- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#67
Part 65 Perang Dimulai
Mendengar kalimat itu, tubuh Abi seolah luruh ke bawah. dengkulnya lemas mendengar penuturan mereka. Ridwan?! la merasa masih tidak menyangka kalau Ridwan yang menyuruh orang itu menghabisi nyawa Maya. Adiknya sendiri. Ridwan yang ia sangka adalah pemuda paling teladan yang pernah ia temui, kini berubah menjadi orang paling mengerikan. Orang yang rela menyuruh bahkan mungkin membayar orang lain untuk menghabisi nyawa adiknya sendiri. Entah karena apa. Ridwan mampu berpikir picik seperti itu.
Abimanyu memutuskan kembali. Meninggalkan gedung itu dan pulang. Kabar yang ia dengar benar-benar membuatnya terpukul. Langkahnya pelan, bahkan terkesan sempoyongan. Ia tidak menyangka kalau orang yang selama ini ia percaya ternyata malah menjadi musuh yang berbahaya.
Abi sampai di rumah Elang. Ia mendapati Adi, dan Elang hendak pergi. Saat melihat kedatangan Abi, mereka lantas memberondong pemuda itu dengan berbagai pertanyaan. "Maya di mana?" tanya Abi tanpa menjawab satu pun pertanyaan Adi maupun Elang.
"Ada di kamarnya. Ridwan jagain dia dari tadi."
"Oh."
"Kenapa, Bi?"
"Loh kita nggak jadi serang mereka balik?" Adi terus mengikuti Abi yang masuk ke dalam. Sampai ruang tamu, ada Gio, Ridwan, dan Maya. Menunggu mereka. Rizal sudah pergi ke rumah Tante Desi untuk menjaga Nabila. Rasanya sekarang Abi yakin kalau Nabila tidak akan terluka.
la duduk di sofa. Diikuti yang lain. Mereka penasaran atas apa yang terjadi, karena sejak tadi Abi sulit dihubungi. Ia melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Sekali pun udara dingin, tapi tubuh Abi justru kepanasan. "Gini ...," ucap Abi, menatap teman-temannya satu persatu. la juga memperhatikan Ridwan secara intens, namun tetap mencoba bersikap wajar. Elang yang memperhatikan sikap Abi, hanya diam sambil terus memantau. la berpikir akan bertanya pada anak itu nanti, saat keadaan sepi. Elang tau ada yang Abi sembunyikan.
"Kita bergerak besok malam. Sebagian ke rumah Tante Desi, sebagian lagi harus ke kantor BD Coorporation. Kita harus serang mereka semua besok malam. Bagaimana?"
Selama beberapa menit mereka diam, mencoba mempelajari taktik yang di rencanakan Abimanyu. Beberapa lantas mengangguk setuju. "Bang, biar aku di rumah jaga Maya," celetuk Ridwan. Dan kalimat barusan, membuat Abi makin yakin, kalau Ridwan memang terlibat dalam persekongkolan ini. Abi diam, menatap dingin pemuda yang selama beberapa tahun ini menemaninya. Ia lantas mengangguk.
"Ada apa?" tanya Elang sembari mengulurkan secangkir kopi hitam yang baru saja ia buat. Elang terpaksa menyusul Abimanyu yang sedang duduk sendirian di taman depan rumahnya. Ini adalah hal yang sebenarnya tidak ia sukai. Ini sudah tengah malam, dan bukan hanya dingin saja, tapi banyak nyamuk yang siap menyantap darah mereka di sini. Tapi Elang tau, kalau ada yang sedang Abi pikirkan. Sikap pemuda itu aneh sejak pulang. Padahal di telepon sebelumnya ia terlihat sangat bersemangat, sampai-sampai Elang takut jika Abi akan bertindak sendiri dan mengobrak-abrik kantor BD Coorporation itu.
"Paman pernah ditusuk oleh sahabat paman sendiri?"
Pertanyaan Abi mampu menggelitik hati Elang, ia seolah sedikit demi sedikit tau ke mana arah tujuan pembicaraan ini. Hanya saja Elang masih sangat penasaran apa yang dimaksud Abi, dan tentang masalah apa sekarang. "Hm, dikhianati sahabat sendiri? Pernahlah. Temen bisnis, temen gue, eh dia brengsek. Nipu perusahaan sampai gue rugi ratusan juta. Kenapa?"
"Sakit, ya, paman?"
"Siapa?"
Abi menoleh ke Elang kini menatapnya dingin. Abi bingung, apakah ia harus menceritakan apa yang ia dengar pada Elang atau harus ia simpan sendiri saja. Tapi, Elang adalah salah satu orang yang Abi percayai dan benar-benar Abi andalkan. "Tadi aku ke kantor mereka." la menarik nafas dalam-dalam, meneguk kopi yang masih utuh ditangannya. Sejenak ia menatap cangkir kopi itu, cangkir yang mewah, sepadan dengan rasa kopi yang sangat enak. Elang kini lebih pandai meracik kopi rupanya.
"Terus? Gue yakin elu nggak bertindak apa pun, kan? Karena kalau sampai elu tadi obrak-abrik tempat itu, elu nggak akan pulang dalam keadaan utuh."
Abi terkekeh. Ia seolah menyetujui pendapat Elang barusan. Ucapan Elang pasti beralasan. Dan kini saatnya Elang tau yang sebenarnya.
"Aku dengar pembicaraan Hara dengan salah satu pemilik BD Coorporation. Eum, mungkin dia pemiliknya soalnya Hara meminta bayaran ke dia saat sampai di sana."
"Oke. Terus?"
"Ada satu obrolan singkat yang bikin aku kaget. Soal Maya. Ternyata ...."
"Ada orang yang sengaja ingin Maya mati, kan?" tebakan Elang membuat Abi tersentak kaget.
"Darimana paman tau?"
"Udah tau dari dulu. Gue udah selidiki mereka bareng Wisnu kemarin. Ridwan ... Maaf kami nggak bilang kamu, karena kalian dekat. Wisnu pun melarang kamu tau sebenarnya. Yah karena tau bakal gini, Bi. Kamu masih terlalu muda, Bi. Emosi kamu masih belum stabil. Kamu juga masih sangat emosional, terlebih menyangkut orang terdekat kamu. Tapi, seiring berjalannya waktu, pasti sifat itu akan berubah. Dan sengaja, kami nggak cerita ke kamu, biar kamu tau sendiri. Cuma nggak sangka aja kalau kamu tau lebih cepat dari dugaan kami."
"Jadi bagaimana, Paman?"
"Teruskan saja rencana kita," kata Elang, meneguk kopi terakhir miliknya, menatap sudut gelap taman yang cukup menyeramkan, padahal ia tidak melihat apa pun di sana, tapi sebenarnya ada satu sosok berdiri di tempat itu. Menatap mereka datar. Hania.
_____
Gio sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Semua senjata dan amunisi yang harus mereka bawa untuk rencana nanti malam. "Kita bergerak kapan?" tanya Gio, tidak sabaran.
"Jam 9 malam. Kita ke rumah Tante Desi, rasanya kita nggak perlu datang ke kantor itu. Anggota kita nggak cukup. Di sana banyak penjaga, pasti kita kewalahan," kata Abimanyu.
"Oke, kita ke rumah Tante Desi untuk selamatkan Nabila, ya. Oh iya, Wan, Tante Desi sudah kamu kasih tau untuk pergi dari rumah sementara waktu?" tanya Elang menunjuk Ridwan yang duduk di samping Mya.
"Sudah, Om."
"Bagus. Kita siap-siap sekarang."
Pembagian tetap berjalan seperti di awal. Ridwan di rumah bersama Maya. Sementara yang lain pergi ke rumah Tante Desi, untuk menolong Nabila yang akan mereka kira kalau dia Maya. Sempat Abi merasa menjadi orang paling bodoh, karena sudah mempersiapkan rencana dengan matang, membuat Maya kembali ke rumah dan mengorbankan Nabila di sana, ternyata taktik itu sudah diketahui musuh, tentu hal ini menjawab rasa penasaran, kenapa Nabila sampai sekarang aman-aman saja. Yah, karena mereka sudah tau kalau dia memang Nabila, bukan Maya.
"Wan, jaga Maya baik-baik, kau kakaknya. Jangan sampai adikmu celaka. Tanggung jawab mu lebih besar dari kami." Nasehat itu keluar dari mulut Abi sebelum mereka bergerak. Ridwan hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Baru Abi sadari, kalau beberapa hari terakhir sikap Ridwan memang berubah. Ia lebih pendiam dari biasanya.
"Oke, team, are you ready?" tanya Elang mengalihkan pembicaraan Abi yang takutnya akan berdampak Ridwan mengetahui kalau mereka tau dialah dalang dari pembunuhan yang akan melibatkan Maya, adiknya. Elang mengulurkan tangan kanannya ke tengah lingkaran yang mereka buat, mencoba melakukan tos ala ala team di film action. Gio mengikuti apa yang Elang lakukan, diikuti Adi, lalu Abimanyu.
Mereka berangkat naik mobil Elang. Membawa beberapa peralatan yang dibutuhkan. Meninggalkan rumah. Ridwan menutup pintu, sengaja tidak menguncinya agar tamu yang ia tunggu segera datang dan tidak perlu lagi kesulitan membuka pintu. Ia lantas mengajak Maya ke atas, kamarnya. Maya yang merasa aneh, hanya terus mengikutinya hingga masuk kamar itu. "Tidur gih. Sudah malam."
Sementara Maya tidur, Ridwan kembali ke kamarnya sendiri. Ia duduk di sisi jendela, menatap keadaan di luar sambil mengingat masa kecilnya dulu. Ia dan Maya bukanlah saudara kandung, tidak banyak orang tau. Karena saat ibunya dan ayahnya menikah, mereka masih kecil. Ridwan yang anak kandung ibunya, menikah dengan ayah Maya. Keduanya sama sama bercerai dengan pasangan sebelumnya.
Hidup mereka berjalan normal, layaknya keluarga lain pada umumnya. Sampai saat mereka mulai tumbuh besar. Sikap orang tuanya makin berubah, perlakuan mereka tidak lagi terasa adil bagi Ridwan. Semua tercurahkan untuk Maya. Sampai pada suatu kejadian, Ridwan yang dimarahi habis-habisan karena mengajak Maya main di sungai, mendapat pukulan keras, karena Maya sempat tenggelam karena arus sungai yang deras, dan sungai yang dalam. Ibu yang menjadi satu-satunya tumpuan Ridwan juga menatap benci padanya. Dan akhirnya dendam itu terus tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Padahal Maya sangat menyayangi Ridwan, kakaknya.
Kejadian 7 tahun lalu, juga menjadi salah satu pemicu. Ridwan sejak kecil menyukai Siska. Siska yang pendiam, tapi misterius membuat Ridwan ingin mengenalnya lebih jauh. Dan setelah tau kalau Maya juga dekat dengan Siska, ia menjadi lebih sering bertemu Siska. Perasaan kagum Ridwan terus tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Namun hari naas itu, membuat Ridwan benar-benar kecewa. la mendapati kabar kematian Siska, dan anehnya Maya beberapa hari sejak kejadian itu mengurung diri di kamar. Aneh. Akhirnya Ridwan menemukan sebuah buku harian yang biasa ditulis Maya. Kejadian itu, ia catat dengan detil di buku itu. Ridwan bertanya perihal buku harian Maya, tapi Maya menolak untuk menjadi saksi di pengadilan atas kasus itu. Seharusnya para pelaku dihukum saat itu, jika Maya mau menjadi saksi. Tapi Maya menolak. Bahkan Maya membakar buku hariannya dan membuat Ridwan murka.
Mobil mulai masuk halaman rumah Elang. Hanya ada sekitar 2 mobil saja. Mereka sudah tau kalau Abimanyu dan yang lain tidak ada di rumah. Ada sekitar 10 orang saja yang ada di sini, mereka pikir membunuh Maya tidak perlu mengeluarkan banyak orang. Maya gadis lemah dan sangat mudah ditaklukan. Pintu dibuka perlahan, segera saja mereka masuk menuju lantai atas, bahkan Ridwan sudah menandai pintu kamar Maya dengan lipstik merah milik Nabila yang masih tertinggal di kamarnya.
Kenop pintu diputar, pintu kamar Maya terbuka pelan, deritnya terdengar nyaring di penjuru rumah. Suasana rumah sunyi, bahkan suara jangkrik di luar rumah sangat terdengar jelas sekali. Hara masuk ke kamar Maya, la langsung berjalan ke ranjang gadis itu. Ia yang menutupi dirinya sendiri dengan selimut, membuat Hara tanpa basa basi menembak ke ranjang itu dengan senapan ditangannya. Bunyi tembakan terdengar dari kamar Ridwan. Ia menyeringai. Ridwan segera keluar kamar, mencoba bersikap layak, panik, untuk memeriksa keadaan Maya juga di kamarnya. Tapi dari kejauhan ia melihat ada perkelahian dari kamar Maya. Sinar lampu di dalam kamar Maya membuat bayangan di dalam terlihat ke luar pintu, karena keadaan lantai atas sengaja gelap. Ridwan cemas, ia berpikir kalau salah satu dari teman-temannya sudah kembali atau sengaja pulang. Ia ingin tau siapa orang itu. Ridwan mendekat ke kamar, namun apa yang ia lihat justru di luar dugaan. la justru melihat Maya tengah menyayat leher Hara dengan pisau ditangannya. Maya menatap Ridwan nanar. Melempar Hara yang sedang menghadapi mautnya dengan terus memegang lehernya sendiri. Rupanya tembakan tadi justru mengenai tepat ke anak buah Hara.
"May, ada apa ini?" tanya Ridwan, sok polos.
Maya mendekat, ia menendang kaki Hara yang menghalangi jalannya. Meludah dan tatapannya sungguh berbeda dari Maya yang selama ini Ridwan kenal. Maya yang lucu, ramai, dan lemah.
"Mereka mau bunuh aku, Bang. Cih, mereka pikir bisa membunuh aku semudah itu?" Sikap Maya mulai aneh di mata Ridwan. IA merasa Maya di hadapannya bukanlah Maya adiknya.
"Kamu kok bisa ...." Ridwan tidak melanjutkan pertanyaannya karena Maya justru kini mendekat ke pemuda itu. "Membunuh mereka?" tanya Maya dengan pisau di tangannya. Ridwan mengangguk.
"Bang Ridwan, aku sayang abang. Kenapa Abang melakukan ini ke aku?" tanya Maya dengan nada bergetar. Air matanya tumpah saat menunjukkan sebuah rekaman. Rekaman yang ia dapatkan sejak lama, rekaman yang memberitahukan kalau Ridwan menyuruh orang-orang ini untuk membunuh Maya.
Mereka sampai di BD Coorporation. Hanya berempat, seperti biasa. Tempat itu kini berbeda. Lampu sudah dipadamkan sejak beberapa jam lalu. "Jadi Maya udah tau kalau Ridwan ...?" tanya Abimanyu sesaat setelah mereka turun dari mobil. Elang mengangguk.
"Mayą sudah tau kalau kakaknya yang 36 menginginkan kematiannya. Dan dia bisa menanganinya. Kau nggak usah khawatir. Maya itu atlet karate. Dia nggak pernah bilang sama orang di sekitarnya, karena memang ibunya nggak mengizinkan. Jadi kalau sekedar ngadepin orang 10 aja dia sanggup. Kita fokus saja di sini."
Gio dan Adi juga sebenarnya sudah tau perihal masalah antara Ridwan dan Maya, bahkan mereka sudah membahasnya dengan Maya. Maya yang sudah tau akan dibunuh malam ini, meminta agar ditinggalkan berdua saja di rumah dengan Ridwan. Ia meyakinkan mereka kalau Maya bisa menghadapi situasi ini. Maya meminta privasi untuk menyelesaikan masalah keluarganya sendiri dengan Ridwan. Antara kakak dan adik.
"Elu yakin, Lang, mereka ada di sini?"
"Yakin. Mereka punya markas rahasia di gedung ini. Tempat mereka berkumpul. Masuk!" ajak Elang mengendap-endap masuk ke dalam. Mereka masuk melalui basemen di bawah. Tempat ini lenggang, karena aktifitas normal memang terjadi saat matahari nampak, tapi saat matahari tenggelam, mereka juga tetap mengurus bisnis gelapnya.
"Tuh, lewat sana," tunjuk Gio sambil memperhatikan tablet yang ia pegang, ia sudah meneliti struktur bangunan ini, tempat mana yang harus mereka datangi untuk sampai ke tujuan akhir. "Eh tunggu-tunggu," ucap Gio merentangkan kanan kirinya ke samping. Membuat mereka yang mengikutinya berhenti. "Ini kita berempat doang? Lagi?" tanyanya bingung.
"Lu pikir mau siapa lagi, hah? Takut?" tanya Adi, sedikit kesal.
"Enggak sih. Cuma ... apa dengan hal ini aja kita bisa berkumpul gini, ya?" pertanyaan itu tertuju pada Elang. Pria itu merasa tersindir lantas memukul pelan kepala Gio dengan ujung pistolnya. "Nggak usah becanda deh, buruan!" Gio terkekeh lalu melanjutkan perjalanan mereka.
"Posisi mereka ada di lantai 45. Kita nggak bisa naik lift karena saat kantor tutup, lift juga mati otomatis. Cuma ada 1 lift yang terus beroprasi, Lift milik CEO perusahaan ini, tapi berbahaya kalau kita naik itu, CCTV nya tetap terhubung ke komputer Andareksa."
"Andareksa?" tanya Abimanyu asing dengan nama itu.
"Iya, CEO sinting pemilik perusahaan ini."
"Mereka Black Demon yang kita hadapi dulu, bukan?" tanya Adi. Mereka berdiskusi sambil berjalan menyusuri tangga darurat hingga menuju lantai 45.
"Secara teknis, bukan sih, gue rasa. Mereka bisa mati kalau kita tembak, nggak bisa hidup lagi kayak si Abi ini. Kalau soal nama, gue rasa itu cuma kebetulan saja."
"Serius lu? Jangan salah informasi, ya, Gi!"
"Buktinya Andareksa pernah kena luka tembak dan koma selama 2 minggu. Jadi dia manusia biasa."
Nafas mereka mulai pendek. Rasa lelah kini menggerogoti tubuh mereka. Bagaimana pun juga lantai 45 sangat tinggi dan masih jauh di atas sana. "Capek," keluh Adi, berhenti di lantai 15.
"Bener, Gi. Nggak bisa apa elu bikin lift bisa jalan, biar kita nggak capek-capek naik," pinta Elang yang lebih ke arah menyuruh.
"Huh, dasar. Faktor umur memang nggak bisa dielakan lagi. Liat saja si Abi, masih stabil dia."
"Udah ah, bawel. Lewat lift saja. Buruan!" paksa Elang, mendorong Gio agar keluar lewat pintu darurat yang memang ada di setiap lantai. Suasana sepi. kini Gio mulai mengutak atik lift dengan segenap kemampuannya. Berhasil. Lift terbuka. Mereka akhirnya bernafas lega, dan masuk ke dalam.
"Eh, Gi. Ini langsung ke lantai 45?"
"Iya. Kenapa? Kan kalian yang minta."
"Kalau di sana ada penjagaan ketauan dong kita, ya?"
"Nah kan. Siapa yang brengsek sekarang?!"
"Ya lawan, apa susahnya sih?" cetus Adi, yakin.
"Lu liat saja ya, nanti. Jangan salahin gue kalau udah sampai atas."
Kalimat Gio memberikan teka teki yang membuat mereka bertiga khawatir. Senapan mulai disiapkan, dari perkataan Gio tadi menunjukkan kalau musuh sudah dekat dan mereka harus bersiap menghadapi mereka.
Pintu lift dibuka. Suaranya khas, dan saat terbuka sepenuhnya, ada 3 orang di depan pintu yang sudah bersiap dengan pistolnya. Gio otomatis menembak dan membuat mereka terkapar di sana. "Apa gue bilang!" Mereka keluar dan serangan mulai terjadi. Beberapa gerombolan orang menyerbu 4 orang pria gila yang hendak mengantar nyawa. Tak hanya ledakan pistol, mereka saling pukul dan tendang, mencoba bertahan dan menunjukkan siapa yang paling kuat.
Abi sudah membunuh beberapa orang di belakangnya, ia lantas pergi ke ruangan yang kemarin ia lihat. Di dalam, sudah ada beberapa orang yang tengah menunggunya. Abi terkejut, saat melihat Riki, Bisma, dan David. Di sana ada satu orang lagi yang ia pikir adalah Andareksa. Ceo BD Coorporation.
"Kalian masih hidup?" tanya Abi, menunjuk ke Bisma dan Riki.
"Kenapa? Kaget? Kami sama seperti kamu, Abimanyu Maheswara. Kami nggak akan bisa mati, kau tau?!"
Di saat yang bersamaan, Abi menerjang tubuh Bisma yang paling dekat dengannya. Membuat mereka jatuh dan memecahkan meja kaca di tengah ruangan. Tak hanya Bisma, Riki ikut menyerang Abimanyu. Abi kewalahan hingga kini tubuhnya sudah ada di pinggir jendela lantai 45 itu.
Brak!
Kepala Bisma dipukul dengan asbak kristal oleh Adi, ia sudah berdiri di belakang mereka bertiga. Saat Bisma maju, tangan Adi mendorong sebuah pedang panjang dan menghujam perut Bisma hingga mengeluarkan darah segar. Bisma terkejut, ia memegang pedang itu dan berusaha menariknya. Sementara itu, Abi kini menggelantung di jendela. Riki yang perlahan hendak melepaskan tangan Abi hanya tertawa ringan. "Baiklah kita jatuh berdua saja!" Riki malah melompat dan membuat pegangan Abi yang semula ada pada Riki kini ikut jatuh ke bawah.
Bunyi berdebum keras membuat kepala Abi berdenyut. Ia mendarat mulus ke tanah lapang di depan gedung ini. Hidungnya mengeluarkan darah segar, begitu juga telinga dan mulutnya. Itu reaksi normal jika seseorang terjatuh dari ketinggian seperti ini. Bedanya jika manusia normal, ia akan langsung mati di tempat, tapi Abimanyu lain. Ia masih bisa bernafas. Netranya mencari keberadaan Riki, tapi ia tercengang saat melihat tubuh Riki tertancap pada sebuah patung Dewa Zeus yang membawa tombak.
Riki sekarat, tangannya menjulur ke Abi, minta dilepaskan. Abimanyu hanya menatapnya datar dan menonton kematian Riki yang perlahan tapi mengenaskan. Abi yakin kalau Riki dan Bisma pasti menguasai ilmu Pancasona, karena mereka bisa hidup sampai sekarang padahal ia yakin benar, kalau dua orang itu sudah mati. Setau Abi, seseorang penganut ilmu ini akan mati jika saat sekarang kakinya tidak menginjak tanah. Dan kini Riki dibiarkan begitu saja menggantung di atas sana.
Mobil polisi datang, Rizal dan Nabila muncul dengan beberapa polisi lainnya. "Bi, lu nggak apa-apa?" tanya Rizal tapi matanya fokus pada tubuh Riki di atas sana yang kini sudah diam tak bergerak. Riki mati. "Bakar aja dia. Nggak usah dikubur. Nanti hidup lagi!" kata Abimanyu lalu kembali masuk ke dalam gedung. Rizal dan Nabila mengikutinya, tapi sebelumnya menyuruh anak buahnya membakar tubuh Riki terlebih dahulu. Mereka kini naik lift untuk sampai lantai atas, tapi tiba-tiba di luar sana, datang beberapa mobil. Mereka bertiga menoleh. "Anak buah kalian?" tanya Abi. Rizal dan Nabila menggeleng. Di saat yang bersamaan, mobil itu mulai menembaki polisi di luar dan kini terus masuk ke dalam gedung. "Gila! Masuk!" jerit Nabila lalu segera menutup lift.
Suara tembakan lama kelamaan tak lagi terdengar. "Siapa mereka?" tanya Abi.
"Gangster BD Brotherhood. Mereka yang menjalankan bisnis pasar gelap. Senjata, pembunuhan, perdagangan manusia dan semua itu," jelas Rizal.
"Kita benar-benar perang sekarang!"
Lift berhenti. Listrik padam dan membuat keadaan menjadi gelap gulita. "Gimana ini?" tanya Nabila, panik.
Abimanyu memutuskan kembali. Meninggalkan gedung itu dan pulang. Kabar yang ia dengar benar-benar membuatnya terpukul. Langkahnya pelan, bahkan terkesan sempoyongan. Ia tidak menyangka kalau orang yang selama ini ia percaya ternyata malah menjadi musuh yang berbahaya.
Abi sampai di rumah Elang. Ia mendapati Adi, dan Elang hendak pergi. Saat melihat kedatangan Abi, mereka lantas memberondong pemuda itu dengan berbagai pertanyaan. "Maya di mana?" tanya Abi tanpa menjawab satu pun pertanyaan Adi maupun Elang.
"Ada di kamarnya. Ridwan jagain dia dari tadi."
"Oh."
"Kenapa, Bi?"
"Loh kita nggak jadi serang mereka balik?" Adi terus mengikuti Abi yang masuk ke dalam. Sampai ruang tamu, ada Gio, Ridwan, dan Maya. Menunggu mereka. Rizal sudah pergi ke rumah Tante Desi untuk menjaga Nabila. Rasanya sekarang Abi yakin kalau Nabila tidak akan terluka.
la duduk di sofa. Diikuti yang lain. Mereka penasaran atas apa yang terjadi, karena sejak tadi Abi sulit dihubungi. Ia melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Sekali pun udara dingin, tapi tubuh Abi justru kepanasan. "Gini ...," ucap Abi, menatap teman-temannya satu persatu. la juga memperhatikan Ridwan secara intens, namun tetap mencoba bersikap wajar. Elang yang memperhatikan sikap Abi, hanya diam sambil terus memantau. la berpikir akan bertanya pada anak itu nanti, saat keadaan sepi. Elang tau ada yang Abi sembunyikan.
"Kita bergerak besok malam. Sebagian ke rumah Tante Desi, sebagian lagi harus ke kantor BD Coorporation. Kita harus serang mereka semua besok malam. Bagaimana?"
Selama beberapa menit mereka diam, mencoba mempelajari taktik yang di rencanakan Abimanyu. Beberapa lantas mengangguk setuju. "Bang, biar aku di rumah jaga Maya," celetuk Ridwan. Dan kalimat barusan, membuat Abi makin yakin, kalau Ridwan memang terlibat dalam persekongkolan ini. Abi diam, menatap dingin pemuda yang selama beberapa tahun ini menemaninya. Ia lantas mengangguk.
"Ada apa?" tanya Elang sembari mengulurkan secangkir kopi hitam yang baru saja ia buat. Elang terpaksa menyusul Abimanyu yang sedang duduk sendirian di taman depan rumahnya. Ini adalah hal yang sebenarnya tidak ia sukai. Ini sudah tengah malam, dan bukan hanya dingin saja, tapi banyak nyamuk yang siap menyantap darah mereka di sini. Tapi Elang tau, kalau ada yang sedang Abi pikirkan. Sikap pemuda itu aneh sejak pulang. Padahal di telepon sebelumnya ia terlihat sangat bersemangat, sampai-sampai Elang takut jika Abi akan bertindak sendiri dan mengobrak-abrik kantor BD Coorporation itu.
"Paman pernah ditusuk oleh sahabat paman sendiri?"
Pertanyaan Abi mampu menggelitik hati Elang, ia seolah sedikit demi sedikit tau ke mana arah tujuan pembicaraan ini. Hanya saja Elang masih sangat penasaran apa yang dimaksud Abi, dan tentang masalah apa sekarang. "Hm, dikhianati sahabat sendiri? Pernahlah. Temen bisnis, temen gue, eh dia brengsek. Nipu perusahaan sampai gue rugi ratusan juta. Kenapa?"
"Sakit, ya, paman?"
"Siapa?"
Abi menoleh ke Elang kini menatapnya dingin. Abi bingung, apakah ia harus menceritakan apa yang ia dengar pada Elang atau harus ia simpan sendiri saja. Tapi, Elang adalah salah satu orang yang Abi percayai dan benar-benar Abi andalkan. "Tadi aku ke kantor mereka." la menarik nafas dalam-dalam, meneguk kopi yang masih utuh ditangannya. Sejenak ia menatap cangkir kopi itu, cangkir yang mewah, sepadan dengan rasa kopi yang sangat enak. Elang kini lebih pandai meracik kopi rupanya.
"Terus? Gue yakin elu nggak bertindak apa pun, kan? Karena kalau sampai elu tadi obrak-abrik tempat itu, elu nggak akan pulang dalam keadaan utuh."
Abi terkekeh. Ia seolah menyetujui pendapat Elang barusan. Ucapan Elang pasti beralasan. Dan kini saatnya Elang tau yang sebenarnya.
"Aku dengar pembicaraan Hara dengan salah satu pemilik BD Coorporation. Eum, mungkin dia pemiliknya soalnya Hara meminta bayaran ke dia saat sampai di sana."
"Oke. Terus?"
"Ada satu obrolan singkat yang bikin aku kaget. Soal Maya. Ternyata ...."
"Ada orang yang sengaja ingin Maya mati, kan?" tebakan Elang membuat Abi tersentak kaget.
"Darimana paman tau?"
"Udah tau dari dulu. Gue udah selidiki mereka bareng Wisnu kemarin. Ridwan ... Maaf kami nggak bilang kamu, karena kalian dekat. Wisnu pun melarang kamu tau sebenarnya. Yah karena tau bakal gini, Bi. Kamu masih terlalu muda, Bi. Emosi kamu masih belum stabil. Kamu juga masih sangat emosional, terlebih menyangkut orang terdekat kamu. Tapi, seiring berjalannya waktu, pasti sifat itu akan berubah. Dan sengaja, kami nggak cerita ke kamu, biar kamu tau sendiri. Cuma nggak sangka aja kalau kamu tau lebih cepat dari dugaan kami."
"Jadi bagaimana, Paman?"
"Teruskan saja rencana kita," kata Elang, meneguk kopi terakhir miliknya, menatap sudut gelap taman yang cukup menyeramkan, padahal ia tidak melihat apa pun di sana, tapi sebenarnya ada satu sosok berdiri di tempat itu. Menatap mereka datar. Hania.
_____
Gio sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Semua senjata dan amunisi yang harus mereka bawa untuk rencana nanti malam. "Kita bergerak kapan?" tanya Gio, tidak sabaran.
"Jam 9 malam. Kita ke rumah Tante Desi, rasanya kita nggak perlu datang ke kantor itu. Anggota kita nggak cukup. Di sana banyak penjaga, pasti kita kewalahan," kata Abimanyu.
"Oke, kita ke rumah Tante Desi untuk selamatkan Nabila, ya. Oh iya, Wan, Tante Desi sudah kamu kasih tau untuk pergi dari rumah sementara waktu?" tanya Elang menunjuk Ridwan yang duduk di samping Mya.
"Sudah, Om."
"Bagus. Kita siap-siap sekarang."
Pembagian tetap berjalan seperti di awal. Ridwan di rumah bersama Maya. Sementara yang lain pergi ke rumah Tante Desi, untuk menolong Nabila yang akan mereka kira kalau dia Maya. Sempat Abi merasa menjadi orang paling bodoh, karena sudah mempersiapkan rencana dengan matang, membuat Maya kembali ke rumah dan mengorbankan Nabila di sana, ternyata taktik itu sudah diketahui musuh, tentu hal ini menjawab rasa penasaran, kenapa Nabila sampai sekarang aman-aman saja. Yah, karena mereka sudah tau kalau dia memang Nabila, bukan Maya.
"Wan, jaga Maya baik-baik, kau kakaknya. Jangan sampai adikmu celaka. Tanggung jawab mu lebih besar dari kami." Nasehat itu keluar dari mulut Abi sebelum mereka bergerak. Ridwan hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Baru Abi sadari, kalau beberapa hari terakhir sikap Ridwan memang berubah. Ia lebih pendiam dari biasanya.
"Oke, team, are you ready?" tanya Elang mengalihkan pembicaraan Abi yang takutnya akan berdampak Ridwan mengetahui kalau mereka tau dialah dalang dari pembunuhan yang akan melibatkan Maya, adiknya. Elang mengulurkan tangan kanannya ke tengah lingkaran yang mereka buat, mencoba melakukan tos ala ala team di film action. Gio mengikuti apa yang Elang lakukan, diikuti Adi, lalu Abimanyu.
Mereka berangkat naik mobil Elang. Membawa beberapa peralatan yang dibutuhkan. Meninggalkan rumah. Ridwan menutup pintu, sengaja tidak menguncinya agar tamu yang ia tunggu segera datang dan tidak perlu lagi kesulitan membuka pintu. Ia lantas mengajak Maya ke atas, kamarnya. Maya yang merasa aneh, hanya terus mengikutinya hingga masuk kamar itu. "Tidur gih. Sudah malam."
Sementara Maya tidur, Ridwan kembali ke kamarnya sendiri. Ia duduk di sisi jendela, menatap keadaan di luar sambil mengingat masa kecilnya dulu. Ia dan Maya bukanlah saudara kandung, tidak banyak orang tau. Karena saat ibunya dan ayahnya menikah, mereka masih kecil. Ridwan yang anak kandung ibunya, menikah dengan ayah Maya. Keduanya sama sama bercerai dengan pasangan sebelumnya.
Hidup mereka berjalan normal, layaknya keluarga lain pada umumnya. Sampai saat mereka mulai tumbuh besar. Sikap orang tuanya makin berubah, perlakuan mereka tidak lagi terasa adil bagi Ridwan. Semua tercurahkan untuk Maya. Sampai pada suatu kejadian, Ridwan yang dimarahi habis-habisan karena mengajak Maya main di sungai, mendapat pukulan keras, karena Maya sempat tenggelam karena arus sungai yang deras, dan sungai yang dalam. Ibu yang menjadi satu-satunya tumpuan Ridwan juga menatap benci padanya. Dan akhirnya dendam itu terus tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Padahal Maya sangat menyayangi Ridwan, kakaknya.
Kejadian 7 tahun lalu, juga menjadi salah satu pemicu. Ridwan sejak kecil menyukai Siska. Siska yang pendiam, tapi misterius membuat Ridwan ingin mengenalnya lebih jauh. Dan setelah tau kalau Maya juga dekat dengan Siska, ia menjadi lebih sering bertemu Siska. Perasaan kagum Ridwan terus tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Namun hari naas itu, membuat Ridwan benar-benar kecewa. la mendapati kabar kematian Siska, dan anehnya Maya beberapa hari sejak kejadian itu mengurung diri di kamar. Aneh. Akhirnya Ridwan menemukan sebuah buku harian yang biasa ditulis Maya. Kejadian itu, ia catat dengan detil di buku itu. Ridwan bertanya perihal buku harian Maya, tapi Maya menolak untuk menjadi saksi di pengadilan atas kasus itu. Seharusnya para pelaku dihukum saat itu, jika Maya mau menjadi saksi. Tapi Maya menolak. Bahkan Maya membakar buku hariannya dan membuat Ridwan murka.
Mobil mulai masuk halaman rumah Elang. Hanya ada sekitar 2 mobil saja. Mereka sudah tau kalau Abimanyu dan yang lain tidak ada di rumah. Ada sekitar 10 orang saja yang ada di sini, mereka pikir membunuh Maya tidak perlu mengeluarkan banyak orang. Maya gadis lemah dan sangat mudah ditaklukan. Pintu dibuka perlahan, segera saja mereka masuk menuju lantai atas, bahkan Ridwan sudah menandai pintu kamar Maya dengan lipstik merah milik Nabila yang masih tertinggal di kamarnya.
Kenop pintu diputar, pintu kamar Maya terbuka pelan, deritnya terdengar nyaring di penjuru rumah. Suasana rumah sunyi, bahkan suara jangkrik di luar rumah sangat terdengar jelas sekali. Hara masuk ke kamar Maya, la langsung berjalan ke ranjang gadis itu. Ia yang menutupi dirinya sendiri dengan selimut, membuat Hara tanpa basa basi menembak ke ranjang itu dengan senapan ditangannya. Bunyi tembakan terdengar dari kamar Ridwan. Ia menyeringai. Ridwan segera keluar kamar, mencoba bersikap layak, panik, untuk memeriksa keadaan Maya juga di kamarnya. Tapi dari kejauhan ia melihat ada perkelahian dari kamar Maya. Sinar lampu di dalam kamar Maya membuat bayangan di dalam terlihat ke luar pintu, karena keadaan lantai atas sengaja gelap. Ridwan cemas, ia berpikir kalau salah satu dari teman-temannya sudah kembali atau sengaja pulang. Ia ingin tau siapa orang itu. Ridwan mendekat ke kamar, namun apa yang ia lihat justru di luar dugaan. la justru melihat Maya tengah menyayat leher Hara dengan pisau ditangannya. Maya menatap Ridwan nanar. Melempar Hara yang sedang menghadapi mautnya dengan terus memegang lehernya sendiri. Rupanya tembakan tadi justru mengenai tepat ke anak buah Hara.
"May, ada apa ini?" tanya Ridwan, sok polos.
Maya mendekat, ia menendang kaki Hara yang menghalangi jalannya. Meludah dan tatapannya sungguh berbeda dari Maya yang selama ini Ridwan kenal. Maya yang lucu, ramai, dan lemah.
"Mereka mau bunuh aku, Bang. Cih, mereka pikir bisa membunuh aku semudah itu?" Sikap Maya mulai aneh di mata Ridwan. IA merasa Maya di hadapannya bukanlah Maya adiknya.
"Kamu kok bisa ...." Ridwan tidak melanjutkan pertanyaannya karena Maya justru kini mendekat ke pemuda itu. "Membunuh mereka?" tanya Maya dengan pisau di tangannya. Ridwan mengangguk.
"Bang Ridwan, aku sayang abang. Kenapa Abang melakukan ini ke aku?" tanya Maya dengan nada bergetar. Air matanya tumpah saat menunjukkan sebuah rekaman. Rekaman yang ia dapatkan sejak lama, rekaman yang memberitahukan kalau Ridwan menyuruh orang-orang ini untuk membunuh Maya.
Mereka sampai di BD Coorporation. Hanya berempat, seperti biasa. Tempat itu kini berbeda. Lampu sudah dipadamkan sejak beberapa jam lalu. "Jadi Maya udah tau kalau Ridwan ...?" tanya Abimanyu sesaat setelah mereka turun dari mobil. Elang mengangguk.
"Mayą sudah tau kalau kakaknya yang 36 menginginkan kematiannya. Dan dia bisa menanganinya. Kau nggak usah khawatir. Maya itu atlet karate. Dia nggak pernah bilang sama orang di sekitarnya, karena memang ibunya nggak mengizinkan. Jadi kalau sekedar ngadepin orang 10 aja dia sanggup. Kita fokus saja di sini."
Gio dan Adi juga sebenarnya sudah tau perihal masalah antara Ridwan dan Maya, bahkan mereka sudah membahasnya dengan Maya. Maya yang sudah tau akan dibunuh malam ini, meminta agar ditinggalkan berdua saja di rumah dengan Ridwan. Ia meyakinkan mereka kalau Maya bisa menghadapi situasi ini. Maya meminta privasi untuk menyelesaikan masalah keluarganya sendiri dengan Ridwan. Antara kakak dan adik.
"Elu yakin, Lang, mereka ada di sini?"
"Yakin. Mereka punya markas rahasia di gedung ini. Tempat mereka berkumpul. Masuk!" ajak Elang mengendap-endap masuk ke dalam. Mereka masuk melalui basemen di bawah. Tempat ini lenggang, karena aktifitas normal memang terjadi saat matahari nampak, tapi saat matahari tenggelam, mereka juga tetap mengurus bisnis gelapnya.
"Tuh, lewat sana," tunjuk Gio sambil memperhatikan tablet yang ia pegang, ia sudah meneliti struktur bangunan ini, tempat mana yang harus mereka datangi untuk sampai ke tujuan akhir. "Eh tunggu-tunggu," ucap Gio merentangkan kanan kirinya ke samping. Membuat mereka yang mengikutinya berhenti. "Ini kita berempat doang? Lagi?" tanyanya bingung.
"Lu pikir mau siapa lagi, hah? Takut?" tanya Adi, sedikit kesal.
"Enggak sih. Cuma ... apa dengan hal ini aja kita bisa berkumpul gini, ya?" pertanyaan itu tertuju pada Elang. Pria itu merasa tersindir lantas memukul pelan kepala Gio dengan ujung pistolnya. "Nggak usah becanda deh, buruan!" Gio terkekeh lalu melanjutkan perjalanan mereka.
"Posisi mereka ada di lantai 45. Kita nggak bisa naik lift karena saat kantor tutup, lift juga mati otomatis. Cuma ada 1 lift yang terus beroprasi, Lift milik CEO perusahaan ini, tapi berbahaya kalau kita naik itu, CCTV nya tetap terhubung ke komputer Andareksa."
"Andareksa?" tanya Abimanyu asing dengan nama itu.
"Iya, CEO sinting pemilik perusahaan ini."
"Mereka Black Demon yang kita hadapi dulu, bukan?" tanya Adi. Mereka berdiskusi sambil berjalan menyusuri tangga darurat hingga menuju lantai 45.
"Secara teknis, bukan sih, gue rasa. Mereka bisa mati kalau kita tembak, nggak bisa hidup lagi kayak si Abi ini. Kalau soal nama, gue rasa itu cuma kebetulan saja."
"Serius lu? Jangan salah informasi, ya, Gi!"
"Buktinya Andareksa pernah kena luka tembak dan koma selama 2 minggu. Jadi dia manusia biasa."
Nafas mereka mulai pendek. Rasa lelah kini menggerogoti tubuh mereka. Bagaimana pun juga lantai 45 sangat tinggi dan masih jauh di atas sana. "Capek," keluh Adi, berhenti di lantai 15.
"Bener, Gi. Nggak bisa apa elu bikin lift bisa jalan, biar kita nggak capek-capek naik," pinta Elang yang lebih ke arah menyuruh.
"Huh, dasar. Faktor umur memang nggak bisa dielakan lagi. Liat saja si Abi, masih stabil dia."
"Udah ah, bawel. Lewat lift saja. Buruan!" paksa Elang, mendorong Gio agar keluar lewat pintu darurat yang memang ada di setiap lantai. Suasana sepi. kini Gio mulai mengutak atik lift dengan segenap kemampuannya. Berhasil. Lift terbuka. Mereka akhirnya bernafas lega, dan masuk ke dalam.
"Eh, Gi. Ini langsung ke lantai 45?"
"Iya. Kenapa? Kan kalian yang minta."
"Kalau di sana ada penjagaan ketauan dong kita, ya?"
"Nah kan. Siapa yang brengsek sekarang?!"
"Ya lawan, apa susahnya sih?" cetus Adi, yakin.
"Lu liat saja ya, nanti. Jangan salahin gue kalau udah sampai atas."
Kalimat Gio memberikan teka teki yang membuat mereka bertiga khawatir. Senapan mulai disiapkan, dari perkataan Gio tadi menunjukkan kalau musuh sudah dekat dan mereka harus bersiap menghadapi mereka.
Pintu lift dibuka. Suaranya khas, dan saat terbuka sepenuhnya, ada 3 orang di depan pintu yang sudah bersiap dengan pistolnya. Gio otomatis menembak dan membuat mereka terkapar di sana. "Apa gue bilang!" Mereka keluar dan serangan mulai terjadi. Beberapa gerombolan orang menyerbu 4 orang pria gila yang hendak mengantar nyawa. Tak hanya ledakan pistol, mereka saling pukul dan tendang, mencoba bertahan dan menunjukkan siapa yang paling kuat.
Abi sudah membunuh beberapa orang di belakangnya, ia lantas pergi ke ruangan yang kemarin ia lihat. Di dalam, sudah ada beberapa orang yang tengah menunggunya. Abi terkejut, saat melihat Riki, Bisma, dan David. Di sana ada satu orang lagi yang ia pikir adalah Andareksa. Ceo BD Coorporation.
"Kalian masih hidup?" tanya Abi, menunjuk ke Bisma dan Riki.
"Kenapa? Kaget? Kami sama seperti kamu, Abimanyu Maheswara. Kami nggak akan bisa mati, kau tau?!"
Di saat yang bersamaan, Abi menerjang tubuh Bisma yang paling dekat dengannya. Membuat mereka jatuh dan memecahkan meja kaca di tengah ruangan. Tak hanya Bisma, Riki ikut menyerang Abimanyu. Abi kewalahan hingga kini tubuhnya sudah ada di pinggir jendela lantai 45 itu.
Brak!
Kepala Bisma dipukul dengan asbak kristal oleh Adi, ia sudah berdiri di belakang mereka bertiga. Saat Bisma maju, tangan Adi mendorong sebuah pedang panjang dan menghujam perut Bisma hingga mengeluarkan darah segar. Bisma terkejut, ia memegang pedang itu dan berusaha menariknya. Sementara itu, Abi kini menggelantung di jendela. Riki yang perlahan hendak melepaskan tangan Abi hanya tertawa ringan. "Baiklah kita jatuh berdua saja!" Riki malah melompat dan membuat pegangan Abi yang semula ada pada Riki kini ikut jatuh ke bawah.
Bunyi berdebum keras membuat kepala Abi berdenyut. Ia mendarat mulus ke tanah lapang di depan gedung ini. Hidungnya mengeluarkan darah segar, begitu juga telinga dan mulutnya. Itu reaksi normal jika seseorang terjatuh dari ketinggian seperti ini. Bedanya jika manusia normal, ia akan langsung mati di tempat, tapi Abimanyu lain. Ia masih bisa bernafas. Netranya mencari keberadaan Riki, tapi ia tercengang saat melihat tubuh Riki tertancap pada sebuah patung Dewa Zeus yang membawa tombak.
Riki sekarat, tangannya menjulur ke Abi, minta dilepaskan. Abimanyu hanya menatapnya datar dan menonton kematian Riki yang perlahan tapi mengenaskan. Abi yakin kalau Riki dan Bisma pasti menguasai ilmu Pancasona, karena mereka bisa hidup sampai sekarang padahal ia yakin benar, kalau dua orang itu sudah mati. Setau Abi, seseorang penganut ilmu ini akan mati jika saat sekarang kakinya tidak menginjak tanah. Dan kini Riki dibiarkan begitu saja menggantung di atas sana.
Mobil polisi datang, Rizal dan Nabila muncul dengan beberapa polisi lainnya. "Bi, lu nggak apa-apa?" tanya Rizal tapi matanya fokus pada tubuh Riki di atas sana yang kini sudah diam tak bergerak. Riki mati. "Bakar aja dia. Nggak usah dikubur. Nanti hidup lagi!" kata Abimanyu lalu kembali masuk ke dalam gedung. Rizal dan Nabila mengikutinya, tapi sebelumnya menyuruh anak buahnya membakar tubuh Riki terlebih dahulu. Mereka kini naik lift untuk sampai lantai atas, tapi tiba-tiba di luar sana, datang beberapa mobil. Mereka bertiga menoleh. "Anak buah kalian?" tanya Abi. Rizal dan Nabila menggeleng. Di saat yang bersamaan, mobil itu mulai menembaki polisi di luar dan kini terus masuk ke dalam gedung. "Gila! Masuk!" jerit Nabila lalu segera menutup lift.
Suara tembakan lama kelamaan tak lagi terdengar. "Siapa mereka?" tanya Abi.
"Gangster BD Brotherhood. Mereka yang menjalankan bisnis pasar gelap. Senjata, pembunuhan, perdagangan manusia dan semua itu," jelas Rizal.
"Kita benar-benar perang sekarang!"
Lift berhenti. Listrik padam dan membuat keadaan menjadi gelap gulita. "Gimana ini?" tanya Nabila, panik.
obdiamond dan 6 lainnya memberi reputasi
7