- Beranda
- Stories from the Heart
Supernatural
...
TS
ny.sukrisna
Supernatural
Quote:
Mungkin agan di sini pernah baca cerita ane yang berjudul pancasona? Kali ini ane akan melanjutkan kisah itu di sini. Yang suka cerita genre fantasi, kasus pembunuhan berantai, gengster werewolf, vampire dan sejenisnya. Silakan mampir.


Quote:
INDEKS
Part 1 abimanyu maheswara
Part 2 abimanyu
Part 3 kalla
Part 4 siapa kalla
Part 5 seorang gadis
part 6 Ellea
part 7 taman
Part 8 kamar ellea
Part 9 pagi bersama ellea
Part 10 rencana
Part 11 tentang kalla
part 12 rumah elang
Part 13 kembali aktivitas
part 14 emosi elang
part 15 janin kalla
part 16 elang
Part 17 vin
Part 18 kantor
Part 19 kemunculan kalla
part 20 pulau titik nol kehidupan
part 21 desa terkutuk
Part 22 wira
Part 23 teman lama
Part 24 patung wira
part 25 teror di rumah John
part 26 tato
part 27 simbol aldebaro
part 28 buku
part 29 kantor kalla
part 30 batu saphire
part 31 Lian dan Ayu
part 32 kakak beradik yang kompak
part 33 penyusup
part 34 kalah jumlah
part 35 lorong rahasia
Part 36 masuk lorong
part 37 cairan aneh
part 38 rahasia kalandra
part 39 Nayaka adalah Kalandra
Part 40 kemampuan nayaka
Part 41 Arkie
Part 42 Arkie (2)
Part 43 peperangan
Part 44 berakhir
Part 45 desa abi
part 46 nabila
part 47 cafe abi
Part 48 Maya
part 49 riki kembali, risna terancam
part 50 iblis bertubuh manusia
part 51 bertemu eliza
part 52 Feliz
Part 53 Bisma
Part 54 ke mana bisma
part 55 rahasia mayat
part 56 bisma kabur
part 57 pertemuan tak terduga
part 58 penyelidikan
part 59 tabir rahasia
part 60 kebakaran
part 61 Bajra
part 62 pengorbanan Bajra
part 63 the best team
part 64 masa lalu
part 65 perang dimulai
part 66 kisah baru
part 67 bertemu vin
part 68 san paz
part 69 cafe KOV
part 70 demigod
part 71 california
part 72 Allea dan Ellea
part 73 rumah ellea
part 74 alan cha
part 75 latin kings
part 76 kediaman faizal
part 77 kematian faizal.
part 78 permainan
part 79 ellea cemburu
part 80 rumah
part 81 keributan
part 82 racun
part 83 mayat
part 84 rencana
part 85 kampung....
Part 86 kematian adi
part 87 tiga sekawan
part 88 zikal
part 89 duri dalam daging
part 90 kerja sama
part 91 Abraham alexi Bonar
part 92 terusir
part 93 penemuan mayat
part 94 dongeng manusia serigala
part 95 hewan atau manusia
part 96 Rendra adalah werewolf
part 97 Beta
part 98 melamar
part 99 pencarian lycanoid
part 100 siapa sebenarnya anda
part 101 terungkap kebenaran
part 102 kisah yang panjang
part 103 buku mantra
part 104 sebuah simbol
part 105 kaki tangan
part 106 pertikaian
part 107 bertemu elizabet
part 108 orang asing
part 109 mantra eksorsisme
part 110 Vin bersikap aneh
part 111 Samael
part 112 Linda sang paranormal
part 113 reinkarnasi
part 114 Nayla
part 115 Archangel
part 116 Flashback vin kesurupan
part 117 ritual
part 118 darah suci
part 119 Lasha
part 120 Amon
part 121 masa lalu arya
part 122 sekte sesat
part 123 sekte
part 124 bu rahayu
part 125 dhampire
part 126 penculikan
part 127 pengakuan rian.
part 128 azazil
part 129 ungkapan perasaan
part 130 perjalanan pertama
part 131 desa angukuni
part 132 Galiyan
part 133 hilang
part 134 Hans dan Jean
part 135 lintah Vlad
part 136 rahasia homestay
part 137 rumah kutukan
part 138 patung aneh
part 139 pulau insula mortem
part 140 mercusuar
part 141 kastil archanum
part 142 blue hole
part 143 jerogumo
part 144 timbuktu
part 145 gerbang gaib
part 146 hutan rougarau
part 147 bertemu azazil
part 148 SMU Mortus
part 149 Wendigo
part 150 danau misterius
part 151 jiwa yang hilang
part 152 serangan di rumah
part 153 misteri di sekolah
part 154 rumah rayi
part 155 makhluk lain di sekolah
part 156 Djin
part 157 menjemput jiwa
part 158 abitra
part 159 kepergian faza
part 160 Sabrina
part 161 puncak emosi
part 162 ilmu hitam
part 163 pertandingan basket
part 164 mariaban
part 165 Dagon
part 166 bantuan
INDEKS LANJUT DI SINI INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 16-05-2023 21:45
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
13.5K
222
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#59
Part 57 Pertemuan Tak Terduga
Giska menjadi down. Ia terus ketakutan dan makin paranoid pada sekitar nya. Insiden kiriman burung gagak yang dimutilasi, membuat asrama menjadi tak terkendali. Desas- desus negatif terus terdengar dari mulut ke mulut, teror itu seakan menjadi momok yang amat begitu ditakuti seluruh penghuni asrama. Penjagaan makin diperketat, terutama di bangsal asrama kamar Giska. Polisi sudah datang dan mulai berpencar untuk menjaga tempat ini. Giska tidak diperbolehkan meninggalkan asrama oleh kepala sekolah. Karena ini sudah peraturan sekolah yang harus ditaati semua penghuni nya.
Angel terus berada di samping Giska. Mencoba menenangkan gadis itu dengan segala cerita menyenangkan dan bodoh nya. Angel memang terkenal sebagai pribadi yang menyenangkan. Itulah alasan mereka dekat. Tapi malam ini segala celotehan Angel tidak mempan bagi Giska. Tidak ada senyum atau tawa seperti biasanya.
Seperti nya beban Giska malam ini cukup berat. Bahkan ini pertama kali nya Giska tanpa senyum. Ia berubah.
"Gis ... tidur aja, yuk," ajak Angel yang mulai menguap dan mengucek matanya karena lelah. Gadis yang ia ajak ngobrol malah diam dan acuh. "Hm. oke. Aku temenin begadang, tapi aku mau ke dapur dulu, bikin kopi. Ngantuk aku, bentar, ya." Ia segera berjalan keluar kamar. Dan hilang di balik pintu cokelat itu. Kini Giska sendirian. Ia berjalan ke dekat jendela yang letaknya di tengah, antara meja belajar nya dan meja belajar Angel.
Gadis itu menatap ke bawah, beberapa orang yang berpakaian seragam khas polisi menarik perhatiannya. Ia merasa aman, tapi sekaligus bimbang. Mengingat segala cerita tentang kematian 8 sahabatnya. Sebenarnya dia sedikit ragu kalau menganggap mereka sahabat. Karena saat itu mereka semua masih kecil, mereka pun dekat karena orang tua mereka yang merupakan sahabat. Padahal Giska tidak begitu suka dengan kelompok itu. Apa yang dilakukan teman-temannya selalu bertolak belakang dengan hati nuraninya, tetapi Giska tetap melakukan hal itu, karena rasa sungkan dan takut menjadi target bully mereka.
Giska membuka jendela kamar nya, setiap kamar memang dilengkapi balkon sempit yang hanya muat berdiri dua orang saja. Ia dan Angel kerap mengobrol sampai tengah malam di tempat ini setelah belajar. Giska membayangkan wajah Siska. Rasa bersalah kini menyelimuti nya. Hal yang ingin dia lakukan sejak dulu adalah meminta maaf pada Siska. Tapi ia seolah tidak punya kesempatan lagi. Kabar kematian Siska membuat Giska makin depresi. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kesehatan mental nya. Hingga Angel hadir sebagai seorang sahabat.
Pintu kamar terdengar dibuka, tak lama ditutup pelan. Giska Bergeming dari tempat nya. Terus menatap lurus ke langit hitam yang dipenuhi titik-titik cahaya yang membuat nya amat betah memandang. "Sudah bikin kopinya? Tumben cepet banget, Ngel? Nggak antre, kah?" Dapur di jam ini memang menjadi salah satu tempat paling ramai. Ada sebuah tempat yang disediakan di tiap lantai untuk menonton Tv. Dan ini adalah weekend. Mereka akan memanfaatkan waktu libur untuk menonton beramai-ramai. Dan dapur akan ikut ramai karena mereka akan mondar-mandir untuk membuat kudapan atau minuman hangat yang menemani selama menonton film.
Tak ada sahutan dari Angel. Hal ini membuat Giska curiga. Ia menoleh ke dalam. Sepi. lalu mendadak lampu padam. Seluruh asrama gelap gulita. Giska panik. "Angel? Kamu di mana? Ngel? Jangan nakutin aku dong. Please. Aku takut," rengek gadis itu. Kini mata nya mulai sembab. Perasaan nya mulai tak nyaman. Terlebih setelah pintu dibuka tak ada sahutan dari Angel. Apakah Angel atau orang lain yang masuk?
Giska memutuskan tetap berada di balkon. Setidaknya keadaan di luar jauh lebih terang daripada di dalam kamar. Bulan purnama menampakkan dirinya, menjadi satu -satunya penerang di saat gelap menyelimuti pulau.
"Giska? Kamu di mana?" Suara Angel yang terdengar samar membuat Giska buru-buru membuka pintu balkon dan masuk ke dalam kamar. Ia memanggil sahabatnya berkali-kali, tapi aneh. Tidak ada sahutan lagi dari Angel.
Mata Giska silau karena pantulan sesuatu. Mungkin seperti lempengan besi atau kaca. Ia pikir ada spion mobil atau motor di bawah yang terkena pantulan cahaya bulan. Tapi itu sama sekali tidak masuk dalam logikanya. Langkah Giska terhenti saat mendengar langkah orang lain yang memang ada di dalam kamarnya. Pelan, tapi pasti. Ia rasakan ada bayangan hitam yang kini mendekatinya. Giska mundur-mundur sampai tubuhnya sudah terpojok. Seseorang kini berjalan menuju ke arahnya membawa sebilah pisau. Anehnya ia tidak mampu berteriak atau menjerit untuk meminta pertolongan. Padahal banyak orang yang ada di bawah sana. Dan tentu kawan-kawan nya juga ada di kamar mereka masing-masing, Bahkan suara beberapa orang terdengar riuh di ruang tv lantai ini. Tubuh Giska mendadak lemah. Seolah yang ada di hadapannya adalah malaikat pencabut nyawayang sudah lama menunggu waktu untuk menjemputnya. Giska pasrah.
Orang itu, memakai penutup kepala dengan pakaian serba hitam. Benar-benar mirip tokoh pembunuh dalam film yang tidak ingin dikenali oleh korbannya. "Kamu siapa?" tanya Giska dengan kalimat retorik yang menjadi bahan tawa orang di depanya. Suaranya?! Giska terkejut mendengar suara tawa yang ia dengar justru berasal dari seorang wanita. Bukan lelaki seperti pelaku pembunuhan 8 orang sebelum nya.
"Giska ... Giska. Lama kita nggak ketemu, ya?" tanya wanita itu. Tidak begitu jelas karena mulutnya yang tertutup kain membuat ucapan nya terdengar samar. Tapi jelas, dia adalah seorang wanita. Satu nama terlintas di kepala nya. "Siska?" tanya Giska ragu.
"Waw, kamu bisa mengenaliku hanya sekali bertemu? Hebat sekali." Siska mendekat, dan terus mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal dua langkah kaki saja. Gelap. Masih gelap di dalam sini. Jantung Giska makin berdetak cepat, tak beraturan. Seperti nya tebakannya tepat. Karena perempuan di depan nya seolah meng-iya-kan pertanyaan nya barusan.
"Siska ... kamu masih hidup?" tanya Giska dengan nada bergetar. Tubuh nya menggigil sempurna. Bahkan lebih kencang daripada saat ia demam beberapa bulan lalu. Keringat dingin bercucuran dari dahi nya. Bahkan seluruh tubuh nya mandi keringat.
"Tentu saja! Kamu nggak senang, ya, tau kalau aku masih bernafas sampai sekarang? Kamu juga mengharapkan aku mati seperti teman- teman kamu? Begitu?"
"Enggak! Bukan begitu, Siska. Justru aku pengen ketemu kamu. Aku ... Aku mau minta maaf."
"Apa kamu bilang? Minta maaf setelah 7 tahun berlalu? Ah, itu omong kosong rasa nya, Gis."
"Enggak. Bukan begitu. Aku menyesal, Sis. Harus nya saat itu aku mengaku, tapi mereka ngancam aku. Aku nggak bisa apa-apa. Maaf. Siska. Aku minta maaf. Kamu tau? Kalau selama ini aku terus dihantui rasa bersalah? Tapi aku nggak tau harus berbuat apa. Sekarang ... kalau kamu mau bunuh aku ... aku ikhlas." Giska merentangkan kedua tangan nya ke samping. Memberi lampu hijau pada Siska untuk menuntaskan dendam nya.
Dahi Siska yang masih terlihat karena tidak tertutup apa pun, berkerut. "Kamu pemberani sekali, Gis? Kamu nggak penasaran gimana wajah aku sekarang?"
Giska ikut mengerutkan kening mendengar pertanyaan Siska. Ia merasa apa yang dikatakan Siska ada benarnya juga. Bagaimana wajah Siska sekarang? Apakah sama seperti dulu? Atau ....
Siska membuka penutup wajah nya, posisi mereka yang dekat jendela membuat sinar bulan mampu masuk ke dalam dan membuat wajah itu terlihat jelas walau sekitar mereka gelap. Giska melotot. Mulutnya menganga melihat wajah Siska yang ada di hadapannya. Tak lama ia menggeleng sambil menutup mulut nya. Pipi nya kini banjir karena air mata yang turun deras dari kedua bola mata hassel.
"Angel?!" pekik Giska seolah tak percaya pada apa yang ia lihat. Senyum smirk Angel terlihat mengerikan di posisi ini.
"Hai Giska. Kamu kaget?"
"Ba ... bagaimana bisa kamu ... kamu, Siska?"
"Yah, aku Siska."
Ingatan Giska kembali mundur ke beberapa tahun lalu. Saat pertama kali ia dan Angel bertemu. Tahun ajaran baru. Sama-sama menjadi siswi baru di asrama ini.
"Hai, kenalin, aku Angel Fransiska." Kalimat itu adalah hal pertama yang Giska dengar keluar dari mulut Angel. Angel Fransiska. Fransiska?! Dan saat ini, ia baru sadar kalau nama mereka mirip.
"Setahun lalu aku dibaptis, Gis. Jadi namaku baru. Mama bilang aku harus menjalani kehidupan baru sebagai Angel." Kembali kalimat Angel yang tidak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya adalah sebuah tabir rahasia yang kini bagai duri dalam hati Giska. Sering kali Angel menunjukkan jati dirinya sebagai Siska. Tapi Giska sama sekali tidak menyadarinya.
"Ini buat kamu," kata Angel 3 bulan setelah mereka menjadi teman satu kamar. Sebuah kotak perhiasan dengan jepit rambut bermotif hello kitty menjadi hadiah pertama dari Angel untuk Giska. Bahkan kini mereka memakai jepit rambut yang sama.
Giska mengambil jepit rambut yang masih ia pakai, dan menatap nya pilu. Ia ingat kalau Siska sangat menyukai semua hal tentang hello kitty, Yah, Giska baru ingat sekarang. Netra nya liar menatap sisi kamar milik Angel. Sprei, selimut, sarung bantal, korden, tas, bahkan semua hal yang Angel miliki selalu memakai tokoh kartun itu. Tubuh Giska luruh ke lantai. Ia merutuki kebodohan nya karena tidak menyadari kalau sahabat nya yang ia percaya selama ini justru orang yang pernah akan ia bunuh. Dan kini keadaan berbalik. Angel yang ingin membunuh nya.
"Bunuh aku, Ngel. Silakan. Aku ikhlas. Tapi ... bunuh aku sebagai Siska. Jangan Angel. Aku akan sangat menderita jika mati ditangan sahabatku sendiri. Tolong jangan bunuh aku sebagai Angel. Karena Angel buatku bukan hanya sahabat, dia lebih dari itu. Dia sudah aku anggap saudaraku sendiri. Aku menyayangi Angel melebihi diriku sendiri. Aku rela melakukan apa saja buat Angel. Aku rela bertukar hukuman dengan Angel. Karena ... Angel juga akan melakukan hal yang sama. Kamu ingat, Ngel? Saat kamu dihukum Pak Hadi karena ketahuan menyimpan rokok di saku seragam?"
Angel alias Siska kembali mengingat saat itu. Hari di mana Giska yang mengaku pada Pak Hadi kalau rokok itu adalah milik nya, bukan milik Angel. Dan akhirnya Giska dihukum membersihkan seluruh toilet asrama wanita. Tapi hukuman itu mereka jalankan berdua. Tanpa rasa sedih atau lelah. Justru mereka berdua sangat bahagia. Terlepas dari pelajaran kelas sayang memusingkan kepala.
"Cuma kamu, Ngel, sahabat terbaik yang kupunya. Jadi aku rela kalau kamu bunuh aku sekarang. Lagi pula aku pikir sudah cukup hidupku di dunia ini. Toh, aku nggak punya apa-apa lagi. Bahkan kamu tau sendiri, kan, kalau aku pernah mau bunuh diri? Jadi aku mati sekarang atau besok juga nggak masalah."
Angel mematung. Hatinya seolah teriris sembilu mendengar kalimat itu terucap dari mulut Giska. Jauh di lubuk hati nya, Angel juga sudah nyaman berteman dengan Giska. Ia tidak pernah main-main pada semua perhatiannya ke Giska. Angel benar-benar menyayangi Giska. Giska juga satu-satunya sahabat yang ia punya. Takdir bagai mempermainkan mereka. Tapi takdir pula yang mempertemukan mereka. Entah menjadi kawan atau lawan. Entah akan terus hidup atau mati bersama.
Pisau di tangan Angel terjatuh. Ia kalah pada rasa sayangnya pada Giska. Ia dilema. Apakah harus meneruskan tujuannya atau mengakhiri dendam ini sekarang juga? Netra mereka bertemu, dengan bulir air mata yang benar-benar tulus. Sorot mata Angel mereda. Ia langsung berhambur memeluk tubuh Giska hingga kedua nya sama-sama terjatuh ke lantai. Tangis yang tergugu terdengar sampai keluar kamar. "Maafin aku, Siska. Aku nggak bermaksud melakukan semua itu. Aku tau itu salah," kata Giska menatap Siska yang kini mengusap lelehan air mata dari pipi Giska. Siska menggeleng. Ia mendesis lalu kembali memeluk Giska makin erat. "Sshh. Sudah, Gis. Kita lupain itu, ya. Kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya. Maaf aku sempat ingin bunuh kamu. Sama seperti ke 8 orang temanmu itu."
Dalam pelukan Angel, Giska melotot saat kalimat itu terucap dari Angel. Ia sadar, kalau bagaimana pun juga, Angel telah membunuh teman- teman nya. Secara langsung maupun tidak langsung.
Lampu kembali menyala. Keadaan terang lagi, dan Andrew menerobos masuk kamar Giska. Ia heran melihat dua gadis itu saling berpelukan sambil menangis. "Kalian baik-baik saja?"
Giska dan Angel menoleh ke pintu, ada sedikit ketegangan di wajah keduanya. Giska lalu meraih pisau yang tergeletak di sampingnya dan berusaha menyembunyikan benda itu agar tidak dilihat Andrew.
"Kami baik-baik aja, Pak. Cuma kaget saja tadi. Panik soalnya asrama jarang ada pemadaman listrik," jawab Giska, berusaha setenang mungkin. Angel yang menyadari sikap Giska ikut menutupi tangan Giska agar tidak terlihat Andrew.
"Ya sudah. Mendingan kalian tidur saja sekarang. Ini sudah hampir tengah malam. Biar kami yang berjaga di luar." Pintu ditutup dengan tatapan Andrew yang terlihat aneh, menatap mereka curiga.
"Baik, Pak," kata mereka bersamaan.
Malam ini berakhir damai. Tidak ada darah yang mengalir, baik dari Giska maupun Angel. Atau orang lain. Mereka beristirahat dalam damai. Sekalipun keadaan kembali stabil, Andrew masih terus menjaga Giska dengan menempatkan beberapa polisi di sekitar asrama.
_____
Sudah seminggu berlalu. Ujian tengah semeter yang mereka jalani pun selesai sudah. Beberapa penghuni asrama memutuskan kembali ke rumah karena mereka mendapat libur 3 hari. Tapi Angel dan Giska lebih suka ada di asrama. Orang tua keduanya yang memang super sibuk tidak mungkin ada d rumah. Jadi untuk apa mereka pulang. Lebih baik tetap ada di asrama bersama beberapa teman yang juga memutuskan tidak pulang dengan alasan mereka masing-masing.
Gawai milik Angel bergetar. Sebuah pesan singkat membuat Angel gusar. "Ck. Ngapain sih?"
Giska yang sedang membaca novel sambil tengkurap di ranjangnya kemudian menoleh. "Kenapa, Ngel?" Ia sadar kalau sahabatnya pasti sedang kesal.
"Ini, aku disuruh pulang. Apa coba? Males banget."
"Eh nggak boleh begitu. Masa kamu ke keluarga kamu begitu. Gih, siap-siap pulang. Paling kamu cuma sehari di sana, nanti langsung balik lagi, kan?" tanya Giska yang sangat paham pada Angel. Ia tau kalau Angel tidak nyaman jika harus terlalu lama tinggal di rumahnya sendiri. Tapi bagaimana pun juga, mereka tetap keluarga Angel.
Giska membantu Angel berkemas. Walau hanya dua potong baju saja yang dibawa, tapi Giska sangat teliti, karena Angel pelupa. "Ini kan obat kamu nggak kebawa? Nanti kalau sesak nafas di jalan bagaimana coba?" tutur Giska menyodorkan inhaler pada Angel. Angel menerimanya dengan senyum yang lebar. "Makasih sayaaang."
"Ih, sayang. Geli dengernya," sahut Giska. Keduanya pun sama-sama tertawa setelahnya.
"Hati-hati, Ngel. Jangan lama-lama di rumah. Aku takut sendirian." Giska melepas kepergian Angel dengan kalimat yang membuat Angel ngilu. Seseorang yang ingin ia bunuh kini justru sangat ingin ia lindungi. "Lebay, deh, Gis. Bentar doang juga aku pulang. Jangan kangen. Dan jangan kamu acak-acak foto-foto Siwon-ku, ya."
"Astaga. Mana mungkin aku ambil. Makan itu Siwon-mu," cetus Giska meledek.
"Bye." Tangan kanan Angel melambai, senyumnya berat meninggalkan Giska di asrama seorang diri. Tapi ia harus pulang.
Angel mulai duduk di perahu yang membawanya kembali ke kota. Salah satu alasan Angel malas sepulang adalah perjalanan yang cukup menyita waktu. Karena ia harus naik pesawat untuk sampai rumahnya. Kini ia sedang ada di bandara. Menunggu keberangkatannya yang hanya tinggal beberapa menit lagi. Sambil menunggu, Angel berselancar di media sosialnya. Melihat postingan ibunya yang sedang ada di luar negeri dan ayahnya yang sedang ada di kapal pesiar. Ia tak mengerti kenapa justru ia disuruh pulang kalau ternyata di rumahnya tidak ada orang. Angel memutuskan menghubungi kedua orang tuanya.
"Apa? Mama sama Papa nggak suruh aku pulang?" Tubuh Angel seketika lemah. Ia segera meraih tas yang tergeletak di lantai dan membawanya berlari keluar bandara. Tak peduli lagi teriakan orang tuanya di telepon genggam yang masih ia biarkan menyala. Angel berlari dan memutuskan menghentikan taksi yang baru saja akan pergi dari parkiran bandara. Satu yang pasti, ia harus segera kembali ke asrama.
Ia sangat cepat hingga kini sudah duduk manis di atas perahu yang membawanya kembali ke pulau. Bahkan sang empunya perahu bertanya-tanya kenapa Angel kembali lagi, padahal baru beberapa jam lalu ia naik perahu yang sama dan berbincang dengan nahkoda perahu bahwa ia kan menghabiskan liburan di rumah.
Kaki jenjangnya kini melangkah turun dari perahu. Tak peduli sepatunya yang basah karena air laut di bawahnya, karena perahu yang sebenarnya belum berhenti sempurna. Angel sangat terburu-buru hingga tak memerdulikan hal itu. Baginya untuk segera sampai ke asrama adalah hal yang terus ada di pikirannya kini.
Bangunan yang menjulang itu sudah nampak di depan mata Angel. Ia meneruskan berlari dan sedikit panik saat melihat banyak polisi mengerumuni gedung asrama putri. Pikirannya kalut dan memikirkan hal yang paling buruk. Sesuatu yang terus ada di pikirannya atas keselamatan Giska. Kakinya sampai pada lantai koridor tempatnya menginap. Semua orang berkerumun, bahkan ia dapat melihat kalau kini pintu kamarnya di beri garis polisi. Air matanya menggenang. dan tumpah begitu saja. Hanya ada satu nama di pikirannya. Giska.
Saat Angel mulai mendekat, barisan teman-temannya menguar, memberi jalan dirinya agar lebih mudah sampai ke kamarnya. "Yang sabar, Ngel." Kalimat barusan terucap dari Lidya, tetangga kamar mereka berdua. Tangis Angel kini makin dalam, hingga sampai di kamarnya, Angel langsung luruh, saat melihat tubuh Giska menggantung di bawah pintu koridor kamarnya. Ia menutup mulutnya dan menggeleng cepat. Beberapa polisi yang ada di lokasi kejadian turut iba melihat tangis Angel yang kini menggugu. Angel berteriak memanggil nama Giska. Giska ... tewas.
Semua orang mengira Giska bunuh diri, tapi hanya Angel yang tau kalau Giska dibunuh. Dengan terisak, Angel bangkit dan meninggalkan kamar itu. Mengabaikan panggilan rekannya yang mengkhawatirkan dirinya. Kematian Giska adalah pukulan berat bagi Angel, yang notaben nya sahabat terdekat Giska. Ia melakukan panggilan ke sebuah nomor.
"Kenapa?" tanya Angel dengan penuh amarah.
"Dia patut mati, Sis. Kamu lupa bagaimana mereka membuatmu hampir gila, hah?"
"Aku bilang, lepaskan Giska! Kenapa kamu membunuhnya! Sebenarnya ini bukan pertempuranku, kan?! Tapi pertempuranmu! Kau jahat! Kau lihat saja, akan kubongkar identitasmu. Aku pastikan polisi akan menghukummu sangat berat! Kalaupun mereka tidak bisa menangkapmu, maka aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!" jerit Angel dengan penuh amarah.
Angel melempar telepon genggamnya hingga hancur berserakan. Ia menjerit karena rasa sedih dan kesal yang menjadi satu. "Kubunuh kau, manusia iblis!" jerit Angel. Tapi ia lantas terdiam saat melihat sebuah titik merah ada di dadanya. Angel melihat ke arah gedung asrama laki-laki, yang letaknya cukup jauh dari pandangannya. "Dasar iblis!" ucapnya. Bertepatan dengan itu, ia roboh ke belakang dengan darah mengucur perlahan keluar dari dadanya yang berlubang. Siska ... tewas.
Kematian Siska bukan berita baru bagi telinga masyarakat. Justru mengetahui bahwa Siska ternyata masih hidup itulah yang membuat gempar seluruh desa dan orang-orang yang terlibat di dalam nya. Kasus 7 tahun silam. Bagai momok baru dalam masyarakat baru-baru ini. Terlebih berita mengatakan kalau ternyata Giska dan Siska bersahabat selama 3 tahun terakhir. Seseorang yang ingin dibunuh Siska malah menjadi orang yang paling ingin dia lindungi.
"Jadi siapa yang menembak Siska?" tanya Adi, di cafe Pancasona, berkumpul dengan tim Andrew.
"Seorang penembak runduk," sahut Andrew datar. Mereka duduk di sebuah meja yang ada di halaman cafe.
Angel terus berada di samping Giska. Mencoba menenangkan gadis itu dengan segala cerita menyenangkan dan bodoh nya. Angel memang terkenal sebagai pribadi yang menyenangkan. Itulah alasan mereka dekat. Tapi malam ini segala celotehan Angel tidak mempan bagi Giska. Tidak ada senyum atau tawa seperti biasanya.
Seperti nya beban Giska malam ini cukup berat. Bahkan ini pertama kali nya Giska tanpa senyum. Ia berubah.
"Gis ... tidur aja, yuk," ajak Angel yang mulai menguap dan mengucek matanya karena lelah. Gadis yang ia ajak ngobrol malah diam dan acuh. "Hm. oke. Aku temenin begadang, tapi aku mau ke dapur dulu, bikin kopi. Ngantuk aku, bentar, ya." Ia segera berjalan keluar kamar. Dan hilang di balik pintu cokelat itu. Kini Giska sendirian. Ia berjalan ke dekat jendela yang letaknya di tengah, antara meja belajar nya dan meja belajar Angel.
Gadis itu menatap ke bawah, beberapa orang yang berpakaian seragam khas polisi menarik perhatiannya. Ia merasa aman, tapi sekaligus bimbang. Mengingat segala cerita tentang kematian 8 sahabatnya. Sebenarnya dia sedikit ragu kalau menganggap mereka sahabat. Karena saat itu mereka semua masih kecil, mereka pun dekat karena orang tua mereka yang merupakan sahabat. Padahal Giska tidak begitu suka dengan kelompok itu. Apa yang dilakukan teman-temannya selalu bertolak belakang dengan hati nuraninya, tetapi Giska tetap melakukan hal itu, karena rasa sungkan dan takut menjadi target bully mereka.
Giska membuka jendela kamar nya, setiap kamar memang dilengkapi balkon sempit yang hanya muat berdiri dua orang saja. Ia dan Angel kerap mengobrol sampai tengah malam di tempat ini setelah belajar. Giska membayangkan wajah Siska. Rasa bersalah kini menyelimuti nya. Hal yang ingin dia lakukan sejak dulu adalah meminta maaf pada Siska. Tapi ia seolah tidak punya kesempatan lagi. Kabar kematian Siska membuat Giska makin depresi. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kesehatan mental nya. Hingga Angel hadir sebagai seorang sahabat.
Pintu kamar terdengar dibuka, tak lama ditutup pelan. Giska Bergeming dari tempat nya. Terus menatap lurus ke langit hitam yang dipenuhi titik-titik cahaya yang membuat nya amat betah memandang. "Sudah bikin kopinya? Tumben cepet banget, Ngel? Nggak antre, kah?" Dapur di jam ini memang menjadi salah satu tempat paling ramai. Ada sebuah tempat yang disediakan di tiap lantai untuk menonton Tv. Dan ini adalah weekend. Mereka akan memanfaatkan waktu libur untuk menonton beramai-ramai. Dan dapur akan ikut ramai karena mereka akan mondar-mandir untuk membuat kudapan atau minuman hangat yang menemani selama menonton film.
Tak ada sahutan dari Angel. Hal ini membuat Giska curiga. Ia menoleh ke dalam. Sepi. lalu mendadak lampu padam. Seluruh asrama gelap gulita. Giska panik. "Angel? Kamu di mana? Ngel? Jangan nakutin aku dong. Please. Aku takut," rengek gadis itu. Kini mata nya mulai sembab. Perasaan nya mulai tak nyaman. Terlebih setelah pintu dibuka tak ada sahutan dari Angel. Apakah Angel atau orang lain yang masuk?
Giska memutuskan tetap berada di balkon. Setidaknya keadaan di luar jauh lebih terang daripada di dalam kamar. Bulan purnama menampakkan dirinya, menjadi satu -satunya penerang di saat gelap menyelimuti pulau.
"Giska? Kamu di mana?" Suara Angel yang terdengar samar membuat Giska buru-buru membuka pintu balkon dan masuk ke dalam kamar. Ia memanggil sahabatnya berkali-kali, tapi aneh. Tidak ada sahutan lagi dari Angel.
Mata Giska silau karena pantulan sesuatu. Mungkin seperti lempengan besi atau kaca. Ia pikir ada spion mobil atau motor di bawah yang terkena pantulan cahaya bulan. Tapi itu sama sekali tidak masuk dalam logikanya. Langkah Giska terhenti saat mendengar langkah orang lain yang memang ada di dalam kamarnya. Pelan, tapi pasti. Ia rasakan ada bayangan hitam yang kini mendekatinya. Giska mundur-mundur sampai tubuhnya sudah terpojok. Seseorang kini berjalan menuju ke arahnya membawa sebilah pisau. Anehnya ia tidak mampu berteriak atau menjerit untuk meminta pertolongan. Padahal banyak orang yang ada di bawah sana. Dan tentu kawan-kawan nya juga ada di kamar mereka masing-masing, Bahkan suara beberapa orang terdengar riuh di ruang tv lantai ini. Tubuh Giska mendadak lemah. Seolah yang ada di hadapannya adalah malaikat pencabut nyawayang sudah lama menunggu waktu untuk menjemputnya. Giska pasrah.
Orang itu, memakai penutup kepala dengan pakaian serba hitam. Benar-benar mirip tokoh pembunuh dalam film yang tidak ingin dikenali oleh korbannya. "Kamu siapa?" tanya Giska dengan kalimat retorik yang menjadi bahan tawa orang di depanya. Suaranya?! Giska terkejut mendengar suara tawa yang ia dengar justru berasal dari seorang wanita. Bukan lelaki seperti pelaku pembunuhan 8 orang sebelum nya.
"Giska ... Giska. Lama kita nggak ketemu, ya?" tanya wanita itu. Tidak begitu jelas karena mulutnya yang tertutup kain membuat ucapan nya terdengar samar. Tapi jelas, dia adalah seorang wanita. Satu nama terlintas di kepala nya. "Siska?" tanya Giska ragu.
"Waw, kamu bisa mengenaliku hanya sekali bertemu? Hebat sekali." Siska mendekat, dan terus mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal dua langkah kaki saja. Gelap. Masih gelap di dalam sini. Jantung Giska makin berdetak cepat, tak beraturan. Seperti nya tebakannya tepat. Karena perempuan di depan nya seolah meng-iya-kan pertanyaan nya barusan.
"Siska ... kamu masih hidup?" tanya Giska dengan nada bergetar. Tubuh nya menggigil sempurna. Bahkan lebih kencang daripada saat ia demam beberapa bulan lalu. Keringat dingin bercucuran dari dahi nya. Bahkan seluruh tubuh nya mandi keringat.
"Tentu saja! Kamu nggak senang, ya, tau kalau aku masih bernafas sampai sekarang? Kamu juga mengharapkan aku mati seperti teman- teman kamu? Begitu?"
"Enggak! Bukan begitu, Siska. Justru aku pengen ketemu kamu. Aku ... Aku mau minta maaf."
"Apa kamu bilang? Minta maaf setelah 7 tahun berlalu? Ah, itu omong kosong rasa nya, Gis."
"Enggak. Bukan begitu. Aku menyesal, Sis. Harus nya saat itu aku mengaku, tapi mereka ngancam aku. Aku nggak bisa apa-apa. Maaf. Siska. Aku minta maaf. Kamu tau? Kalau selama ini aku terus dihantui rasa bersalah? Tapi aku nggak tau harus berbuat apa. Sekarang ... kalau kamu mau bunuh aku ... aku ikhlas." Giska merentangkan kedua tangan nya ke samping. Memberi lampu hijau pada Siska untuk menuntaskan dendam nya.
Dahi Siska yang masih terlihat karena tidak tertutup apa pun, berkerut. "Kamu pemberani sekali, Gis? Kamu nggak penasaran gimana wajah aku sekarang?"
Giska ikut mengerutkan kening mendengar pertanyaan Siska. Ia merasa apa yang dikatakan Siska ada benarnya juga. Bagaimana wajah Siska sekarang? Apakah sama seperti dulu? Atau ....
Siska membuka penutup wajah nya, posisi mereka yang dekat jendela membuat sinar bulan mampu masuk ke dalam dan membuat wajah itu terlihat jelas walau sekitar mereka gelap. Giska melotot. Mulutnya menganga melihat wajah Siska yang ada di hadapannya. Tak lama ia menggeleng sambil menutup mulut nya. Pipi nya kini banjir karena air mata yang turun deras dari kedua bola mata hassel.
"Angel?!" pekik Giska seolah tak percaya pada apa yang ia lihat. Senyum smirk Angel terlihat mengerikan di posisi ini.
"Hai Giska. Kamu kaget?"
"Ba ... bagaimana bisa kamu ... kamu, Siska?"
"Yah, aku Siska."
Ingatan Giska kembali mundur ke beberapa tahun lalu. Saat pertama kali ia dan Angel bertemu. Tahun ajaran baru. Sama-sama menjadi siswi baru di asrama ini.
"Hai, kenalin, aku Angel Fransiska." Kalimat itu adalah hal pertama yang Giska dengar keluar dari mulut Angel. Angel Fransiska. Fransiska?! Dan saat ini, ia baru sadar kalau nama mereka mirip.
"Setahun lalu aku dibaptis, Gis. Jadi namaku baru. Mama bilang aku harus menjalani kehidupan baru sebagai Angel." Kembali kalimat Angel yang tidak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya adalah sebuah tabir rahasia yang kini bagai duri dalam hati Giska. Sering kali Angel menunjukkan jati dirinya sebagai Siska. Tapi Giska sama sekali tidak menyadarinya.
"Ini buat kamu," kata Angel 3 bulan setelah mereka menjadi teman satu kamar. Sebuah kotak perhiasan dengan jepit rambut bermotif hello kitty menjadi hadiah pertama dari Angel untuk Giska. Bahkan kini mereka memakai jepit rambut yang sama.
Giska mengambil jepit rambut yang masih ia pakai, dan menatap nya pilu. Ia ingat kalau Siska sangat menyukai semua hal tentang hello kitty, Yah, Giska baru ingat sekarang. Netra nya liar menatap sisi kamar milik Angel. Sprei, selimut, sarung bantal, korden, tas, bahkan semua hal yang Angel miliki selalu memakai tokoh kartun itu. Tubuh Giska luruh ke lantai. Ia merutuki kebodohan nya karena tidak menyadari kalau sahabat nya yang ia percaya selama ini justru orang yang pernah akan ia bunuh. Dan kini keadaan berbalik. Angel yang ingin membunuh nya.
"Bunuh aku, Ngel. Silakan. Aku ikhlas. Tapi ... bunuh aku sebagai Siska. Jangan Angel. Aku akan sangat menderita jika mati ditangan sahabatku sendiri. Tolong jangan bunuh aku sebagai Angel. Karena Angel buatku bukan hanya sahabat, dia lebih dari itu. Dia sudah aku anggap saudaraku sendiri. Aku menyayangi Angel melebihi diriku sendiri. Aku rela melakukan apa saja buat Angel. Aku rela bertukar hukuman dengan Angel. Karena ... Angel juga akan melakukan hal yang sama. Kamu ingat, Ngel? Saat kamu dihukum Pak Hadi karena ketahuan menyimpan rokok di saku seragam?"
Angel alias Siska kembali mengingat saat itu. Hari di mana Giska yang mengaku pada Pak Hadi kalau rokok itu adalah milik nya, bukan milik Angel. Dan akhirnya Giska dihukum membersihkan seluruh toilet asrama wanita. Tapi hukuman itu mereka jalankan berdua. Tanpa rasa sedih atau lelah. Justru mereka berdua sangat bahagia. Terlepas dari pelajaran kelas sayang memusingkan kepala.
"Cuma kamu, Ngel, sahabat terbaik yang kupunya. Jadi aku rela kalau kamu bunuh aku sekarang. Lagi pula aku pikir sudah cukup hidupku di dunia ini. Toh, aku nggak punya apa-apa lagi. Bahkan kamu tau sendiri, kan, kalau aku pernah mau bunuh diri? Jadi aku mati sekarang atau besok juga nggak masalah."
Angel mematung. Hatinya seolah teriris sembilu mendengar kalimat itu terucap dari mulut Giska. Jauh di lubuk hati nya, Angel juga sudah nyaman berteman dengan Giska. Ia tidak pernah main-main pada semua perhatiannya ke Giska. Angel benar-benar menyayangi Giska. Giska juga satu-satunya sahabat yang ia punya. Takdir bagai mempermainkan mereka. Tapi takdir pula yang mempertemukan mereka. Entah menjadi kawan atau lawan. Entah akan terus hidup atau mati bersama.
Pisau di tangan Angel terjatuh. Ia kalah pada rasa sayangnya pada Giska. Ia dilema. Apakah harus meneruskan tujuannya atau mengakhiri dendam ini sekarang juga? Netra mereka bertemu, dengan bulir air mata yang benar-benar tulus. Sorot mata Angel mereda. Ia langsung berhambur memeluk tubuh Giska hingga kedua nya sama-sama terjatuh ke lantai. Tangis yang tergugu terdengar sampai keluar kamar. "Maafin aku, Siska. Aku nggak bermaksud melakukan semua itu. Aku tau itu salah," kata Giska menatap Siska yang kini mengusap lelehan air mata dari pipi Giska. Siska menggeleng. Ia mendesis lalu kembali memeluk Giska makin erat. "Sshh. Sudah, Gis. Kita lupain itu, ya. Kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya. Maaf aku sempat ingin bunuh kamu. Sama seperti ke 8 orang temanmu itu."
Dalam pelukan Angel, Giska melotot saat kalimat itu terucap dari Angel. Ia sadar, kalau bagaimana pun juga, Angel telah membunuh teman- teman nya. Secara langsung maupun tidak langsung.
Lampu kembali menyala. Keadaan terang lagi, dan Andrew menerobos masuk kamar Giska. Ia heran melihat dua gadis itu saling berpelukan sambil menangis. "Kalian baik-baik saja?"
Giska dan Angel menoleh ke pintu, ada sedikit ketegangan di wajah keduanya. Giska lalu meraih pisau yang tergeletak di sampingnya dan berusaha menyembunyikan benda itu agar tidak dilihat Andrew.
"Kami baik-baik aja, Pak. Cuma kaget saja tadi. Panik soalnya asrama jarang ada pemadaman listrik," jawab Giska, berusaha setenang mungkin. Angel yang menyadari sikap Giska ikut menutupi tangan Giska agar tidak terlihat Andrew.
"Ya sudah. Mendingan kalian tidur saja sekarang. Ini sudah hampir tengah malam. Biar kami yang berjaga di luar." Pintu ditutup dengan tatapan Andrew yang terlihat aneh, menatap mereka curiga.
"Baik, Pak," kata mereka bersamaan.
Malam ini berakhir damai. Tidak ada darah yang mengalir, baik dari Giska maupun Angel. Atau orang lain. Mereka beristirahat dalam damai. Sekalipun keadaan kembali stabil, Andrew masih terus menjaga Giska dengan menempatkan beberapa polisi di sekitar asrama.
_____
Sudah seminggu berlalu. Ujian tengah semeter yang mereka jalani pun selesai sudah. Beberapa penghuni asrama memutuskan kembali ke rumah karena mereka mendapat libur 3 hari. Tapi Angel dan Giska lebih suka ada di asrama. Orang tua keduanya yang memang super sibuk tidak mungkin ada d rumah. Jadi untuk apa mereka pulang. Lebih baik tetap ada di asrama bersama beberapa teman yang juga memutuskan tidak pulang dengan alasan mereka masing-masing.
Gawai milik Angel bergetar. Sebuah pesan singkat membuat Angel gusar. "Ck. Ngapain sih?"
Giska yang sedang membaca novel sambil tengkurap di ranjangnya kemudian menoleh. "Kenapa, Ngel?" Ia sadar kalau sahabatnya pasti sedang kesal.
"Ini, aku disuruh pulang. Apa coba? Males banget."
"Eh nggak boleh begitu. Masa kamu ke keluarga kamu begitu. Gih, siap-siap pulang. Paling kamu cuma sehari di sana, nanti langsung balik lagi, kan?" tanya Giska yang sangat paham pada Angel. Ia tau kalau Angel tidak nyaman jika harus terlalu lama tinggal di rumahnya sendiri. Tapi bagaimana pun juga, mereka tetap keluarga Angel.
Giska membantu Angel berkemas. Walau hanya dua potong baju saja yang dibawa, tapi Giska sangat teliti, karena Angel pelupa. "Ini kan obat kamu nggak kebawa? Nanti kalau sesak nafas di jalan bagaimana coba?" tutur Giska menyodorkan inhaler pada Angel. Angel menerimanya dengan senyum yang lebar. "Makasih sayaaang."
"Ih, sayang. Geli dengernya," sahut Giska. Keduanya pun sama-sama tertawa setelahnya.
"Hati-hati, Ngel. Jangan lama-lama di rumah. Aku takut sendirian." Giska melepas kepergian Angel dengan kalimat yang membuat Angel ngilu. Seseorang yang ingin ia bunuh kini justru sangat ingin ia lindungi. "Lebay, deh, Gis. Bentar doang juga aku pulang. Jangan kangen. Dan jangan kamu acak-acak foto-foto Siwon-ku, ya."
"Astaga. Mana mungkin aku ambil. Makan itu Siwon-mu," cetus Giska meledek.
"Bye." Tangan kanan Angel melambai, senyumnya berat meninggalkan Giska di asrama seorang diri. Tapi ia harus pulang.
Angel mulai duduk di perahu yang membawanya kembali ke kota. Salah satu alasan Angel malas sepulang adalah perjalanan yang cukup menyita waktu. Karena ia harus naik pesawat untuk sampai rumahnya. Kini ia sedang ada di bandara. Menunggu keberangkatannya yang hanya tinggal beberapa menit lagi. Sambil menunggu, Angel berselancar di media sosialnya. Melihat postingan ibunya yang sedang ada di luar negeri dan ayahnya yang sedang ada di kapal pesiar. Ia tak mengerti kenapa justru ia disuruh pulang kalau ternyata di rumahnya tidak ada orang. Angel memutuskan menghubungi kedua orang tuanya.
"Apa? Mama sama Papa nggak suruh aku pulang?" Tubuh Angel seketika lemah. Ia segera meraih tas yang tergeletak di lantai dan membawanya berlari keluar bandara. Tak peduli lagi teriakan orang tuanya di telepon genggam yang masih ia biarkan menyala. Angel berlari dan memutuskan menghentikan taksi yang baru saja akan pergi dari parkiran bandara. Satu yang pasti, ia harus segera kembali ke asrama.
Ia sangat cepat hingga kini sudah duduk manis di atas perahu yang membawanya kembali ke pulau. Bahkan sang empunya perahu bertanya-tanya kenapa Angel kembali lagi, padahal baru beberapa jam lalu ia naik perahu yang sama dan berbincang dengan nahkoda perahu bahwa ia kan menghabiskan liburan di rumah.
Kaki jenjangnya kini melangkah turun dari perahu. Tak peduli sepatunya yang basah karena air laut di bawahnya, karena perahu yang sebenarnya belum berhenti sempurna. Angel sangat terburu-buru hingga tak memerdulikan hal itu. Baginya untuk segera sampai ke asrama adalah hal yang terus ada di pikirannya kini.
Bangunan yang menjulang itu sudah nampak di depan mata Angel. Ia meneruskan berlari dan sedikit panik saat melihat banyak polisi mengerumuni gedung asrama putri. Pikirannya kalut dan memikirkan hal yang paling buruk. Sesuatu yang terus ada di pikirannya atas keselamatan Giska. Kakinya sampai pada lantai koridor tempatnya menginap. Semua orang berkerumun, bahkan ia dapat melihat kalau kini pintu kamarnya di beri garis polisi. Air matanya menggenang. dan tumpah begitu saja. Hanya ada satu nama di pikirannya. Giska.
Saat Angel mulai mendekat, barisan teman-temannya menguar, memberi jalan dirinya agar lebih mudah sampai ke kamarnya. "Yang sabar, Ngel." Kalimat barusan terucap dari Lidya, tetangga kamar mereka berdua. Tangis Angel kini makin dalam, hingga sampai di kamarnya, Angel langsung luruh, saat melihat tubuh Giska menggantung di bawah pintu koridor kamarnya. Ia menutup mulutnya dan menggeleng cepat. Beberapa polisi yang ada di lokasi kejadian turut iba melihat tangis Angel yang kini menggugu. Angel berteriak memanggil nama Giska. Giska ... tewas.
Semua orang mengira Giska bunuh diri, tapi hanya Angel yang tau kalau Giska dibunuh. Dengan terisak, Angel bangkit dan meninggalkan kamar itu. Mengabaikan panggilan rekannya yang mengkhawatirkan dirinya. Kematian Giska adalah pukulan berat bagi Angel, yang notaben nya sahabat terdekat Giska. Ia melakukan panggilan ke sebuah nomor.
"Kenapa?" tanya Angel dengan penuh amarah.
"Dia patut mati, Sis. Kamu lupa bagaimana mereka membuatmu hampir gila, hah?"
"Aku bilang, lepaskan Giska! Kenapa kamu membunuhnya! Sebenarnya ini bukan pertempuranku, kan?! Tapi pertempuranmu! Kau jahat! Kau lihat saja, akan kubongkar identitasmu. Aku pastikan polisi akan menghukummu sangat berat! Kalaupun mereka tidak bisa menangkapmu, maka aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!" jerit Angel dengan penuh amarah.
Angel melempar telepon genggamnya hingga hancur berserakan. Ia menjerit karena rasa sedih dan kesal yang menjadi satu. "Kubunuh kau, manusia iblis!" jerit Angel. Tapi ia lantas terdiam saat melihat sebuah titik merah ada di dadanya. Angel melihat ke arah gedung asrama laki-laki, yang letaknya cukup jauh dari pandangannya. "Dasar iblis!" ucapnya. Bertepatan dengan itu, ia roboh ke belakang dengan darah mengucur perlahan keluar dari dadanya yang berlubang. Siska ... tewas.
Kematian Siska bukan berita baru bagi telinga masyarakat. Justru mengetahui bahwa Siska ternyata masih hidup itulah yang membuat gempar seluruh desa dan orang-orang yang terlibat di dalam nya. Kasus 7 tahun silam. Bagai momok baru dalam masyarakat baru-baru ini. Terlebih berita mengatakan kalau ternyata Giska dan Siska bersahabat selama 3 tahun terakhir. Seseorang yang ingin dibunuh Siska malah menjadi orang yang paling ingin dia lindungi.
"Jadi siapa yang menembak Siska?" tanya Adi, di cafe Pancasona, berkumpul dengan tim Andrew.
"Seorang penembak runduk," sahut Andrew datar. Mereka duduk di sebuah meja yang ada di halaman cafe.
obdiamond dan 4 lainnya memberi reputasi
5