- Beranda
- Stories from the Heart
story keluarga indigo.
...
TS
ny.sukrisna
story keluarga indigo.

Quote:
KKN Di Dusun Kalimati
Quote:
Kembali ke awal tahun 1990an . Dusun Kalimati kedatangan sekelompok mahasiswa yang hendak KKN. Rupanya salah satu peserta KKN adalah Hermawan, yang biasa dipanggil dengan nama Armand. Dia adalah Kakek Aretha, yang tidak lain adalah ayah Nisa.
Bagai de javu, apa yang dialami oleh Armand juga sama mengerikannya seperti apa yang Aretha alami Di desa itu. Di masa lalu, tempat ini jauh lebih sakral daripada saat Aretha tinggal di sana. Berbagai sesaji diletakkan di beberapa sudut desa. Warga masih banyak yang memeluk kepercayaan memberikan sesaji untuk leluhur. Padahal leluhur yang mereka percayai justru seorang iblis yang sudah hidup selama ribuan tahun.
Banyak rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal, dan Armand bersama teman temannya justru tinggal di lingkungan kosong itu. Rumah bekas bunuh diri yang letaknya tak jauh dari mereka, membuat semua orang was was saat melewatinya. Apalagi saat malam hari.

INDEKS
Part 1 sampai di desa
Part 2 rumah posko
part 3 setan rumah sebelau
Part 4 rumah Pak Sobri
Part 5 Kuntilanak
Part 6 Rumah di samping Pak Sobri
Part 7 ada ibu ibu, gaes
Part 8 Mbak Kunti
Part 9 Fendi hilang
Part 10 pencarian
Part 11 proker sumur
Part 12 Fendi yang diteror terus menerus
Part 13 Rencana Daniel
Part 14 Fendi Kesurupan lagi
Part 15 Kepergian Daniel ke Kota
Part 16 Derry yang lain
Part 17 Kegelisahan Armand
Part 18 Bantuan Datang
Part 19 Flashback Perjalanan Daniel
Part 20 Menjemput Kyai di pondok pesantren
Part 21 Leluhur Armand
Part 22 titik terang
Part 23 Bertemu Pak Sobri
Part 24 Sebuah Rencana
Part 25 Akhir Merihim
Part 26 kembali ke rumah

Quote:
Quote:
Saat hari beranjak petang, larangan berkeliaran di luar rumah serta himbauan menutup pintu dan jendela sudah menjadi hal wajib di desa Alas Ketonggo.
Aretha yang berprofesi menjadi seorang guru bantu, harus pindah di desa Alas Ketonggo, yang berada jauh dari keramaian penduduk.
Dari hari ke hari, ia menemukan banyak keganjilan, terutama saat sandekala(waktu menjelang maghrib).
INDEKS
Part 1 Desa Alas ketonggo
Part 2 Rumah Bu Heni
Part 3 Misteri Rumah Pak Yodi
Part 4 anak ayam tengah malam
part 5 dr. Daniel
Part 6 ummu sibyan
Part 7 tamu aneh
Part 8 gangguan
Part 9 belatung
Part 10 kedatangan Radit
Part 11 Terungkap
Part 12 menjemput Dani
Part 13 nek siti ternyata...
part 14 kisah nek siti
part 15 makanan menjijikkan
Part 16 pengorbanan nenek
Part 17 merihim
Part 18 Iblis pembawa bencana
Part 19 rumah
Part 20 penemuan mayat
Part 21 kantor baru
Part 22 rekan kerja
Part 23 Giska hilang
part 24 pak de yusuf
Part 25 makhluk apa ini
Part 26 liburan
Part 27 kesurupan
Part 28 hantu kamar mandi
Part 29 jelmaan
Part 30 keanehan citra
part 31 end

Quote:
Quote:
INDEKS
Part 1 kehidupan baru
Part 2 desa alas purwo
part 3 rumah mes
part 4 kamar mandi rusak
part 5 malam pertama di rumah baru
part 6 bu jum
part 7 membersihkan rumah
part 8 warung bu darsi
part 9 pak rt
part 10 kegaduhan
part 11 teteh
part 12 flashback
part 13 hendra kena teror
part 14 siapa makhluk itu?
part 15 wanita di kebun teh
part 16 anak hilang
part 17 orang tua kinanti
part 18 gangguan di rumah
part 19 curahan hati pak slamet
part 20 halaman belakang rumah
part 21 kondangan
part 22 warung gaib
part 23 sosok lain
part 24 misteri kematian keisha
part 25 hendra di teror
part 26 mimpi yang sama
part 27 kinanti masih hidup
part 28 Liya
part 29 kembali ke dusun kalimati
part 30 desa yg aneh
part 31 ummu sibyan
part 32 nek siti
part 33 tersesat
part 34 akhir kisah
part 35 nasib sial bu jum
part 36 pasukan lengkap
part 37 godaan alam mimpi
part 38 tahun 1973
part 39 rumah sukarta
part 40 squad yusuf
part 41 aretha pulang
Konten Sensitif
Quote:
Kembali ke kisah Khairunisa. Ini season pertama dari keluarga Indigo. Dulu pernah saya posting, sekarang saya posting ulang. Harusnya sih dibaca dari season ini dulu. Duh, pusing nggak ngab. Mon maap ya. Silakan disimak. Semoga suka. Eh, maaf kalau tulisan kali ini berantakan. Karena ini trit pertama dulu di kaskus, terus ga sempet ane revisi.
INDEKS
part 1 Bertemu Indra
part 2 misteri olivia
part 3 bersama indra
part 4 kak adam
part 5 pov kak adam
part 6 mantra malik jiwa
part 7 masuk alam gaib
part 8 vila angker
part 9 kepergian indra
part 10 pria itu
part 11 sebuah insiden
part 12 cinta segitiga
part 13 aceh
part 14 lamaran
part 15 kerja
part 16 pelet
part 17 pertunangan kak yusuf
part 18 weding
part 19 madu pernikahan
part 20 Bali
part 21 pulang
part 22 Davin
part 23 tragedi
part 24 penyelamatan
part 25 istirahat
part 26 hotel angker
part 27 diana
part 28 kecelakaan
part 29 pemulihan
part 30 tumbal
part 31 vila Fergie
part 32 misteri vila
part 33 kembali ingat
part 34 kuliner malam
part 35 psikopat
part 36 libur
part 37 sosok di rumah om gunawan
part 38 sosok pendamping
part 39 angel kesurupan
part 40 Diner
part 41 diculik
part 42 trimester 3
part 43 kelahiran
part 44 rumah baru
part 45 holiday
part 46nenek aneh
part 47 misteri kolam
part 48 tamu

Quote:
Quote:
INDEKS
part 1 masuk SMU
part 2 bioskop
part 3 Makrab
part 4 kencan
part 5 pentas seni
part 6 lukisan
part 7 teror di rumah kiki
part 8 Danu Dion dalam bahaya
part 9 siswa baru
part 10 Fandi
part 11 Eyang Prabumulih
part 12 Alya
part 13 cinta segitiga
part 14 maaf areta
part 15 i love you
part 16 bukit bintang
part 17 ujian
part 18 liburan
part 19 nenek lestari
part 20 jalan jalak
part 21 leak
part 22 rangda
INDEKS LANJUTAN
Diubah oleh ny.sukrisna 18-05-2023 21:46
arieaduh dan 22 lainnya memberi reputasi
21
21.6K
306
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#64
Part 18 Iblis Pembawa Bencana
Menaiki gerbang rumah Pak Yodie bukan perkara sulit bagi kami, terutama bagi aku dan Kiki. Karena kami sudah terbiasa memanjat pagar sekolah dulu, atau pagar rumah jika terlambat pulang. Aku dan Kiki juga bukan termasuk perempuan feminim, justru sebaliknya. Bahkan sering kali kami memanjat pohon jambu di rumah Kiki atau pohon mangga di belakang rumahku.
Barisan rumput liar yang tinggi hampir selutut, membuat aku sedikit waspada jikalau ada hewan melata yang bersembunyi di baliknya. Desir dedaunan tertiup angin, membuat kami terus memperhatikan sekitar. Suaranya yang terdengar samar, justru menjadikan teror sendiri bagi kami. Mungkin karena efek rumah yang merupakan icon rumah hantu di desa. Tempat yang nantinya akan menguak misteri lain yang sudah lama tumbuh subur di tempat ini. Tentu saja misteri di desa ini tidak hanya satu kisah, tapi banyak kisah yang terus terselubung rasa takut, dendam, dan kecurangan. Nama baru yang muncul tadi, menguak tabir lain tentang penguasa gelap yang bertanggung jawab pada semua kejadian aneh di desa ini. Nama asing yang ternyata nama seorang iblis, yang bertugas menyebarkan wabah penyakit, dan memang terbukti kehebatannya, dengan membunuh hampir semua penghuni desa dalam sekejap.
Jarak langkah kami terpencar, walau tidak terlalu jauh. Karena halaman rumah ini memang cukup besar, mencoba menelusuri tiap bagian ruas rumah dari depan sampai ke teras rumah besar itu. Kami terus memperhatikan tiap sudut rumah ini, dari halaman hingga semua titik yang memungkinkan adanya hal aneh atau janggal. Sejauh ini hanya ada hawa khas rumah kosong yang sudah sangat lama tidak berpenghuni. Yang pasti semua rumah yang ditinggalkan lama pemiliknya, atau dibiarkan kosong dalam jangka waktu yang lama, pasti ada makhluk lain yang mendiaminya. Keanehan lain, karena baik halaman mau pun bangunan di depan kami sekarang tidak pernah berubah, seperti rumah lain di desa ini. Hanya tempat ini yang tetap menunjukkan eksistensi kengerian sejak awal hingga akhir. Kemungkinan Keberadaan iblis pembawa bencana desa ini, memang sangat mungkin mendiami tempat ini. Karena hanya di sini lah aku merasakan hawa kosong, tidak adanya kehidupan dan sebuah perasaan hampa dan putus asa.
Kondisi teras tak jauh berbeda dengan halaman rumah. Kotor dan berantakan. Bahkan kursi kayunya juga sudah lapuk dimakan hewan pengerat atau karena tergerus waktu. Mungkin tempat ini sudah ditinggalkan lebih dari 20 tahun lalu. Sehingga tidak ada satu pun barang atau bagian rumah ini yang masih bagus dan utuh.
"Den!"
"Radit!"
"Dedi!"
Tiga nama itu terus kami ucapkan dengan lantang. Berharap salah satu dari mereka atau bahkan ketiganya akan segera muncul dari dalam dan menyambut kami, sekaligus membuat kegelisahan kami sirna saat ini juga.
"Ke mana ya, mereka?" tanya Danu menggumam, mengintip di kaca jendela yang kordennya sudah tersingkap sehingga dapat melihat keadaan di dalam yang gelap.
"Masuk saja, yuk," ajak Doni yang makin gelisah terus menatap belakang kami. Kemungkinan warga desa yang akan lewat di jalan akan semakin intens. Bagaimana pun juga desa ini memang sama seperti desa pada umumnya saat siang hari. Mereka masih aktif beraktivitas seperti biasa.
"YA udah buruan!" sosor Kiki, merangsek masuk dan membuka pintu itu sebelumnya, yang memang tidak terkunci. Kami bergantian memasuki lorong gelap rumah itu, namun saat sampai di ruang tengah, aku terperangah berjamaah. Ruang tengah yang awalnya akan sama seperti ruang tengah pada umumnya, justru terlihat berbeda. Tidak ada kursi, sofa, Tv, bufet atau lemari pada umumnya, tapi hutan belantara.
"Gila? Kita salah masuk apa gimana sih ini?" tanya Doni lalu menoleh ke belakang di mana ruang tamu masih terlihat di sana.
"Ini kita masih di dunia kita atau udah masuk dunia lain, Tha? sambut Danu dengan pertanyaan sejenis. Kiki hanya melongo sambil berdecak kagum. Keadaan di dalam rumah ini memang patut diacungi jempol. Karena ternyata teras serta ruang tamu yang kami lihat di depan, hanyalah kamuflase saja untuk menutupi keadaan di dalam yang lebih mirip hutan rimba.
"Pantas saja, Kak Arden, Radit, sama Dedi nggak balik - balik."
'Terus kita harus cari mereka ke mana, Tha?" tanya Kiki, mulai cemas.
"Hm... Aku juga nggak tau." Aku menggumam menekan kepala yang makin berat. Di tempat seluas ini akan sulit untuk mencari mereka bertiga. Kalau berpencar akan banyak kemungkinan untuk menemukan mereka, tapi aku ragu jika harus membagi kelompok kami lagi. Kami bahkan tidak tau ada apa di dalam hutan sana. Apalagi keberadaan iblis itu memang di sini, bisa jadi dia bersembunyi di tempat yang kami tidak sadari. Atau malah dia sedang mengamati kami sejak tadi.
Aku menggenggam liontin yang ada di leher. Model pedang perak kecil ini selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Tapi kali ini aku tidak bisa menggunakannya. Sepertinya ada kekuatan besar yang menutupi, sehingga aku pun tidak bisa mengirim sinyal ke luar, sekedar meminta pertolongan Pak de Yusuf, atau ... Arkana.
_____
Sejak aku lulus kuliah, keberadaan Arkana mulai jarang terlihat. Kata Pakde Yusuf, Arkana memang ditugaskan menjagaku selama ini, tapi tidak dalam jangka waktu lama atau bahkan selamanya. Mungkin semakin aku beranjak dewasa, maka saat itu juga Arkana akan mulai pergi. Ketika bertanya ke bunda, Kak Arden, atau bahkan Pakde, mereka hanya bilang kalau aku sudah cukup mampu menjaga diriku sendiri. Aku bahkan tidak tau di mana Arkana sekarang.
Dengung serangga mulai terdengar samar, aku mencari keberadaan hewan tersebut di atas. Seperti suara tawon yang berkerumun. Merasa itu sebuah ancaman, aku mengajak mereka meneruskan perjalanan. "Ke sana saja."
"Yakin lu?"
'Insya Allah." Kami mulai memasuki pepohonan tinggi di depan. Melangkahkan kaki dengan hati - hati sambil memeriksa sekitar.
"Gaes, aneh nggak sih, rumah yang kita pikir rumah biasa, justru malah ada hutan belantara di dalamnya, dan anehnya lagi, kita sama sekali nggak menyadarinya."
"Ki, namanya misteri kehidupan kan kita memang nggak bakal tau. Udah sering juga, kan, kita menghadapi hal aneh macam gini."
"Iya, bener tuh kata Aretha. Kalian tuh, kemarin bukannya mengeluh, kangen sama momen di saat kita bertualang cari hantu. Sekarang giliran dikabulin, malah keok," sindir Danu. Percakapan itu memang sangat jelas di ingatanku. Sebelum kami terjebak di sini, ada satu peristiwa di mana kami justru bosan dengan kehidupan kami yang monoton. Bekerja, pulang ke rumah, dan kembali ke kantor. Beberapa dari kami memang sependapat, kalau kehidupan kami saat SMU itu jauh lebih menyenangkan. Semua hal yang kami alami tak lantas membuat kami putus asa, apalagi bosan. Tapi sekarang, di saat situasinya seperti ini, kami justru merindukan kehidupan normal.
"Gaes, itu apa?" tanya Doni, menghentikan langkahnya dan menunjuk ke sudut gelap di depan kami. Rimbunnya pepohonan di sekitar, membuat suasana jauh lebih redup. Namun hari belum beranjak malam, tapi pandangan kami semakin terbatas seiring kami makin masuk ke dalam hutan ini.
"Apa sih, Don?" Danu berdiri di samping Doni, ikut menatap ke tempat yang dia tunjuk.
"Jangan nakut - nakutin dong, Yang," rengek Kiki, memeluk tangan dan terus menempel padaku.
"Kamu lihat apa sih, Don?"
"Tadi ada bayangan lewat, Tha!" terang Doni tanpa mengalihkan pandangannya dari spot yang ia curigai. Aku sendiri tidak terlalu yakin, karena memang tidak melihat apa pun sejak tadi. Apalagi melihat keadaan sekitar yang cukup teduh. Seolah - olah sinar matahari enggan masuk ke dalam hutan ini.
Tapi suara gerisik semak - semak sekitar membuat pernyataan Doni mulai masuk akal. Kami menjadi waspada sambil terus memperhatikan tiap gerakan aneh yang ada di sekitar. Suara orang berdecak terdengar nyaring, kami berempat mulai memasang gerakan saling memunggungi sesama, dengan membentuk lingkaran, agar dapat melihat keadaan sekitar yang mulai tampak keanehannya.
"Siapa kamu!" jerit Danu lantang.
Orang itu lantas mulai menampakkan dirinya. Pria itu berjalan keluar dari salah satu pohon paling besar di depanku dan Danu. Kini dia berdiri di depan kami dengan jarak 5 meter saja. Kulitnya sehitam eboni, apalagi dengan pakaiannya yang juga berwarna senada. Dia menyeringai menampilkan bonggol - bonggol gosong yang membuatku berpikir kalau dia adalah Pak Yodie. Ingatanku masih tercetak jelas kala dia mencekik leher Nek Siti. Postur tubuhnya, sama. Bahkan aura gelap itu juga terasa sama. Tidak hanya sampai di situ saja, karena suara lain kembali terdengar di telinga.
"Duh, kalau ini udah jelas, si kunti bakal ikut nongol," gumam Danu yang sudah hafal tanda kedatangan makhluk tersebut. Suara anak ayam yang bercicit nyaring seolah sudah menjadi hal wajib pertanda kedatangan makhluk berjenis kuntilanak di desa ini. Kami hanya tinggal menunggu makhluk itu muncul seperti Pak Yodie di depan.
"Ya ampun! Itu apa?!" jerit Kiki menunjuk ke sudut gelap lain di hadapannya. Otomatis itu juga menarik perhatian kami, dan ikut melihat makhluk apa yang dia tunjuk tersebut. Seseorang sedang berjalan naik ke batang pohon, kadang berpindah dari satu pohon ke pohon berikutnya.
"Ummu Sibyan!" gumamku spontan.
Kini ketiga makhluk yang memang menjadi ciri khas penghuni desa sudah mulai bermunculan, dan tentu sudah pernah aku jumpai dengan Danu sebelumnya. Sejak awal mereka adalah serdadu yang ditugaskan meneror desa, bahkan cukup berhasil membuat aku dan Danu ketakutan kemarin.
"Apa yang harus kita lakukan, Tha?" tanya Doni, mulai frustrasi.
"Coba untuk terus berzikir."
Lantunan zikir mulai menggema dari mulut kami. Aku benar - benar sudah berada di titik terendah untuk melawan. Karena Ummu Sibyan itu justru mengikuti lantunan zikir yang kami ucapkan. Dia lantas tertawa kencang sambil terus berjalan seperti hewan melata yang biasa aku temui. Aku menggenggam liontin di leherku, terus meminta pertolongan pada Tuhan - Sang pencipta alam semesta.
Ummu Sibyan kini makin dekat dengan kami, dia selalu berjalan merangkak dari satu pohon ke pohon lainnya. Kini dia sudah berada di depanku, tersenyum mengerikan. Akhirnya aku sudah pasrah apa pun yang akan terjadi nanti. Tangannya mulai terulur hendak mendekat ke wajahku, aku yang ketakutan lantas memejamkan mata.
"Gimana dong ini," rengek Kiki
Tapi tiba - tiba, auman keras terdengar jelas di telinga. Aku sontak membuka mata dan melihat seekor harimau muncul entah dari mana dan sedang bergelut dengan Ummu Sibyan.
"Astaga! Arkana!" jeritku dengan mata berkaca - kaca. Kedatangan Arkana seolah membawa angin segar dan memulihkan keberanian serta kekuatanku. Aku kembali fokus dan menggenggam liontin di leher. Seketika benda kecil itu berubah menjadi besar.
"Daebak!" gumam Kiki yang terpana melihat benda berkilau itu ada di tanganku.
"Kalian diam di sini!" Aku mulai maju, dan mengarahkan pedang ini ke Yodhie. Dia berhasil menangkisnya, terus melawan walau dengan tangan kosong. Tapi anehnya suara bagai pedang yang saling beradu terdengar jelas. Mungkinkan tangannya terbuat dari besi?
Craaash! Tangan kirinya putus karena pedang milikku, menggelepar bagai ikan yang terlalu lama berada di daratan. Darah mengalir deras dengan warna hitam pekat. Kini aku berhasil mendaratkan tumitku di atas dadanya. Dia menatapku dengan penuh dendam di bawah sana, tanpa basa basi lagi aku segera menghunus jantungnya dengan pedang. Pak Yodhi menjerit, matanya melotot dengan tubuh yang menegang kaku. Perlahan ujung kakinya mulai hancur, terus merembet ke atas hingga akhirnya seluruh tubuhnya hilang bagai debu.
Kuntilanak yang biasa meneror kami, sudah dilumpuhkan oleh Danu dan Doni. Mereka membacakan doa - doa sambil mengikatnya di sebuah lingkaran berwarna putih dengan serbuk tebal mengelilinginya.
"Dari mana kalian dapat garam sebanyak itu?" tanyaku ke Kiki yang hanya diam menatap pertempuran kekasihnya di depan.
"Itu, Tha!" Kiki menunjuk sebuah gentong kayu besar yang berada di samping sebuah pohon. Tidak mau melanjutkan rasa penasaran, aku segera menghampiri Arkana yang telah berhasil membelah makhluk yang dia lawan tadi menjadi dua bagian.
"Kamu ... kok bisa di sini?" tanyaku lantang.
"Karena doa mu. Sebaiknya kalian susul Arden di sana!" Arkana menunjuk gua yang ada di dekat rimbunan pagar rumput setinggi dada. Tapi belum sempat kami ke sana, Kak Arden muncul bersama yang lain. Kondisi mereka tidak lebih baik dari kami. Hingga aku pun berlari menjemput mereka.
"Kalian kenapa?" tanyaku menatap wajah mereka satu persatu. Lebam dan luka gores ada di beberapa sudut wajah mereka. Tangan RAdit juga mengucurkan darah segar, sementara Dedi terluka di bagian kaki kanannya. Sementara Kak Arden terus memegangi dadanya.
"Kakak nggak apa - apa. Sebentar juga pulih. Loh, ada Arkana?" tanya Kak Arden menatap pria yang berdiri di tempatnya sejak tadi, tanpa bergeser sedikit pun.
"Iya, dia datang."
Kak Arden lantas mendekat ke Arkana, Dedi di bantu Danu dan Doni duduk di bawah pohon untuk memeriksa lukanya. Aku segera mendekat ke Radit dan langsung memeluknya. "Kalian kenapa bisa begini?"
Radit masih sempat membelai kepalaku, tersenyum dan terus menatapku lekat - lekat. "Kami menemukan Merihim."
'Terus!"
"Ya Arden, aku dan Dedi melawan dia, dibantu Anggaraksa. Tapi makhluk itu cukup kuat, Tha. Sampai kami luka - luka gini. Tapi akhirnya, dia berhasil dilumpuhkan. Kami berhasil membunuhnya. Ternyata dia dalang di balik semua kejadian yang menimpa desa ini. Dia juga yang menutup penglihatan kita dan mengalihkan semua perhatian kita selama ini. Dia menjebak semua ruh warga desa, dan membuat mereka melakukan permainnya, memperbudak manusia, membuatnya bertahan di tempat ini untuk memakan jiwa manusia itu sendiri."
"Lalu sekarang di mana mereka? Warga desa?"
"Mereka sudah bebas dan kembali ke alamnya. Jadi kita nggak akan bertemu makhluk - makhluk itu lagi. Pak Karjo, Bu Heni atau yang lainnya."
"Nenek?"
"Iya, nenek juga. Justru nenek yang mengantar kami menemui iblis itu." Aku segera berhambur memeluk Radit erat. Terisak karena merasa lega sekaligus sedih dengan akhir dari kisah ini. Aku lega karena akhirnya kami sudah mengakhiri teror desa ini, tapi sedih karena tidak ada warga desa yang dapat kami selamatkan. Terutama nenek Siti.
Dari penjelasan Radit, selama ini nek Siti adalah manusia yang paling tanggung dan disegani oleh iblis bernama Merihim tersebut. Nenek tidak mudah ditaklukkan, karena dulunya, nenek yang menjaga desa ini. Nenek adalah dukun yang biasa mengurus warganya, mengobati, memijat bayi yang baru lahir, bahkan menolong orang yang kesurupan. Dia baik karena masih melakukan itu atas dasar kemanusiaan dan ingat akan Tuhan. Hanya nenek saja yang bertahan dari guna - guna ilmu hitam yang disebar di desa.
Kejadian itu terjadi tepat setelah Pak Yodie membantai keluarganya. Merihim menjadikan hal itu keuntungan dengan melakukan teror di semua sudut desa. Menempatkan keroconya dan membuat suasana tegang. Saat dia menebar ilmu hitam dengan menyebarkan wabah penyakit, hanya nenek yang masih hidup, karena nenek mampu menghalau aura jahat itu. Hanya saja dia tetap kalah, dan menjadi lumpuh. Nenek berusaha melawan, dan karena alasan itu, nenek sering menjadi korban pengikut Merihim. Berusaha menjebak nek Siti agar tunduk pada iblis tersebut. 20 tahun lebih nenek bertahan, hingga akhirnya beliau menyerah dan merelakan nyawanya hanya untuk menyelamatkan kami.
Barisan rumput liar yang tinggi hampir selutut, membuat aku sedikit waspada jikalau ada hewan melata yang bersembunyi di baliknya. Desir dedaunan tertiup angin, membuat kami terus memperhatikan sekitar. Suaranya yang terdengar samar, justru menjadikan teror sendiri bagi kami. Mungkin karena efek rumah yang merupakan icon rumah hantu di desa. Tempat yang nantinya akan menguak misteri lain yang sudah lama tumbuh subur di tempat ini. Tentu saja misteri di desa ini tidak hanya satu kisah, tapi banyak kisah yang terus terselubung rasa takut, dendam, dan kecurangan. Nama baru yang muncul tadi, menguak tabir lain tentang penguasa gelap yang bertanggung jawab pada semua kejadian aneh di desa ini. Nama asing yang ternyata nama seorang iblis, yang bertugas menyebarkan wabah penyakit, dan memang terbukti kehebatannya, dengan membunuh hampir semua penghuni desa dalam sekejap.
Jarak langkah kami terpencar, walau tidak terlalu jauh. Karena halaman rumah ini memang cukup besar, mencoba menelusuri tiap bagian ruas rumah dari depan sampai ke teras rumah besar itu. Kami terus memperhatikan tiap sudut rumah ini, dari halaman hingga semua titik yang memungkinkan adanya hal aneh atau janggal. Sejauh ini hanya ada hawa khas rumah kosong yang sudah sangat lama tidak berpenghuni. Yang pasti semua rumah yang ditinggalkan lama pemiliknya, atau dibiarkan kosong dalam jangka waktu yang lama, pasti ada makhluk lain yang mendiaminya. Keanehan lain, karena baik halaman mau pun bangunan di depan kami sekarang tidak pernah berubah, seperti rumah lain di desa ini. Hanya tempat ini yang tetap menunjukkan eksistensi kengerian sejak awal hingga akhir. Kemungkinan Keberadaan iblis pembawa bencana desa ini, memang sangat mungkin mendiami tempat ini. Karena hanya di sini lah aku merasakan hawa kosong, tidak adanya kehidupan dan sebuah perasaan hampa dan putus asa.
Kondisi teras tak jauh berbeda dengan halaman rumah. Kotor dan berantakan. Bahkan kursi kayunya juga sudah lapuk dimakan hewan pengerat atau karena tergerus waktu. Mungkin tempat ini sudah ditinggalkan lebih dari 20 tahun lalu. Sehingga tidak ada satu pun barang atau bagian rumah ini yang masih bagus dan utuh.
"Den!"
"Radit!"
"Dedi!"
Tiga nama itu terus kami ucapkan dengan lantang. Berharap salah satu dari mereka atau bahkan ketiganya akan segera muncul dari dalam dan menyambut kami, sekaligus membuat kegelisahan kami sirna saat ini juga.
"Ke mana ya, mereka?" tanya Danu menggumam, mengintip di kaca jendela yang kordennya sudah tersingkap sehingga dapat melihat keadaan di dalam yang gelap.
"Masuk saja, yuk," ajak Doni yang makin gelisah terus menatap belakang kami. Kemungkinan warga desa yang akan lewat di jalan akan semakin intens. Bagaimana pun juga desa ini memang sama seperti desa pada umumnya saat siang hari. Mereka masih aktif beraktivitas seperti biasa.
"YA udah buruan!" sosor Kiki, merangsek masuk dan membuka pintu itu sebelumnya, yang memang tidak terkunci. Kami bergantian memasuki lorong gelap rumah itu, namun saat sampai di ruang tengah, aku terperangah berjamaah. Ruang tengah yang awalnya akan sama seperti ruang tengah pada umumnya, justru terlihat berbeda. Tidak ada kursi, sofa, Tv, bufet atau lemari pada umumnya, tapi hutan belantara.
"Gila? Kita salah masuk apa gimana sih ini?" tanya Doni lalu menoleh ke belakang di mana ruang tamu masih terlihat di sana.
"Ini kita masih di dunia kita atau udah masuk dunia lain, Tha? sambut Danu dengan pertanyaan sejenis. Kiki hanya melongo sambil berdecak kagum. Keadaan di dalam rumah ini memang patut diacungi jempol. Karena ternyata teras serta ruang tamu yang kami lihat di depan, hanyalah kamuflase saja untuk menutupi keadaan di dalam yang lebih mirip hutan rimba.
"Pantas saja, Kak Arden, Radit, sama Dedi nggak balik - balik."
'Terus kita harus cari mereka ke mana, Tha?" tanya Kiki, mulai cemas.
"Hm... Aku juga nggak tau." Aku menggumam menekan kepala yang makin berat. Di tempat seluas ini akan sulit untuk mencari mereka bertiga. Kalau berpencar akan banyak kemungkinan untuk menemukan mereka, tapi aku ragu jika harus membagi kelompok kami lagi. Kami bahkan tidak tau ada apa di dalam hutan sana. Apalagi keberadaan iblis itu memang di sini, bisa jadi dia bersembunyi di tempat yang kami tidak sadari. Atau malah dia sedang mengamati kami sejak tadi.
Aku menggenggam liontin yang ada di leher. Model pedang perak kecil ini selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Tapi kali ini aku tidak bisa menggunakannya. Sepertinya ada kekuatan besar yang menutupi, sehingga aku pun tidak bisa mengirim sinyal ke luar, sekedar meminta pertolongan Pak de Yusuf, atau ... Arkana.
_____
Sejak aku lulus kuliah, keberadaan Arkana mulai jarang terlihat. Kata Pakde Yusuf, Arkana memang ditugaskan menjagaku selama ini, tapi tidak dalam jangka waktu lama atau bahkan selamanya. Mungkin semakin aku beranjak dewasa, maka saat itu juga Arkana akan mulai pergi. Ketika bertanya ke bunda, Kak Arden, atau bahkan Pakde, mereka hanya bilang kalau aku sudah cukup mampu menjaga diriku sendiri. Aku bahkan tidak tau di mana Arkana sekarang.
Dengung serangga mulai terdengar samar, aku mencari keberadaan hewan tersebut di atas. Seperti suara tawon yang berkerumun. Merasa itu sebuah ancaman, aku mengajak mereka meneruskan perjalanan. "Ke sana saja."
"Yakin lu?"
'Insya Allah." Kami mulai memasuki pepohonan tinggi di depan. Melangkahkan kaki dengan hati - hati sambil memeriksa sekitar.
"Gaes, aneh nggak sih, rumah yang kita pikir rumah biasa, justru malah ada hutan belantara di dalamnya, dan anehnya lagi, kita sama sekali nggak menyadarinya."
"Ki, namanya misteri kehidupan kan kita memang nggak bakal tau. Udah sering juga, kan, kita menghadapi hal aneh macam gini."
"Iya, bener tuh kata Aretha. Kalian tuh, kemarin bukannya mengeluh, kangen sama momen di saat kita bertualang cari hantu. Sekarang giliran dikabulin, malah keok," sindir Danu. Percakapan itu memang sangat jelas di ingatanku. Sebelum kami terjebak di sini, ada satu peristiwa di mana kami justru bosan dengan kehidupan kami yang monoton. Bekerja, pulang ke rumah, dan kembali ke kantor. Beberapa dari kami memang sependapat, kalau kehidupan kami saat SMU itu jauh lebih menyenangkan. Semua hal yang kami alami tak lantas membuat kami putus asa, apalagi bosan. Tapi sekarang, di saat situasinya seperti ini, kami justru merindukan kehidupan normal.
"Gaes, itu apa?" tanya Doni, menghentikan langkahnya dan menunjuk ke sudut gelap di depan kami. Rimbunnya pepohonan di sekitar, membuat suasana jauh lebih redup. Namun hari belum beranjak malam, tapi pandangan kami semakin terbatas seiring kami makin masuk ke dalam hutan ini.
"Apa sih, Don?" Danu berdiri di samping Doni, ikut menatap ke tempat yang dia tunjuk.
"Jangan nakut - nakutin dong, Yang," rengek Kiki, memeluk tangan dan terus menempel padaku.
"Kamu lihat apa sih, Don?"
"Tadi ada bayangan lewat, Tha!" terang Doni tanpa mengalihkan pandangannya dari spot yang ia curigai. Aku sendiri tidak terlalu yakin, karena memang tidak melihat apa pun sejak tadi. Apalagi melihat keadaan sekitar yang cukup teduh. Seolah - olah sinar matahari enggan masuk ke dalam hutan ini.
Tapi suara gerisik semak - semak sekitar membuat pernyataan Doni mulai masuk akal. Kami menjadi waspada sambil terus memperhatikan tiap gerakan aneh yang ada di sekitar. Suara orang berdecak terdengar nyaring, kami berempat mulai memasang gerakan saling memunggungi sesama, dengan membentuk lingkaran, agar dapat melihat keadaan sekitar yang mulai tampak keanehannya.
"Siapa kamu!" jerit Danu lantang.
Orang itu lantas mulai menampakkan dirinya. Pria itu berjalan keluar dari salah satu pohon paling besar di depanku dan Danu. Kini dia berdiri di depan kami dengan jarak 5 meter saja. Kulitnya sehitam eboni, apalagi dengan pakaiannya yang juga berwarna senada. Dia menyeringai menampilkan bonggol - bonggol gosong yang membuatku berpikir kalau dia adalah Pak Yodie. Ingatanku masih tercetak jelas kala dia mencekik leher Nek Siti. Postur tubuhnya, sama. Bahkan aura gelap itu juga terasa sama. Tidak hanya sampai di situ saja, karena suara lain kembali terdengar di telinga.
"Duh, kalau ini udah jelas, si kunti bakal ikut nongol," gumam Danu yang sudah hafal tanda kedatangan makhluk tersebut. Suara anak ayam yang bercicit nyaring seolah sudah menjadi hal wajib pertanda kedatangan makhluk berjenis kuntilanak di desa ini. Kami hanya tinggal menunggu makhluk itu muncul seperti Pak Yodie di depan.
"Ya ampun! Itu apa?!" jerit Kiki menunjuk ke sudut gelap lain di hadapannya. Otomatis itu juga menarik perhatian kami, dan ikut melihat makhluk apa yang dia tunjuk tersebut. Seseorang sedang berjalan naik ke batang pohon, kadang berpindah dari satu pohon ke pohon berikutnya.
"Ummu Sibyan!" gumamku spontan.
Kini ketiga makhluk yang memang menjadi ciri khas penghuni desa sudah mulai bermunculan, dan tentu sudah pernah aku jumpai dengan Danu sebelumnya. Sejak awal mereka adalah serdadu yang ditugaskan meneror desa, bahkan cukup berhasil membuat aku dan Danu ketakutan kemarin.
"Apa yang harus kita lakukan, Tha?" tanya Doni, mulai frustrasi.
"Coba untuk terus berzikir."
Lantunan zikir mulai menggema dari mulut kami. Aku benar - benar sudah berada di titik terendah untuk melawan. Karena Ummu Sibyan itu justru mengikuti lantunan zikir yang kami ucapkan. Dia lantas tertawa kencang sambil terus berjalan seperti hewan melata yang biasa aku temui. Aku menggenggam liontin di leherku, terus meminta pertolongan pada Tuhan - Sang pencipta alam semesta.
Ummu Sibyan kini makin dekat dengan kami, dia selalu berjalan merangkak dari satu pohon ke pohon lainnya. Kini dia sudah berada di depanku, tersenyum mengerikan. Akhirnya aku sudah pasrah apa pun yang akan terjadi nanti. Tangannya mulai terulur hendak mendekat ke wajahku, aku yang ketakutan lantas memejamkan mata.
"Gimana dong ini," rengek Kiki
Tapi tiba - tiba, auman keras terdengar jelas di telinga. Aku sontak membuka mata dan melihat seekor harimau muncul entah dari mana dan sedang bergelut dengan Ummu Sibyan.
"Astaga! Arkana!" jeritku dengan mata berkaca - kaca. Kedatangan Arkana seolah membawa angin segar dan memulihkan keberanian serta kekuatanku. Aku kembali fokus dan menggenggam liontin di leher. Seketika benda kecil itu berubah menjadi besar.
"Daebak!" gumam Kiki yang terpana melihat benda berkilau itu ada di tanganku.
"Kalian diam di sini!" Aku mulai maju, dan mengarahkan pedang ini ke Yodhie. Dia berhasil menangkisnya, terus melawan walau dengan tangan kosong. Tapi anehnya suara bagai pedang yang saling beradu terdengar jelas. Mungkinkan tangannya terbuat dari besi?
Craaash! Tangan kirinya putus karena pedang milikku, menggelepar bagai ikan yang terlalu lama berada di daratan. Darah mengalir deras dengan warna hitam pekat. Kini aku berhasil mendaratkan tumitku di atas dadanya. Dia menatapku dengan penuh dendam di bawah sana, tanpa basa basi lagi aku segera menghunus jantungnya dengan pedang. Pak Yodhi menjerit, matanya melotot dengan tubuh yang menegang kaku. Perlahan ujung kakinya mulai hancur, terus merembet ke atas hingga akhirnya seluruh tubuhnya hilang bagai debu.
Kuntilanak yang biasa meneror kami, sudah dilumpuhkan oleh Danu dan Doni. Mereka membacakan doa - doa sambil mengikatnya di sebuah lingkaran berwarna putih dengan serbuk tebal mengelilinginya.
"Dari mana kalian dapat garam sebanyak itu?" tanyaku ke Kiki yang hanya diam menatap pertempuran kekasihnya di depan.
"Itu, Tha!" Kiki menunjuk sebuah gentong kayu besar yang berada di samping sebuah pohon. Tidak mau melanjutkan rasa penasaran, aku segera menghampiri Arkana yang telah berhasil membelah makhluk yang dia lawan tadi menjadi dua bagian.
"Kamu ... kok bisa di sini?" tanyaku lantang.
"Karena doa mu. Sebaiknya kalian susul Arden di sana!" Arkana menunjuk gua yang ada di dekat rimbunan pagar rumput setinggi dada. Tapi belum sempat kami ke sana, Kak Arden muncul bersama yang lain. Kondisi mereka tidak lebih baik dari kami. Hingga aku pun berlari menjemput mereka.
"Kalian kenapa?" tanyaku menatap wajah mereka satu persatu. Lebam dan luka gores ada di beberapa sudut wajah mereka. Tangan RAdit juga mengucurkan darah segar, sementara Dedi terluka di bagian kaki kanannya. Sementara Kak Arden terus memegangi dadanya.
"Kakak nggak apa - apa. Sebentar juga pulih. Loh, ada Arkana?" tanya Kak Arden menatap pria yang berdiri di tempatnya sejak tadi, tanpa bergeser sedikit pun.
"Iya, dia datang."
Kak Arden lantas mendekat ke Arkana, Dedi di bantu Danu dan Doni duduk di bawah pohon untuk memeriksa lukanya. Aku segera mendekat ke Radit dan langsung memeluknya. "Kalian kenapa bisa begini?"
Radit masih sempat membelai kepalaku, tersenyum dan terus menatapku lekat - lekat. "Kami menemukan Merihim."
'Terus!"
"Ya Arden, aku dan Dedi melawan dia, dibantu Anggaraksa. Tapi makhluk itu cukup kuat, Tha. Sampai kami luka - luka gini. Tapi akhirnya, dia berhasil dilumpuhkan. Kami berhasil membunuhnya. Ternyata dia dalang di balik semua kejadian yang menimpa desa ini. Dia juga yang menutup penglihatan kita dan mengalihkan semua perhatian kita selama ini. Dia menjebak semua ruh warga desa, dan membuat mereka melakukan permainnya, memperbudak manusia, membuatnya bertahan di tempat ini untuk memakan jiwa manusia itu sendiri."
"Lalu sekarang di mana mereka? Warga desa?"
"Mereka sudah bebas dan kembali ke alamnya. Jadi kita nggak akan bertemu makhluk - makhluk itu lagi. Pak Karjo, Bu Heni atau yang lainnya."
"Nenek?"
"Iya, nenek juga. Justru nenek yang mengantar kami menemui iblis itu." Aku segera berhambur memeluk Radit erat. Terisak karena merasa lega sekaligus sedih dengan akhir dari kisah ini. Aku lega karena akhirnya kami sudah mengakhiri teror desa ini, tapi sedih karena tidak ada warga desa yang dapat kami selamatkan. Terutama nenek Siti.
Dari penjelasan Radit, selama ini nek Siti adalah manusia yang paling tanggung dan disegani oleh iblis bernama Merihim tersebut. Nenek tidak mudah ditaklukkan, karena dulunya, nenek yang menjaga desa ini. Nenek adalah dukun yang biasa mengurus warganya, mengobati, memijat bayi yang baru lahir, bahkan menolong orang yang kesurupan. Dia baik karena masih melakukan itu atas dasar kemanusiaan dan ingat akan Tuhan. Hanya nenek saja yang bertahan dari guna - guna ilmu hitam yang disebar di desa.
Kejadian itu terjadi tepat setelah Pak Yodie membantai keluarganya. Merihim menjadikan hal itu keuntungan dengan melakukan teror di semua sudut desa. Menempatkan keroconya dan membuat suasana tegang. Saat dia menebar ilmu hitam dengan menyebarkan wabah penyakit, hanya nenek yang masih hidup, karena nenek mampu menghalau aura jahat itu. Hanya saja dia tetap kalah, dan menjadi lumpuh. Nenek berusaha melawan, dan karena alasan itu, nenek sering menjadi korban pengikut Merihim. Berusaha menjebak nek Siti agar tunduk pada iblis tersebut. 20 tahun lebih nenek bertahan, hingga akhirnya beliau menyerah dan merelakan nyawanya hanya untuk menyelamatkan kami.
regmekujo dan 8 lainnya memberi reputasi
9