Mereka berdua tak perlu lagi membeli makanan atau sarapan di cafe seperti biasanya.
Masih dalam aksi sarapan bersama, Gio dan Adi dikejutkan dengan kedatangan para anak muda yang sejak pagi bermain di tepi pantai. Mereka masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Lalu suara tembakan terdengar dari luar.
Adi dan Gio otomatis beranjak dari duduk dan menatap bingung pada mereka. "Kenapa sih?"
"Mereka nyamperin kami, Om!" kata Vin yang masih ada di belakang pintu. Seolah berusaha menahan apa pun yang hendak menerobos masuk.
Hal ini membuat dua orang yang terganggu sarapannya murka. Mereka mendekat, dan mengintip dari balik jendela yang kordennya sudah ditutup oleh para gadis. Ada beberapa mobil jeep di luar dengan orang-orang yang memakai senjata api. "Siapa mereka?" tanya Gio.
"Pasti orang-orang Austin!" sahut Abimanyu yang sedang berdiri di belakang Gio.
"Wah, mau main-main rupanya mereka?!" sahut Adi dengan tatapan sinis. Ia lantas berjalan ke sebuah lukisan gambar pemandangan dan menggesernya. Ada sebuah tombol di belakang lukisan itu. "ready for war?" tanyanya pada mereka semua.
Abimanyu dan Vin hanya menatapnya bingung. Namun saat tombol di tekan, dari luar halaman terdengar suara gemuruh. Hal itu menarik perhatian mereka semua. Terutama musuh di luar. Tanah terlihat bergetar. Membuat musuh diam dengan tatapan panik. Mungkin, kah, gempa bumi terjadi sekarang? Atau tsunami? Begitulah yang ada dipikiran mereka.
Tapi tanah di sekitar rumah ambles. Hanya tanah di beberapa titik saja. Tak lama keluar beberapa meriam mini secara otomatis. Mata para musuh melotot. "Watch out attack!" seru salah seorang dari mereka.
Tembakan brutal langsung menembus tubuh mereka. Darah muncrat dan mencabik daging ditubuh itu satu persatu. Akhirnya hanya dalam hitungan menit. Mereka semua ... Tewas.
"Wow! Keren!" puji Vin menatap dua orang tua itu kagum.
"Yah, kami memang se-keren itu," sahut Gio menaikan kerah bajunya. Sombong.
"Itu ... Apa, Paman?" tanya sang pemilik rumah kebingungan. Beberapa bulan meninggalkan rumah, membuat banyak perubahan di rumahnya dan cafenya.
"Pertahanan tentunya. Rumah ini sudah kami renovasi total. Kaca seluruh ruangan, diganti dengan kaca anti peluru. Tembok juga. Di luar ... Seperti yang kalian lihat. Itu langkah awal untuk perlindungan rumah ini. Kami trauma dengan hancurnya rumah ini seperti kemarin," jelas Adi sbil berjalan kembali ke meja makan. Meneruskan sarapannya yang sempat tertunda.
"Berapa total renovasi semua ini, Paman?" tanya Abi, mengikuti pamannya itu. Duduk di depan Adi yang melanjutkan menyantap nasi goreng miliknya.
"Lumayan. Cek aja rekening mu. Gue lupa totalnya berapa."
"Hah? Astaga! Tabunganku ...," rengek Abimanyu dengan wajah pucat karena rekeningnya sudah dikuras habis oleh mereka. Yah, Abi sengaja meninggalkan ATM miliknya agar dua orang yang tinggal di rumahnya mampu mengelola dan menyelesaikan renovasi rumahnya setelah dia pergi. Tapi, rupanya ia dimanfaatkan. Sakit, tapi tidak berdarah, Dude.
Gio sudah menelpon polisi dan menceritakan kejadian naas di depan rumahnya. Seluruh penduduk desa tau, bagaimana ekstremnya keluarga ini. Peluru dan bom bukan lagi hal baru bagi seluruh warga. Terutama yang sudah mengenal Abimanyu, Adi dan Gio tentunya. Bahkan mereka dianggap preman kampung. Tidak ada yang berani mengusik kampung ini. Karena kemampuan mereka bertiga sudah tersohor sampai ke desa tetangga.
Mayat itu dibawa dan dikuburkan di pemakaman umum tanpa nama. Tapi polisi masih akan tetap mengusut hal ini.
"Kita harus ke rumah Faizal. Gue nelponin dia nggak bisa terus," kata Abi.
"Iya, aku juga khawatir. Takut dia kenapa-napa lagi, Biyu. Mereka aja bisa segitu nekat nya ke sini, gimana Faizal."
"Astaga. Kenapa aku udah mikir yang enggak-enggak soal Faizal, ya?" mata Allea berkaca-kaca, membayangkan segala kemungkinan terburuk.
"Memangnya dia tinggal di mana?" tanya Gio.
"Zargun. Katanya 2 jam dari sini, kalau kita naik mobil."
"Zargun? Sebentar," kata Gio seolah mengingat sesuatu. Ia mengambil koran pagi dan membuka beberapa halaman yang sudah ia baca tadi.
"Teror perampokan di Zargun, menewaskan satu anggota keluarga. Anehnya tidak ada barang berharga yang dicuri," kata Gio membaca berita lain pagi ini. Ia menatap 4 orang di depannya nanar.
"Ya ampun, jangan-jangan ...." Ellea tak mampu meneruskan kalimatnya.
"Kita harus pergi sekarang, Vin!" rengek Allea sambil menarik tangan Vin yang wajahnya sudah pucat. Semua pikiran hanya tertuju pada 1 kenyataan. Faizal adalah korbannya.
"Jangan-jangan mereka sudah dapetin flash disk itu!" kata Vin menebak.
Abi hanya diam, sambil mengelus liontin di kalungnya. Ia menarik tipis bibirnya dengan nafas berat.
_____
Mereka berangkat ke Zargun. Sebuah kota kecil yang ada di kaki gunung, masih satu provinsi dengan Amethys. Cafe di pasrah kan pada Maya, selalu managernya. Maya adalah satu-satunya orang yang bisa mereka percaya untuk mengelola cafe saat para pria itu sedang menjalankan misi menyelamatkan dunia.
Sepanjang perjalanan, mereka diam. Jarang ada interaksi obrolan yang berarti. Hanya pertanyaan singkat tentang lamanya perjalanan, dan keadaan di daerah itu. Dua mobil membawa mereka ke tempat Faizal. Walau harapan tipis, tapi mereka tetap harus melihat dengan mata kepala sendiri ke sana. Setitik harapan terbesit di benak mereka, semoga berita di koran bukanlah keluarga Faizal. Jika benar mereka, maka Vin adalah orang pertama yang paling merasa bersalah. Karena dialah yang menarik Faizal pertama kali untuk kasus ini. Ia sangat frustasi sekarang.
"Jangan berfikir macam-macam dulu, ya," bujuk Allea sambil menggenggam bahu Vin yang duduk di depan, bersama Gio. Mobil dibagi rata, setiap mobil ada 3 penumpang. Mobil Gio ada Allea dan Vin tentunya. Dan Mobil Adi, ada Abimanyu dan Ellea.
Mereka memasuki gapura kota. Bertanya pada penduduk alamat yanh sudah Vin tau sebelumnya. Faizal memang sudah memberikan alamatnya pada Vin saat mereka berpisah di bandara.
Mereka mulai memasuki daerah pedesaan sesuai petunjuk penduduk. Tinggal lurus saja, maka alamat yang mereka cari sudah terlihat. Karena rumah Faizal memang ada di paling ujung desa.
Jalanan aspal sudah berganti jalan berbatu kerikil. Rumah penduduk sudah makin jarang terlihat. Seorang ibu-ibu terlihat berjalan sambil menggendong tumpukan ranting, Gio berhenti dan menanyakan kembali rumah Faizal.
"Oh, nyari Faizal? Rumahnya ada di ujung. Tinggal rumah dia saja di sana. Tapi ...," kata Ibu itu ragu, menatap mereka yang ada di mobil cemas.
"Tapi apa, Bu?"
"Semalam rumah mereka dirampok, semua orang di bunuh. Kalau mau ketemu, ke Rumah Sakit saja. Karena rumahnya kosong. Hampir hangus semua karena dibakar pencurinya."
Tubuh mereka lemas. Menatap jalan yang ditunjuk ibu tadi. "Terima kasih, Bu." Gio kembali menjalankan mobilnya, menuju rumah Faizal. Mereka juga harus mencari flash disk itu tentunya.
Bau asap khas bekas kebakaran tercium di ujung hidung mereka. Jendela memang sengaja dibuka. Kini sebuah rumah setengah hangus terlihat jelas di depan mata mereka. Mobil parkir. Penumpang semua turun. Berjalan gontai mendekati tempat yang sudah di beri garis polisi di sekitarnya.
Vin langsung menjatuhkan lututnya di atas rerumputan yang masih terasa lembab di bawahnya. Ia menangis. Bahkan meraung. Memanggil nama Faizal dan meminta maaf atas semua hal yang menimpa sahabatnya itu.
"Harusnya gue nggak bawa-bawa elu, Zal," gumamnya terus. Allea mendekat mengelus punggung pemuda itu, tanpa sepatah kata pun terucap. Ia tau, Vin butuh melepas emosi dan rasa bersalahnya. Wajar jika reaksinya seperti ini.
Gio mendekat dan melewati garis polisi. "Heh?! Ngapain lu?" jerit Adi sbil tengak tengok, takut ketahuan polisi yang mungkin masih ada di sekitar sini.
"Nyari flash disk itu lah. Ngapain lagi coba?" tanya balik Gio pada Adi yang juga menyusulnya masuk ke dalam garis polisi itu. Abimanyu kembali mengelus liontin di lehernya. Saat ia hendak memanggil dua pamannya itu, ia mendengar suara ranting pohon yang terinjak seseorang. Ia melirik ke sumber suara. Ada bayangan yang sedang mengintip, dan tak jauh dari pohon itu melihat sosok Faizal dengan kondisi mengenaskan. Ia menunjuk ke pohon yang Abimanyu curigai. Memberi tau kan kalau ada seseorang di sana, tengah memperhatikan mereka.
Abimanyu menggigit bibir bawahnya saat melihat Faizal ada diantara mereka. Mulutnya mengucap sebuah kalimat yang hanya bisa ia dengar seorang diri. "Kami minta maaf."
Faizal hanya tersenyum sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Ia menggeleng sambil tersenyum. Tak lama bayangannya menguar dan hilang.
"Vin, ayok kita cari flash disk itu!" ajak Abi mengulurkan tangannya pada Vin yang masih jongkok di bawah, ditemani Allea.
Vin tidak bereaksi. Hingga saat Abi memanggilnya lagi sembari melirik ke arah yang lain, Vin sadar maksud dari Abi barusan. "Ayok!"
Mereka semua masuk ke dalam rumah Faizal dan mencari apa yang menjadi tujuan mereka datang ke sini. Abi berbisik kepada mereka satu persatu. "Ada yang mengintai."
Mereka mengerti.
"Hah! Nggak ada flash disk itu! Gimana dong ini?!" tanya Ellea dengan ekspresi panik. Aktingnya bagus juga. Karena ia tau, kalau Faizal sudah meng- copy isi flash disk itu ke kartu memori lain, dan sudah akan sekarang.
"Ya udah, balik aja, yuk," ajak Allea.
Mereka bergegas masuk kembali ke mobil. Berbahaya sekali jika tiba-tiba mereka di serang seperti pagi tadi. Tidak ada persiapan sama sekali. Mereka mang membawa beberapa senjata api, tapi itu tidak cukup untuk menghadapi mereka.
Mereka tak langsung pulang. Menuju rumah sakit di mana jenazah Faizal dan keluarganya sedang di otopsi. Pihak keluarga yang lain meminta polisi mengusut kasus kematian keluarga Faizal lebih dalam lagi. Karena ini adalah hal aneh. Pencurian tapi tidak ada barang berharga yang hilang. Emas ibu Faizal saja masih ditemukan di lemari kamar beliau. Tapi kenapa rumah itu mereka bakar.
Abimanyu dan kawan-kawan tentu tau, ini ulah Austin. Dia mengejar sampai ke sini. Dan mereka harus memberi pelajaran pada gangster itu. Harus.
Jenazah Faizal dan keluarganya baru saja dikuburkan. Makam mereka berdekatan satu sama lain. Berita kematian mereka sudah membuat geger warga satu desa. Kasusnya masih diusut polisi. Karena banyak keganjilan dalam kematian keluarga itu. Terlebih dengan terbakarnya rumah Faizal.
Suasana duka masih terasa. Pemakaman masih ramai oleh peziarah. Menebar bunga atau mendoakan jenazah, masih kerap dilakukan dengan bergantian. Desas desus adanya balas dendam dan isu pembunuhan berantai membuat warga cemas. Mereka saling berbisik dan membahas masalah ini, bahkan saat masih ada di makam.
"Apa rencana kita selanjutnya?" tanya Vin, menatap Abimanyu, Adi, dan Gio bergantian.
"Hm, kita harus mulai menyerang mereka. Jangan terus-menerus pasrah dengan semua serangan dari mereka," sahut Adi dengan wajah dingin dan datar.
"Gue yakin, mereka udah dapetin flash disk itu, kan?" Abi menanggapi.
"Terus kita nggak punya bukti lagi dong?" Gio sedikit cemas.
Abi mengelus liontin kalung yang ia pakai. "Aman, Paman. Kita biarkan saja mereka ambil benda itu. Karena Abi punya salinannya," ucapnya dan membuat mereka terkejut.
"Woho! Pantesan elu santai," pekik Vin dengan wajah sumringah.
"Kita harus balas apa yang udah mereka lakukan selama ini, iya, kan?" tanya Abimanyu meminta persetujuan mereka semua.
"Yah. Pasti!"
Dua gadis dengan setelan hitam dan selendang sebagai penutup kepala nampak berjalan mendekat. Mereka baru saja mengobrol dengan sanak saudara Faizal yang lain.
"Udah?" tanya Abimanyu ke Ellea. Ia membetulkan letak selendang di kepala Ellea. Gadis itu mengangguk, lalu meraih tangan Abi. "Pulang," rengeknya. Setelah memberikan beberapa santunan untuk acara pemakaman, mereka pulang.
_______
Langit sudah gelap saat mereka sudah memasuki desa Amethys. Karena tubuh sudah letih, mereka segera menuju ke rumah. Beberapa kali mobil berpapasan dengan mobil ambulance dan polisi. Hal ini membuat mereka penasaran.
"Coba berhenti sebentar. Tanya ada apa sebenarnya," suruh Adi ke Abi yang kini bergantian mengemudi. Mobil akhirnya menepi, mendekat kerumunan warga dengan polisi yang ada di sekitarnya. Setelah mematikan mesin mobil, Abi menyuruh Ellea tetap di mobil. Gadis itu juga sudah mengantuk, maka ia lebih memilih bersandar di kaca sampingnya dengan memeluk bantal yang sengaja ia bawa agar nyaman saat diperjalanan.
Abi dan Adi turun dari mobil, mendekat ke kerumunan di sana. Sementara di mobil lain, Gio dan Vin juga menyusul.
"Ada apa, Pak?" tanya Adi ke salah satu warga desa yang berdiri paling belakang.
"Itu rumah Pak Jumri Habi dimasuki hewan buas, Mas," kata pria setengah baya itu, berbisik dengan wajah serius dan tegang.
"Hah? Hewan buas? Maksudnya gimana, Pak?"
"Pak Jumri meninggal dengan luka cakaran di dada. Di dekat pintu juga ada cakaran besar."
Kalimat tadi membuat 4 pria ini mendadak pucat. Mereka mengamati keadaan selama beberapa menit. Adi dan Gio memutuskan mendekat agar lebih mudah dan banyak mendapat informasi.
"Bener. Ada bekas cakaran di pintu. Jenazahnya juga sama," jelas Gio.
"Waw. Jangan-jangan ... Yang kemarin gue lihat itu memang binatang ini, Bi!" kata Adi, yakin.
"Paman yakin?"
"Yakin! Suaranya khas. Dan jelas."
"Loh kalian pernah ketemu hewan ini? Eh ini hewan apa sih? Macan? Beruang?" tanya Vin.
"Jadi, malam kalian datang itu, gue menangkap ada pergerakan aneh di luar rumah. Akhirnya gue keluar buat cek. Di situ sih nggak ada penampakan apa pun yang keliatan, cuma suaranya."
"Suara apa, Di?"
"Geraman!"
"Waw. Ngeri juga. Kok bisa ada hewan gitu di desa ini? Perasaan dulu aman-aman aja, kan?" tanya Vin.
"Eh, kita jangan bilang dulu ke Ellea sama Allea. Takutnya mereka panik."
"Bener. Ya udah kita balik, yuk. Kasian mereka. Pasti udah ngantuk."
______
Pagi ini cafe sudah siap untuk kembali beroperasi. Tulisan "open" sudah menghiasi pintu masuk cafe. Meja dan kursi sudah di lap dan dibersihkan. Semua pegawai memakai seragam cafe dan bersiap menerima pengunjung.
Selalu ada pelanggan setia setiap paginya. Menikmati kopi dan sarapan di cafe tercinta mereka. Tidak hanya sajiannya yang lezat dan enak, tapi pelayanannya juga memuaskan. Semua orang di cafe itu ramah, dan memberikan customer services terbaik. Hari ini para gadis ikut membantu mengelola cafe. Karena baik Abi maupun Vin juga tidak mungkin membiarkan Ellea dan Allea di rumah hanya berdua saja. Vin berencana akan pergi ke ibukota bersama Abimanyu. Mereka harus menemui seseorang guna menyelidiki masalah Adventure game yang masih dilakukan oleh beberapa oknum pejabat dan orang kaya.
"Salinan flash disk itu sama elu disimpen di mana, Bi?" tanya Vin.
"Di sini," kata Abi sambil mengelus dadanya.
Plak! Sebuah tamparan yang tepat mengenai lengan tangan Abi membuat pemuda itu meringis menahan sakit. "Sakit ih!" omelnya pada Vin yang duduk di belakang kemudi mobil. Mereka sudah siap akan pergi ke ibukota, sesuai rencana.
"Lagian gue tanya serius."
"Gue juga jawabnya serius, Vin. Ini! Di sini!" kata Abi dengan menunjukkan liontinnya. Vin memincingkan mata dan baru sadar maksud dari perkataan temanmu itu. "Oh di situ? Astaga! Pinter juga lu!"
Liontin itu memiliki sebuah ruang kecil yang sangat muat untuk memasukan kartu memori yang ukurannya kecil. Aman dan tidak ada yang akan mencurigainya.
Mobil mulai dinyalakan, Ellea dan Allea melambaikan tangan melepas kepergian mereka berdua. "Jangan terlalu lama," kata Ellea.
"Hati- hati di jalan," cetus Allea.
Perjalanan ke ibukota tidak begitu jauh dan lama. Kira-kira sama seperti saat mereka ke rumah Faizal kemarin. Mereka berencana menemui Nabila dan Rizal. Hanya mereka berdua orang-orang dari pemerintahan yang mereka kenal dan bisa dipercaya. Mereka tentu tidak bisa bertindak sendiri, dan butuh orang dalam di pemerintahan. Kasus ini harus segera diungkap. Karena ada beberapa orang berpengaruh yang terlibat. Mereka tidak berhadapan dengan sembarangan orang yang mudah ditaklukan, tapi orang besar dan yakin akan banyak kendala dan banyak orang yang mungkin akan menutupi hal ini, jika sampai mereka salah strategi.
"Jadi elu udah move on, Vin? Sekarang lancar, kan, sama Allea?" tanya Abi sambil fokus mengemudi.
"Entahlah, Bi. Gue masih masa penjajakan. Masih harus saling berusaha mengenal satu sama lain." Pandangan mata Vin terus memperhatikan jendela. Pemandangan di luar hanya sebagai kamuflase, untuk menutupi kegundahan hatinya. Matanya memang menatap ke arah luar, tapi pikirannya terus ada di cafe, tempat terakhir Vin bertemu Allea.
"Tapi kalian cocok. Gue juga lihat Allea tertarik sama elu. Elu juga kan, ada perasaan spesial ke dia?" tanya Abi menegaskan.
"Gue akui, iya. Tapi ... Gue masih takut." Ia mendengus teringat mantan istrinya yang kini sudah tiada.
"Jangan terus menerus menghindar dari takdir, Vin. Elu harus hadapi. Hiduplah normal. Menikah, lagi. Jangan terus-terusan menyetor nyawa. Gue yakin, istri lu pengen lu hidup bahagia di sini."
"Yah, gue coba nanti."
obdiamond dan 6 lainnya memberi reputasi
7