- Beranda
- Stories from the Heart
KELOPAK BUNGA ANGGREK
...
TS
beavermoon
KELOPAK BUNGA ANGGREK

Halo semuanya.
Beavermoon kembali hadir dengan cerita terbaru, dan kali ini kita akan mengusung tema detektif.
Kenapa tema detektif? Karena sebenarnya cerita ini berawal dari cerita pendek yang dibuat untuk perlombaan. Berhubung terbatasnya jumlah kata saat itu, akhirnya dibuatlah versi lengkapnya yang baru selesai beberapa bulan lalu.
Kenapa tidak buat cerita romantis lagi? Kehabisan ide, atau bisa dibilang butuh waktu untuk mengistirahatkan diri dari romansa-romansa yang sudah semakin banyak.
Apa tidak akan membuat cerita romantis lagi? Masih dalam pembuatan.
Jika ada dari suhu-suhu sekalian yang belum sempat membaca karya-karya Beavermoon sebelumnya, bisa langsung ke TKP :
Semoga suhu-suhu terhibur dengan cerita tema detektif perdana dari Beavermoon.
Salam Lemon.
Spoiler for Ringkasan:
Kasus pembunuhan kembali terjadi setelah sekian lama. Ali dan Damar, yang bekerja sebagai detektif pun mulai memecahkan kasus yang ada. Sayangnya, belum selesai dengan satu kasus, muncul kasus lain yang semakin memperkeruh keadaan.
Teringat akan satu kasus beberapa tahun silam, dimana sang pembunuh memiliki pola yang terstruktur hingga sulit untuk dipecahkan. Ali dan Damar menjadikan laporan kasus itu sebagai alat bantu untuk mencari, siapa pembunuh yang kembali beraksi. Dugaan demi dugaan terus bermunculan, mulai dari orang yang belum pernah mereka temui, hingga orang-orang terdekat.
Lalu, siapakah pembunuh kali ini?
Spoiler for Episode:
1. Kasus Lama yang Terulang. (Part 1)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
Diubah oleh beavermoon 20-05-2023 18:38
sukhhoi dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.4K
Kutip
35
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#9
Spoiler for 8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2):
Candra kembali melakukan pekerjaannya. Talia yang baru pertama kali datang ke toko ini pun dibuat takjub dengan apa yang ada. Ia tak berhenti melihat ke arah sekeliling toko ini yang disadari oleh Ali dan juga Damar.
“Kamu baru pertama kali ya ke toko jahit?” Tanya Ali.
“Iya Pak, saya baru tau kalau isinya begini.” Jawabnya.
Candra pun melipat kain yang sudah dipotong, ia meletakkan kain itu di atas meja bersama dengan guntingnya. Candra pun mendekat ke arah Damar berada.
“Ada apa kali ini?” Tanya Candra.
Damar mengeluarkan plastik berisi benang dari saku celananya, ia memberikan plastik itu kepada Candra yang diterima dengan tangan kanannya. Talia pun menyalakan alat rekam suaranya untuk bersiap menerima informasi yang ada.
Candra pun memandang lebih dekat plastik tersebut, ia beralih menuju meja untuk mengambil kacamatanya. Ia pun mengenakan kacamata tersebut dan kembali melihat benang di dalam plastik itu.
“Ini bukan benang jahit untuk pakaian, benang layangan.” Jawabnya.
“Layangan?” Tanya Ali heran.
“Sebentar...”
Candra masuk ke dalam ruangan belakang, kemudian ia membawa gulungan benang kepada mereka.
“...ini benangnya.” Ucap Candra.
Ali meraih gulungan benang tersebut bersama dengan plastik yang berisi benang dari forensik. Talia pun juga ikut melihat dengan seksama.
“Mirip sih, tapi juga mirip sama benang kasus kemarin.” Ucap Ali.
“Kasus kemarin pakai benang itu?” Tanya Candra.
Damar mengangguk, “Korban dijahit dengan benang itu hingga membuat pakaian yang dikenakan menjadi permanen. Bibirnya pun juga dijahit dan ditarik ke pipi hingga membuatnya seolah tersenyum.”
“Astaga...” Candra menghela nafasnya, “kenapa makin aneh benda-bendanya.”
Damar teringat dengan surat yang ditemukan di dalam tubuh korban, ia mengeluarkan surat itu dari saku celananya. Ia kembali membaca surat itu bersama yang lainnya, kemudian ia melihat ke arah gulungan benang yang dipegang Ali.
“Benang layangan... Layang-layang... terbang...”
Damar tak melanjutkan ucapannya.
“Jadi dia mau buat korban seperti layang-layang? Terbang tinggi lalu jatuh dengan keras ketika ngga ada angin yang berhembus.” Ucap Ali.
“Jadi itu alasan dia pakai benang layangan?” Tanya Candra.
Damar mengangguk dengan pelan.
“Tetep ngga menjawab motifnya dia, dan juga apakah mereka berbeda atau satu orang yang sama.” Sahut Ali.
“Kalau ngga ada motif, berarti ngga ada yang tau korban berikutnya?” Tanya Talia.
“Kurang lebih begitu.” Jawab Ali.
“Kita cari tau di kantor aja.” Ajak Damar.
Ali mengangguk, “Kalau gitu, kami pamit ya Pak. Terima kasih atas waktunya. Nanti kami hubungi lagi kalau butuh bantuan.”
Mereka pun kembali menuju mobil, Ali dan Damar sempat menyalakan sebatang rokok.
“Talia, kamu mau dianter ke Rumah Sakit lagi?” Tanya Ali.
“Saya naik taksi aja Pak, ngga enak ngerepotin.” Ucapnya.
“Udah nggapapa bareng aja, kita searah.” Ucap Ali.
“Beneran nggapapa Pak?” Tanya Talia.
Damar menganggukkan kepalanya, mereka pun masuk ke dalam mobil untuk kembali ke Rumah Sakit.
“Pak, saya mau tanya...”
Ali menatap Talia dari spion tengah mobil.
“...apa pelakunya dua orang?” Tanya Talia.
“Terlalu abu-abu untuk dijawab baik satu atau dua orang. Kita butuh waktu lebih untuk investigas lanjut entah bagaimana caranya.” Jawab Ali.
“Apa ada hubungannya sama pembunuh berantai yang dihukum mati Pak? Dulu pas saya masih kuliah, ada pembunuh berantai yang berhasil ditangkap dan dihukum mati.” Ucap Talia.
“Payung kuning maksudnya?” Tanya Damar.
“Ah itu dia, payung kuning.” Sahut Talia.
Damar menghembuskan asap rokok, “Kita harus cari tau dulu sih, baca ulang laporan tentang payung kuning. Terlebih, kita juga yang mengusut kasus itu.”
“Serius Pak?” Tanya Talia terkejut.
Ali mengangguk, “Dulu kita masih jadi asisten detektif saat mengusut kasus itu. Salah satu korbannya dia, detektif kami saat itu.”
“Astaga, saya minta maaf Pak.” Ucap Talia.
“Nggapapa kok...” Damar menghisap rokok, “beberapa tahun berlalu, akhirnya kami kembali dapat kasus kayak waktu itu lagi.”
“Menurut kalian, apa kasus ini lebih buruk?” Tanya Talia.
“Jauh lebih buruk...” Ali menghisap rokok, “karena kasus ini lebih rapi dan terancang dengan baik. Mungkin juga saat itu pelaku masih belum tau bagaimana cara menyembunyikan barang bukti dan petunjuk.”
“Itu yang membuat kasusnya lebih mudah untuk dipecahkan, sekalipun motif yang ia lakukan sangat tidak masuk akal. Hanya seorang psikopat yang muncul tiba-tiba.” Lanjut Damar.
“Semoga kasus kali ini bukan psikopat yang juga muncul tiba-tiba.” Sahut Ali.
Mobil pun berhenti di depan pintu gerbang Rumah Sakit, Talia keluar dari kursi belakang dan mendekat ke arah jendela Damar.
“Pak, saya terima kasih banyak ya udah diperbolehkan ikut dan juga udah dianter balik lagi ke sini...”
Damar tersenyum kepadanya.
“...kalau ada apa-apa, saya kabari ya Pak.” Ucap Talia.
Ali menganggukkan kepala. Talia kembali masuk ke Rumah Sakit, mobil pun berlanjut menuju kantor mereka. Setibanya di ruangan, Ali segera menyalakan komputernya. Damar berjalan menyusul di belakang dengan plastik berisi benang di genggamannya.
“Mar...”
Damar duduk di kursinya lalu menatap Ali.
“...menurut lo, apa ini ada hubungannya sama adiknya Leo?” Tanya Ali.
“Adiknya Leo?” Ucap Damar bingung.
“Gue baru inget setelah baca laporannya dia lagi. Leo punya adik laki-laki yang tinggal di kota seberang. Apa mungkin semua ini perbuatan adiknya?” Tanya Ali.
“Dia kan tinggal di asrama, kenapa ngga cek asrama tempat dia tinggal buat cari tau soal adiknya? Mungkin orang asrama bisa ngasih kita informasi.” Ucap Damar.
“Coba gue hubungi dulu, siapa tau ada titik terang.” Sahut Ali.
Damar mengangguk lalu kembali menatap plastik yang ia genggam. Benar-benar tidak ada satupun yang dapat ia sambungkan antara kasus sebelumnya dengan kasus terbaru yang mereka tangani. Ia meletakkan plastik itu di atas meja dan kembali menatap Ali yang sudah selesai menghubungi.
“Gimana?” Tanya Damar.
“Menurut pihak asrama, adiknya Leo ngga pernah ke kota ini. Dia selalu ada dalam pengawasan, kemarin pun keluar dari asrama tapi ke kota lain bersama dua orang dari asrama.” Jawab Ali.
“Tapi kenapa tiba-tiba lo kepikiran sama adiknya Leo?” Tanya Damar.
“Balas dendam?...” Ali bersandar di kursinya, “atas matinya kakaknya, mungkin aja dia mau balas dendam, dan lebih jelas motifnya.”
“Balas dendam? Mungkin ngga sih pelaku ini juga balas dendam? Ternyata, korbannya selama ini adalah orang-orang dari masa lalunya dia. Di samping foto yang keliatan pundak, entah dia pelaku atau korban berikutnya.” Ucap Damar.
“Masuk akal sih...” Ali mendekat ke komputer, “coba gue cari latar belakang korban ini, semoga ada sambungan fotonya.”
Damar mengangguk setuju. Waktu terus berjalan dengan semestinya, Damar kembali masuk ke dalam ruangan setelah membereskan urusan administrasinya di ruangan lain, ia masih melihat Ali yang berkutat dengan komputernya. Damar yang penasaran pun mendekat dan melihat apa yang dicari oleh Ali.
“Ah baik...”
Damar memukul lengan Ali pelan.
“...gue kira lo cari info soal korban, ternyata malam nonton serial.” Ucap Damar.
“Istirahat dulu lah Mar...”
Damar kembali ke kursinya.
“...ngomong-ngomong, gue udah ngobrol sama Anggi soal adopsi anak.” Ucap Ali.
“Gimana tanggapan dia?” Tanya Damar.
“Dia minta waktu buat berpikir.” Jawabnya.
“Jangan lo paksa pokoknya.” Ucap Damar.
“Lo sendiri gimana...” Ali menyandarkan badannya, “udah ngobrol sama Sasa soal pernikahan?”
“Belum...” Damar ikut bersandar, “kemarin dia masih keliatan ngga baik-baik aja, tadi pagi juga masih sama. Mungkin nanti atau besok.”
“Dia ngapain aja hari ini?” Tanya Ali.
“Beberapa temennya dateng buat nemenin dia, dan tadi dia ngabarin kalau lagi jalan-jalan ke taman sama mereka. Semoga aja bisa ngebantu dia balik seperti sebelumnya.” Jawab Damar.
“Gue ngga ngebayangin sih jadi Sasa...”
Ali sempat menyalakan rokok.
“...udah bikin baju susah-susah, dengan bahan yang susah-susah juga, berakhir dengan rancangannya dipakai sama korban pembunuhan.” Ucap Ali.
“Itu yang jadi perhatian gue. Makanya gue ngga mau maksa dia buat kembali merancang busana, kecuali emang dia udah bisa balik lagi.” Sahut Damar.
Ali menghela nafasnya, “Kasus yang menyebalkan.”
Matahari pun semakin terbenam, nampak bulan yang sudah menunjukkan sedikit raganya pada langit cerah. Ali dan Damar pun memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan pada hari ini. Mobil yang Ali kendarai pun berhenti di depan rumah Damar.
“Salam ya buat Sasa.” Ucap Ali.
“Salam juga buat Anggi.” Ucap Damar.
Damar keluar dari mobil, Ali pun melanjutkan perjalanan kembali ke rumahnya. Damar berjalan mendekat ke arah pintu, bersamaan dengan pintu yang terbuka dari dalam.
“Eh ada Damar...”
Damar bertemu dengan beberapa temannya Sasa.
“...pas banget kita mau pulang.” Ucap temannya.
“Makasih banyak ya udah mau nemenin Sasa.” Ucap Damar.
“Sama-sama Mar. Kita pulang dulu ya.” Ucap temannya.
Sasa dan temannya pun saling berpelukan satu sama lain, termasuk juga dengan Damar. Mereka pun masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan Sasa yang sedang menggenggam tangan Damar.
“Kamu udah makan?” Tanya Sasa.
Damar menatap ke arahnya, “Belum. Tadi aku mau mampir ke swalayan, tapi ngga jadi. Kamu sendiri udah makan belum sama mereka?”
“Tadi siang makan sama mereka. Kamu mau makan apa?” Ucap Sasa.
“Kamu mau makan apa?” Tanya Damar balik.
Sasa berpikir sejenak, “Aku tiba-tiba kepikiran makanan yang ada di deket kantor. Kamu tau tahu telur yang di samping kantor aku ngga?”
“Oh, aku tau itu. Mau ke sana?” Ucap Damar.
Sasa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Mereka pun sepakat menuju lokasi dengan mobil pada sore hari ini. Damar mengemudikan mobil bersama beberapa kendaraan lain, sementara Sasa sedang memilih lagu yang akan diputar dari pemutar lagu mobil.
“Kamu ke mana aja tadi selain ke taman?” Tanya Damar.
“Dari taman kita mampir ke toko es krim, abis itu mereka ngajakin aku liat-liat toko aksesoris, pulang deh. Aku kira mereka cuma sebentar, ternyata sampai kamu pulang.” Jelas Sasa.
“Untung ada mereka ya.” Kata Damar.
Sasa tersenyum, “Kalau ngga ada mereka, kayaknya aku seharian cuma tidur sambil nonton serial sampai kamu pulang. Bener kata kamu sih, untung ada mereka yang mau nemenin dan bikin aku semangat lagi.”
“Oh iya, dapet salam dari Ali.” Ucap Damar.
“Salam balik ya. Eh iya, tadi aku liat acaranya Kak Anggi di LTV sama temen-temen. Aku salut sama dia, bisa tetep kerja sekalipun kemarin abis liat insiden itu. Aku kan juga cerita soal Kak Anggi ke temen-temenku, mereka juga bilang kalau Kak Anggi hebat.” Ucap Sasa.
“Anggi emang beda sih, terlebih acaranya dia juga acara berita. Mungkin mau ngga mau, dia harus tetep siaran gimana pun kondisinya.” Sahut Damar.
“Setuju sih kalau itu. Tetep lah Kak Anggi terbaik.” Ucap Sasa.
Beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya mobil menepi. Damar dan Sasa keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gerai penjual tahu telur.
“Aku pesen kayak biasa, dua ya.” Ucap Sasa.
“Baik Kak.” Ucap pelayan gerai.
Sasa dan Damar berlalu menuju meja yang masih tersedia. Mereka duduk berhadapan, dan tak lama seorang pelayan mengantarkan botol berisi air mineral.
“Terima kasih... Kamu harus makan tahu telur di sini, aku bisa jamin enak banget. Bahkan, kamu bisa nambah menurut aku.” Ucap Sasa.
Damar tertawa kecil, “Kenapa aku bisa nambah?”
“Karena emang seenak itu. Untung aja kita dateng jam segini, biasanya jam makan siang dan jam makan malem bakalan antre banget. Aku pernah makan di pinggir jalan karena terlalu rame.” Jelas Sasa.
“Kita coba ya.” Sahut Damar.
“Eh iya, ada petunjuk baru?” Tanya Sasa.
“Kamu yakin mau bahas itu?” Tanya Damar balik.
“Aku emang masih takut, cuma aku kan harus tau gimana kerjaan kamu.” Ucapnya.
Damar tersenyum, “Sebenernya aku dan Ali nemu satu petunjuk dari ruang ganti, cuma kita belum lapor ke polisi soal ini. Kita mau coba selidiki lagi besok di kantor.”
Sasa menganggukan kepalanya, dan tak lama berselang pesanan mereka diletakkan di atas meja. Damar pun tertarik dengan makanan yang ada di hadapannya.
“Kayaknya enak.” Ucapnya.
“Ayo kita makan.” Ucap Sasa.
Suapan pertama berhasil membuat Damar membuka matanya cukup lebar, untuk pertama kalinya ia mencoba tahu telur yang biasa dimakan Sasa ketika pergi ke kantor.
“Enak kan?” Tanya Sasa.
Damar mengangguk, “Kok bisa enak kayak gini? Aku pikir tuh namanya tahu telur ya cuma tahu pakai telur aja, ternyata bisa seenak ini.”
“Bener kan yang aku bilang.” Ucap Sasa.
Mereka melanjutkan makan malam kali ini. Memang benar apa yang dikatakan Sasa, satu pesanan kembali datang dan disajikan di atas meja. Sasa tersenyum melihat Damar yang memesan lagi.
“Beneran nambah kan.” Ucap Sasa.
“Bisa bahaya kalau aku kerja di sini.” Jawabnya.
Sasa tertawa mendengar jawaban dari Damar, mereka pun membagi dua pesanan yang baru saja tiba. Beberapa saat berlalu, mereka selesai dengan makan malam.
Sasa dan Damar keluar dari gerai setelah membayar pesanan mereka, tangan Sasa yang menggenggam lengan Damar menuntunnya sedikit jauh dari mobil mereka berada.
“Kita mau ke mana?” Tanya Damar.
“Jalan-jalan.” Ucapnya.
Damar pun mengikuti ke mana Sasa membawanya. Sinar rembulan nampak terang dari sudut pandang mereka, dengan santainya mereka berjalan di antara pepohonan yang rindang bersama beberapa orang lain.
“Lumayan rame juga ya.” Ucap Damar.
“Mungkin menjelang akhir pekan.” Sahut Sasa.
“Kamu ada acara besok?” Tanya Damar.
“Acara...” Sasa menatap Damar, “ngga ada apa-apa, emangnya kenapa? Kamu masuk kantor?”
“Ngga kok, aku cuma nanya aja.” Jawab Damar.
“Apa kamu mau ajak aku jalan-jalan?” Tebak Sasa.
“Jalan-jalan? Kamu mau jalan-jalan ke mana?” Tanya Damar.
“Tiba-tiba aku kepikiran pantai, cuma jauh. Abis itu terlintas gunung, cuma capek. Aku mau kedua-duanya, cuma ngga mungkin. Aku jadi makin bingung mau ke mana, atau di rumah aja ya nonton serial?” Jelas Sasa.
Damar tersenyum, “Bisa aja sih kita lakuin itu semua, cuma ya resikonya kamu bakalan tidur terus bukannya nikmatin pemandangan sekitar.”
Sasa tertawa, “Bener banget, pasti aku tidur terus.”
“Kamu ada proyek apalagi?” Tanya Damar.
Sasa berpikir sejenak, “Sebenernya aku ada proyek lagi, kolaborasi sama salah satu pabrikan baju. Cuma aku minta tunda dulu setelah kejadian kemarin, aku masih takut.”
“Terus mereka nggapapa?” Tanya Damar.
Sasa mengangguk, “Mereka kasih aku waktu buat istirahat sebentar, dengan catatan aku menyetujui proyek yang mereka minta. Akupun setuju, jadinya mereka kasih aku ruang dulu.”
Mereka berbelok ke arah pertigaan.
“Ada yang mau aku tanya sih.” Ucap Damar.
“Apa itu?” Tanya Sasa.
“Loh...”
Damar menunjuk ke satu arah dan membuat Sasa juga menatap ke arah yang dituju. Ada beberapa orang yang sedang menampilkan drama sederhana yang ditonton oleh beberapa orang.
“...emang suka ada pertunjukan di sini?” Tanya Damar.
“Ngga sering sih, beberapa kali dalam sebulan aja. Berarti kita termasuk beruntung bisa liat mereka tampil. Kamu mau liat ngga?” Ucap Sasa.
“Ayo kita liat.” Ajak Damar.
Mereka mendekat ke arah kerumunan. Penampilan baru saja akan dimulai, mereka masih bisa menikmatinya dari awal. Suara ketukan pun menjadi awal mula dari pertunjukan, seseorang yang berpakaian setelan jas maju ke depan.
“Selamat datang. Malam ini kami akan mempersembahkan teater bisu yang akan dipersembahkan oleh Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Harapan Jaya.” Ucapnya.
Tepuk tangan penonton pun memeriahkan acara. Lampu sorot meredup dan alunan instrumen klasik pun menggema. Seorang pria yang mengenakan pakaian rumahan maju ke depan, ia melihat ke arah penonton dari kiri ke kanan dan berulang. Datanglah seorang wanita yang mengenakan pakaian kerja lengkap dengan tas yang ada di tangannya. Mereka berpelukan seraya tersenyum bahagia.
Mereka duduk di bangku kayu, memandangi langit yang sedang cerah. Sang wanita menyandarkan kepalanya pada pundak sang pria, ia pun menunjuk ke arah langit. Tangannya pun beralih menyentuh dada sang pria, kemudian ia menyentuh dadanya sendiri. Sang pria menatap ke arahnya dengan tajam, ia pun mencium wanita itu.
Lampu sorot sedikit menerang, mereka menari-nari dengan alunan lagu bahagia. Mereka berputar-putar mengelilingi penonton yang juga ikut merasakan kebahagiaan mereka, termasuk dengan Sasa dan Damar. Mereka kembali menuju depan sambil berpelukan.
Lampu sorot meredup dengan alunan lagu yang semakin kecil dan menghilang, berubah seketika menjadi lagu yang memilukan ketika seorang pria lain datang dengan pakaian yang sejenis dengan sang wanita. Tangan wanita yang semula menggenggam pria itu dilepas secara perlahan, bahkan sang wanita melangkah satu demi satu hingga menjauhi sang pria. Ekspresi sang pria pun berubah, tergambar jelas dari raut mukanya yang menggambarkan kesedihan.
Sang wanita pergi dengan pria lain, meninggalkan sang pria yang terdiam menatap ke arah penonton seperti gerakannya di awal pertunjukan. Ia menunjuk salah satu penonton wanita yang berdiri tepat di hadapannya, ia mendekat ke arah wanita itu lalu mengulurkan tangannya.
Penonton itu dengan ragu menggenggam tangan sang pria, ia diajak maju ke depan lalu melihat ke arah penonton yang ada di depannya. Wanita itu memejamkan matanya lalu membuka matanya dengan cepat, lampu sorot kembali menerang dan alunan lagu kembali menjadi bahagia. Mereka pun menari di depan penonton, ternyata sang penonton merupakan bagian dari pertunjukan.
Alunan lagu kembali mendayu, ketika sang wanita yang semula pergi, datang kembali dengan pakaiannya yang berubah menjadi seperti sang pria. Mereka saling beradu pandang, sang wanita mendekat dan mencoba menggenggam tangan sang pria.
Sang pria menjauh, ia kembali mendekat ke wanita yang satu lagi. Pria itu memeluk wanita itu, membiarkan wanita yang datang kembali sendiri dengan perasaannya yang bersedih. Pria dan wanita itu pun menari ke belakang dan dengan cepat berganti pakaian menjadi serasi. Mereka kembali menari mengelilingi wanita yang bersedih hingga ia hilang ke belakang panggung. Akhir yang bahagia dari drama sederhana yang disajikan malam ini berhasil mendapatkan apresiasi tepuk tangan dari penonton, termasuk Damar dan Sasa.
Para pemain pun maju ke depan untuk memberikan hormat, seorang pria yang mengenakan setelan jas menghampiri penonton lalu mengulurkan kotak yang bisa diisi oleh uang dari penonton yang sudah datang. Sasa pun memberikan selembar uang ke dalam kotak tersebut, pria itu membungkukkan badannya sebagai tanda terima kasih.
“Bagus kan penampilan mereka?” Tanya Sasa.
“Aku setuju.” Sahut Damar.
“Kita pulang yuk.” Ajak Sasa.
Sasa kembali menggenggam tangan Damar, mereka berjalan berdampingan menelusuri jalan untuk kembali menuju mobil mereka berada.
“Eh iya, tadi kamu mau nanya apa ya?” Tanya Sasa.
“Nanya?” Tanya Damar bingung.
“Ih kamu lupa...” Sasa memukul lengan Damar pelan, “tadi sebelum liat pertunjukan, kamu katanya mau nanya sesuatu sama aku.”
“Astaga, iya aku baru inget...”
Damar menundukkan kepalanya.
“...Kamu mau nikah sama aku?” Tanya Damar.
Sasa menghentikan langkahnya, Damar pun menatapnya.
“K... Kamu... serius?” Tanya Sasa.
Damar menganggukkan kepalanya, “Aku serius. Aku udah yakin sama pilihanku, dan kamu orang yang tepat untuk nemenin aku. Sebenernya aku ragu untuk bilang ini, kamu masih sibuk dengan pekerjaan kamu. Jadi kamu ngga perlu buru-buru untuk jawabnya.”
“Aku mau...” Sasa melempar senyum, “aku mau.”
“Serius?” Tanya Damar.
Sasa menganggukkan kepala, “Jujur aku ngga nyangka kalau kamu akan bilang ini sekarang, aku ngebayangin kalau kamu akan bilang pas kita lagi makan malam berdua atau lagi jalan-jalan.”
“Maaf ya, aku ngga nyiapin momen ini.” Ucap Damar.
“Nggapapa...” Sasa memeluk Damar, “aku tetep mau.”
Damar membalas pelukan Sasa. Malam ini berakhir dengan bahagia, seperti apa yang baru saja mereka saksikan. Satu langkah maju untuk kehidupan mereka berdua.
“Kamu baru pertama kali ya ke toko jahit?” Tanya Ali.
“Iya Pak, saya baru tau kalau isinya begini.” Jawabnya.
Candra pun melipat kain yang sudah dipotong, ia meletakkan kain itu di atas meja bersama dengan guntingnya. Candra pun mendekat ke arah Damar berada.
“Ada apa kali ini?” Tanya Candra.
Damar mengeluarkan plastik berisi benang dari saku celananya, ia memberikan plastik itu kepada Candra yang diterima dengan tangan kanannya. Talia pun menyalakan alat rekam suaranya untuk bersiap menerima informasi yang ada.
Candra pun memandang lebih dekat plastik tersebut, ia beralih menuju meja untuk mengambil kacamatanya. Ia pun mengenakan kacamata tersebut dan kembali melihat benang di dalam plastik itu.
“Ini bukan benang jahit untuk pakaian, benang layangan.” Jawabnya.
“Layangan?” Tanya Ali heran.
“Sebentar...”
Candra masuk ke dalam ruangan belakang, kemudian ia membawa gulungan benang kepada mereka.
“...ini benangnya.” Ucap Candra.
Ali meraih gulungan benang tersebut bersama dengan plastik yang berisi benang dari forensik. Talia pun juga ikut melihat dengan seksama.
“Mirip sih, tapi juga mirip sama benang kasus kemarin.” Ucap Ali.
“Kasus kemarin pakai benang itu?” Tanya Candra.
Damar mengangguk, “Korban dijahit dengan benang itu hingga membuat pakaian yang dikenakan menjadi permanen. Bibirnya pun juga dijahit dan ditarik ke pipi hingga membuatnya seolah tersenyum.”
“Astaga...” Candra menghela nafasnya, “kenapa makin aneh benda-bendanya.”
Damar teringat dengan surat yang ditemukan di dalam tubuh korban, ia mengeluarkan surat itu dari saku celananya. Ia kembali membaca surat itu bersama yang lainnya, kemudian ia melihat ke arah gulungan benang yang dipegang Ali.
“Benang layangan... Layang-layang... terbang...”
Damar tak melanjutkan ucapannya.
“Jadi dia mau buat korban seperti layang-layang? Terbang tinggi lalu jatuh dengan keras ketika ngga ada angin yang berhembus.” Ucap Ali.
“Jadi itu alasan dia pakai benang layangan?” Tanya Candra.
Damar mengangguk dengan pelan.
“Tetep ngga menjawab motifnya dia, dan juga apakah mereka berbeda atau satu orang yang sama.” Sahut Ali.
“Kalau ngga ada motif, berarti ngga ada yang tau korban berikutnya?” Tanya Talia.
“Kurang lebih begitu.” Jawab Ali.
“Kita cari tau di kantor aja.” Ajak Damar.
Ali mengangguk, “Kalau gitu, kami pamit ya Pak. Terima kasih atas waktunya. Nanti kami hubungi lagi kalau butuh bantuan.”
Mereka pun kembali menuju mobil, Ali dan Damar sempat menyalakan sebatang rokok.
“Talia, kamu mau dianter ke Rumah Sakit lagi?” Tanya Ali.
“Saya naik taksi aja Pak, ngga enak ngerepotin.” Ucapnya.
“Udah nggapapa bareng aja, kita searah.” Ucap Ali.
“Beneran nggapapa Pak?” Tanya Talia.
Damar menganggukkan kepalanya, mereka pun masuk ke dalam mobil untuk kembali ke Rumah Sakit.
“Pak, saya mau tanya...”
Ali menatap Talia dari spion tengah mobil.
“...apa pelakunya dua orang?” Tanya Talia.
“Terlalu abu-abu untuk dijawab baik satu atau dua orang. Kita butuh waktu lebih untuk investigas lanjut entah bagaimana caranya.” Jawab Ali.
“Apa ada hubungannya sama pembunuh berantai yang dihukum mati Pak? Dulu pas saya masih kuliah, ada pembunuh berantai yang berhasil ditangkap dan dihukum mati.” Ucap Talia.
“Payung kuning maksudnya?” Tanya Damar.
“Ah itu dia, payung kuning.” Sahut Talia.
Damar menghembuskan asap rokok, “Kita harus cari tau dulu sih, baca ulang laporan tentang payung kuning. Terlebih, kita juga yang mengusut kasus itu.”
“Serius Pak?” Tanya Talia terkejut.
Ali mengangguk, “Dulu kita masih jadi asisten detektif saat mengusut kasus itu. Salah satu korbannya dia, detektif kami saat itu.”
“Astaga, saya minta maaf Pak.” Ucap Talia.
“Nggapapa kok...” Damar menghisap rokok, “beberapa tahun berlalu, akhirnya kami kembali dapat kasus kayak waktu itu lagi.”
“Menurut kalian, apa kasus ini lebih buruk?” Tanya Talia.
“Jauh lebih buruk...” Ali menghisap rokok, “karena kasus ini lebih rapi dan terancang dengan baik. Mungkin juga saat itu pelaku masih belum tau bagaimana cara menyembunyikan barang bukti dan petunjuk.”
“Itu yang membuat kasusnya lebih mudah untuk dipecahkan, sekalipun motif yang ia lakukan sangat tidak masuk akal. Hanya seorang psikopat yang muncul tiba-tiba.” Lanjut Damar.
“Semoga kasus kali ini bukan psikopat yang juga muncul tiba-tiba.” Sahut Ali.
Mobil pun berhenti di depan pintu gerbang Rumah Sakit, Talia keluar dari kursi belakang dan mendekat ke arah jendela Damar.
“Pak, saya terima kasih banyak ya udah diperbolehkan ikut dan juga udah dianter balik lagi ke sini...”
Damar tersenyum kepadanya.
“...kalau ada apa-apa, saya kabari ya Pak.” Ucap Talia.
Ali menganggukkan kepala. Talia kembali masuk ke Rumah Sakit, mobil pun berlanjut menuju kantor mereka. Setibanya di ruangan, Ali segera menyalakan komputernya. Damar berjalan menyusul di belakang dengan plastik berisi benang di genggamannya.
“Mar...”
Damar duduk di kursinya lalu menatap Ali.
“...menurut lo, apa ini ada hubungannya sama adiknya Leo?” Tanya Ali.
“Adiknya Leo?” Ucap Damar bingung.
“Gue baru inget setelah baca laporannya dia lagi. Leo punya adik laki-laki yang tinggal di kota seberang. Apa mungkin semua ini perbuatan adiknya?” Tanya Ali.
“Dia kan tinggal di asrama, kenapa ngga cek asrama tempat dia tinggal buat cari tau soal adiknya? Mungkin orang asrama bisa ngasih kita informasi.” Ucap Damar.
“Coba gue hubungi dulu, siapa tau ada titik terang.” Sahut Ali.
Damar mengangguk lalu kembali menatap plastik yang ia genggam. Benar-benar tidak ada satupun yang dapat ia sambungkan antara kasus sebelumnya dengan kasus terbaru yang mereka tangani. Ia meletakkan plastik itu di atas meja dan kembali menatap Ali yang sudah selesai menghubungi.
“Gimana?” Tanya Damar.
“Menurut pihak asrama, adiknya Leo ngga pernah ke kota ini. Dia selalu ada dalam pengawasan, kemarin pun keluar dari asrama tapi ke kota lain bersama dua orang dari asrama.” Jawab Ali.
“Tapi kenapa tiba-tiba lo kepikiran sama adiknya Leo?” Tanya Damar.
“Balas dendam?...” Ali bersandar di kursinya, “atas matinya kakaknya, mungkin aja dia mau balas dendam, dan lebih jelas motifnya.”
“Balas dendam? Mungkin ngga sih pelaku ini juga balas dendam? Ternyata, korbannya selama ini adalah orang-orang dari masa lalunya dia. Di samping foto yang keliatan pundak, entah dia pelaku atau korban berikutnya.” Ucap Damar.
“Masuk akal sih...” Ali mendekat ke komputer, “coba gue cari latar belakang korban ini, semoga ada sambungan fotonya.”
Damar mengangguk setuju. Waktu terus berjalan dengan semestinya, Damar kembali masuk ke dalam ruangan setelah membereskan urusan administrasinya di ruangan lain, ia masih melihat Ali yang berkutat dengan komputernya. Damar yang penasaran pun mendekat dan melihat apa yang dicari oleh Ali.
“Ah baik...”
Damar memukul lengan Ali pelan.
“...gue kira lo cari info soal korban, ternyata malam nonton serial.” Ucap Damar.
“Istirahat dulu lah Mar...”
Damar kembali ke kursinya.
“...ngomong-ngomong, gue udah ngobrol sama Anggi soal adopsi anak.” Ucap Ali.
“Gimana tanggapan dia?” Tanya Damar.
“Dia minta waktu buat berpikir.” Jawabnya.
“Jangan lo paksa pokoknya.” Ucap Damar.
“Lo sendiri gimana...” Ali menyandarkan badannya, “udah ngobrol sama Sasa soal pernikahan?”
“Belum...” Damar ikut bersandar, “kemarin dia masih keliatan ngga baik-baik aja, tadi pagi juga masih sama. Mungkin nanti atau besok.”
“Dia ngapain aja hari ini?” Tanya Ali.
“Beberapa temennya dateng buat nemenin dia, dan tadi dia ngabarin kalau lagi jalan-jalan ke taman sama mereka. Semoga aja bisa ngebantu dia balik seperti sebelumnya.” Jawab Damar.
“Gue ngga ngebayangin sih jadi Sasa...”
Ali sempat menyalakan rokok.
“...udah bikin baju susah-susah, dengan bahan yang susah-susah juga, berakhir dengan rancangannya dipakai sama korban pembunuhan.” Ucap Ali.
“Itu yang jadi perhatian gue. Makanya gue ngga mau maksa dia buat kembali merancang busana, kecuali emang dia udah bisa balik lagi.” Sahut Damar.
Ali menghela nafasnya, “Kasus yang menyebalkan.”
Matahari pun semakin terbenam, nampak bulan yang sudah menunjukkan sedikit raganya pada langit cerah. Ali dan Damar pun memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan pada hari ini. Mobil yang Ali kendarai pun berhenti di depan rumah Damar.
“Salam ya buat Sasa.” Ucap Ali.
“Salam juga buat Anggi.” Ucap Damar.
Damar keluar dari mobil, Ali pun melanjutkan perjalanan kembali ke rumahnya. Damar berjalan mendekat ke arah pintu, bersamaan dengan pintu yang terbuka dari dalam.
“Eh ada Damar...”
Damar bertemu dengan beberapa temannya Sasa.
“...pas banget kita mau pulang.” Ucap temannya.
“Makasih banyak ya udah mau nemenin Sasa.” Ucap Damar.
“Sama-sama Mar. Kita pulang dulu ya.” Ucap temannya.
Sasa dan temannya pun saling berpelukan satu sama lain, termasuk juga dengan Damar. Mereka pun masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan Sasa yang sedang menggenggam tangan Damar.
“Kamu udah makan?” Tanya Sasa.
Damar menatap ke arahnya, “Belum. Tadi aku mau mampir ke swalayan, tapi ngga jadi. Kamu sendiri udah makan belum sama mereka?”
“Tadi siang makan sama mereka. Kamu mau makan apa?” Ucap Sasa.
“Kamu mau makan apa?” Tanya Damar balik.
Sasa berpikir sejenak, “Aku tiba-tiba kepikiran makanan yang ada di deket kantor. Kamu tau tahu telur yang di samping kantor aku ngga?”
“Oh, aku tau itu. Mau ke sana?” Ucap Damar.
Sasa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Mereka pun sepakat menuju lokasi dengan mobil pada sore hari ini. Damar mengemudikan mobil bersama beberapa kendaraan lain, sementara Sasa sedang memilih lagu yang akan diputar dari pemutar lagu mobil.
“Kamu ke mana aja tadi selain ke taman?” Tanya Damar.
“Dari taman kita mampir ke toko es krim, abis itu mereka ngajakin aku liat-liat toko aksesoris, pulang deh. Aku kira mereka cuma sebentar, ternyata sampai kamu pulang.” Jelas Sasa.
“Untung ada mereka ya.” Kata Damar.
Sasa tersenyum, “Kalau ngga ada mereka, kayaknya aku seharian cuma tidur sambil nonton serial sampai kamu pulang. Bener kata kamu sih, untung ada mereka yang mau nemenin dan bikin aku semangat lagi.”
“Oh iya, dapet salam dari Ali.” Ucap Damar.
“Salam balik ya. Eh iya, tadi aku liat acaranya Kak Anggi di LTV sama temen-temen. Aku salut sama dia, bisa tetep kerja sekalipun kemarin abis liat insiden itu. Aku kan juga cerita soal Kak Anggi ke temen-temenku, mereka juga bilang kalau Kak Anggi hebat.” Ucap Sasa.
“Anggi emang beda sih, terlebih acaranya dia juga acara berita. Mungkin mau ngga mau, dia harus tetep siaran gimana pun kondisinya.” Sahut Damar.
“Setuju sih kalau itu. Tetep lah Kak Anggi terbaik.” Ucap Sasa.
Beberapa saat dalam perjalanan, akhirnya mobil menepi. Damar dan Sasa keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam gerai penjual tahu telur.
“Aku pesen kayak biasa, dua ya.” Ucap Sasa.
“Baik Kak.” Ucap pelayan gerai.
Sasa dan Damar berlalu menuju meja yang masih tersedia. Mereka duduk berhadapan, dan tak lama seorang pelayan mengantarkan botol berisi air mineral.
“Terima kasih... Kamu harus makan tahu telur di sini, aku bisa jamin enak banget. Bahkan, kamu bisa nambah menurut aku.” Ucap Sasa.
Damar tertawa kecil, “Kenapa aku bisa nambah?”
“Karena emang seenak itu. Untung aja kita dateng jam segini, biasanya jam makan siang dan jam makan malem bakalan antre banget. Aku pernah makan di pinggir jalan karena terlalu rame.” Jelas Sasa.
“Kita coba ya.” Sahut Damar.
“Eh iya, ada petunjuk baru?” Tanya Sasa.
“Kamu yakin mau bahas itu?” Tanya Damar balik.
“Aku emang masih takut, cuma aku kan harus tau gimana kerjaan kamu.” Ucapnya.
Damar tersenyum, “Sebenernya aku dan Ali nemu satu petunjuk dari ruang ganti, cuma kita belum lapor ke polisi soal ini. Kita mau coba selidiki lagi besok di kantor.”
Sasa menganggukan kepalanya, dan tak lama berselang pesanan mereka diletakkan di atas meja. Damar pun tertarik dengan makanan yang ada di hadapannya.
“Kayaknya enak.” Ucapnya.
“Ayo kita makan.” Ucap Sasa.
Suapan pertama berhasil membuat Damar membuka matanya cukup lebar, untuk pertama kalinya ia mencoba tahu telur yang biasa dimakan Sasa ketika pergi ke kantor.
“Enak kan?” Tanya Sasa.
Damar mengangguk, “Kok bisa enak kayak gini? Aku pikir tuh namanya tahu telur ya cuma tahu pakai telur aja, ternyata bisa seenak ini.”
“Bener kan yang aku bilang.” Ucap Sasa.
Mereka melanjutkan makan malam kali ini. Memang benar apa yang dikatakan Sasa, satu pesanan kembali datang dan disajikan di atas meja. Sasa tersenyum melihat Damar yang memesan lagi.
“Beneran nambah kan.” Ucap Sasa.
“Bisa bahaya kalau aku kerja di sini.” Jawabnya.
Sasa tertawa mendengar jawaban dari Damar, mereka pun membagi dua pesanan yang baru saja tiba. Beberapa saat berlalu, mereka selesai dengan makan malam.
Sasa dan Damar keluar dari gerai setelah membayar pesanan mereka, tangan Sasa yang menggenggam lengan Damar menuntunnya sedikit jauh dari mobil mereka berada.
“Kita mau ke mana?” Tanya Damar.
“Jalan-jalan.” Ucapnya.
Damar pun mengikuti ke mana Sasa membawanya. Sinar rembulan nampak terang dari sudut pandang mereka, dengan santainya mereka berjalan di antara pepohonan yang rindang bersama beberapa orang lain.
“Lumayan rame juga ya.” Ucap Damar.
“Mungkin menjelang akhir pekan.” Sahut Sasa.
“Kamu ada acara besok?” Tanya Damar.
“Acara...” Sasa menatap Damar, “ngga ada apa-apa, emangnya kenapa? Kamu masuk kantor?”
“Ngga kok, aku cuma nanya aja.” Jawab Damar.
“Apa kamu mau ajak aku jalan-jalan?” Tebak Sasa.
“Jalan-jalan? Kamu mau jalan-jalan ke mana?” Tanya Damar.
“Tiba-tiba aku kepikiran pantai, cuma jauh. Abis itu terlintas gunung, cuma capek. Aku mau kedua-duanya, cuma ngga mungkin. Aku jadi makin bingung mau ke mana, atau di rumah aja ya nonton serial?” Jelas Sasa.
Damar tersenyum, “Bisa aja sih kita lakuin itu semua, cuma ya resikonya kamu bakalan tidur terus bukannya nikmatin pemandangan sekitar.”
Sasa tertawa, “Bener banget, pasti aku tidur terus.”
“Kamu ada proyek apalagi?” Tanya Damar.
Sasa berpikir sejenak, “Sebenernya aku ada proyek lagi, kolaborasi sama salah satu pabrikan baju. Cuma aku minta tunda dulu setelah kejadian kemarin, aku masih takut.”
“Terus mereka nggapapa?” Tanya Damar.
Sasa mengangguk, “Mereka kasih aku waktu buat istirahat sebentar, dengan catatan aku menyetujui proyek yang mereka minta. Akupun setuju, jadinya mereka kasih aku ruang dulu.”
Mereka berbelok ke arah pertigaan.
“Ada yang mau aku tanya sih.” Ucap Damar.
“Apa itu?” Tanya Sasa.
“Loh...”
Damar menunjuk ke satu arah dan membuat Sasa juga menatap ke arah yang dituju. Ada beberapa orang yang sedang menampilkan drama sederhana yang ditonton oleh beberapa orang.
“...emang suka ada pertunjukan di sini?” Tanya Damar.
“Ngga sering sih, beberapa kali dalam sebulan aja. Berarti kita termasuk beruntung bisa liat mereka tampil. Kamu mau liat ngga?” Ucap Sasa.
“Ayo kita liat.” Ajak Damar.
Mereka mendekat ke arah kerumunan. Penampilan baru saja akan dimulai, mereka masih bisa menikmatinya dari awal. Suara ketukan pun menjadi awal mula dari pertunjukan, seseorang yang berpakaian setelan jas maju ke depan.
“Selamat datang. Malam ini kami akan mempersembahkan teater bisu yang akan dipersembahkan oleh Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Harapan Jaya.” Ucapnya.
Tepuk tangan penonton pun memeriahkan acara. Lampu sorot meredup dan alunan instrumen klasik pun menggema. Seorang pria yang mengenakan pakaian rumahan maju ke depan, ia melihat ke arah penonton dari kiri ke kanan dan berulang. Datanglah seorang wanita yang mengenakan pakaian kerja lengkap dengan tas yang ada di tangannya. Mereka berpelukan seraya tersenyum bahagia.
Mereka duduk di bangku kayu, memandangi langit yang sedang cerah. Sang wanita menyandarkan kepalanya pada pundak sang pria, ia pun menunjuk ke arah langit. Tangannya pun beralih menyentuh dada sang pria, kemudian ia menyentuh dadanya sendiri. Sang pria menatap ke arahnya dengan tajam, ia pun mencium wanita itu.
Lampu sorot sedikit menerang, mereka menari-nari dengan alunan lagu bahagia. Mereka berputar-putar mengelilingi penonton yang juga ikut merasakan kebahagiaan mereka, termasuk dengan Sasa dan Damar. Mereka kembali menuju depan sambil berpelukan.
Lampu sorot meredup dengan alunan lagu yang semakin kecil dan menghilang, berubah seketika menjadi lagu yang memilukan ketika seorang pria lain datang dengan pakaian yang sejenis dengan sang wanita. Tangan wanita yang semula menggenggam pria itu dilepas secara perlahan, bahkan sang wanita melangkah satu demi satu hingga menjauhi sang pria. Ekspresi sang pria pun berubah, tergambar jelas dari raut mukanya yang menggambarkan kesedihan.
Sang wanita pergi dengan pria lain, meninggalkan sang pria yang terdiam menatap ke arah penonton seperti gerakannya di awal pertunjukan. Ia menunjuk salah satu penonton wanita yang berdiri tepat di hadapannya, ia mendekat ke arah wanita itu lalu mengulurkan tangannya.
Penonton itu dengan ragu menggenggam tangan sang pria, ia diajak maju ke depan lalu melihat ke arah penonton yang ada di depannya. Wanita itu memejamkan matanya lalu membuka matanya dengan cepat, lampu sorot kembali menerang dan alunan lagu kembali menjadi bahagia. Mereka pun menari di depan penonton, ternyata sang penonton merupakan bagian dari pertunjukan.
Alunan lagu kembali mendayu, ketika sang wanita yang semula pergi, datang kembali dengan pakaiannya yang berubah menjadi seperti sang pria. Mereka saling beradu pandang, sang wanita mendekat dan mencoba menggenggam tangan sang pria.
Sang pria menjauh, ia kembali mendekat ke wanita yang satu lagi. Pria itu memeluk wanita itu, membiarkan wanita yang datang kembali sendiri dengan perasaannya yang bersedih. Pria dan wanita itu pun menari ke belakang dan dengan cepat berganti pakaian menjadi serasi. Mereka kembali menari mengelilingi wanita yang bersedih hingga ia hilang ke belakang panggung. Akhir yang bahagia dari drama sederhana yang disajikan malam ini berhasil mendapatkan apresiasi tepuk tangan dari penonton, termasuk Damar dan Sasa.
Para pemain pun maju ke depan untuk memberikan hormat, seorang pria yang mengenakan setelan jas menghampiri penonton lalu mengulurkan kotak yang bisa diisi oleh uang dari penonton yang sudah datang. Sasa pun memberikan selembar uang ke dalam kotak tersebut, pria itu membungkukkan badannya sebagai tanda terima kasih.
“Bagus kan penampilan mereka?” Tanya Sasa.
“Aku setuju.” Sahut Damar.
“Kita pulang yuk.” Ajak Sasa.
Sasa kembali menggenggam tangan Damar, mereka berjalan berdampingan menelusuri jalan untuk kembali menuju mobil mereka berada.
“Eh iya, tadi kamu mau nanya apa ya?” Tanya Sasa.
“Nanya?” Tanya Damar bingung.
“Ih kamu lupa...” Sasa memukul lengan Damar pelan, “tadi sebelum liat pertunjukan, kamu katanya mau nanya sesuatu sama aku.”
“Astaga, iya aku baru inget...”
Damar menundukkan kepalanya.
“...Kamu mau nikah sama aku?” Tanya Damar.
Sasa menghentikan langkahnya, Damar pun menatapnya.
“K... Kamu... serius?” Tanya Sasa.
Damar menganggukkan kepalanya, “Aku serius. Aku udah yakin sama pilihanku, dan kamu orang yang tepat untuk nemenin aku. Sebenernya aku ragu untuk bilang ini, kamu masih sibuk dengan pekerjaan kamu. Jadi kamu ngga perlu buru-buru untuk jawabnya.”
“Aku mau...” Sasa melempar senyum, “aku mau.”
“Serius?” Tanya Damar.
Sasa menganggukkan kepala, “Jujur aku ngga nyangka kalau kamu akan bilang ini sekarang, aku ngebayangin kalau kamu akan bilang pas kita lagi makan malam berdua atau lagi jalan-jalan.”
“Maaf ya, aku ngga nyiapin momen ini.” Ucap Damar.
“Nggapapa...” Sasa memeluk Damar, “aku tetep mau.”
Damar membalas pelukan Sasa. Malam ini berakhir dengan bahagia, seperti apa yang baru saja mereka saksikan. Satu langkah maju untuk kehidupan mereka berdua.
ø
0
Kutip
Balas