- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![agamz1217](https://s.kaskus.id/user/avatar/2018/12/12/default.png)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
bg3873nh dan 204 lainnya memberi reputasi
201
285.2K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#637
#52 - Before I Know You
Spoiler for #52 - Before I Know You:
Terdengar samar suara percakapan antara Lady dan Reni, percakapan yang sesekali diselingi dengan tawa yang membahana. Gua membuka mata, mendapati Lady tengah duduk ditepi sofa, membelakangi gua. Sementara, Reni duduk diatas ranjang, dekat dengan posisi kaki Anggi yang terbaring.
“Eh, udah bangun.. pinter nggak nangis ya…”Ledek Reni, begitu melihat gua bangun dari tidur.
Sementara, Lady menoleh sebentar, melirik ke arah gua dan kembali melanjutkan obrolannya dengan Reni.
“Kapan dateng?” Tanya gua ke Reni.
“Tadi, belum lama, paling baru 10 menit yang lalu…” Jawabnya.
“Sama Robi?”
“Iya, tadi dia mampir sebentar, terus langsung berangkat kerja…”
“Oh.. kok nggak bangunin gua?”
“Nggak boleh…”
“Sama siapa?” Tanya gua lagi.
“Tuh..” Jawab Reni seraya menunjuk ke arah Lady dengan ujung dagunya.
Mendengar jawaban dari Reni, gua lantas menatap Lady. Ia melengos, mencoba menghindari kontak mata dengan gua. ‘Masa sih, dia masih marah akibat hal kemarin? padahal kami sudah sambil berpelukan semalaman’
Gua meraih dagunya agar ia membalas tatapan gua.
“Masih marah?” Tanya gua pelan.
“Nggak!” Lady menjawab ketus.
“Terus kenapa nggak mau ngeliat gua?”
“Males!”
“Males kenapa?” Tanya gua lagi.
Belum sempat Lady menjawab, Reni memotong obrolan kami. “Duh, kalo ada masalah nanti aja deh, gue pusing banget dengerin om-om ngerayu anak perawan”
Gua menoleh ke arah Reni, lalu menggumam pelan, sangat pelan, hingga hanya Lady yang mampu mendengar ucapan gua; “Perawan? udah nggak kali?”
Mendengar gumaman gua, Lady lantas meraih botol kosong bekas air mineral dan memukul kepala gua sekuat tenaga. “Plak!”
“Iya, elo gara-garanya…” Balasnya, juga dengan sambil berbisik.
Gua mengusap bagian kepala yang baru saja dipukul olehnya, kemudian berdiri, meraih kunci mobil milik Lady yang tergeletak di atas meja. “Ren, lo disini sebentar ya. Gua mau nganter Lady kerja dulu…” Ucap gua ke Reni.
“Ih, siapa yang mau kerja?” Lady memberi Respon sebelum Reni menjawab.
“...”
“... Gue mau kerja dari sini aja. Kalo lo mau kerja, yaudah sana…” Lady menambahkan.
“Ya kalo mau kerja dari sini gapapa, tapi emang lo nggak mau mandi, ganti baju?” Tanya gua ke Lady.
Ia terdiam, pasang wajah cemberut, lalu berdiri, meraih tas miliknya, dan bersiap keluar dari ruang perawatan.
“Titip, Anggi bentar ya…” Bisik gua ke Reni, kemudian memberi kecupan di kening Anggi yang masih terlelap, lalu keluar menyusul Lady.
—
Gua nggak menunggu lama. Begitu Lady masuk ke dalam mobil, gua langsung mengajukan pertanyaan kepadanya. “Lo masih marah?”
“Nggak! cuma masih kesel aja, kalo inget kemaren” Jawabnya.
“Oh.. Syukurlah..”
“Lo mau ke kantor nggak?” Tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.
“Nggak…” Gua menjawab.
“Kenapa? udah lo kerja aja, biar gue sama Reni yang nemenin Anggi…”
“Emang nggak diomelin sama bos lo?” Tanya gua, meledek.
“Bos gue mana berani sama gue”
“Haha, kenapa harus takut”
“Bener nih?” Lady menebar ancaman.
“Nggak, nggak…”
Hampir satu jam berikutnya, kami berdua tiba tepat di depan gedung tempat Lady kos. Ia turun dari mobil dan melangkah menjauh. Nggak lama ia kembali, membuka pintu bagian penumpang dan melongok ke dalam.
“Turun…” Ucapnya.
“Hah, gue?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah diri sendiri.
“Iya! emang ada orang lain disini?”
Gua mematikan mesin, menyusulnya turun. Dan mulai mengikuti langkahnya, masuk ke area halaman, naik melalui tangga berkelok, menyusuri koridor hingga kami tiba di depan sebuah kamar dengan pintu berwarna coklat.
Lady merogoh ke dalam tas, meraih anak kunci dan mulai membuka pintu kamarnya. Kegelapan menyambut kami, Lady meraba dinding di sisi pintu, menekan saklar untuk menyalakan lampu.
Begitu lampu menyala, langsung terlihat keseluruhan ruangan tempat selama ini Lady tinggal. Ruangan ini berukuran kira-kira 5 meter persegi, dengan sebuah jendela berukuran besar di ujung ruangan. Jendela geser yang memiliki akses langsung menuju ke balkon. Sebuah meja belajar berukuran kecil berada di sisi jendela dengan sebuah ranjang tepat di sampingnya.
Di seberang ranjang terdapat sebuah lemari kayu dengan kondisi setengah terbuka, terlihat tumpukan pakaian tergantung di dalamnya. Yang cukup menarik perhatian gua adalah, tumpukan bubble wrap yang menggunung di atas lemari hingga nyaris menyentuh atap plafon.
Lady memunguti satu persatu pakaian kotor yang berserakan di atas ranjang, lalu melemparnya ke arah keranjang plastik di dalam kamar mandi.
“Duduk dulu” Ucapnya seraya menyibak seprai di atas ranjangnya.
Gua nggak langsung duduk, tapi terus melangkah hingga ke meja belajarnya. Deretan buku tentang marketing berjejer rapi di salah satu sudut meja. Sebagian besar judulnya sudah pernah gua baca, sementara dua diantaranya merupakan buku tulisan gua yang hingga kini mungkin Lady nggak menyadarinya.
Lalu mata gua tertuju pada sebuah foto dengan frame berukuran postcard yang berdiri di atas meja belajar. Sebuah foto yang menampilkan Lady muda tengah berpose dengan mengangkat dua jari ke atas sambil tersenyum. Namun, bukan dirinya lah yang menjadi perhatian utama gua; pada latar foto terlihat seorang pemuda yang tanpa sengaja masuk ke dalam frame, pemuda bersweater hitam yang juga tengah berpose menghadap ke arah lain. Dan gua sangat mengenali sosok tersebut; pemuda itu adalah gua.
Sementara gua masih memandangi frame foto tersebut, terdengar suara Lady dari arah belakang. “Itu gue waktu di liburan ke Kanada, cantik kan?”
Saat gua hendak berbalik, Lady kembali bicara; “Jangan madep sini, gue mau ganti baju…” Serunya.
Gua mengabaikan ucapannya, meletakkan kembali frame foto miliknya ke tempatnya semula, lalu berbalik.
Lady terkejut dan berseru pelan; “Jeje!” Seraya kembali menutupi tubuhnya dengan handuk.
Gua melangkah, mendekat. Sementara, Lady melakukan hal yang sebaliknya; mundur perlahan. Gua mempercepat langkah, meraih bahu dan memeluknya.
“Jeje..” Serunya lagi.
Gua bergeming. Lalu menyadari kalau kami sudah bertemu sejak lama. Bahkan saat kami berdua belum saling mengenal, takdir sudah mempertemukan kami berdua. Dan sepertinya, sampai saat ini Lady belum menyadari hal tersebut.
Gua meraih dagu, membuatnya kini menatap ke arah gua dan kini kami saling pandang. Lady nggak berusaha untuk menghindar saat gua mulai mendekat dan mengecup bibirnya yang masih beraroma obat kumur yang segar.
Ia lalu melepas kecupan gua dan mundur beberapa langkah; “Udah. Ntar keterusan” gumamnya pelan. Kemudian membuka pintu lemari, mengambil beberapa potong pakaian, lalu kembali menoleh ke arah gua; “Sana, madep sana… gue mau pake baju..”
Gua tersenyum, kemudian berbalik dan duduk di kursi meja belajar.
Nggak lama, ia menepuk pelan pundak gua, memberi kode kalau ia sudah selesai berpakaian.
Beberapa menit berikutnya, kami berdua sudah berada di dalam mobil, menyusuri jalan untuk kembali ke rumah sakit.
—
Di dalam kamar, gua duduk di kursi meja belajar, menundukkan kepala, menatap ke arah laci meja yang dalam kondisi terbuka. Lembaran foto tergeletak di dalamnya bersama dengan sebuah kotak berukuran kecil. Gua meraih lembaran foto tersebut. Lembaran foto yang menampilkan sosok gua tengah berpose kaku. Di latar foto, terlihat seorang perempuan muda yang tanpa sengaja masuk ke dalam frame; Lady.
Gua memasukkan lembaran foto tersebut ke dalam saku sweater dan meraih kotak kecil dari dalam laci, kemudian membukanya. Terlihat sebuah kacamata hitam milik gua dengan model dan merk yang sama dengan kacamata Aldina. Gua kembali menutup kotak tersebut, memasukkannya ke dalam saku sweater dan bersiap berangkat ke kantor.
Begitu tiba di kantor, gua nggak langsung menuju ke lantai 19, lantai tempat gua bekerja. Melainkan ke satu lantai di bawahnya, lantai dimana perusahaan Izar berada, tempat Aldina bekerja. Gua masuk ke ruang resepsionis; “Mbak minta tolong panggilin Aldina dong”
“Dari mana kak?” Tanya si resepsionis.
“Bilang aja ‘Jeje’” Jawab gua.
Perempuan si resepsionis lalu mulai mengangkat gagang telepon, mencoba untuk menghubungi orang yang gua cari. Sementara gua lalu duduk di sofa kecil yang sepertinya memang disediakan untuk menunggu.
Beberapa menit berikutnya, terdengar suara langkah kaki berjalan cepat menuju ke ruang resepsionis. Lalu Aldina muncul dari dalam koridor dan berdiri terdiam menatap gua.
Gua berdiri, lalu melangkah keluar dari ruangan menuju ke lobby lift. Tanpa bicara, Aldina mengikuti langkah gua. Masih tanpa adanya percakapan, hanya terdiam, Aldina terus mengikuti gua, masuk ke dalam lift, dan menuju ke Le Rossi Coffee shop di lobby utama gedung.
Setelah memesan dua gelas kopi, gua sengaja memilih salah satu meja yang berada di beranda luar agar bisa merokok. Sementara, Aldina masih terus mengikuti di belakang gua.
“Gimana Anggi?” Tanyanya pelan, begitu kami berdua sudah duduk di salah satu meja.
“Better..” Jawab gua singkat, seraya menyodorkan gelas kopi ke arahnya.
Hanya itu kata yang terucap, lalu kami kembali terdiam.
Setelah beberapa lama, barulah Aldina kembali buka suara; “Je, pokoknya gue nggak setuju kalo lo sama Lady. Pilih perempuan manapun di seluruh dunia, asal bukan dia…” Ucapnya.
“Kenapa?”
“Gue ngerasa lo kayak sengaja milih dia karena mau ‘balas dendam’ ke gue…”
Gue menyeringai, merasa lucu begitu mendengar ucapannya barusan.
“Lo kemarin bahas masalah keadilan. Kalo lo ngomong kayak barusan, apa adil buat Lady?” Gua balik bertanya.
“Iya, tapi juga nggak adil buat gue..” Serunya dengan nada suara meninggi.
“Kan gua udah bilang, emang nggak ada yang adil di dunia ini…”
Gua lalu mengeluarkan lembaran foto dari saku sweater dan meletakkannya di atas meja.
“Mungkin lo lupa… Tapi, gua dan Lady, udah ketemu jauh sebelum ini. Bahkan saat itu, kami belum saling mengenal…”
“Hah?”
Gua lantas menunjuk sosok perempuan muda pada latar foto dimana gua tengah berpose; “Ini Lady” Ucap gua.
Aldina menunduk, meraih lembaran foto dari atas meja dan mulai menatapnya dengan seksama.
“No Way!” Gumamnya pelan seraya menggelengkan kepala.
“...”
“... Dia kan? Dia kan bocah yang dulu sempet gue fotoin…”
Gua mengangguk pelan.
“... No Way!” Ia kembali menggumam dan melempar lembaran foto tersebut ke arah gua.
“...”
“... dan lo udah tau ini sejak lama?” Tanyanya.
“Nggak, gua juga baru tau. Lady sendiri mungkin nggak sadar akan hal ini…” Gua menjelaskan. Sementara, Aldina kini menunduk seraya memegangi kepala dengan kedua tangannya.
“Nggak… apapun itu, gue pokoknya nggak setuju kalo lo sama Lady!”
“...”
“... Gue nggak mau!” Tambahnya.
“Gua nggak butuh persetujuan dari lo..” Gua merespon.
“Jeje!”
“Udah ce, stop.. ntar lo malah capek sendiri”
Gua lalu meraih kotak berisi kacamata dari saku sweater dan menyerahkannya ke Aldina.
“Apaan?” Tanyanya.
“Buang aja kacamata lo yang rusak, pake ini…” Ucap gua seraya menggeser kotak berisi kacamata milik gua ke arahnya.
Aldina meraih kotak tersebut, dan membukanya. Begitu melihat isi dalam kotak tersebut, matanya langsung berlinang. Nggak lama tangisnya pun pecah.
Gua meraih lembaran foto yang tadi sempat dilemparnya dan menyimpannya kembali ke dalam saku sweater. Kemudian berdiri dan pergi meninggalkan Aldina terduduk sendiri. Meninggalkan Aldina yang masih menangis seraya memandangi kotak kecil yang berada di hadapannya.
—
Quote:
Beberapa jam sebelumnya.
Di dalam kamar, gua duduk di kursi meja belajar, menundukkan kepala, menatap ke arah laci meja yang dalam kondisi terbuka. Lembaran foto tergeletak di dalamnya bersama dengan sebuah kotak berukuran kecil. Gua meraih lembaran foto tersebut. Lembaran foto yang menampilkan sosok gua tengah berpose kaku. Di latar foto, terlihat seorang perempuan muda yang tanpa sengaja masuk ke dalam frame; Lady.
Gua memasukkan lembaran foto tersebut ke dalam saku sweater dan meraih kotak kecil dari dalam laci, kemudian membukanya. Terlihat sebuah kacamata hitam milik gua dengan model dan merk yang sama dengan kacamata Aldina.
Di dasar laci terlihat sebuah cincin tergeletak. Gua meraih cincin tersebut; cincin pernikahan kami, cincin pernikahan gua dan Aldina. Mata gua mulai memandangi dengan seksama nama ‘Aldina’ yang terukir pada sisi dalam cincin. Gua menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. ‘Maafin gua ya ce…’ gumam gua pelan. Lalu meletakkan cincin tersebut ke dalam kotak, bersama dengan kacamata hitam milik gua dan memasukkannya ke dalam saku sweater.
—
Di dalam kamar, gua duduk di kursi meja belajar, menundukkan kepala, menatap ke arah laci meja yang dalam kondisi terbuka. Lembaran foto tergeletak di dalamnya bersama dengan sebuah kotak berukuran kecil. Gua meraih lembaran foto tersebut. Lembaran foto yang menampilkan sosok gua tengah berpose kaku. Di latar foto, terlihat seorang perempuan muda yang tanpa sengaja masuk ke dalam frame; Lady.
Gua memasukkan lembaran foto tersebut ke dalam saku sweater dan meraih kotak kecil dari dalam laci, kemudian membukanya. Terlihat sebuah kacamata hitam milik gua dengan model dan merk yang sama dengan kacamata Aldina.
Di dasar laci terlihat sebuah cincin tergeletak. Gua meraih cincin tersebut; cincin pernikahan kami, cincin pernikahan gua dan Aldina. Mata gua mulai memandangi dengan seksama nama ‘Aldina’ yang terukir pada sisi dalam cincin. Gua menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. ‘Maafin gua ya ce…’ gumam gua pelan. Lalu meletakkan cincin tersebut ke dalam kotak, bersama dengan kacamata hitam milik gua dan memasukkannya ke dalam saku sweater.
—
Sesampainya di kantor, seperti biasa, Sari langsung menyambut gua dengan lembaran dokumen yang perlu ditandatangani. Setelah selesai dengan urusan dokumen, gua langsung meminta Sari untuk memesan tiket pesawat.
“Sar, minta tolong booking tiket pesawat dong…”Pinta gua.
“Kemana dan buat kapan kak?” Tanyanya seraya bersiap mencatat.
“Ke Medan, tiga hari, kira-kira dua minggu lagi, tanggalnya lo sesuaikan aja sama jadwal gua…” Gua menjawab.
“Satu tiket PP ya?”
“Tiga…” Gua merespon seraya mengangkat tiga jari ke atas.
“Buat siapa aja? sekalian minta fotokopi KTPnya berarti” Tanyanya.
“Gua, Lady sama Anak gua; Anggi…”
“...”
“... Fotokopi KTP Lady ada kan?” Tanya gua lagi sebelum Sari merespon.
“Eh… ada kayaknya…”
“Ini nanti di charge ke gua ya Sar, jangan pake budget kantor…” Gua menambahkan lalu pergi.
Gua nggak langsung pergi ke meja tempat gua, melainkan ke tempat Lady yang kini mejanya kosong. Sementara, rekan-rekannya yang lain sudah terlihat sibuk bekerja. Tanpa bicara, gua duduk di kursi yang seharusnya tempat Lady. Beberapa mata langsung melirik ke arah gua, mereka terlihat tegang.
Beberapa diantaranya kedapatan saling menyenggol siku, mungkin setelah gua pergi, mereka akan mulai bergunjing, membicarakan adanya affair antara kami berdua.
Gua meraih sebuah rubik yang berada di meja kerja Lady, memainkannya, memutarnya ke kanan-kiri, lalu menoleh berkeliling, memandangi rekan kerja Lady satu persatu.
“Lady hari ini nggak ke kantor ya guys… dia kerja dari rumah, so kalau ada yang urgent boleh langsung reach dia by phone. Kalau ada yang super urgent boleh ke gua ya..”
“Iya kak, tadi Lady juga udah info kok…”
“Then, mungkin beberapa hari ini dia bakal terus kerja dari rumah. Mohon pengertiannya ya..”
“Iya kak..”
Gua berdiri dan bersiap untuk kembali ke meja. Namun, sebelum pergi, gua bicara: “Oiya guys.. Mulai sekarang nggak usah berspekulasi, nggak usah nebak-nebak lagi.. What you guys think about me and Lady, is true..”
“What?!” Fitri tanpa sengaja berseru yang lalu disusul dengan menutup mulut dengan tangannya. Sementara yang lain mulai saling memandang dengan mata yang seakan bicara; ‘tuh kan apa gue bilang’.
“Thank you guys, have a nice day…” Ucap gua, lalu pergi.
—
![](https://img.youtube.com/vi/aJOTlE1K90k/0.jpg)
Maroon 5 - Girls Like You
Spent 24 hours, I need more hours with you
You spent the weekend getting even, ooh
We spent the late nights making things right between us
But now it's all good, babe
Roll that Backwood, babe
And play me close
'Cause girls like you run 'round with guys like me
'Til sundown when I come through
I need a girl like you, yeah yeah
Girls like you love fun, and yeah, me too
What I want when I come through
I need a girl like you, yeah yeah
Yeah yeah yeah, yeah yeah yeah
I need a girl like you, yeah yeah
Yeah yeah yeah, yeah yeah yeah
I need a girl like you
I spent last night on the last flight to you
Took a whole day up tryna get way up, ooh
We spent the daylight tryna make things right between us
But now it's all good, babe
Roll that Backwood, babe
And play me close
'Cause girls like you run 'round with guys like me
'Til sundown when I come through
I need a girl like you, yeah yeah
Girls like you love fun, and yeah, me too
What I want when I come through
I need a girl like you, yeah yeah
Yeah yeah yeah, yeah yeah yeah
I need a girl like you, yeah yeah
Yeah yeah yeah, yeah yeah yeah
I need a girl like you, yeah yeah
I need a girl like you, yeah yeah
I need a girl like you
Maybe it's 6:45
Maybe I'm barely alive
Maybe you've taken my shit for the last time, yeah
Maybe I know that I'm drunk
Maybe I know you're the one
Maybe you're thinking it's better if you drive
Oh, 'cause girls like you run 'round with guys like me
'Til sundown when I come through
I need a girl like you, yeah
'Cause girls like you run 'round with guys like me
'Til sundown when I come through
I need a girl like you, yeah yeah
Girls like you love fun, and yeah, me too
What I want when I come through
I need a girl like you, yeah yeah
Yeah yeah yeah, yeah yeah yeah
I need a girl like you, yeah yeah
Yeah yeah yeah, yeah yeah yeah
I need a girl like you
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:38
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![wadepakmann](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/07/09/default.png)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
jiyanq dan 65 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup