- Beranda
- Stories from the Heart
story keluarga indigo.
...
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:
KKN Di Dusun Kalimati
Quote:
Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.
Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.
Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.

INDEKS
Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah

Quote:
Quote:
Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.
Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.
Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).
INDEKS
Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end

Quote:
Quote:
INDEKS
Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang
Konten Sensitif
Quote:
Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.
INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu

Quote:
Quote:
INDEKS
part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 21:46
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
21.6K
306
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#75
Part 28 Hantu Kamar Mandi
Jujur aku pun kasihan, dan tidak mungkin akan membiarkan keadaan ini terus - terusan. Menarik nafas dalam, lalu memutuskan untuk melangkah maju. Wanita yang sudah memakai baju tidur dengan celana pendek di sana, mulai mendesis, menatapku dengan tatapan benci. Dia seolah bersiap menyerangku, dari tempatnya berada sekarang. Di kamar ini ada sekitar lima orang. Dua wanita dan tiga pria. Di tambah wanita yang sedang kesurupan di atas sana.
"Dia kesurupan, kak?"
"Iya. Memangnya tadi kalian lagi apa?"
"Kami di luar, Kak, cuma Ollie memang pamit mau tidur, eh tiba - tiba dia sudah teriak - teriak."
"Dia sensitif, aku yakin perempuan tadi yang mengganggu dia."
"Perempuan yang mana, Kak?"
"Perempuan yang di dekati teman kalian itu," sahutku menunjuk Adnan dengan daguku. Dia diam, tidak menggubris perkataanku. "Ollie, memang benar, ada sosok di luar vila yang sejak tadi memperhatikan kalian, dan ya sekarang dia menempel ke Ollie."
"Jadi kami harus gimana, kak!" rengek salah satu dari mereka.
"Tolong ambilkan air, ya," pintaku. Salah satu wanita berlari keluar dan kembali dengan segelas air putih. Aku mulai membacakan doa - doa dan meniupkannya ke gelas di tanganku. "Bismillah!" Air aku tuangkan sedikit ke telapak tangan, lalu mencipratkan ke Ollie yang masih menempel di tembok. Dia menggeram kepanasan, bahkan tubuhnya terlihat mengeluarkan uap panas. Ollie jatuh begitu saja ke bawah. "Pegangi dia!" suruhku. Adnan dan dua pria lainnya segera memegangi Ollie walau dengan ekspresi takut. Aku melanjutkan menyiramkan air kembali ke telapak tanganku, dan kini membasuh wajah Ollie sambil membacakan doa.
Ollie menjerit dan menggeram. Tangannya berusaha melepaskan diri dari pegangan tiga pria di sekelilingnya. Aku terus menguatkan bacaan doaku, dan terus membasuh kepalanya dengan air ini. "Ki! Jempol kakinya!" Kiki mengangguk paham, lalu membantuku menekan jempol kaki Ollie. Ollie menjerit sangat kencang dan tak lama kemudian dia melemah, pingsan.
__________________
"Terima kasih banyak, Kak. Untung ada kakak, kalau nggak kita nggak tau apa yang harus kita lakukan buat Ollie."
"Sama - sama. Kalian jaga dia, takutnya kumat lagi. Lebih baik kalian di dalam saja, terlalu berbahaya kalau di luar terus. "
'Baik, kak."
"Eum, Kak. Aku minta maaf soal tadi," kata Adnan yang kini terlihat sungkan padaku. Aku pun tersenyum menanggapinya lalu mengangguk. "Iya, aku juga minta maaf, ya. Kalau terlalu kasar tadi."
"Teman kakak belum balik?" tanya yang lainnya. Aku dan Kiki saling pandang, sama - sama tersenyum. "Eum, belum masih dicari. Doain aja semoga cepat ketemu. Temen - temen kalian juga bantu tadi, terima kasih, ya."
Keadaan sudah terkendali. Aku sudah memberi tau kan agar meminumkan air tadi ke OlliE saat dia bangun nanti. Masih cemas jika makhluk tadi kembali lagi ke sini.
Aku dan Kiki lantas kembali ke vila kami. Tapi begitu keluar dari vila mereka, aku dan Kiki justru menghentikan langkah saat melihat Citra sudah duduk di kursi, sedang menikmati teh hangat tanpa ekspresi.
"Itu Citra asli apa bukan, Tha," bisik Kiki mulai cemas.
Aku diam, dan terus memperhatikannya lekat - lekat, memastikan kalau yang ada di sana manusia atau bukan. "Manusia kok. Dia Citra!"
"Alhamdulillah."
"Tapi ... kok aneh, ya?"
"Aneh apanya, Tha?"
"Hm. entahlah. Kita samperin saja, yuk. Tapi yang lain ke mana, ya? Coba kamu kabarin Doni, Ki. Suruh mereka balik," pintaku sambil berjalan ke tempat Citra bersama Kiki. Kiki segera mengambil ponsel dari saku jaketnya, dering nada panggilan terdengar nyaring di suasana sunyi seperti sekarang.
"Halo, sayang, kalian di mana? Balik sekarang. Citra udah ketemu!" seru Kiki.
"...."
"Oke."
Kami mendekat ke Citra, Kiki terlihat panik melihat teman kerjanya kini hanya diam duduk di kursi. Tatapan matanya kosong dan wajahnya agak pucat. Kiki langsung menyentuh bahu Citra, berusaha menyadarkannya. Karena Sikap Citra terlihat seperti orang yang sedang melamun.
"Cit, lu ke mana aja sih? Ari sama yang lain nyariin lu dari tadi! Lu kenapa?!" tanya Kiki dengan antusias. Aku justru hanya diam memperhatikan, dan tidak ingin terlibat lebih jauh. Sikap Citra tampak mencurigakan dan aneh. Hanya saja aku belum tau kenapa.
"Citra! Cit!" Kiki terus menjerit, hingga akhirnya dia tersadar.
"Ki ...," panggilnya pelan, seperti kehabisan tenaga. Dia terlihat panik dan ketakutan.
"Iya, kenapa, kenapa? Bilang, Cit, ada apa?"
"Kok aku di sini?" tanyanya, seperti orang kebingungan. Sementara Kiki dan aku justru saling pandang, bingung. Aku menaikkan dagu, bertanya pada Kiki tentang apa maksud perkataan Citra, dan Kiki justru menggeleng pelan, berakhir dengan kembali menatap Citra.
Beberapa langkah berlarian mendekat ke vila, para teman - teman pria sudah mulai datang. Ari yang paling cemas, dan segera mendekat pada kekasihnya. Pertanyaan beruntun mulai dilontarkan, dan Citra hanya diam dengan tatapan sendu yang membuat banyak orang iba padanya. Ari akhirnya membawa Citra masuk ke dalam.
"Kok dia bisa pulang sendiri?" tanya Radit yang kini berada di dekatku, berbisik.
"Hm, nggak tau, sayang. Tadi waktu aku di vila sebelah sama Kiki, tiba - tiba dia udah duduk di sini, cuma pas Kiki tanyain malah mirip orang linglung. Nggak ngerti kenapa," jelasku sambil menekan dahi dan menatap mereka semua. Mereka berkerumun, seolah ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Lah, kamu ngapain ke Vila sebelah?" tanya Radit menyelidik.
Mereka lantas mengerumuniku, karena diskusi ini yang cukup menarik. "Gini, tadi aku sama Kiki duduk di sini, sambil nunggu kalian pulang, tapi tiba - tiba ada yang teriak di vila sana. Mereka yang tadinya duduk di teras, langsung lari masuk. Otomatis aku sama Kiki penasaran. Akhirnya kami ikut masuk ke sana, eh ternyata si siapa tadi, yang di sana?" tanyaku beralih ke Rayi, dan menunjuk tempat pertikaian ku dengan Adnan tadi.
"Adnan?" tanya Rayi menebak.
"Bukan, Bukan! Cewek yang kalian bilang lihat sesuatu!"
"Oh, Oliie?"
"Iya, Oliie. Dia kesurupan!"
"Hah?! Yang bener, Kak?!" pekik Roger, Bintang justru menoleh ke sekitar. "Eh, kalian dengar nggak?"tanya Bintang menyuruh kami diam.
"Apaan?" tanya Dedi, penasaran.
"Suara burung hantu!"
"...." Suara burung yang aku tidak tau kalau itu adalah burung hantu memang terdengar nyaring.
"Ini suara burung hantu, ya?" tanya Danu ikut mencari keberadaan hewan tersebut.
"Iya, Kak. Katanya kalau ada suara ini, artinya ada makhluk halus," bisik Bintang.
Kami semua saling pandang, menatap sekitar, berharap kalimat yang dilontarkan dia salah. Walau memang aku pernah mendengar mitos ini. Ada beberapa mitos pertanda kedatangan makhluk halus. Selain lolongan anjing atau serigala, suara burung hantu, burung gagak juga salah satunya. Ada lagi suara anak ayam, dan itu sudah aku buktikan keakuratannya, tentang suara anak ayam tersebut. Benar atau tidak, jika suara burung hantu juga salah satu pertanda kehadiran makhluk hidup, bukan menjadi pedomanku sekarang.
"Ya wajar aja sih, lihat aja sekitar kita. Kita, kan, ada di tengah hutan. Apalagi lahan ini kan baru dibuka, iya, kan, Yon?" tanyaku pada penanggung jawab vila ini. Dion hanya garuk - garuk kepalanya yang tidak gatal, dan tersenyum.
"Jadi gimana, Kak?"
"Apanya yang gimana?"
"Eum, maksudnya apa ada hal - hal aneh yang terjadi sekarang, mungkin gangguan itu karena mereka nggak suka sama kedatangan kita. Begitu kah, Kak?" tanya Rayi padaku.
"Hm, kita saling waspada saja. Kalian juga harus hati - hati dan jagain Oliie malam ini. Aku cuma takut dia kambuh lagi, soalnya kalau orang yang udah pernah kesurupan, bakal mudah kesurupan lagi. Apalagi kita di tengah hutan gini."
Ketiga pemuda itu saling tatap, seolah memberi isyarat. "Kalau gitu, kami pamit dulu, kak. Permisi," kata Bintang mengakhiri.
"Oke, thanks, ya. Kalau ada apa - apa, kalian kasih tau kami. Siapa tau kami bisa bantu," kata Radit sebelum mereka pergi.
Kiki dan Doni sudah masuk ke dalam, menemani Ari dan Citra. Tinggal kami berlima saja di sini. Angin malam makin berembus kencang, karena laut sangat dekat dengan kami.
"Kayaknya kita perlu jaga - jaga deh. Perasaan gue nggak enak," cetus Dedi sambil menekan tengkuknya. "Bagaimana, Tha? Menurut anda?" tambahnya seperti wartawan yang akan mewawancarai.
"Hm, ya kamu udah bilang begitu, kan? Ya sudah, kita memang harus hati - hati. Mereka harus waspada sama Ollie, takutnya kesurupan susulan, dan kita juga jagain Citra. Dia aneh," bisikku menunjuk dua vila yang bersebelahan.
"Ya sudah, kita sudah biasa kan, menghadapi keadaan seperti ini, jadi kita sekarang istirahat, sekalian bagi tugas buat berjaga. Seperti biasa," jelas Radit, sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. "Kamu istirahat, ya." Dia mengelus pipiku lembut, lalu mengecup kening. Teman - teman yang lain berdeham sambil batuk - batuk.
"Iya, kita masuk aja, yuk," ajak ku menarik tangan Radit, diikuti teman - teman yang lain.
Suasana di halaman depan sudah cukup mencekam. Apalagi langit rasanya akan menurunkan air hujan, dengan suara petir yang menyambar - nyambar. Berada di tengah hutan dengan kondisi seperti ini, bukanlah ide bagus. Tapi anehnya aku terjebak di tempat ini. Kalau saja aku tau, seperti apa akses jalan dan lingkungan vila ini, lebih baik aku menghabiskan waktu di rumah saja, menonton film yang masih banyak di folder laptopku.
Korden mulai ditarik, menutupi jendela. Dedi dan Danu mulai memeriksa jendela, pintu dan sekitarnya. Dion pergi ke dapur sambil membawa makanan yang masih tersisa di meja depan.
"Tidur sana, istirahat ya, sayang." Radit sedang membelai kepalaku, sambil terus menatapku intens. "Maaf, ya, kita malah terjebak di tempat seperti ini. Seharusnya aku ajak kamu buat have fun, tapi malah ketemu 'mereka' lagi," jelasnya panjang lebar. Tangannya tak lepas dari wajah, pipi dan kepalaku. Setiap belaian pria ini terasa hangat dan membuatku nyaman.
"Bukan salah kamu kok, sayang. Lagipula, kamu tau sendiri aku ini seperti apa, kan? Jadi di mana pun, kapan pun, pasti ada aja yang berkaitan dengan mereka. Aku nggak apa - apa, apalagi sekarang ada kamu, ada teman - teman. Aku yakin kita bisa melewati semua ini."
Radit tersenyum, lalu menarik tubuhku dalam dekapannya. Membuat suara berdeham makin gencar menggema di seluruh ruangan. "Pacaran mulu!" kata Dedi tanpa melihat kami, hanya fokus pada layar di genggamannya.
"Makanya cari pacar! Jadi tau gimana rasanya punya pacar, terus jadi bucin!" bela Radit dengan menaikkan nada bicara.
"Udah ih, Dit. Aku ke kamar, ya. Kamu juga istirahat." Sekilas aku mengecup pipi Radit, dan mendapat reaksi keras dari Danu. "Ommo! Daebak! Aretha telah mencium Radit di depan kami semua!"
"Kebanyakan nonton drama korea lu!" ejek ku sambil berlalu masuk ke dalam kamar.
Di kamar, Doni berdiri di dekat pintu. Memperhatikan tiga orang yang sekarang ada di ranjang besar tengah ruangan. "Ngapain lu?!" tanyaku menyenggol pria tinggi kurus ini, hingga posisinya berganti. Dari yang berdiri dengan melipat kedua tangan di depan, kini justru menarik nafas dalam seolah telah melihat film pembunuhan. Wajah nya terlihat tegang sekali.
"Itu, si Citra. Apa dia nggak kesambet, Tha? Kok mirip orang linglung gitu. Ditanyain malah bingung. Bahkan dia nggak sadar kalau ada di sini sejak tadi sore. Terus kalau nggak sadar, yang sepanjang perjalanan tadi nyanyi - nyanyi nggak jelas siapa, kalau bukan dia coba!" hardik Doni berbisik dengan antusias.
"Nyanyi apa emangnya?"
"Nggak paham gue. Bahasa Jawa gitu."
Aku lantas menyimak apa yang sedang mereka bertiga bicarakan. Kiki dan Ari terus memberikan pertanyaan yang membuat Citra seakan frustrasi. Dia terus beranggapan kalau dia tidak sadar kalau berada di tempat ini. Ingatan yang dia tau, adalah dia masih berada di rumahnya, tidur di kamarnya.
Memang aneh. Apa mungkin dia kerasukan? Tapi kenapa aku tidak menyadarinya.
"Tidur sana!" suruh ku ke Doni. Aku lihat dia juga sudah kelelahan. Doni mengangguk lalu berpamitan dengan Kiki. Ari akhirnya ikut Doni keluar, agar kami semua bisa beristirahat.
"Ki, gue tidur di mana? Kalau misal apa gitu, gue di sofa ruang tamu aja nggak apa - apa," kataku sambil mengambil handuk kecil. Rasanya aku ingin cuci muka, bahkan mandi.
"Heh 'Misal apa gitu', maksud lu apa, nyet?! Sini aja lu! Udah tau, keadaan lagi serem, malah mau tidur di sofa! Enak aja!" geram Kiki dan berhasil membuatku tertawa tertahan.
"Kamu mah emosian, Ki. Ah, cuci muka dulu ah!" kataku sambil mengambil peralatan mandi yang ada di dalam tas kecil.
"Jangan lama - lama!" tegas Kiki.
"Ye, kenapa? Kan dia temen situ, kok takut!" ejekku.
"Setan, lu, Tha!"
Sebelum dia murka lebih parah, aku putuskan pergi ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Sambil tertawa - tawa aku keluar kamar, dan membuat teman - teman yang ada di ruang tengah menoleh menatapku.
"Ke mana, sayang?" tanya Radit yang baru saja membuat kopi.
"Mandi. Hehe."
"Malam - malam gini? Yakin?"
"Yakin, sayang. Gerah banget. Aku nggak bisa tidur ini."
"Oke. Jangan lama - lama tapi."
"Siap, Bos!"
Sudah lewat tengah malam, dan aku justru mandi saat malam begini. Entahlah, rasanya badanku sangat lengket. Vila ini cukup mewah, karena ada bathtub yang berada di kamar mandinya. Selain shower yang memang ada di dekatnya. Aku mulai menyalakan kran, dan rasanya berendam air hangat akan membantuku bisa tidur lebih nyenyak.
Aku sudah terlentang di dalam air, menikmati tiap aroma sabun yang sudah ku tuang ke tubuh. Bermain dengan busa sabun juga sedikit mengurangi rasa tegang yang sejak tadi kurasakan. Kaki aku gerakkan seperti hendak berenang. Hingga tiba - tiba kakiku seperti ada yang membelit. Aku sontak terkejut dan mencari sesuatu yang rasanya ada di dalam air.
Perlahan tapi pasti, aku melihat ada bayangan hitam muncul di bak bawah kakiku. Dari dalam air, benda hitam itu mulai muncul ke permukaan, aku sontak menjerit dan segera keluar dari bathtub.
"Aretha! Aretha! Kenapa, sayang?" tanya Radit sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan cepat. Aku justru diam, sambil mengamati air di bathtub tersebut. Tidak ada hal aneh yang muncul, tapi hal itu tetap membuatku ingin segera mengakhiri acara mandi malam ini.
"Dia kesurupan, kak?"
"Iya. Memangnya tadi kalian lagi apa?"
"Kami di luar, Kak, cuma Ollie memang pamit mau tidur, eh tiba - tiba dia sudah teriak - teriak."
"Dia sensitif, aku yakin perempuan tadi yang mengganggu dia."
"Perempuan yang mana, Kak?"
"Perempuan yang di dekati teman kalian itu," sahutku menunjuk Adnan dengan daguku. Dia diam, tidak menggubris perkataanku. "Ollie, memang benar, ada sosok di luar vila yang sejak tadi memperhatikan kalian, dan ya sekarang dia menempel ke Ollie."
"Jadi kami harus gimana, kak!" rengek salah satu dari mereka.
"Tolong ambilkan air, ya," pintaku. Salah satu wanita berlari keluar dan kembali dengan segelas air putih. Aku mulai membacakan doa - doa dan meniupkannya ke gelas di tanganku. "Bismillah!" Air aku tuangkan sedikit ke telapak tangan, lalu mencipratkan ke Ollie yang masih menempel di tembok. Dia menggeram kepanasan, bahkan tubuhnya terlihat mengeluarkan uap panas. Ollie jatuh begitu saja ke bawah. "Pegangi dia!" suruhku. Adnan dan dua pria lainnya segera memegangi Ollie walau dengan ekspresi takut. Aku melanjutkan menyiramkan air kembali ke telapak tanganku, dan kini membasuh wajah Ollie sambil membacakan doa.
Ollie menjerit dan menggeram. Tangannya berusaha melepaskan diri dari pegangan tiga pria di sekelilingnya. Aku terus menguatkan bacaan doaku, dan terus membasuh kepalanya dengan air ini. "Ki! Jempol kakinya!" Kiki mengangguk paham, lalu membantuku menekan jempol kaki Ollie. Ollie menjerit sangat kencang dan tak lama kemudian dia melemah, pingsan.
__________________
"Terima kasih banyak, Kak. Untung ada kakak, kalau nggak kita nggak tau apa yang harus kita lakukan buat Ollie."
"Sama - sama. Kalian jaga dia, takutnya kumat lagi. Lebih baik kalian di dalam saja, terlalu berbahaya kalau di luar terus. "
'Baik, kak."
"Eum, Kak. Aku minta maaf soal tadi," kata Adnan yang kini terlihat sungkan padaku. Aku pun tersenyum menanggapinya lalu mengangguk. "Iya, aku juga minta maaf, ya. Kalau terlalu kasar tadi."
"Teman kakak belum balik?" tanya yang lainnya. Aku dan Kiki saling pandang, sama - sama tersenyum. "Eum, belum masih dicari. Doain aja semoga cepat ketemu. Temen - temen kalian juga bantu tadi, terima kasih, ya."
Keadaan sudah terkendali. Aku sudah memberi tau kan agar meminumkan air tadi ke OlliE saat dia bangun nanti. Masih cemas jika makhluk tadi kembali lagi ke sini.
Aku dan Kiki lantas kembali ke vila kami. Tapi begitu keluar dari vila mereka, aku dan Kiki justru menghentikan langkah saat melihat Citra sudah duduk di kursi, sedang menikmati teh hangat tanpa ekspresi.
"Itu Citra asli apa bukan, Tha," bisik Kiki mulai cemas.
Aku diam, dan terus memperhatikannya lekat - lekat, memastikan kalau yang ada di sana manusia atau bukan. "Manusia kok. Dia Citra!"
"Alhamdulillah."
"Tapi ... kok aneh, ya?"
"Aneh apanya, Tha?"
"Hm. entahlah. Kita samperin saja, yuk. Tapi yang lain ke mana, ya? Coba kamu kabarin Doni, Ki. Suruh mereka balik," pintaku sambil berjalan ke tempat Citra bersama Kiki. Kiki segera mengambil ponsel dari saku jaketnya, dering nada panggilan terdengar nyaring di suasana sunyi seperti sekarang.
"Halo, sayang, kalian di mana? Balik sekarang. Citra udah ketemu!" seru Kiki.
"...."
"Oke."
Kami mendekat ke Citra, Kiki terlihat panik melihat teman kerjanya kini hanya diam duduk di kursi. Tatapan matanya kosong dan wajahnya agak pucat. Kiki langsung menyentuh bahu Citra, berusaha menyadarkannya. Karena Sikap Citra terlihat seperti orang yang sedang melamun.
"Cit, lu ke mana aja sih? Ari sama yang lain nyariin lu dari tadi! Lu kenapa?!" tanya Kiki dengan antusias. Aku justru hanya diam memperhatikan, dan tidak ingin terlibat lebih jauh. Sikap Citra tampak mencurigakan dan aneh. Hanya saja aku belum tau kenapa.
"Citra! Cit!" Kiki terus menjerit, hingga akhirnya dia tersadar.
"Ki ...," panggilnya pelan, seperti kehabisan tenaga. Dia terlihat panik dan ketakutan.
"Iya, kenapa, kenapa? Bilang, Cit, ada apa?"
"Kok aku di sini?" tanyanya, seperti orang kebingungan. Sementara Kiki dan aku justru saling pandang, bingung. Aku menaikkan dagu, bertanya pada Kiki tentang apa maksud perkataan Citra, dan Kiki justru menggeleng pelan, berakhir dengan kembali menatap Citra.
Beberapa langkah berlarian mendekat ke vila, para teman - teman pria sudah mulai datang. Ari yang paling cemas, dan segera mendekat pada kekasihnya. Pertanyaan beruntun mulai dilontarkan, dan Citra hanya diam dengan tatapan sendu yang membuat banyak orang iba padanya. Ari akhirnya membawa Citra masuk ke dalam.
"Kok dia bisa pulang sendiri?" tanya Radit yang kini berada di dekatku, berbisik.
"Hm, nggak tau, sayang. Tadi waktu aku di vila sebelah sama Kiki, tiba - tiba dia udah duduk di sini, cuma pas Kiki tanyain malah mirip orang linglung. Nggak ngerti kenapa," jelasku sambil menekan dahi dan menatap mereka semua. Mereka berkerumun, seolah ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Lah, kamu ngapain ke Vila sebelah?" tanya Radit menyelidik.
Mereka lantas mengerumuniku, karena diskusi ini yang cukup menarik. "Gini, tadi aku sama Kiki duduk di sini, sambil nunggu kalian pulang, tapi tiba - tiba ada yang teriak di vila sana. Mereka yang tadinya duduk di teras, langsung lari masuk. Otomatis aku sama Kiki penasaran. Akhirnya kami ikut masuk ke sana, eh ternyata si siapa tadi, yang di sana?" tanyaku beralih ke Rayi, dan menunjuk tempat pertikaian ku dengan Adnan tadi.
"Adnan?" tanya Rayi menebak.
"Bukan, Bukan! Cewek yang kalian bilang lihat sesuatu!"
"Oh, Oliie?"
"Iya, Oliie. Dia kesurupan!"
"Hah?! Yang bener, Kak?!" pekik Roger, Bintang justru menoleh ke sekitar. "Eh, kalian dengar nggak?"tanya Bintang menyuruh kami diam.
"Apaan?" tanya Dedi, penasaran.
"Suara burung hantu!"
"...." Suara burung yang aku tidak tau kalau itu adalah burung hantu memang terdengar nyaring.
"Ini suara burung hantu, ya?" tanya Danu ikut mencari keberadaan hewan tersebut.
"Iya, Kak. Katanya kalau ada suara ini, artinya ada makhluk halus," bisik Bintang.
Kami semua saling pandang, menatap sekitar, berharap kalimat yang dilontarkan dia salah. Walau memang aku pernah mendengar mitos ini. Ada beberapa mitos pertanda kedatangan makhluk halus. Selain lolongan anjing atau serigala, suara burung hantu, burung gagak juga salah satunya. Ada lagi suara anak ayam, dan itu sudah aku buktikan keakuratannya, tentang suara anak ayam tersebut. Benar atau tidak, jika suara burung hantu juga salah satu pertanda kehadiran makhluk hidup, bukan menjadi pedomanku sekarang.
"Ya wajar aja sih, lihat aja sekitar kita. Kita, kan, ada di tengah hutan. Apalagi lahan ini kan baru dibuka, iya, kan, Yon?" tanyaku pada penanggung jawab vila ini. Dion hanya garuk - garuk kepalanya yang tidak gatal, dan tersenyum.
"Jadi gimana, Kak?"
"Apanya yang gimana?"
"Eum, maksudnya apa ada hal - hal aneh yang terjadi sekarang, mungkin gangguan itu karena mereka nggak suka sama kedatangan kita. Begitu kah, Kak?" tanya Rayi padaku.
"Hm, kita saling waspada saja. Kalian juga harus hati - hati dan jagain Oliie malam ini. Aku cuma takut dia kambuh lagi, soalnya kalau orang yang udah pernah kesurupan, bakal mudah kesurupan lagi. Apalagi kita di tengah hutan gini."
Ketiga pemuda itu saling tatap, seolah memberi isyarat. "Kalau gitu, kami pamit dulu, kak. Permisi," kata Bintang mengakhiri.
"Oke, thanks, ya. Kalau ada apa - apa, kalian kasih tau kami. Siapa tau kami bisa bantu," kata Radit sebelum mereka pergi.
Kiki dan Doni sudah masuk ke dalam, menemani Ari dan Citra. Tinggal kami berlima saja di sini. Angin malam makin berembus kencang, karena laut sangat dekat dengan kami.
"Kayaknya kita perlu jaga - jaga deh. Perasaan gue nggak enak," cetus Dedi sambil menekan tengkuknya. "Bagaimana, Tha? Menurut anda?" tambahnya seperti wartawan yang akan mewawancarai.
"Hm, ya kamu udah bilang begitu, kan? Ya sudah, kita memang harus hati - hati. Mereka harus waspada sama Ollie, takutnya kesurupan susulan, dan kita juga jagain Citra. Dia aneh," bisikku menunjuk dua vila yang bersebelahan.
"Ya sudah, kita sudah biasa kan, menghadapi keadaan seperti ini, jadi kita sekarang istirahat, sekalian bagi tugas buat berjaga. Seperti biasa," jelas Radit, sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. "Kamu istirahat, ya." Dia mengelus pipiku lembut, lalu mengecup kening. Teman - teman yang lain berdeham sambil batuk - batuk.
"Iya, kita masuk aja, yuk," ajak ku menarik tangan Radit, diikuti teman - teman yang lain.
Suasana di halaman depan sudah cukup mencekam. Apalagi langit rasanya akan menurunkan air hujan, dengan suara petir yang menyambar - nyambar. Berada di tengah hutan dengan kondisi seperti ini, bukanlah ide bagus. Tapi anehnya aku terjebak di tempat ini. Kalau saja aku tau, seperti apa akses jalan dan lingkungan vila ini, lebih baik aku menghabiskan waktu di rumah saja, menonton film yang masih banyak di folder laptopku.
Korden mulai ditarik, menutupi jendela. Dedi dan Danu mulai memeriksa jendela, pintu dan sekitarnya. Dion pergi ke dapur sambil membawa makanan yang masih tersisa di meja depan.
"Tidur sana, istirahat ya, sayang." Radit sedang membelai kepalaku, sambil terus menatapku intens. "Maaf, ya, kita malah terjebak di tempat seperti ini. Seharusnya aku ajak kamu buat have fun, tapi malah ketemu 'mereka' lagi," jelasnya panjang lebar. Tangannya tak lepas dari wajah, pipi dan kepalaku. Setiap belaian pria ini terasa hangat dan membuatku nyaman.
"Bukan salah kamu kok, sayang. Lagipula, kamu tau sendiri aku ini seperti apa, kan? Jadi di mana pun, kapan pun, pasti ada aja yang berkaitan dengan mereka. Aku nggak apa - apa, apalagi sekarang ada kamu, ada teman - teman. Aku yakin kita bisa melewati semua ini."
Radit tersenyum, lalu menarik tubuhku dalam dekapannya. Membuat suara berdeham makin gencar menggema di seluruh ruangan. "Pacaran mulu!" kata Dedi tanpa melihat kami, hanya fokus pada layar di genggamannya.
"Makanya cari pacar! Jadi tau gimana rasanya punya pacar, terus jadi bucin!" bela Radit dengan menaikkan nada bicara.
"Udah ih, Dit. Aku ke kamar, ya. Kamu juga istirahat." Sekilas aku mengecup pipi Radit, dan mendapat reaksi keras dari Danu. "Ommo! Daebak! Aretha telah mencium Radit di depan kami semua!"
"Kebanyakan nonton drama korea lu!" ejek ku sambil berlalu masuk ke dalam kamar.
Di kamar, Doni berdiri di dekat pintu. Memperhatikan tiga orang yang sekarang ada di ranjang besar tengah ruangan. "Ngapain lu?!" tanyaku menyenggol pria tinggi kurus ini, hingga posisinya berganti. Dari yang berdiri dengan melipat kedua tangan di depan, kini justru menarik nafas dalam seolah telah melihat film pembunuhan. Wajah nya terlihat tegang sekali.
"Itu, si Citra. Apa dia nggak kesambet, Tha? Kok mirip orang linglung gitu. Ditanyain malah bingung. Bahkan dia nggak sadar kalau ada di sini sejak tadi sore. Terus kalau nggak sadar, yang sepanjang perjalanan tadi nyanyi - nyanyi nggak jelas siapa, kalau bukan dia coba!" hardik Doni berbisik dengan antusias.
"Nyanyi apa emangnya?"
"Nggak paham gue. Bahasa Jawa gitu."
Aku lantas menyimak apa yang sedang mereka bertiga bicarakan. Kiki dan Ari terus memberikan pertanyaan yang membuat Citra seakan frustrasi. Dia terus beranggapan kalau dia tidak sadar kalau berada di tempat ini. Ingatan yang dia tau, adalah dia masih berada di rumahnya, tidur di kamarnya.
Memang aneh. Apa mungkin dia kerasukan? Tapi kenapa aku tidak menyadarinya.
"Tidur sana!" suruh ku ke Doni. Aku lihat dia juga sudah kelelahan. Doni mengangguk lalu berpamitan dengan Kiki. Ari akhirnya ikut Doni keluar, agar kami semua bisa beristirahat.
"Ki, gue tidur di mana? Kalau misal apa gitu, gue di sofa ruang tamu aja nggak apa - apa," kataku sambil mengambil handuk kecil. Rasanya aku ingin cuci muka, bahkan mandi.
"Heh 'Misal apa gitu', maksud lu apa, nyet?! Sini aja lu! Udah tau, keadaan lagi serem, malah mau tidur di sofa! Enak aja!" geram Kiki dan berhasil membuatku tertawa tertahan.
"Kamu mah emosian, Ki. Ah, cuci muka dulu ah!" kataku sambil mengambil peralatan mandi yang ada di dalam tas kecil.
"Jangan lama - lama!" tegas Kiki.
"Ye, kenapa? Kan dia temen situ, kok takut!" ejekku.
"Setan, lu, Tha!"
Sebelum dia murka lebih parah, aku putuskan pergi ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur. Sambil tertawa - tawa aku keluar kamar, dan membuat teman - teman yang ada di ruang tengah menoleh menatapku.
"Ke mana, sayang?" tanya Radit yang baru saja membuat kopi.
"Mandi. Hehe."
"Malam - malam gini? Yakin?"
"Yakin, sayang. Gerah banget. Aku nggak bisa tidur ini."
"Oke. Jangan lama - lama tapi."
"Siap, Bos!"
Sudah lewat tengah malam, dan aku justru mandi saat malam begini. Entahlah, rasanya badanku sangat lengket. Vila ini cukup mewah, karena ada bathtub yang berada di kamar mandinya. Selain shower yang memang ada di dekatnya. Aku mulai menyalakan kran, dan rasanya berendam air hangat akan membantuku bisa tidur lebih nyenyak.
Aku sudah terlentang di dalam air, menikmati tiap aroma sabun yang sudah ku tuang ke tubuh. Bermain dengan busa sabun juga sedikit mengurangi rasa tegang yang sejak tadi kurasakan. Kaki aku gerakkan seperti hendak berenang. Hingga tiba - tiba kakiku seperti ada yang membelit. Aku sontak terkejut dan mencari sesuatu yang rasanya ada di dalam air.
Perlahan tapi pasti, aku melihat ada bayangan hitam muncul di bak bawah kakiku. Dari dalam air, benda hitam itu mulai muncul ke permukaan, aku sontak menjerit dan segera keluar dari bathtub.
"Aretha! Aretha! Kenapa, sayang?" tanya Radit sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan cepat. Aku justru diam, sambil mengamati air di bathtub tersebut. Tidak ada hal aneh yang muncul, tapi hal itu tetap membuatku ingin segera mengakhiri acara mandi malam ini.
regmekujo dan 5 lainnya memberi reputasi
6