- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![agamz1217](https://s.kaskus.id/user/avatar/2018/12/12/default.png)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
bg3873nh dan 204 lainnya memberi reputasi
201
285.2K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#657
#53 - An Apology
Spoiler for #53 - An Apology:
Gua masuk ke dalam ruang perawatan dan mendapati Reny, Lady dan Anggi tengah menatap layar laptop di atas meja. Mereka bertiga duduk, berjejer, bersandar di atas sofa di ujung ruangan.
“Anggi kok duduk disitu sih?”Ucap gua, kemudian menghampirinya, menggendong Anggi dan membawanya kembali ke atas ranjang. Sementara, Lady bergegas membantu gua membawa tiang infus.
“Anggi bosen papah…” Gumamnya pelan.
“Iya, kalau mau nonton sambil boboan aja disini” Jawab gua sambil membetulkan posisi bantalnya.
Gua lantas mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya ke Anggi agar ia bisa menonton video atau bermain game kesukaannya.
Lady kembali menjatuhkan diri di atas sofa di sebelah Reni dan melanjutkan kesibukannya menonton film. Nggak lama, Reni berdiri, menghampiri gua dan Anggi lalu pamit untuk pulang.
“Sendiri?” Tanya gua.
“Nggak, Reni mau nyusul Robi ke kantor…” Jawabnya, kemudian meraih tangan gua dan menciumnya, lalu beralih ke Anggi, mengecup kening keponakannya tersebut.
“Bye kak…” Sapa Reni dan melambai ke arah Lady yang masih duduk di atas sofa.
“Ati-ati ya Ren…” Respon Lady dan membalas lambaian tangannya.
Begitu Reni pulang, gua membiarkan Anggi yang kini sibuk dengan ponsel lalu duduk di atas sofa di sebelah Lady. Sambil menyandarkan tubuh pada sofa, gua merogoh saku sweater, meraih lembaran foto yang sejak tadi tersimpan dan menyerahkannya ke Lady.
Awalnya, Lady bergeming. Namun, begitu melihat sosok gua berada di dalam lembaran foto, ia langsung meraihnya.
Cukup lama ia menatap lembaran foto yang kini berada di tangannya. Hingga akhirnya ia menyadari, adanya ‘kejanggalan’ dalam foto tersebut. Lady merubah posisi duduknya menghadap ke arah gua, sementara matanya menatap gua tajam.
“Ini elo kan?” Tanyanya.
Gua mengangguk.
“... dan ini gue kan?” Tanyanya lagi. Kali ini sambil menunjuk sosok perempuan muda yang tanpa sengaja masuk ke dalam frame foto, persis di belakang gua.
“Menurut lo?” Gua balik bertanya.
“Ini gue, Je!!” Serunya. Ekspresinya berubah, yang sebelumnya kaget kini ia terlihat kagum.
Gua berpaling, menatap ke arahnya, lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Berarti?...” Lady melanjutkan bicaranya.
“...”
“... yang dulu motoin gue…”
“Aldina…” Gua bicara, melengkapi kalimatnya yang tak selesai.
Lady kembali ke posisi duduk sebelumnya, sementara matanya masih sibuk memandangi lembaran foto di tangannya.
“Boleh gue simpen foto ini?” Tanyanya.
“Boleh…”
“Kapan lo tau kalau perempuan di foto ini adalah gue?” Tanyanya lagi.
“Tadi pagi, pas ngeliat foto di kamar kos lo…”
“Waaah… Gila sih!” Gumamnya pelan.
Saat kami berdua tengah bicara, tiba-tiba Anggi memanggil seraya mengangkat ponsel ke udara. Dari tempat gua duduk, terlihat layar ponsel gua menampilkan sebuah panggilan.
Gua berdiri, mendekat ke arah ranjang Anggi, meraih ponsel dan menjawab panggilan dari Aris; salah satu staf developer senior.
“Halo, kenapa Ris?” Tanya gua begitu menjawab panggilan.
“Halo kak, join dong, mau update progress nih” Jawab Aris.
“Oh, oke.. gua join online deh…”
“Oke kak, langsung join ke meeting room 4 ya…”
“Ok…”
Selesai menjawab panggilan, gua kembali ke sofa dan duduk di sebelah Lady. “Pinjem laptop lo dong, boleh nggak?” Tanya gua.
“Pake aja…” Jawab Lady tanpa memalingkan tatapannya dari arah lembaran foto.
Gua menggeser laptop miliknya, menutup aplikasi layanan streaming film yang masih terbuka dan mulai membuka aplikasi video conference internal perusahaan. Gua memilih sebuah frame kecil berkedip bertuliskan ‘Meeting room 4’ dan meng-klik frame tersebut. Sebuah tulisan lalu muncul di layar laptop; ‘waiting for the host to let you in’
“Hah? Kok gua nggak bisa langsung masuk” Gua menggumam pelan. Seharusnya, akun gua merupakan super admin yang punya akses untuk bergabung dalam meeting apapun selama dilangsungkan dalam domain perusahaan.
Sementara, Lady mulai bersandar di bahu gua. Tangannya sibuk mengambil gambar lembaran foto yang masih berada di tangannya melalui kamera ponsel.
Nggak lama, layar pada laptop berubah. Kini terlihat beberapa peserta meeting yang mayoritas terdiri dari divisi tech tengah duduk menghadap ke arah gua. Beberapa diantaranya menatap dengan pandangan shock.
“Halo guys… yuk ris boleh langsung mulai aja…” Ucap gua ke Aris.
Mendengar gua mulai bicara, Lady berpaling dan menoleh ke arah layar laptop. Ia lalu merubah posisinya, yang tadinya bersandar di bahu gua, kini pindah. Ia merebahkan kepalanya di atas pangkuan gua.
Setelah meeting berjalan beberapa menit, gua melihat lampu kecil berwarna hijau berpendar pada bagian atas layar laptop, yang menandakan kalau posisi kamera laptop dalam kondisi menyala. Artinya, selama ini mereka, orang-orang yang berada di ruang meeting di kantor, melihat gua. Mendapati gua dan Lady yang sejak tadi berada di pangkuan.
Apesnya, gua juga baru sadar kalau akun yang gua gunakan untuk meeting merupakan akun milik Lady. That’s why, diawal meeting tadi gua nggak bisa langsung masuk.
‘Fuck’ Maki gua dalam hati, lalu mematikan kamera dan microphone.
“Sial!” gumam gua pelan. Lady mendongak, menatap ke arah gua “Kenapa?”Tanyanya.
“Gua meeting, lupa matiin kamera…” Jawab gua pelan.
“What!?” Seru Lady, lalu bangkit dan mulai mengecek ke layar laptop.
“...”
“... Gue keliatan dong?” Tanyanya sambil berbisik.
“Iya…” Gua menjawab.
“Yaah…”
Gua lalu menempelkan jari telunjuk ke bibir, memberinya kode agar diam dan mulai melanjutkan meeting.
Satu jam berlalu.
Setelah meeting selesai, gua menutup layar laptop, berdiri dan menghampiri Lady yang kini tengah menyuapi Anggi. Nggak lama, ponsel milik Lady bergetar, memunculkan notifikasi yang bertubi-tubi. Gua meraih ponsel miliknya yang tergeletak di sisi ranjang, menatap ke arah layarnya. Terlihat banyak notifikasi pesan dari rekan-rekannya, yang hampir semuanya menanyakan hal yang sama; “Gila lo, udah go public rupanya?”
Rupanya, akibat dari keteledoran gua tadi, berita tentang hubungan gua dengan Lady mulai tersebar.
—
Dua hari berikutnya, Anggi sudah diperbolehkan untuk pulang. Dan demi menjaga Anggi, gua memutuskan untuk bekerja dari rumah paling tidak selama satu minggu kedepan. Sementara, Lady terus menggerutu; “Lagian elo sih, nggak ngecek dulu kameranya..” Ucapnya melalui sambungan ponsel dengan nada berbisik. Mungkin, ia tengah bersama dengan rekan-rekannya yang lain.
“Lupa. Soalnya kan biasanya kalo pake laptop gua, settingan defaultnya kamera mati…” Gua bicara, melakukan pembelaan.
“...”
“... Yaudah sih, udah terlanjur juga…” Gua menambahkan.
“Ya elo enak nggak ada yang berani. Nah, gue… Udah beberapa hari ini diledekin terus sama temen-temen..” Keluhnya.
Lalu terdengar samar, suara riuh dari rekan-rekan Lady “Cie.. cie…”
“Udah ah, ntar gue telpon lagi…” Ucap Lady, masih sambil berbisik dan lalu mengakhiri panggilan.
Belum genap satu menit. Ponsel gua kembali berdering, layarnya menampilkan nama Lady. Kini tak hanya namanya saja yang terpampang di layar ponsel, melainkan foto dirinya yang sengaja di settingnya tanpa sepengetahuan gua.
“Halo…” Sapa gua.
“Heh, lo pesen tiket ke medan mau ngapain?” Lady langsung mengajukan pertanyaan. Kini suaranya tak lagi berbisik, ia bicara dengan lantang. Sepertinya, Sari baru saja memberitahu informasi tentang tiket yang gua pesan sebelumnya.
“Oh.. iya, mau ngabarin lo belum sempet..” Jawab gua.
“Iya, mau ngapain?” Tanyanya lagi.
“Nanti gua jelasin…”
“Terus pesen tiga tiket buat siapa aja?”
“Lo, gua sama Anggi”
“Hah? Gue? Mau liburan?” Tanyanya lagi, kini suaranya terdengar excited.
“Iya…” Gua menjawab; berbohong.
“Asik…” Balasnya.
“...”
“... yaudah, gue mau makan siang dulu ya…”
“Iya..”
“Lo udah makan?”
“Udah…”
“Anggi?”
“Udah juga…”
“Yaudah, bye..”
Kebetulan, Anggi juga sudah masuk libur sekolah. Kedepannya, gua berencana untuk memasukkan Anggi ke TK nol besar di sekolah yang berbeda. Ke sekolah yang lebih bagus dan lebih baik kualitasnya.
Jadi, kebohongan gua tentang ‘liburan’ ke Medan terdengar masuk akal buat Lady. Tapi, setelah dipikir-pikir, gua nggak sepenuhnya berbohong. Nanti pas ke Medan, kita kan juga bisa sekalian berlibur.
Seminggu setelahnya, tiba di hari kami berangkat ke Medan. Saat itu, hingga menjelang penerbangan, Lady sama sekali nggak meragukan rencana kepergian kami. Ia masih berpikir kalau tujuan kami ke Medan adalah murni untuk liburan.
Hingga saat, kami sudah berada di pesawat. Anggi berceloteh; “Kita mau ke rumah opung ya pah?” Tanyanya.
Mendengar pertanyaan dari Anggi, Lady langsung berpaling, menoleh dan menatap gua tajam. Gua langsung pasang tampang lugu, pura-pura bego dan tersenyum kecut. Sementara, Lady langsung meraih lengan gua dan mencubitnya tanpa bicara sepatah katapun.
Begitu tiba di Medan, kami disambut oleh seorang pemuda yang bertugas menjemput dan membawa kami ke hotel. Pemuda tersebut lalu membawa kami ke sebuah hotel yang berada di kawasan Berastagi. Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel, Lady dan Anggi terus ngobrol bersama, sesekali mereka bernyanyi atau sekedar bermain tebak-tebakan.
Sementara, gua berbincang ke si supir, bertanya tentang mobil yang bisa gua sewa selama kami tinggal. Si supir lalu menyarankan untuk menggunakan mobil yang saat ini dipakai. “Boleh pak?” Tanya gua.
“Boleh.. nanti tinggal konfirmasi aja ke pihak hotel pak” Jawab si supir.
“Oh oke…”
Setibanya di hotel, gua menemani Lady dan Anggi untuk check in ke kamar. Lady langsung berlari menuju ke balkon dengan pemandangan pegunungan yang lengkap dengan rimbunnya pohon pinus. Sementara, Anggi berlari menyusulnya dari belakang.
“Gua keluar dulu sebentar ya..” Ucap gua ke Lady yang lantas berpaling dan memberi tatapan penuh curiga.
“...”
“... Anggi, sama Tante cantik sebentar ya..” Gua menambahkan, seraya membelai kepalanya.
“Iya papah…”
Dengan mobil yang gua sewa dari pihak hotel, gua menyusuri jalan berkelok, yang semakin lama semakin mengecil, menghabiskan waktu lebih dari satu jam setengah, hingga akhirnya gua tiba di sebuah desa yang asri dan diselimuti kabut.
Beberapa penduduk sekitar terlihat menghentikan kegiatannya kala menyadari kehadiran sebuah mobil melalui jalan sempit di depan pelataran rumah mereka yang luas.
Gua memutar kemudi, masuk ke halaman berpagar bambu dengan sebuah rumah berukuran besar. Seorang pria tua, keluar dari dalam rumah begitu melihat sebuah mobil masuk ke dalam area halaman rumahnya.
Pria tersebut menyipitkan mata, mengintip melalui bagian atas kacamatanya dan keluar, menghampiri. Begitu gua keluar dari mobil, pria tersebut langsung mempercepat langkah dan memeluk gua.
“Sehat pak?” Tanya gua sambil membalas pelukannya.
“Sehat..” Jawabnya.
Ia melepas pelukan lalu matanya mulai mencari-cari sosok ke arah dalam mobil.
“Tak kau ajak si Anggi?” Tanyanya.
“Di hotel…” Jawab gua singkat.
“Sama siapa? Reni? kenapa tak kau ajak…”
“...”
“... ayo masuk-masuk..” Ajaknya.
Gua mengikuti langkahnya, masuk ke dalam rumah. Sebuah rumah berukuran besar yang terlihat sepi dan lengang. Tak terdengar suara apapun kecuali, samar lagu tradisional yang diputar dari sebuah tape deck di ujung ruangan.
“Sudah makan kau?” Tanyanya.
“Belum..”
“Makan ya?”
“Nanti aja pak…”
ia nggak menggubris, lalu menarik tangan gua melewati ruang tamu, ruang keluarga hingga tiba di ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Bapak, menarik salah satu kursi kayu dan membimbing gua agar duduk disana. Ia dengan cekatan lalu meraih piring kosong dan meletakkannya tepat di depan gua. Kemudian membuka tudung saji, menyodorkan bakul metal berisi nasi dan sepanci kecil yang berisi arsik ikan mas; salah satu menu favoritnya.
“Baru aja, aku selesai masak… datang rupanya kau..” ucapnya sambil tersenyum.
Sambil makan, kami lalu berbincang ringan perkara kehidupannya yang sendirian dan kesibukannya belakangan ini. Selesai makan, Bapak mengajak gua ke beranda belakang rumah. Kami duduk di kursi santai yang menghadap ke arah kebun luas dengan kandang kerbau berada di ujung halaman.
Ditemani segelas kopi panas dan sebatang rokok, gua mulai bicara; “Pak..”
“Apa? mau kau mulai lagi?” Tanyanya.
“...”
“... nggak bosan-bosan kau rupanya, datang kesini hanya untuk meminta maaf buat Aldina?”
“Tolong lah pak…”
“...Ah, sudah lah Je.. tak mau lagi aku dengar kau sebut-sebut namanya…”
“Pak.. Dince udah nggak punya siapa-siapa lagi kecuali bapak… Dia sudah pernah kehilangan arah sekali, aku takut dia kehilangan arah lagi.. Tolong maafin dince pak..” Gua memohon.
Membayangkan Aldina yang sebelumnya mungkin masih punya secercah harapan untuk terus bertahan. Namun, gua baru saja mengakhiri ‘harapannya’, menutup pintu kemungkinan untuk ia kembali ke gua. Dan tanpa siapapun, gua takut ia kehilangan arah lagi.
Bapak terdiam, ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya ke udara. Lalu menggeleng pelan.
Melihat reaksinya yang menolak memberikan maaf ke Aldina, ke anak satu-satunya itu, gua lantas turun ke lantai, bersimpuh dan menundukkan kepala tepat di kakinya. “Tolong pak” gua merintih pelan.
Bapak terkejut melihat tingkah gua. Ia langsung ikut turun dari kursinya, mengikuti gua duduk di lantai. Dan meraih kedua bahu, mencoba sekuat tenaga untuk membuat gua bangun dari sujud.
Gua bergeming.
“Bangunlah Je…”
“...”
“... jangan kau buat aku semakin malu…”
“...” Gua terdiam, nggak bergerak, masih dalam kondisi berlutut sambil menundukkan kepala di hadapannya.
“... Tiap bulan kau kirimi aku uang, kau korbankan hidupmu buat dia, ginjal pun kau berikan, merana hidupmu dan Anggi dibuatnya.. Masih pulak kau minta maaf buat dia.. Masih pulak kau anggap aku bapak.. Aku yang seharusnya bersimpuh di depan kau…”
Gua mendongak, lalu bicara pelan; “Sejak kecil aku nggak pernah ngerasain punya orang tua. Begitu menikah dengan Dince, aku jadi punya Bapak, punya Mamak, punya keluarga.. Pun, aku dan Dince berpisah, Bapak dan Mamak bakal tetap jadi Bapak dan Mamak buat aku, tetep jadi Opungnya Anggi…”
Bapak terdiam, terlihat kedua matanya mulai berlinang.
Sejatinya gua cukup yakin kalau ia sangat ingin memberi maaf kepada Aldina. Namun, wataknya yang keras dan egonya yang tinggi membuatnya berkeras, terus menolak.
“Bangun Je…” Ucapnya lirih.
“Aku bakal kayak gini sampai bapak mau maafin dince…”
Ia lalu berdiri dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan gua sendiri dalam posisi berlutut. Semakin lama, lutut gua terasa kebas akibat berlutut. Gua bergeming, mencoba bertahan.
Setelah hampir dua jam, Bapak kembali menghampiri gua lalu duduk di lantai di sebelah gua.
“Bangun Je…” Ucapnya.
“...”
“... Kau suruh dia datang kesini, kau suruh dia minta maaf dengan mulutnya sendiri, baru kumaafkan…” Tambahnya.
Gua mendongak dan langsung tersenyum. “Bener pak?” Tanya gua, mencoba memastikan. Bapak lalu memberi respon dengan anggukan kepala.
“Makasih ya pak…”
Saat mencoba untuk bangkit dan berdiri, gua oleng dan nyaris ambruk. Dengan cepat Bapak meraih bahu gua, menahan agar gua nggak jatuh. Berlutut terlalu lama, membuat kedua kaki gua mati rasa dan pegal nggak karuan.
“Jangan kau begitu lagi Je… bikin aku malu…” Ucap bapak.
“Iya pak…”
“Nah, sana jemput Anggi, sudah kangen aku sama Anggi..” Tambahnya, seraya mendorong tubuh gua.
“Anu pak…”
“Apa?”
“Mmm, aku punya alasan lain datang kesini…”
“Apa?”
“Aku mau minta ijin…”
“Untuk? Mau menikah lagi kau?” Bapak menebak.
“Iya, kalau bapak setuju”
“... Mana, kutengok dulu calonnya.. Ajak kesini”
—
![](https://img.youtube.com/vi/cnusMkJf8Z0/0.jpg)
Netral - Sorry
Sekarang cinta bukanlah sahabat bagiku
Sekarang kita berdua telah jadi musuh
Kata sayang sepertinya juga telah hilang
Mereka pergi angkat kaki jauh dari sini
Sorry, kita tak sejalan
Sepertinya kita tak sepaham
Sorry, sorry
Sekarang aku berkawan dengan kesepian
Sekarang kita berdua sependeritaan
Belajar mengenal cinta arti kata sayang
S'moga esok lebih baik dari hari ini
Sorry, kita tak sejalan
Sepertinya kita tak sepaham
Sorry, sorry
Sorry, kita tak sejalan
Sepertinya kita tak sepaham
Sorry, sorry
Sorry, kita tak sejalan
Sepertinya kita tak sepaham
Sorry, sorry
Sorry, kita tak sejalan
Sepertinya kita tak sepaham
Sorry, sorry
Sorry, sorry, sorry
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:38
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![wadepakmann](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/07/09/default.png)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
jiyanq dan 69 lainnya memberi reputasi
70
Kutip
Balas
Tutup