- Beranda
- Stories from the Heart
You Are My Destiny
...
TS
loveismyname
You Are My Destiny

2008
“SAH!”
Serta merta, kalimat Tahmid bergema ke seluruh ruangan musholla di pagi yang cerah ini. Begitu banyak wajah bahagia sekaligus haru terlihat. Proses akad nikah memang seharusnya menjadi sesuatu yang sakral, yang membawa kebahagiaan bagi setiap orang yang melaluinya.
Aku termasuk orang yang berbahagia itu. Di hadapan seorang laki-laki yang barusan menjabat tanganku, yang selanjutnya, beliau secara resmi akan kupanggil Papa, aku tidak bisa menyembunyikan rasa haruku. Di sampingku, seorang wanita yang telah kupilih untuk mendampingiku seumur hidup, terus menerus menutup mukanya dengan kedua tangan, mengucap syukur tiada terkira.
Hai Cantik, semoga kamu bahagia juga di sana. Tunggu kami ya.
Spoiler for PERHATIAN !!:
Spoiler for DISCLAIMER !!:
Enjoy

Note : Gue akan berusaha agar cerita ini bisa selesai. Update, sebisa dan semampu gue aja, karena cerita ini sebenarnya sudah gue selesaikan dalam bentuk Ms.Word. Tapi maaf, gue gak bisa setiap hari ngaskus. mohon pengertiannya.
Index
prolog
part 1 the meeting
part 2 how come?
part 3 why
part 4 swimming
part 5 second meeting
part 6 aku
part 7 love story
part 8 mbak adelle
part 9 got ya!!
part 10 third meeting
part 11 kejadian malam itu
part 12 4th meeting
part 13 family
part 14 putus
part 15 comeback
part 16 morning surprise
part 17 we are different
Intermezzo - behind the scenes
Intermezzo - behind the scenes 2
part 18 aku di sini untukmu
part 19 a morning with her
part 20 don't mess with me 1
part 21 don't mess with me 2
part 22 my life has changed
part 23 mati gue !!
part 24 old friend
part 25 kenapa sih
Intermezzo - behind the scenes 3
part 26 halo its me again
part 27 balikan?
part 28 happy independent day
part 29 duet
part 30 sorry, i cant
part 31 night call
part 32 preparation
part 33 lets get the party started
part 34 sweetest sin
part 35 late 2001
part 36 ramadhan tiba
part 37 itu hurts
part 38 sebuah nasihat
part 39 happy new year
part 40 ombak besar
part 41 don't leave me
part 42 my hero
part 43 my hero 2
part 44 desperate
part 45 hah??
part 46 goodbye
part 47 ombak lainnya
part 48 no party
part 49 self destruction
part 50 diam
part 51 finally
part 52 our journey begin
part 53 her circle
part 54 my first kiss
part 55 sampai kapan
part 56 lost control
part 57 trauma
part 58 the missing story
part 59 akhirnya ketahuan
part 60 perencanaan ulang
part 61 komitmen
part 62 work hard
part 63 tembok terbesar
part 64 melihat sisi lain
part 65 proud
part 66 working harder
part 67 shocking news
part 68 she's gone
Intermezzo behind the scenes 4
part 69 time is running out
part 70 one more step
part 71 bali the unforgettable 1
part 72 bali the unforgettable 2
intermezzo behind the scenes 5
part 73 a plan
part 74 a plan 2
part 75 ultimatum
part 76 the day 1
part 77 the day 2
part 78 the day 3
part 79 judgement day
part 80 kami bahagia
part 81 kami bahagia 2
part 82 we are family
part 83 another opportunity
part 84 new career level
part 85 a gentlemen agreement
part 86 bidadari surga
part 87 pertanyaan mengejutkan
part 88 new place new hope
part 89 cobaan menjelang pernikahan 1
part 90 cobaan menjelang pernikahan 2
part 91 hancur
part 92 jiwa yang liar
part 93 tersesat
part 94 mungkinkah
part 95 faith
part 96 our happiness
part 97 only you
part 98 cepat sembuh sayang
part 99 our journey ends
part 100 life must go on
part 101 a new chapter
part 102 Bandung
part 103 we meet again
part 104 what's wrong
part 105 nginep
part 106 Adelle's POV 1
part 107 a beautiful morning
part 108 - terlalu khawatir
part 109 semangat !!
part 110 kejutan yang menyenangkan
part 111 aku harus bagaimana
part 112 reaksinya
part 113 menjauh?
part 114 lamaran
part 115 good night
part 116 satu per satu
part 117 si mata elang
part 118 re united
part 119 hari yang baru
part 120 teguran keras
part 121 open up my heart
part 122 pelabuhan hati
part 123 aku akan menjaganya
part 124 masih di rahasiakan
part 125 surprise
part 126 titah ibu
part 127 kembali
part 128 congratulation 1
part 129 congratulation 2
part 130 you are my destiny
epilog 1
epilog 2
epilog 3
epilog 4
epilog 5
side stry 1 mami and clarissa
side story 2 queen
side story 3 us (adelle's pov 2)
tamat
Diubah oleh loveismyname 03-06-2023 11:22
yputra121097703 dan 72 lainnya memberi reputasi
71
101.6K
953
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
loveismyname
#119
Part 68 - She's Gone
Sabtu pagi, aku, Afei, Pacul dan Magda sudah berada di dalam mobil untuk menuju ke Bandung. Kami pergi menggunakan mobil stok dagangan kami. Kali ini, sebuah Toyot# Great Coroll# tahun 96.
Aku dan pacul sering bercanda, kami ini seperti sosok Sanwani yang di perankan almarhum Kasino di film warkop DKI “Gengsi Dong”, yang sering bergonta ganti mobil. Bedanya, kalau Sanwani itu anak juragan bengkel, kami adalah pedagang mobil. Hahahaha.
Garasi hari ini dihandle Sueb dan satu orang lagi yang kami hire harian untuk membantu Sueb. Semua itu di kontrol via sms dan telepon oleh Pacul. Aku mengerti, Pacul kurang percaya dengan Sueb. Bukan masalah kejujuran, tapi masalah administrasinya, terutama uang. Sueb kadang terlalu polos. Aku ikut saja rencananya.
Sedangkan Magda ikut karena dia juga mengalami kejanggalan yang sama. Magda dan Mbak Adelle dekat. Mereka masih sering berkirim kabar. Namun kesamaan kami semua adalah, kami tidak tahu dimana alamat Mbak Adelle. Kami hanya tahu kampusnya saja. untuk itu, kami segera mengarah menuju kampusnya. Dengan harapan, bisa mendapatkan alamat Mbak Adelle.
“Gue tuh ga pernah percaya ya, kalo ada orang yang bisa tiba-tiba menghilang ga ada jejak gini. Maksud gue, kita ga denger berita apa-apa, terus kayak semua fine aja, tapi kok bisa ya? Itu ibu-ibu juga ga ada yang tahu.” Magda berkata. Posisi duduk kami memang tidak berpasangan. Magda dan Afei duduk di belakang.
“Iya bener Da. Gue juga ga abis pikir. Sampe nomor Bang Dika ga bisa dihubungin. Bener-bener ilang.” Pacul setuju dengan Magda.
Mereka yang biasanya ribut, pagi ini begitu tenang. Sedangkan Afei sudah terlelap. Maklum, ini masih pagi sekali. Afei nampaknya masih mengantuk.
Kami kembali terdiam sepanjang perjalanan.
“Bro, thanks banget ya.” Pacul tiba-tiba membuka suara.
“Kenapa nyet.” Aku yang sedang focus menyetir, menanggapinya.
“Idup gue berubah banget sejak ikut lu kerja. Gue idup jadi ikutin lu, punya tujuan dan rencana. Thanks banget Bro.” Dia menepuk pundakku. Aku tersenyum.
Aku paham kenapa Pacul membuka topik ini. Dia ingin membuatku fokus dan tidak terlalu khawatir soal Mbak Adelle. Bisa berbahaya untuk keselamatan kami, karena aku yang mengemudi.
“Itu mah bukan karena gue Cul. Karena lu aja yang mau berubah. Kalo dari lu nya ga mau berubah, ya ga bakal bisa. Appreciate yourself lah. Gue ga ngapa-ngapain.” Aku menanggapinya santai.
“Ga bisa gitu Gol. Orang tuh berubah pasti karena sesuatu. Dalam kasus Pacul, lu yang ngebuka jalan, ngebimbing dia, sampe ngasih ilmu. Lu yang harusnya appreciate yourself. Tanpa lu sadari, lu udah membuka harapan ga cuma buat pacul. Tapi buat Mbak Adelle.” Magda mendekat kepada kami dan berbicara pelan sambil tersenyum.
“Nyesel dulu gue ga gerak cepet ya. heheheeh.” Magda nyengir sambil melirik Afei yang tertidur pulas.
Magda lalu mendekat ke kursiku, lalu mengaitkan tangannya di leher dan bahuku. Dia memelukku dari belakang.
"Da, lepasin tangan lu atau gue tabrakin sekalian nih mobil." Aku mendesis marah.
Aku tidak suka di perlakukan seperti itu. Terlebih ada Afei di samping Magda. Aku tidak mau dia tiba-tiba terbangun lalu salah paham. Aku sangat menjaga kepercayaannya.
"Sorry Gol." Magda langsung beringsut mundur.
“Hah? Jadi lu salah satu orang yang neror Dogol juga. Gila lu Bodat!!” Pacul terkejut.
“HEH BRENGSEK!! Bahasa lu jangan neror kek. Hiiihhh!!” Magda menjambak rambut pacul dan menggoyang-goyangkannya.
Hadeh, baru juga tenang bentar, udah ribut lagi.
Kami sudah sampai di sebuah kampus besar, dan langsung menuju ke fakultas ilmu komunikasi, jurusannya Mbak Adelle. Karena ini Sabtu, kampus tidak terlalu ramai.
“Kak, maaf. Kenal sama Adelle ga? anak Fikom, semester sekian. Pindahan dari kota anu.” Magda berinisiatif bertanya ke mahasiswi yang lewat. Namun, yang di tanya hanya menggeleng tidak tahu.
Mbak Adelle pernah bilang, dia sering di dekati cowok-cowok di kampusnya. Tapi dia tidak menanggapi. Dari situ, aku berinisiatif bertanya kepada mahasiswa. Aku menyuruh Afei dan Magda, beristirahat dulu di sebuah spot. Tempat itu banyak pedagang kaki lima, mereka bisa sarapan dulu di sana. Aku dan Pacul langsung berkeliling.
“A punten, kenal sama yang namanya Adelle? Anak Fikom juga.” Aku bertanya kepada segerombolan mahasiswa yang berkumpul.
“Kenal sih nggak, tapi tau. Yang ada bekas luka di pipi kan?” Salah seorang dari mereka menjawab.
Mendengar itu, aku langsung antusias. Aku coba bertanya detail. Namun, dia bilang hanya sekedar tahu saja, karena dia masih angkatan baru.
“Adelle yang sombong itu?”
Terdengar suara laki-laki dari belakangku.
“Eh?” Aku terkejut mendengar itu, dan langsung berbalik.
“Iya sombong. Dia di sini ga punya temen, pendiem banget, dan ga pernah nongkrong. Jujur aja gue pernah nyoba deketin dia, tapi dia ga sekalipun respon. Sombong banget ! Sok cantik.” Lelaki itu berkata.
Aku yang mendengarnya langsung panas.
Jangan pernah menghina Mbak Adelle di depanku !
Tapi amarahku langsung berganti dengan rasa kasihan. Mbak Adelle benar-benar struggling di sini. Aku paham kenapa dia sampai tak punya teman. Dia pasti ketakutan ketika di dekati lelaki. Hatiku mencelos membayangkan dia sendirian di sini. Di lingkungan baru. Badanku bergetar, aku menyesal karena tidak pernah sempat menjenguknya.
“Ada masalah apa Bro?” Lelaki itu bertanya lagi, menyadarkanku dari lamunanku.
“E..eh nggak A. kita temennya dari daerah asalnya. Mau ketemuan aja, udah lama ga ketemu. Dia ga ada temen cewek yang akrab atau gimana gitu?” Aku kembali bertanya.
“Wah kalo itu gue ga tau. Ada temen cewek yang deket sama dia, tapi semester kemarin lulus. Kalo ga salah, harusnya Adelle semester ini tinggal skripsi.” Dia kembali menjelaskan.
“Ok deh. Makasi ya A. Maaf kalo ganggu. Eh, Aa Namanya siapa? Saya Daru.” Aku mengajaknya berkenalan.
“Gue Richard. Santai aja. Yuk gue cabut dulu.” Dia pun berlalu.
Setelah itu, kami berempat terus berusaha mencari info. Ternyata Mbak Adelle di kampus ini benar-benar invisible. Jarang sekali ada yang tahu tentangnya. Akhirnya, kami berinisiatif bertanya ke TU, berharap bisa mendapatkan alamatnya. Namun yang terjadi, kami malah tambah terkejut. Semester ini, Mbak Adelle sudah mengajukan cuti.
Aduh Mbak, kamu kenapa?
Staff TU juga tidak mau memberikan alamat Mbak Adelle, karena ini data rahasia, dia tidak diperkenankan untuk melakukan itu. Aku sedikit emosi, aku bahkan sempat ingin menyogoknya. Tapi staff itu tetap keukeuh tidak mau memberikan.
Afei menenangkanku.
"Sayang, kamu kan ada nomor Dinar. Coba telepon."
Lah iya ya? Bodoh sekali aku sampai tidak terfikir hal itu.
Aku langsung mengambil ponsel dan melakukan panggilan ke nomor Dinar. Panggilan pertama direject. Kedua, kembali direject. Ketiga, tetap direject.
Aku panik. Namun tak lama, ada sms masuk.
Dinar: jgn hub aq buat nanya soal Adelle. Aq gak bs jawab. Sorry.
Aku : pls, Teh. Aq hrs tanya siapa lagi? Aq udah di bandung ini. Teh, tolong aq pls.
Dinar : sorry. Aq ga bisa. Ini amanat. Jgn hubungi aq dulu y. Tolong ngerti.
Kami keluar kampus dengan tangan kosong siang itu. Kami bingung harus apa lagi. Akhirnya, kami hanya berputar-putar Bandung, berharap menemukan sedikit petunjuk.
Kami yang sewaktu berangkat ceria, dan sempat merencanakan berjalan-jalan dulu, akhirnya hanya bisa terdiam saat pulang. Kami sadar, ini mungkin akan serius. Kami tidak menyangka, Mbak Adelle menghilang seperti ini. Sore hari, kami akhirnya memilih pulang. Magda yang mengemudi.
Aku duduk di belakang bersama Afei. Kami saling bergandengan, dalam diam. Tanpa sadar, aku yang sedang melihat ke luar jendela, meneteskan air mata. Semua rasa bercampur aduk jadi satu. Yang paling besar adalah penyesalanku, karena tidak pernah sempat menengoknya. Aku merasa bodoh sekali.
Sebuah tangan menyeka pipiku.
“Sabar sayang. Doakan Mbak Adelle selalu. Kita usaha terus ya. besok-besok, kita coba lagi hubungin Mbak Adelle atau Bang Dika. Siapa tau, hp nya aktif lagi.” Afei menghiburku.
Aku memandangnya sambil tersenyum, lalu merangkulnya erat. Afei merebahkan kepalanya di bahuku.
“Sayang banget sama kamu.” Aku mencium kepalanya.
“Aku apalagi.” Afei menjawab sambil tersenyum.
Aku dan pacul sering bercanda, kami ini seperti sosok Sanwani yang di perankan almarhum Kasino di film warkop DKI “Gengsi Dong”, yang sering bergonta ganti mobil. Bedanya, kalau Sanwani itu anak juragan bengkel, kami adalah pedagang mobil. Hahahaha.
Garasi hari ini dihandle Sueb dan satu orang lagi yang kami hire harian untuk membantu Sueb. Semua itu di kontrol via sms dan telepon oleh Pacul. Aku mengerti, Pacul kurang percaya dengan Sueb. Bukan masalah kejujuran, tapi masalah administrasinya, terutama uang. Sueb kadang terlalu polos. Aku ikut saja rencananya.
Sedangkan Magda ikut karena dia juga mengalami kejanggalan yang sama. Magda dan Mbak Adelle dekat. Mereka masih sering berkirim kabar. Namun kesamaan kami semua adalah, kami tidak tahu dimana alamat Mbak Adelle. Kami hanya tahu kampusnya saja. untuk itu, kami segera mengarah menuju kampusnya. Dengan harapan, bisa mendapatkan alamat Mbak Adelle.
“Gue tuh ga pernah percaya ya, kalo ada orang yang bisa tiba-tiba menghilang ga ada jejak gini. Maksud gue, kita ga denger berita apa-apa, terus kayak semua fine aja, tapi kok bisa ya? Itu ibu-ibu juga ga ada yang tahu.” Magda berkata. Posisi duduk kami memang tidak berpasangan. Magda dan Afei duduk di belakang.
“Iya bener Da. Gue juga ga abis pikir. Sampe nomor Bang Dika ga bisa dihubungin. Bener-bener ilang.” Pacul setuju dengan Magda.
Mereka yang biasanya ribut, pagi ini begitu tenang. Sedangkan Afei sudah terlelap. Maklum, ini masih pagi sekali. Afei nampaknya masih mengantuk.
Kami kembali terdiam sepanjang perjalanan.
“Bro, thanks banget ya.” Pacul tiba-tiba membuka suara.
“Kenapa nyet.” Aku yang sedang focus menyetir, menanggapinya.
“Idup gue berubah banget sejak ikut lu kerja. Gue idup jadi ikutin lu, punya tujuan dan rencana. Thanks banget Bro.” Dia menepuk pundakku. Aku tersenyum.
Aku paham kenapa Pacul membuka topik ini. Dia ingin membuatku fokus dan tidak terlalu khawatir soal Mbak Adelle. Bisa berbahaya untuk keselamatan kami, karena aku yang mengemudi.
“Itu mah bukan karena gue Cul. Karena lu aja yang mau berubah. Kalo dari lu nya ga mau berubah, ya ga bakal bisa. Appreciate yourself lah. Gue ga ngapa-ngapain.” Aku menanggapinya santai.
“Ga bisa gitu Gol. Orang tuh berubah pasti karena sesuatu. Dalam kasus Pacul, lu yang ngebuka jalan, ngebimbing dia, sampe ngasih ilmu. Lu yang harusnya appreciate yourself. Tanpa lu sadari, lu udah membuka harapan ga cuma buat pacul. Tapi buat Mbak Adelle.” Magda mendekat kepada kami dan berbicara pelan sambil tersenyum.
“Nyesel dulu gue ga gerak cepet ya. heheheeh.” Magda nyengir sambil melirik Afei yang tertidur pulas.
Magda lalu mendekat ke kursiku, lalu mengaitkan tangannya di leher dan bahuku. Dia memelukku dari belakang.
"Da, lepasin tangan lu atau gue tabrakin sekalian nih mobil." Aku mendesis marah.
Aku tidak suka di perlakukan seperti itu. Terlebih ada Afei di samping Magda. Aku tidak mau dia tiba-tiba terbangun lalu salah paham. Aku sangat menjaga kepercayaannya.
"Sorry Gol." Magda langsung beringsut mundur.
“Hah? Jadi lu salah satu orang yang neror Dogol juga. Gila lu Bodat!!” Pacul terkejut.
“HEH BRENGSEK!! Bahasa lu jangan neror kek. Hiiihhh!!” Magda menjambak rambut pacul dan menggoyang-goyangkannya.
Hadeh, baru juga tenang bentar, udah ribut lagi.
Quote:
Kami sudah sampai di sebuah kampus besar, dan langsung menuju ke fakultas ilmu komunikasi, jurusannya Mbak Adelle. Karena ini Sabtu, kampus tidak terlalu ramai.
“Kak, maaf. Kenal sama Adelle ga? anak Fikom, semester sekian. Pindahan dari kota anu.” Magda berinisiatif bertanya ke mahasiswi yang lewat. Namun, yang di tanya hanya menggeleng tidak tahu.
Mbak Adelle pernah bilang, dia sering di dekati cowok-cowok di kampusnya. Tapi dia tidak menanggapi. Dari situ, aku berinisiatif bertanya kepada mahasiswa. Aku menyuruh Afei dan Magda, beristirahat dulu di sebuah spot. Tempat itu banyak pedagang kaki lima, mereka bisa sarapan dulu di sana. Aku dan Pacul langsung berkeliling.
“A punten, kenal sama yang namanya Adelle? Anak Fikom juga.” Aku bertanya kepada segerombolan mahasiswa yang berkumpul.
“Kenal sih nggak, tapi tau. Yang ada bekas luka di pipi kan?” Salah seorang dari mereka menjawab.
Mendengar itu, aku langsung antusias. Aku coba bertanya detail. Namun, dia bilang hanya sekedar tahu saja, karena dia masih angkatan baru.
“Adelle yang sombong itu?”
Terdengar suara laki-laki dari belakangku.
“Eh?” Aku terkejut mendengar itu, dan langsung berbalik.
“Iya sombong. Dia di sini ga punya temen, pendiem banget, dan ga pernah nongkrong. Jujur aja gue pernah nyoba deketin dia, tapi dia ga sekalipun respon. Sombong banget ! Sok cantik.” Lelaki itu berkata.
Aku yang mendengarnya langsung panas.
Jangan pernah menghina Mbak Adelle di depanku !
Tapi amarahku langsung berganti dengan rasa kasihan. Mbak Adelle benar-benar struggling di sini. Aku paham kenapa dia sampai tak punya teman. Dia pasti ketakutan ketika di dekati lelaki. Hatiku mencelos membayangkan dia sendirian di sini. Di lingkungan baru. Badanku bergetar, aku menyesal karena tidak pernah sempat menjenguknya.
“Ada masalah apa Bro?” Lelaki itu bertanya lagi, menyadarkanku dari lamunanku.
“E..eh nggak A. kita temennya dari daerah asalnya. Mau ketemuan aja, udah lama ga ketemu. Dia ga ada temen cewek yang akrab atau gimana gitu?” Aku kembali bertanya.
“Wah kalo itu gue ga tau. Ada temen cewek yang deket sama dia, tapi semester kemarin lulus. Kalo ga salah, harusnya Adelle semester ini tinggal skripsi.” Dia kembali menjelaskan.
“Ok deh. Makasi ya A. Maaf kalo ganggu. Eh, Aa Namanya siapa? Saya Daru.” Aku mengajaknya berkenalan.
“Gue Richard. Santai aja. Yuk gue cabut dulu.” Dia pun berlalu.
Setelah itu, kami berempat terus berusaha mencari info. Ternyata Mbak Adelle di kampus ini benar-benar invisible. Jarang sekali ada yang tahu tentangnya. Akhirnya, kami berinisiatif bertanya ke TU, berharap bisa mendapatkan alamatnya. Namun yang terjadi, kami malah tambah terkejut. Semester ini, Mbak Adelle sudah mengajukan cuti.
Aduh Mbak, kamu kenapa?
Staff TU juga tidak mau memberikan alamat Mbak Adelle, karena ini data rahasia, dia tidak diperkenankan untuk melakukan itu. Aku sedikit emosi, aku bahkan sempat ingin menyogoknya. Tapi staff itu tetap keukeuh tidak mau memberikan.
Afei menenangkanku.
"Sayang, kamu kan ada nomor Dinar. Coba telepon."
Lah iya ya? Bodoh sekali aku sampai tidak terfikir hal itu.
Aku langsung mengambil ponsel dan melakukan panggilan ke nomor Dinar. Panggilan pertama direject. Kedua, kembali direject. Ketiga, tetap direject.
Aku panik. Namun tak lama, ada sms masuk.
Dinar: jgn hub aq buat nanya soal Adelle. Aq gak bs jawab. Sorry.
Aku : pls, Teh. Aq hrs tanya siapa lagi? Aq udah di bandung ini. Teh, tolong aq pls.
Dinar : sorry. Aq ga bisa. Ini amanat. Jgn hubungi aq dulu y. Tolong ngerti.
Kami keluar kampus dengan tangan kosong siang itu. Kami bingung harus apa lagi. Akhirnya, kami hanya berputar-putar Bandung, berharap menemukan sedikit petunjuk.
Kami yang sewaktu berangkat ceria, dan sempat merencanakan berjalan-jalan dulu, akhirnya hanya bisa terdiam saat pulang. Kami sadar, ini mungkin akan serius. Kami tidak menyangka, Mbak Adelle menghilang seperti ini. Sore hari, kami akhirnya memilih pulang. Magda yang mengemudi.
Aku duduk di belakang bersama Afei. Kami saling bergandengan, dalam diam. Tanpa sadar, aku yang sedang melihat ke luar jendela, meneteskan air mata. Semua rasa bercampur aduk jadi satu. Yang paling besar adalah penyesalanku, karena tidak pernah sempat menengoknya. Aku merasa bodoh sekali.
Sebuah tangan menyeka pipiku.
“Sabar sayang. Doakan Mbak Adelle selalu. Kita usaha terus ya. besok-besok, kita coba lagi hubungin Mbak Adelle atau Bang Dika. Siapa tau, hp nya aktif lagi.” Afei menghiburku.
Aku memandangnya sambil tersenyum, lalu merangkulnya erat. Afei merebahkan kepalanya di bahuku.
“Sayang banget sama kamu.” Aku mencium kepalanya.
“Aku apalagi.” Afei menjawab sambil tersenyum.
yuaufchauza dan 17 lainnya memberi reputasi
18