- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#68
Part 66 Kisah Baru
Lift berhenti. Listrik padam dan membuat keadaan menjadi gelap gulita. "Bagaimana ini?" tanya Nabila, panik. Mungkin kalau menit awal itu bukan hal yang patut dicemaskan. Tapi dalam keadaan seperti sekarang, tidak ada yang akan menolong mereka kecuali diri mereka sendiri. "Senter!" pinta Abi pada mereka berdua. Rizal menyalakan lampu dari dalam ponselnya. Keadaan sedikit terang tapi makin lama udara makin menipis.
"Kita harus keluar," kata Abimanyu melihat ke bagian atas lift. Rizal yang mengerti maksud Abi, kemudian ikut membantu. "Gue apa elu yang naik?" tanya Abi.
"Elu saja. Biar gue di bawah, elu naik ke bahu gue." Rizal memposisikan tubuhnya, jongkok. Abi lalu naik ke atas pundak Rizal. Dengan begini atap lift dapat mereka jangkau. Abi berusaha membuka penutup atas. Sekuat tenaga ia membukanya akhirnya kini udara mulai masuk ke dalam, rasa pengap hilang sudah. Abi mulai menginjak pundak Rizal, hingga pemuda di bawahnya sedikit meringis menahan berat tubuh Abi yang cukup lumayan itu.
Beruntung Abi cukup sigap, hingga kini ia sudah ada di atap lift, "Kalian mau ikut atau di sini dulu? Nanti gue cari bantuan."
"Kami di sini saja, Bi. Nggak usah khawatir, lu pergi saja," kata Rizal, Nabila pun mengiyakan saran Rizal tadi. Abi agak lama berpikir, ia juga merasa cemas akan keselamatan dua orang itu. Takut jika mereka tiba-tiba tertangkap oleh gangster yang baru datang tadi. "Mereka nggak akan bisa nyakitin kami," sambung Rizal dengan menatap nanar pada Abimanyu, lalu mengangkat senjata yang ia pegang, seolah tau apa yang ada di pikiran Abimanyu.
"Gue bakal balik lagi, tunggu, ya." Abi segera naik makin ke atas dengan memegang kabel besar yang membawa lift ini naik dan turun. Ia melompat saat melihat pintu di atasnya. Dengan susah payah, ia mencoba membuka pintu besi itu, bahkan hingga kukunya mengelupas. Abi sampai lantai atas lantai yang tadi.
Ia sangat berhati-hati sekali, saat menginjakkan kaki di koridor lantai ini. Satu persatu ruangan ia buka, ada beberapa orang yang tergeletak di lantai begitu saja, entah pingsan atau mati. Abi mengambil beberapa senjata yang ada di lantai, bagaimana pun juga ia harus kembali menyelamatkan dua temannya di bawah.
Abi turun lewat tangga, sementara di tempat lain, Rizal dan Nabila sudah terpojok. Lift berhasil dibuka oleh gangster tadi. Kedua tangan mereka sudah mengarah ke atas, pasrah. Mereka dalam posisi jongkok di dalam lift. Segala hinaan kasar terlontar dari mulut orang-orang yang memakai penutup kepala ini. Rizal di pukul hingga pelipisnya berdarah. Nabila masih diam di tempatnya, menatap sinis orang-orang yang telah mengintimidasi mereka.
Abi mengintip dari pintu darurat, melihat sekeliling, saat merasa keadaan menguntungkan baginya, ia lantas keluar dan langsung menembak mereka secara brutal. Nabila dan Rizal yang melihat kesempatan ini segera mengangkat kembali senjata mereka dan menghabisi mereka satu persatu.
Semua musuh tergelak di lantai, beberapa ada yang mencoba bertahan, tapi Abi mendekatinya. Tanpa belas kasih, ia menembak tepat di kepalanya hingga berlubang. "Ayok ke atas." Mereka bertiga kembali berjalan lewat tangga ke atas, listrik masih padam, tapi mereka harus segera sampai atas, karena kini rombongan mobil lain baru saja datang. Mobil yang sama seperti yang dikendarai gangster tadi. BAhkan lebih banyak lagi. "Gawat! Cepat!" bisik Rizal. Mereka berlari agar menghindari kawanan orang tadi. Bagaimana pun juga mereka kalah jumlah. Mereka bertiga dan kelompok tadi mungkin ada 30 orang dengan setiap orang memiliki minimal 2 senjata api.
________
Elang mencekik leher David. Anehnya ia tidak terlihat kesakitan, justru wajahnya bahagia, ia tersenyum padahal cengkraman tangan Elang cukup keras. Wajah David yang putih makin pucat, bahkan setengah biru. Disisi lain Andareksa sedang memegang nyawa Gio dan Adi. Kuku miliknya sudah menembus leher dua orang itu. Elang melihat hal itu, langsung melempar David asal. Tapi David kini malah memegangi kaki Elang agar tidak bisa menolong dua temannya. "Lepasin, kakek tua! Atau kutendang kepalamu!" ancam Elang tidak main-main. Ia sudah sangat tersulut emosi. Bahkan yang awalnya iba, kini mendadak muak melihat David. Benar saja, Elang menendang kepala David. Tak hanya sekali tapi berkali-kali, darah mengucur dari kepala David, tapi pegangan tangannya tidak mengendur sedikit pun. Elang makin kesal. Ia meraih vas bunga yang ada di meja nakas, menghantamkannya pada kepala David. Tetap saja David hanya melebarkan senyum tanpa melepaskan tangannya. Di saat yang bersamaan Abi datang. Sepanjang koridor lantai ini listrik menyala. Karena hanya di sini, dipasang lampu emergency. Abi melihat keadaan di dalam, dengan tatapan tak percaya. Elang merasa kedatangan Abi bagai penyelamatnya. "Bi, tembak dia!" tunjuk Elang ke David.
Abi sempat diam beberapa saat, nuraninya seolah menolak bersikap brutal padaa seorang kakek yang sudah babak belur dihajar Elang. Tapi melihat Gio dan Adi yang sudah hampir kehabisan darah, ia menarik pelatuk dan mengenai tepat di kepala David. Ia pun tewas.
Rizal dan Nabila menutup pintu. Menghalanginya dengan menggeser meja yang cukup berat. Elang langsung lompat dan mencekik Andareksa. Tubuhnya kuat sekali. Bahkan cekikan Elang seolah tidak berpengaruh apa-apa bagi pemilik tubuh tinggi dengan otot yang menyembul di hampir semua bagian tubuhnya. Abi lantas mendekat. Membantu Elang yang kewalahan. Ia langsung menembak pria itu di bagian perut. Andareksa hanya melirik sekilas, lalu tetap mencekik dua paman Abi itu. Sebentar lagi mereka bisa mati kalau Andareksa dibiarkan.
Bisma sudah tewas dengan darah yang mengalir dari perut dan kepalanya. Karena kesal, Abi meraih samurai panjang yang menjadi pajangan di ruangan itu. Ia memotong tangan Andareksa. Darah muncrat. Dari tangan Andareksa juga leher Gio dan Adi.
Nabila melihat dua pria itu terkapar. Ia segera mendekat. melepas syal miliknya dan merobeknya menjadi dua. Ia membalut leher Gio dengan syal itu, Abi membalut leher Adi seperti apa yang dilakukan Nabila. Rizal yang kewalahan, menghadapi serangan dari luar, mencoba terus bertahan.
"Zal, tahan dulu, bisa, kan?" pinta Nabila, dan hanya ditanggapi dengan anggukan Rizal. Sebenarnya ia kewalahan, tapi semua orang di sini juga sudah terkuras tenaganya. Tapi mereka harus bertahan.
Elang terus naik di bahu Andareksa, ia berusaha menjauhkan tangan pria itu yang masih terlihat menggelepar bagai ikan yang kehabisan udara. Ia memiliki ajian pancasona. "Bi! Bakar tangan itu!" jerit Elang. Abi mengangguk dan langsung mencoba membakar dua lengan tangan itu. Ia melemparkan nya ke perapian yang ada di dekat sofa. Menyalakan api dengan susah payah. Andareksa membanting tubuh Elang ke lantai. Bunyi berdebum terdengar cari. Bersamaan dengan itu pintu sudah hampir terbuka. Keadaan di luar sudah mulai nampak dari dalam. Tembakan beruntun menembus pintu, membuat Rizal mau tidak mau menjauh.
"Kubunuh kau, kalau sampai tanganku kau bakar!" ancam Andareksa. Ia berjalan pelan mendekati Abimanyu yang masih siaga memegang korek api dan siap melemparnya ke perapian. Pintu makin terbuka, musuh makin dekat. Tapi tiba-tiba terdengar suara helikopter di luar. Makin lama makin dekat. Sebuah pengeras suara memberikan aba-aba, agar mereka mundur. Suara itu jelas sekali berasal dari seseorang yang Abi kenal. Wisnu.
Benar saja, Wisnu ada di sana dengan beberapa orang lain yang bersenjatakan laras panjang besar. "Merunduk!" jerit Elang. Abi merunduk seperti yang lain. Tembakan bertubi-tubi menyerang seluruh ruangan ini. Bahkan saking dahsyatnya bahkan peluru ini mampu menembus tembok di luar ruangan ini, mengenai gangster yang memberondong di luar. Satu persatu tubuh mereka terkena berondongan pistol. Menembus daging bahkan tulang mereka. Andareksa tergeletak di lantai dengan bersimbah darah. Merasa keadaan aman, Wisnu turun dari helikopter. Masuk ke dalam dan memeriksa keadaan. Beberapa temannya juga ikut masuk. "Kalian baik-baik aja?" tanya Wisnu. Abi mengangguk, dia harus menyelesaikan tugasnya pada tubuh Andareksa. Abi menyeret tubuh itu dan melemparkannya ke dalam kobaran api. Tak langsung terbakar, karena dia bukan Kalla yang mudah dibakar oleh api. Tapi, Wisnu mengambil botol minuman keras, dan langsung melempar ke dalam. Langsung saja api menjadi cepat membesar. Keadaan Gio dan Adi cukup mengkhawatirkan, tapi Wisnu sudah mengirim ambulance ke tempat ini. Bahkan kini anak buahnya sudah ada di lantai bawah untuk membereskan kekacauan ini. Menembak setiap orang yang masih bernafas. Bukannya mereka kejam, tapi jika hal itu dibiarkan, maka koloni ini akan terus berkembang tanpa ada habisnya.
Ambulance sudah membawa Gio dan Adi ke rumah sakit terdekat. Elang hanya mengalami luka ringan, jangan tanya tentang keadaan Abimanyu. Walau pakaianya koyak di beberapa bagian, tapi tidak ada 1 luka gores pun yang ada di tubuhnya.
"Koloni mereka sudah habis. Gue berhasil nemuin markas mereka yang lain," kata Wisnu agar Elang dan Abi tidak cemas. BD Coorporation sudah tutup. Tidak ada lagi anggota mereka yang selamat, itu sudah dijamin oleh Wisnu tadi. Diam - diam ia bergerak di belakang, mencari semua informasi mengenai BD Coorporation, dan perlahan memutus akar masalah dan kejahatan mereka hingga ke dalam. Memastikan kalau komunitas ini, Gangster ini punah. Dan tidak ada lagi Black Demon lain di kemudian hari.
Rizal dan Nabila benar-benar kembali ke kesatuannya, perjuangan mereka menorehkan hasil dengan kenaikan jabatan untuk keduanya. Gio dan Adi sementara harus dirawat di rumah sakit untuk memulihkan stamina mereka. Sementara itu, Ridwan tewas. Tidak ada tanda penganiayaan, karena ternyata ia bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.
Maya yang sudah tau tentang niat buruk kakaknya, sebenarnya berusaha menerima semuanya dengan lapang dada, tapi Ridwan yang merasa malu lebih baik mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
______
2 Bulan berlalu. Rumah milik Abimanyu sudah selesai dibangun ulang. Bentuknya sama, setiap detilnya dibuat sama seperti rumah sebelumnya. Ia tidak suka perubahan. Tetapi ia bolak balik ke kota, karena Gio dan Adi belum bisa kembali ke desa dan merasa betah di rumah sakit. Wisnu sudah kembali ke rumahnya. Ia banyak berjasa dalam masalah ini. Tanpa Wisnu juga, mereka mungkin tidak akan selamat.
Kini Abi, Gio, dan Adi sudah kembali ke desa. Kembali pada rutinitas mereka sebelumnya. Maya kembali ceria, ia tetap menjadi gadis periang dan sudah Abi anggap seperti adiknya sendiri. Maya memutuskan membantu cafe sepulang sekolah. Walau Abi bersikeras menolaknya, tapi akhirnya ia luluh juga. Dengan dalih, agar Abi bisa mengawasi anak itu setiap saat. Sekali pun Maya pandai karate, tapi ia tetap harus dilindungi.
Mobil Elang terlihat parkir di halaman cafe. Senyum sumringah Abi terlihat jelas. Apalagi ia melihat Shanum menggendong putranya dan Elang.
"Wah, ada jagoan kecil rupanya?" tanya Abi ke Rajendra, seorang anak laki-laki berumur 7 tahun itu.
"Pagi, Om Abi," sapa Rajendra, hangat. Ia segera berlari menghampiri Abimanyu, menarik tangan pemuda itu agar mensejajari tubuh mungilnya. "Sini deh. Aku bisikin."
Abi menurut, ia mulai menyimak apa yang di sebutkan Rajendra. Keningnya berkerut. lalu ditatapnya anak kecil itu, dan mulai mengacak-acak rambutnya. "Kamu ih, masih kecil. Siapa coba yang ngajarin? Mama pasti? " tanyanya sambil melirik ke arah Shanum yang kini bingung ditatap seperti itu.
"Apa?"
"Cerita apa lu ke bocah sekecil ini. Pakai bawa-bawa nama Ellea pula," kata Abi ketus.
"Jendra bilang apa memangnya?" tanya Shanum yang memang tidak mengerti.
"Katanya, ' Om kemarin ada tante Ellea di rumah. Nanyain, Om Abi'. Itu pasti ngarang kan lu. Sengaja banget sih, Sha?"
"Astaga, Bi. Lah bener kok yang dibilang Jendra. Kemarin Ellea memang ke rumah, kami ngobrolin elu sama keadaan di sini. Masalah kemarin juga dia tau. Jendra ini pasti nguping." Shanum mulai mencari putranya untuk meminta pejelasan.
"Ellea ... sehat tapi, kan, Sha?" Pertanyaan itu membuat Shanum berhenti menggoda putranya. Ia lantas menoleh dan tersenyum pada Abi.
"Sehat kok. Dia nitip salam. Eum, kamu jangan marah ke dia, ya, Bi. Dia punya alasan kenapa hilang selama ini. Tanpa kabar dan hubungin kamu."
"Iya, nggak apa-apa, kok, Sha. Itu hak dia, gue nggak apa-apa. Asal dia sehat, masih bernafas, itu sudah cukup buat gue."
"Denger, Bi. Dia sebenernya nggak baik-baik saja. Ibunya meninggal. Begitu juga ayahnya. Ia yatim piatu sekarang. Kasian. Dan kehidupannya nggak berjalan mulus. Gue liat ada yang disembunyikan Ellea. Dia ketakutan, Bi. Tapi dia nggak mau bilang kenapa. Gue kasian banget sama dia."
"Ketakutan? Kenapa dia nggak balik aja ke sini?"
"Justru dia takut kalau balik ke sini. Dia bilang ada yang nyari dia. Terus nggak sengaja gue pernah dengerin percakapannya di telepon, dia bilang ada yang mau bunuh dia."
"...."
"Elu nggak ingin temui Ellea? Nggak ingin tau dia kenapa?"
"...."
"Mungkin dia sebenernya nungguin elu, Bi. Tapi dia bingung."
"Maksudnya?"
Belum sempat Shanum membahas hal itu, Rajendra kembali datang seolah sedang dikejar oleh sang ayah, Elang. Mereka sedang bermain kejar-kejaran, dengan Elang yang memakai topeng dengan wujud seram. Mengingatkan Abimanyu pada sosok Kalla yang pernah mereka hadapi dulu. Tak hanya itu, wajah Ellea juga kini terlihat jelas diingatannya. Wajah yang sebenarnya ingin dia lupakan, tapi mendadak malah kembali muncul dengan banyak pertanyaan. Abimanyu penasaran.
****
Ia baru saja menginjakkan kaki di Bandar Udara Marco Polo. Dengan menenteng sebuah tas yang berisikan beberapa potong pakaian, langkahnya mantap mengikuti petunjuk yang menuju pintu keluar. Netranya liar mencari sosok yang beberapa waktu lalu mengatakan akan menjemputnya. Beberapa orang berkerumun dengan papan yang bertuliskan nama penumpang pesawat yang tadi ia naiki. beginilah cara menjemput penumpang dari bandara seperti lazimnya kebanyakan orang.
Seorang pria dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya menarik perhatian Abi. Ia memegang sebuah papan nama yang bertuliskan "ABIMANYU" dideretan atas, lalu kalimat "Penumpas kejahatan" di deretan bawahnya. Abi terkekeh melihat polah tingkah sahabatnya, ia berjalan mendekatinya. Mereka lantas tos ala-ala pria pada umumnya. Tangan kanan yang saling menggenggam, lalu berpelukan tanpa melepas genggaman tadi. "Bagaimana kabar?" tanya Abi pada pemuda tampan dengan tonjolan otot di beberapa bagian tubuhnya yang kini ada di depan.
"Sehat. Yah, sama seperti apa yang elu lihat. Bagaimana Indonesia?" tanyanya lalu menuntun Abi berjalan keluar.
"Yah, begitulah. Masih sama kayak pas lu tinggalin. Ngomong-ngomong ini otot makin kenceng saja, Vin?" tanya Abi dengan menekan lengan Vin yang memang makin kekar. Tubuhnya tidak gemuk, tapi lebih 'berbentuk' (berotot). Vin hanya melirik pada tubuhnya, kemudian tersenyum, bangga.
"Yah, kerjaan gue kan angkat beban. Lari. Bantu korban bencana alam. Selebihnya paling di Mes, Gym, jalan-jalan juga jarang." Jalan-jalan di sini dimaksudkan dengan bepergian ke tempat ramai, seperti Mall yang berarti refresing.
Vin. Salah satu teman seperjuangan Abimanyu saat mereka bersama-sama menumpas kejahatan Kalla. Ia sering berpindah tempat karena profesinya sebagai militer, sering membawanya ke daerah konflik. Dia baru saja pulang dari Yerussalem. Dan kini sedang menikmati masa liburnya di Venesia, kota penuh cinta, yang dulu menjadi impian untuk ditinggali bersama istrinya.
Venesia, lebih tepatnya ada di San Polo, mereka mulai naik mobil menuju kediaman Vin. Vin mengendarai mobil sekaligus menjadi tour guide untuk Abi. menjelaskan berbagai sudut kota San Polo itu dengam antusias.
Beberapa kali mereka melihat hamparan air sungai di beberapa ruas jalan. Sebutan kota terapung memang pas di sandang Venesia. Untung saat ini air sedang naik, membuat pemandangan di sini terlihat indah, apalagi beberapa gondola yang dijadikan alat transportasi terasa bagai ada di pedesaan. Pedesaan yang cukup ramai. Pedesaan rasa kota. Mereka sampai di sebuah gedung dengan arsitektur sederhana, dekat dengan Canal Grande.
"Yuk. Masuk, anggap rumah sendiri," ajak Vin begitu ia membuka pintu. Ruangan ini luas, namun tiap ruangan satu dengan lainnya tidak memakai sekat pemisah. Ruang tamu Vin terdapat sofa panjang dan TV layar datar di tembok atas. Tidak ada pajangan apa pun. Di sebelahnya akan ada ruang makan, yang hanya ada meja makan bundar dengan 4 kursi di sekitarnya. Belok ke kanan langsung menembus dapur sekaligus dekat toilet. Dan terakhir adalah sebuah ranjang yang terlihat masih berantakan, dan menandakan kalau Vin baru saja bangun tidur.
"Elu udah mandi belum, Vin?" tanya Abi menatap wajah Vin yang sesekali menguap.
"Belom. Cuci muka doang tadi. Kesiangan gue. Lagian ketemu elu inih, ngapain mandi." Ia lantas berjalan menuju dapur, membuka kulkas, "Mau makan?" tanyanya, melongok isi lemari pendingin itu.
"Nanti saja. Gampang," tolak Abimanyu, meletakkan tas nya di lantai, membuka jaketnya dan melemparnya asal di sofa. "Numpang ke toilet, ya."
"Anggap saja rumah sendiri," sahut Vin dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. Ia berniat membuat pasta dengan bahan yang ada di lemari pendingin. Vin sudah terbiasa mandiri, memasak itu bukan hal tabu baginya. Dia sudah terbiasa melakukan segalanya seorang diri.
"Makan dulu deh, seadanya, ya." Vin sudah menyajikan dua porsi spagheti dengan toping daging cincang di atasnya. Abi menyusul duduk di kursi depan Vin.
"Sayur asem saja nggak ada, ya?" tanya Abi menatap dua piring makanan di hadapannya.
"Ya ampun, jauh-jauh ke Italia, lu nyarinya sayur asem?"
"Yaelah, kalau makan ginian, nggak perlu jauh-jauh ke Italia, di cafe gue saja banyak."
"Nggak bersyukur banget tamu satu ini. Kalau nggak mau biar gue abisin," gerutu Vin memoncongkan bibirnya. Tangannya yang hendak meraih piring yang seharusnya milik Abi, lantas ditepis.
"Eh, pamali kalau diminta lagi. Gitu saja senewen lu, Vin. Kayak cewek PMS saja."
"Jiaah, kayak tau saja bagaimana cewek lagi PMS. Emangnya lu punya cewek?" tanya Vin dengan pertanyaan menyindir. "Sok tau!"
"Diem lu. Makan. Nanti dingin nggak enak," kata Abi mengalihkan pembicaraan. Kalimat tadi membuat Vin makin mengerucutkan bibirnya. Hal itu membuat dirinya tidak ada harganya sebagai pemilik rumah.
_____________
"Elu pernah ketemu Ellea, Vin?" tanya Abi, saat mereka sedang menikmati secangkir kopi saat sore.
"Pernah," jawab Vin singkat, menghembuskan asap dari rokok yang ia hisap. "Dia nggak pernah hubungin lu?"
Abi menggeleng, menikmati kembali kopinya yang ia bawa langsung dari Indonesia. Kopi luwak asli, bukan ternak, adalah salah satu kopi favorit Vin. "Gue pikir, Ellea sudah punya kehidupan sendiri di sini. Dan sempat ikhlas aja sih, Vin. Tapi pas kemarin Shanum bilang soal kabar itu, gue jadi kepikiran. Sebenernya dia ada masalah apa sih, Vin? Elu tau?"
Vin kembali menggeleng," Sekalipun gue pernah ketemu Ellea, tapi itu bukan berarti kami sering ngobrol, Bi. Gue pertama kali ketemu Ellea itu sekitar setahun lalu, di salah satu gondola yang lewat di situ," tunjuk Vin pada aliran air panjang yang memang tidak jauh dari tempat tinggal Vin.
"...." Abi diam, meneguk kembali kopinya.
"Dia malah yang manggil gue loh. Kan ceritanya gue lagi kayak kita sekarang nih, ngopi, ngerokok, sambil main game. Nah terus ada suara manggil nama gue, samar-samar. Gue tengak-tengok dong. Batin gue bilang 'Ini siapa yang manggil, perasaan di sini nggak ada yang kenal gue', Nah gue liat tu bocah lagi dadah-dadah ke gue gini," terang Vin lalu memperagakan tangannya yang terangkat ke atas, melambai-lambai dengan senyum lebar dan antusias. Dalam bayangan Abi, yang muncul justru ekspresi Ellea, berdiri di atas kapal dengan tangan melambai ke atas, senyumnya khas Ellea. Senyum yang ia rindukan selama beberapa tahun terakhir.
"Kita harus keluar," kata Abimanyu melihat ke bagian atas lift. Rizal yang mengerti maksud Abi, kemudian ikut membantu. "Gue apa elu yang naik?" tanya Abi.
"Elu saja. Biar gue di bawah, elu naik ke bahu gue." Rizal memposisikan tubuhnya, jongkok. Abi lalu naik ke atas pundak Rizal. Dengan begini atap lift dapat mereka jangkau. Abi berusaha membuka penutup atas. Sekuat tenaga ia membukanya akhirnya kini udara mulai masuk ke dalam, rasa pengap hilang sudah. Abi mulai menginjak pundak Rizal, hingga pemuda di bawahnya sedikit meringis menahan berat tubuh Abi yang cukup lumayan itu.
Beruntung Abi cukup sigap, hingga kini ia sudah ada di atap lift, "Kalian mau ikut atau di sini dulu? Nanti gue cari bantuan."
"Kami di sini saja, Bi. Nggak usah khawatir, lu pergi saja," kata Rizal, Nabila pun mengiyakan saran Rizal tadi. Abi agak lama berpikir, ia juga merasa cemas akan keselamatan dua orang itu. Takut jika mereka tiba-tiba tertangkap oleh gangster yang baru datang tadi. "Mereka nggak akan bisa nyakitin kami," sambung Rizal dengan menatap nanar pada Abimanyu, lalu mengangkat senjata yang ia pegang, seolah tau apa yang ada di pikiran Abimanyu.
"Gue bakal balik lagi, tunggu, ya." Abi segera naik makin ke atas dengan memegang kabel besar yang membawa lift ini naik dan turun. Ia melompat saat melihat pintu di atasnya. Dengan susah payah, ia mencoba membuka pintu besi itu, bahkan hingga kukunya mengelupas. Abi sampai lantai atas lantai yang tadi.
Ia sangat berhati-hati sekali, saat menginjakkan kaki di koridor lantai ini. Satu persatu ruangan ia buka, ada beberapa orang yang tergeletak di lantai begitu saja, entah pingsan atau mati. Abi mengambil beberapa senjata yang ada di lantai, bagaimana pun juga ia harus kembali menyelamatkan dua temannya di bawah.
Abi turun lewat tangga, sementara di tempat lain, Rizal dan Nabila sudah terpojok. Lift berhasil dibuka oleh gangster tadi. Kedua tangan mereka sudah mengarah ke atas, pasrah. Mereka dalam posisi jongkok di dalam lift. Segala hinaan kasar terlontar dari mulut orang-orang yang memakai penutup kepala ini. Rizal di pukul hingga pelipisnya berdarah. Nabila masih diam di tempatnya, menatap sinis orang-orang yang telah mengintimidasi mereka.
Abi mengintip dari pintu darurat, melihat sekeliling, saat merasa keadaan menguntungkan baginya, ia lantas keluar dan langsung menembak mereka secara brutal. Nabila dan Rizal yang melihat kesempatan ini segera mengangkat kembali senjata mereka dan menghabisi mereka satu persatu.
Semua musuh tergelak di lantai, beberapa ada yang mencoba bertahan, tapi Abi mendekatinya. Tanpa belas kasih, ia menembak tepat di kepalanya hingga berlubang. "Ayok ke atas." Mereka bertiga kembali berjalan lewat tangga ke atas, listrik masih padam, tapi mereka harus segera sampai atas, karena kini rombongan mobil lain baru saja datang. Mobil yang sama seperti yang dikendarai gangster tadi. BAhkan lebih banyak lagi. "Gawat! Cepat!" bisik Rizal. Mereka berlari agar menghindari kawanan orang tadi. Bagaimana pun juga mereka kalah jumlah. Mereka bertiga dan kelompok tadi mungkin ada 30 orang dengan setiap orang memiliki minimal 2 senjata api.
________
Elang mencekik leher David. Anehnya ia tidak terlihat kesakitan, justru wajahnya bahagia, ia tersenyum padahal cengkraman tangan Elang cukup keras. Wajah David yang putih makin pucat, bahkan setengah biru. Disisi lain Andareksa sedang memegang nyawa Gio dan Adi. Kuku miliknya sudah menembus leher dua orang itu. Elang melihat hal itu, langsung melempar David asal. Tapi David kini malah memegangi kaki Elang agar tidak bisa menolong dua temannya. "Lepasin, kakek tua! Atau kutendang kepalamu!" ancam Elang tidak main-main. Ia sudah sangat tersulut emosi. Bahkan yang awalnya iba, kini mendadak muak melihat David. Benar saja, Elang menendang kepala David. Tak hanya sekali tapi berkali-kali, darah mengucur dari kepala David, tapi pegangan tangannya tidak mengendur sedikit pun. Elang makin kesal. Ia meraih vas bunga yang ada di meja nakas, menghantamkannya pada kepala David. Tetap saja David hanya melebarkan senyum tanpa melepaskan tangannya. Di saat yang bersamaan Abi datang. Sepanjang koridor lantai ini listrik menyala. Karena hanya di sini, dipasang lampu emergency. Abi melihat keadaan di dalam, dengan tatapan tak percaya. Elang merasa kedatangan Abi bagai penyelamatnya. "Bi, tembak dia!" tunjuk Elang ke David.
Abi sempat diam beberapa saat, nuraninya seolah menolak bersikap brutal padaa seorang kakek yang sudah babak belur dihajar Elang. Tapi melihat Gio dan Adi yang sudah hampir kehabisan darah, ia menarik pelatuk dan mengenai tepat di kepala David. Ia pun tewas.
Rizal dan Nabila menutup pintu. Menghalanginya dengan menggeser meja yang cukup berat. Elang langsung lompat dan mencekik Andareksa. Tubuhnya kuat sekali. Bahkan cekikan Elang seolah tidak berpengaruh apa-apa bagi pemilik tubuh tinggi dengan otot yang menyembul di hampir semua bagian tubuhnya. Abi lantas mendekat. Membantu Elang yang kewalahan. Ia langsung menembak pria itu di bagian perut. Andareksa hanya melirik sekilas, lalu tetap mencekik dua paman Abi itu. Sebentar lagi mereka bisa mati kalau Andareksa dibiarkan.
Bisma sudah tewas dengan darah yang mengalir dari perut dan kepalanya. Karena kesal, Abi meraih samurai panjang yang menjadi pajangan di ruangan itu. Ia memotong tangan Andareksa. Darah muncrat. Dari tangan Andareksa juga leher Gio dan Adi.
Nabila melihat dua pria itu terkapar. Ia segera mendekat. melepas syal miliknya dan merobeknya menjadi dua. Ia membalut leher Gio dengan syal itu, Abi membalut leher Adi seperti apa yang dilakukan Nabila. Rizal yang kewalahan, menghadapi serangan dari luar, mencoba terus bertahan.
"Zal, tahan dulu, bisa, kan?" pinta Nabila, dan hanya ditanggapi dengan anggukan Rizal. Sebenarnya ia kewalahan, tapi semua orang di sini juga sudah terkuras tenaganya. Tapi mereka harus bertahan.
Elang terus naik di bahu Andareksa, ia berusaha menjauhkan tangan pria itu yang masih terlihat menggelepar bagai ikan yang kehabisan udara. Ia memiliki ajian pancasona. "Bi! Bakar tangan itu!" jerit Elang. Abi mengangguk dan langsung mencoba membakar dua lengan tangan itu. Ia melemparkan nya ke perapian yang ada di dekat sofa. Menyalakan api dengan susah payah. Andareksa membanting tubuh Elang ke lantai. Bunyi berdebum terdengar cari. Bersamaan dengan itu pintu sudah hampir terbuka. Keadaan di luar sudah mulai nampak dari dalam. Tembakan beruntun menembus pintu, membuat Rizal mau tidak mau menjauh.
"Kubunuh kau, kalau sampai tanganku kau bakar!" ancam Andareksa. Ia berjalan pelan mendekati Abimanyu yang masih siaga memegang korek api dan siap melemparnya ke perapian. Pintu makin terbuka, musuh makin dekat. Tapi tiba-tiba terdengar suara helikopter di luar. Makin lama makin dekat. Sebuah pengeras suara memberikan aba-aba, agar mereka mundur. Suara itu jelas sekali berasal dari seseorang yang Abi kenal. Wisnu.
Benar saja, Wisnu ada di sana dengan beberapa orang lain yang bersenjatakan laras panjang besar. "Merunduk!" jerit Elang. Abi merunduk seperti yang lain. Tembakan bertubi-tubi menyerang seluruh ruangan ini. Bahkan saking dahsyatnya bahkan peluru ini mampu menembus tembok di luar ruangan ini, mengenai gangster yang memberondong di luar. Satu persatu tubuh mereka terkena berondongan pistol. Menembus daging bahkan tulang mereka. Andareksa tergeletak di lantai dengan bersimbah darah. Merasa keadaan aman, Wisnu turun dari helikopter. Masuk ke dalam dan memeriksa keadaan. Beberapa temannya juga ikut masuk. "Kalian baik-baik aja?" tanya Wisnu. Abi mengangguk, dia harus menyelesaikan tugasnya pada tubuh Andareksa. Abi menyeret tubuh itu dan melemparkannya ke dalam kobaran api. Tak langsung terbakar, karena dia bukan Kalla yang mudah dibakar oleh api. Tapi, Wisnu mengambil botol minuman keras, dan langsung melempar ke dalam. Langsung saja api menjadi cepat membesar. Keadaan Gio dan Adi cukup mengkhawatirkan, tapi Wisnu sudah mengirim ambulance ke tempat ini. Bahkan kini anak buahnya sudah ada di lantai bawah untuk membereskan kekacauan ini. Menembak setiap orang yang masih bernafas. Bukannya mereka kejam, tapi jika hal itu dibiarkan, maka koloni ini akan terus berkembang tanpa ada habisnya.
Ambulance sudah membawa Gio dan Adi ke rumah sakit terdekat. Elang hanya mengalami luka ringan, jangan tanya tentang keadaan Abimanyu. Walau pakaianya koyak di beberapa bagian, tapi tidak ada 1 luka gores pun yang ada di tubuhnya.
"Koloni mereka sudah habis. Gue berhasil nemuin markas mereka yang lain," kata Wisnu agar Elang dan Abi tidak cemas. BD Coorporation sudah tutup. Tidak ada lagi anggota mereka yang selamat, itu sudah dijamin oleh Wisnu tadi. Diam - diam ia bergerak di belakang, mencari semua informasi mengenai BD Coorporation, dan perlahan memutus akar masalah dan kejahatan mereka hingga ke dalam. Memastikan kalau komunitas ini, Gangster ini punah. Dan tidak ada lagi Black Demon lain di kemudian hari.
Rizal dan Nabila benar-benar kembali ke kesatuannya, perjuangan mereka menorehkan hasil dengan kenaikan jabatan untuk keduanya. Gio dan Adi sementara harus dirawat di rumah sakit untuk memulihkan stamina mereka. Sementara itu, Ridwan tewas. Tidak ada tanda penganiayaan, karena ternyata ia bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.
Maya yang sudah tau tentang niat buruk kakaknya, sebenarnya berusaha menerima semuanya dengan lapang dada, tapi Ridwan yang merasa malu lebih baik mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
______
2 Bulan berlalu. Rumah milik Abimanyu sudah selesai dibangun ulang. Bentuknya sama, setiap detilnya dibuat sama seperti rumah sebelumnya. Ia tidak suka perubahan. Tetapi ia bolak balik ke kota, karena Gio dan Adi belum bisa kembali ke desa dan merasa betah di rumah sakit. Wisnu sudah kembali ke rumahnya. Ia banyak berjasa dalam masalah ini. Tanpa Wisnu juga, mereka mungkin tidak akan selamat.
Kini Abi, Gio, dan Adi sudah kembali ke desa. Kembali pada rutinitas mereka sebelumnya. Maya kembali ceria, ia tetap menjadi gadis periang dan sudah Abi anggap seperti adiknya sendiri. Maya memutuskan membantu cafe sepulang sekolah. Walau Abi bersikeras menolaknya, tapi akhirnya ia luluh juga. Dengan dalih, agar Abi bisa mengawasi anak itu setiap saat. Sekali pun Maya pandai karate, tapi ia tetap harus dilindungi.
Mobil Elang terlihat parkir di halaman cafe. Senyum sumringah Abi terlihat jelas. Apalagi ia melihat Shanum menggendong putranya dan Elang.
"Wah, ada jagoan kecil rupanya?" tanya Abi ke Rajendra, seorang anak laki-laki berumur 7 tahun itu.
"Pagi, Om Abi," sapa Rajendra, hangat. Ia segera berlari menghampiri Abimanyu, menarik tangan pemuda itu agar mensejajari tubuh mungilnya. "Sini deh. Aku bisikin."
Abi menurut, ia mulai menyimak apa yang di sebutkan Rajendra. Keningnya berkerut. lalu ditatapnya anak kecil itu, dan mulai mengacak-acak rambutnya. "Kamu ih, masih kecil. Siapa coba yang ngajarin? Mama pasti? " tanyanya sambil melirik ke arah Shanum yang kini bingung ditatap seperti itu.
"Apa?"
"Cerita apa lu ke bocah sekecil ini. Pakai bawa-bawa nama Ellea pula," kata Abi ketus.
"Jendra bilang apa memangnya?" tanya Shanum yang memang tidak mengerti.
"Katanya, ' Om kemarin ada tante Ellea di rumah. Nanyain, Om Abi'. Itu pasti ngarang kan lu. Sengaja banget sih, Sha?"
"Astaga, Bi. Lah bener kok yang dibilang Jendra. Kemarin Ellea memang ke rumah, kami ngobrolin elu sama keadaan di sini. Masalah kemarin juga dia tau. Jendra ini pasti nguping." Shanum mulai mencari putranya untuk meminta pejelasan.
"Ellea ... sehat tapi, kan, Sha?" Pertanyaan itu membuat Shanum berhenti menggoda putranya. Ia lantas menoleh dan tersenyum pada Abi.
"Sehat kok. Dia nitip salam. Eum, kamu jangan marah ke dia, ya, Bi. Dia punya alasan kenapa hilang selama ini. Tanpa kabar dan hubungin kamu."
"Iya, nggak apa-apa, kok, Sha. Itu hak dia, gue nggak apa-apa. Asal dia sehat, masih bernafas, itu sudah cukup buat gue."
"Denger, Bi. Dia sebenernya nggak baik-baik saja. Ibunya meninggal. Begitu juga ayahnya. Ia yatim piatu sekarang. Kasian. Dan kehidupannya nggak berjalan mulus. Gue liat ada yang disembunyikan Ellea. Dia ketakutan, Bi. Tapi dia nggak mau bilang kenapa. Gue kasian banget sama dia."
"Ketakutan? Kenapa dia nggak balik aja ke sini?"
"Justru dia takut kalau balik ke sini. Dia bilang ada yang nyari dia. Terus nggak sengaja gue pernah dengerin percakapannya di telepon, dia bilang ada yang mau bunuh dia."
"...."
"Elu nggak ingin temui Ellea? Nggak ingin tau dia kenapa?"
"...."
"Mungkin dia sebenernya nungguin elu, Bi. Tapi dia bingung."
"Maksudnya?"
Belum sempat Shanum membahas hal itu, Rajendra kembali datang seolah sedang dikejar oleh sang ayah, Elang. Mereka sedang bermain kejar-kejaran, dengan Elang yang memakai topeng dengan wujud seram. Mengingatkan Abimanyu pada sosok Kalla yang pernah mereka hadapi dulu. Tak hanya itu, wajah Ellea juga kini terlihat jelas diingatannya. Wajah yang sebenarnya ingin dia lupakan, tapi mendadak malah kembali muncul dengan banyak pertanyaan. Abimanyu penasaran.
****
Ia baru saja menginjakkan kaki di Bandar Udara Marco Polo. Dengan menenteng sebuah tas yang berisikan beberapa potong pakaian, langkahnya mantap mengikuti petunjuk yang menuju pintu keluar. Netranya liar mencari sosok yang beberapa waktu lalu mengatakan akan menjemputnya. Beberapa orang berkerumun dengan papan yang bertuliskan nama penumpang pesawat yang tadi ia naiki. beginilah cara menjemput penumpang dari bandara seperti lazimnya kebanyakan orang.
Seorang pria dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya menarik perhatian Abi. Ia memegang sebuah papan nama yang bertuliskan "ABIMANYU" dideretan atas, lalu kalimat "Penumpas kejahatan" di deretan bawahnya. Abi terkekeh melihat polah tingkah sahabatnya, ia berjalan mendekatinya. Mereka lantas tos ala-ala pria pada umumnya. Tangan kanan yang saling menggenggam, lalu berpelukan tanpa melepas genggaman tadi. "Bagaimana kabar?" tanya Abi pada pemuda tampan dengan tonjolan otot di beberapa bagian tubuhnya yang kini ada di depan.
"Sehat. Yah, sama seperti apa yang elu lihat. Bagaimana Indonesia?" tanyanya lalu menuntun Abi berjalan keluar.
"Yah, begitulah. Masih sama kayak pas lu tinggalin. Ngomong-ngomong ini otot makin kenceng saja, Vin?" tanya Abi dengan menekan lengan Vin yang memang makin kekar. Tubuhnya tidak gemuk, tapi lebih 'berbentuk' (berotot). Vin hanya melirik pada tubuhnya, kemudian tersenyum, bangga.
"Yah, kerjaan gue kan angkat beban. Lari. Bantu korban bencana alam. Selebihnya paling di Mes, Gym, jalan-jalan juga jarang." Jalan-jalan di sini dimaksudkan dengan bepergian ke tempat ramai, seperti Mall yang berarti refresing.
Vin. Salah satu teman seperjuangan Abimanyu saat mereka bersama-sama menumpas kejahatan Kalla. Ia sering berpindah tempat karena profesinya sebagai militer, sering membawanya ke daerah konflik. Dia baru saja pulang dari Yerussalem. Dan kini sedang menikmati masa liburnya di Venesia, kota penuh cinta, yang dulu menjadi impian untuk ditinggali bersama istrinya.
Venesia, lebih tepatnya ada di San Polo, mereka mulai naik mobil menuju kediaman Vin. Vin mengendarai mobil sekaligus menjadi tour guide untuk Abi. menjelaskan berbagai sudut kota San Polo itu dengam antusias.
Beberapa kali mereka melihat hamparan air sungai di beberapa ruas jalan. Sebutan kota terapung memang pas di sandang Venesia. Untung saat ini air sedang naik, membuat pemandangan di sini terlihat indah, apalagi beberapa gondola yang dijadikan alat transportasi terasa bagai ada di pedesaan. Pedesaan yang cukup ramai. Pedesaan rasa kota. Mereka sampai di sebuah gedung dengan arsitektur sederhana, dekat dengan Canal Grande.
"Yuk. Masuk, anggap rumah sendiri," ajak Vin begitu ia membuka pintu. Ruangan ini luas, namun tiap ruangan satu dengan lainnya tidak memakai sekat pemisah. Ruang tamu Vin terdapat sofa panjang dan TV layar datar di tembok atas. Tidak ada pajangan apa pun. Di sebelahnya akan ada ruang makan, yang hanya ada meja makan bundar dengan 4 kursi di sekitarnya. Belok ke kanan langsung menembus dapur sekaligus dekat toilet. Dan terakhir adalah sebuah ranjang yang terlihat masih berantakan, dan menandakan kalau Vin baru saja bangun tidur.
"Elu udah mandi belum, Vin?" tanya Abi menatap wajah Vin yang sesekali menguap.
"Belom. Cuci muka doang tadi. Kesiangan gue. Lagian ketemu elu inih, ngapain mandi." Ia lantas berjalan menuju dapur, membuka kulkas, "Mau makan?" tanyanya, melongok isi lemari pendingin itu.
"Nanti saja. Gampang," tolak Abimanyu, meletakkan tas nya di lantai, membuka jaketnya dan melemparnya asal di sofa. "Numpang ke toilet, ya."
"Anggap saja rumah sendiri," sahut Vin dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. Ia berniat membuat pasta dengan bahan yang ada di lemari pendingin. Vin sudah terbiasa mandiri, memasak itu bukan hal tabu baginya. Dia sudah terbiasa melakukan segalanya seorang diri.
"Makan dulu deh, seadanya, ya." Vin sudah menyajikan dua porsi spagheti dengan toping daging cincang di atasnya. Abi menyusul duduk di kursi depan Vin.
"Sayur asem saja nggak ada, ya?" tanya Abi menatap dua piring makanan di hadapannya.
"Ya ampun, jauh-jauh ke Italia, lu nyarinya sayur asem?"
"Yaelah, kalau makan ginian, nggak perlu jauh-jauh ke Italia, di cafe gue saja banyak."
"Nggak bersyukur banget tamu satu ini. Kalau nggak mau biar gue abisin," gerutu Vin memoncongkan bibirnya. Tangannya yang hendak meraih piring yang seharusnya milik Abi, lantas ditepis.
"Eh, pamali kalau diminta lagi. Gitu saja senewen lu, Vin. Kayak cewek PMS saja."
"Jiaah, kayak tau saja bagaimana cewek lagi PMS. Emangnya lu punya cewek?" tanya Vin dengan pertanyaan menyindir. "Sok tau!"
"Diem lu. Makan. Nanti dingin nggak enak," kata Abi mengalihkan pembicaraan. Kalimat tadi membuat Vin makin mengerucutkan bibirnya. Hal itu membuat dirinya tidak ada harganya sebagai pemilik rumah.
_____________
"Elu pernah ketemu Ellea, Vin?" tanya Abi, saat mereka sedang menikmati secangkir kopi saat sore.
"Pernah," jawab Vin singkat, menghembuskan asap dari rokok yang ia hisap. "Dia nggak pernah hubungin lu?"
Abi menggeleng, menikmati kembali kopinya yang ia bawa langsung dari Indonesia. Kopi luwak asli, bukan ternak, adalah salah satu kopi favorit Vin. "Gue pikir, Ellea sudah punya kehidupan sendiri di sini. Dan sempat ikhlas aja sih, Vin. Tapi pas kemarin Shanum bilang soal kabar itu, gue jadi kepikiran. Sebenernya dia ada masalah apa sih, Vin? Elu tau?"
Vin kembali menggeleng," Sekalipun gue pernah ketemu Ellea, tapi itu bukan berarti kami sering ngobrol, Bi. Gue pertama kali ketemu Ellea itu sekitar setahun lalu, di salah satu gondola yang lewat di situ," tunjuk Vin pada aliran air panjang yang memang tidak jauh dari tempat tinggal Vin.
"...." Abi diam, meneguk kembali kopinya.
"Dia malah yang manggil gue loh. Kan ceritanya gue lagi kayak kita sekarang nih, ngopi, ngerokok, sambil main game. Nah terus ada suara manggil nama gue, samar-samar. Gue tengak-tengok dong. Batin gue bilang 'Ini siapa yang manggil, perasaan di sini nggak ada yang kenal gue', Nah gue liat tu bocah lagi dadah-dadah ke gue gini," terang Vin lalu memperagakan tangannya yang terangkat ke atas, melambai-lambai dengan senyum lebar dan antusias. Dalam bayangan Abi, yang muncul justru ekspresi Ellea, berdiri di atas kapal dengan tangan melambai ke atas, senyumnya khas Ellea. Senyum yang ia rindukan selama beberapa tahun terakhir.
obdiamond dan 7 lainnya memberi reputasi
8