- Beranda
- Stories from the Heart
ALAM LELEMBUT [Petualangan Mas Drag Dan Slamet Penceng]
...
TS
indrag057
ALAM LELEMBUT [Petualangan Mas Drag Dan Slamet Penceng]
Spoiler for Warning:
![ALAM LELEMBUT [Petualangan Mas Drag Dan Slamet Penceng]](https://s.kaskus.id/images/2021/04/05/10833629_202104051141410869.jpg)
Gambar diambil dari kompasiana.com dengan sedikit perubahan
Story 1 : Belik Ringin
Spoiler for :
Belikatau sendang ini terletak di sebelah tenggara desa Kedhungjati. Dinamakan Belik Ringin karena Belik ini berada tepat dibawah sebuah pohon beringin besar yang katanya usianya sudah ratusan tahun. Dahulu, sebelum banyak warga yang memiliki sumur, belik ini merupakan sumber air bersih utama bagi warga desa Kedhungjati. Hampir semua warga desa Kedhungjati bergantung pada Belik ini untuk melakukan aktivitas mandi dan mencuci. Bahkan untuk keperluan memasak di dapurpun mereka mengambil air dari Belik ini.
Bukan tanpa alasan kalau warga mengandalkan Belik ini untuk mendapatkan air bersih. Selain karena Belik ini merupakan sumber air satu satunya di desa Kedhungjati, Belik Ringin juga dikenal memiliki sumber air yang sangat melimpah. Saat musim kemarau panjangpun, Belik ini tak pernah sekalipun kehabisan sumber mata airnya. Dan yang paling utama adalah, air yang keluar dari sumber di Belik ini terkenal sangat jernih dan bersih. Sangking jernihnya, ada sebagian warga yang tak segan segan meminum langsung air dari Belik ini.
Dahulu, Belik ini sangat terawat. Dinaungi oleh sebuah pohon beringin raksasa yang konon usianya sudah ratusan tahun, dan dikelilingi oleh tiga buah batu besar, membuat Belik ini terasa nyaman untuk melakukan aktivitas mandi dan mencuci, tanpa takut akan ada mata nakal yang mengintip mereka.
Meski begitu, tak jauh berbeda dengan area Tegal Salahan yang dulu pernah aku ceritakan, dibalik kesejukan dan kenyamanannya, Belik Ringin ini juga menyimpan banyak misteri. Ya. Sumber air utama di desa Kedhungjati ini tak kalah angker jika dibandingkan dengan area Tegal Salahan yang ada di sebelah selatan desa. Sudah banyak warga yang mengalami kejadian kejadian aneh dan janggal di Belik ini.
Salah satunya adalah Kang Sastro Gudel (bukan nama sebenarnya). Beliau adalah tetanggaku. Rumahnya tak begitu jauh dari Belik Ringin ini. Seperti biasa, sore itu selepas bekerja di sawah, Kang Sastro langsung menuju ke Belik Ringin ini untuk sekalian mandi. Letak sawahnya memang tak begitu jauh dari tempat sumber mata air itu berada.
Sayangnya, saat sampai di Belik itu, ternyata masih ada seorang perempuan yang tengah mandi. Mau tak mau Kang Sastro harus menunggu. Laki laki itu lalu duduk bersandar pada salah satu batu besar yang ada disitu, sambil memandang hijaunya hamparan sawah di depannya. Tanaman padi yang subur melambungkan angannya, membayangkan saat panen nanti, pasti hasil padinya juga melimpah ruah. Mudah mudahan saat musim panen tiba nanti harga gabah tidak anjlok lagi seperti biasanya, sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil panennya.
"Bruuukkk...!!!" Tengah asyik melamun, tiba tiba Kang Sastro dikejutkan oleh jatuhnya sepotong dahan pohon beringin yang telah lapuk. Dahan sebesar betis dengan panjang hampir satu meter itu jatuh tak jauh dari tempatnya duduk.
"Wah, rejeki nomplok ini, dapat kayu kering. Lumayan, bisa dibawa pulang untuk dijadikan kayu bakar," batin Kang Sastro sambil bangkit dan memungut dahan kayu itu.
"Jangan diambil Kang," tiba tiba sebuah suara mengejutkan Kang Sastro. Ternyata perempuan itu telah selesai mandi dan bersiap untuk pulang.
"Lha kenapa to? Kan lumayan ini, bisa buat kayu bakar," tanya Kang Sastro heran.
"Ya pokoknya jangan diambil. Kan kata orang orang kayu dari pohon beringin ini nggak boleh diambil Kang, apalagi sampai dijadikan kayu bakar. Pamali! Bisa celaka sampeyan!" ujar si perempuan lagi.
"Halah! Lha wong cuma kayu lho, dan sudah lapuk juga. Masa bisa bikin celaka," sanggah Kang Sastro sambil tetap memungut kayu itu.
"Yo wis, sak karepmu Kang! Dikandhani kok ngeyel! Nek enek apa apane yo sangganen dhewe!" (Ya sudah, terserah kamu Kang! Dibilangin kok ngeyel! Kalau ada apa apanya ya tanggung saja sendiri), sungut si perempuan sambil berlalu meninggalkan Kang Sastro.
"Ada ada saja. Mana ada kayu lapuk sampai bisa bikin orang celaka," gerutu Kang Sastro sambil bersiap siap untuk mandi. "Lagipula, memangnya kamu siapa, anak kemarin sore saja kok berani beraninya ....,"
Kang Sastro tertegun sejenak. Perempuan itu tadi, siapa ya? Sepertinya ia belum pernah melihatnya. Apakah bukan warga sini? Tapi, setahunya hanya warga desa sini yang memanfaatkan Belik ini untuk mandi dan mencuci.
Ah, mungkin salah satu kerabat dari warga yang datang berkunjung ke desa ini, pikir Kang Sastro sambil melanjutkan mandinya. Kalau dilihat dari penampilannya sih, sepertinya orang dari kota. Wajahnya cantik. Kulitnya juga putih bersih, tidak seperti kulit warga desa sini yang rata rata berkulit hitam. Dan saat tadi lewat di dekatnya, ada tercium bau harum yang sangat menusuk hidung.
"Eh, tunggu! Ini kok ...," kembali Kang Sastro tertegun. Hidungnya mengendus endus. Bau wangi itu masih tercium. Bahkan kini terasa semakin tajam. Padahal perempuan itu sudah pergi dari tadi.
"Hiiiiiiiiii....!" Kang Sastro bergidik, saat merasakan bulu kuduknya tiba tiba merinding. Laki laki itu buru buru menyelesaikan mandinya, lalu bergegas pulang dengan membawa cangkul dan dahan beringin lapuk yang tadi ia temukan.
"Nih, tak bawain kayu bakar," seru Kang Sastro sambil melemparkan kayu yang tadi didapatnya ke samping sang istri yang sedang berjongkok di depan tungku dapur.
"Wah, kebetulan Kang, sampeyan dapat kayu kering," sahut Yu Darmi sambil meraih kayu itu dan memasukkannya ke dalam mulut tungku. Perempuan itu lalu bangkit dan menyeduh kopi untuk sang suami yang baru pulang itu.
"Emmm, baunya enak banget Mak, kamu lagi manggang ayam to?" hidung Kang Sastro mengendus endus saat mencium bau sangit seperti ayam yang sedang dipanggang.
"Ayam darimana to Pak, lah wong punya ayam saja enggak kok manggang ayam," sahut Yu Darmi sambil kembali ke depan tungku.
"Lha ini baunya ...."
"Lho, Pak, ini kayu apa to? Kok dibakar jadi seperti ini?" seru Yu Darmi memotong ucapan Kang Sastro.
"Jadi seperti apa to?" tanya Kang Sastro yang masih asyik duduk sambil menikmati kopinya.
"Ini lho Pak, coba sampeyan lihat, kayu sudah lapuk begini dibakar kok masih keluar getahnya. Warna getahnya merah seperti darah, dan baunya ini, kok seperti ..."
"Bapaaaaaakkkk...!!! Simboooookkkk...!!! Toloooonggggg...!!! Panaaaaasssss...!!! Panaaaasssss...!!!!"
Belum selesai istri Yu Darmi berkata, mendadak mereka dikejutkan oleh teriakan sang anak yang sejak tadi asyik menonton TV di ruang depan. Sontak keduanyapun menghambur menghampiri sang anak.
"Kamu kenapa to..., astagfirullaaaahhh...!!! Paaaakkk...!!! Anakmu kenapa ini?!" jerit Yu Darmi saat melihat sang anak tengah berguling guling dilantai sambil berteriak teriak kesakitan. Sekujur tubuh anak itu melepuh seperti habis dibakar.
"Paaaaakkkkk...!!!" jeritan Yu Darmi tak dihiraukan lagi oleh Kang Sastro. Alih alih menolong sang anak, laki laki itu justru berlari kembali ke dapur. Dahan beringin lapuk yang masih menyala di dalam mulut tungku itu segera ditariknya keluar, lalu ia siram dengan seember air.
"Huaaaaaaaa...!!! Panaaaassss...!!! Periiiiihhhh...!!!" teriakan anak Kang Sastro mengundang para tetangga yang segera berdatangan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga itu.
"Ada apa ini?"
"Ya Allah, anakmu kenapa Kang? Kok sampai melepuh begitu?"
"Ayo cepat kita tolong!"
"Kita bawa ke rumah sakit saja!"
"Jangan, panggil pak Modin saja dulu!"
Berbagai pertanyaan dan saran dari para tetangga seolah tak dihiraukan oleh Kang Sastro. Laki laki itu justru diam terpaku sambil matanya menatap nanar keluar rumah, dimana nampak sosok perempuan yang tadi ia temui di Belik Ringin sedang berdiri di sudut halaman sambil tersenyum sinis ke arahnya.
Melihat Kang Sastro yang seperti orang linglung, para tetangga akhirnya mengambil inisiatif untuk memanggil Pak Modin, orang yang dituakan di desa Kedhungjati. Setelah datang dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, laki laki sepuh itu segera mengambil tindakan. Dengan bantuan para warga, Anak Kang Sastro yang masih histeris itu segera dibawa ke Belik Ringin dan dimandikan di tempat itu oleh Pak Modin, dengan disertai ritual ritual khusus. Sisa dahan beringin lapuk yang sebagian sudah terbakar menjadi arang itu juga dikembalikan ke tempatnya semula, tempat dimana pertama kali Kang Sastro menemukannya.
Beruntung, nasib baik masih memihak ke keluarga Kang Sastro. Sang anak masih bisa diselamatkan, meski mengalami sedikit cacat permanen. Kulit di sekujur tubuhnya menjadi belang belang akibat bekas luka bakar yang dialaminya.
Bukan tanpa alasan kalau warga mengandalkan Belik ini untuk mendapatkan air bersih. Selain karena Belik ini merupakan sumber air satu satunya di desa Kedhungjati, Belik Ringin juga dikenal memiliki sumber air yang sangat melimpah. Saat musim kemarau panjangpun, Belik ini tak pernah sekalipun kehabisan sumber mata airnya. Dan yang paling utama adalah, air yang keluar dari sumber di Belik ini terkenal sangat jernih dan bersih. Sangking jernihnya, ada sebagian warga yang tak segan segan meminum langsung air dari Belik ini.
Dahulu, Belik ini sangat terawat. Dinaungi oleh sebuah pohon beringin raksasa yang konon usianya sudah ratusan tahun, dan dikelilingi oleh tiga buah batu besar, membuat Belik ini terasa nyaman untuk melakukan aktivitas mandi dan mencuci, tanpa takut akan ada mata nakal yang mengintip mereka.
Meski begitu, tak jauh berbeda dengan area Tegal Salahan yang dulu pernah aku ceritakan, dibalik kesejukan dan kenyamanannya, Belik Ringin ini juga menyimpan banyak misteri. Ya. Sumber air utama di desa Kedhungjati ini tak kalah angker jika dibandingkan dengan area Tegal Salahan yang ada di sebelah selatan desa. Sudah banyak warga yang mengalami kejadian kejadian aneh dan janggal di Belik ini.
Salah satunya adalah Kang Sastro Gudel (bukan nama sebenarnya). Beliau adalah tetanggaku. Rumahnya tak begitu jauh dari Belik Ringin ini. Seperti biasa, sore itu selepas bekerja di sawah, Kang Sastro langsung menuju ke Belik Ringin ini untuk sekalian mandi. Letak sawahnya memang tak begitu jauh dari tempat sumber mata air itu berada.
Sayangnya, saat sampai di Belik itu, ternyata masih ada seorang perempuan yang tengah mandi. Mau tak mau Kang Sastro harus menunggu. Laki laki itu lalu duduk bersandar pada salah satu batu besar yang ada disitu, sambil memandang hijaunya hamparan sawah di depannya. Tanaman padi yang subur melambungkan angannya, membayangkan saat panen nanti, pasti hasil padinya juga melimpah ruah. Mudah mudahan saat musim panen tiba nanti harga gabah tidak anjlok lagi seperti biasanya, sehingga ia bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari hasil panennya.
"Bruuukkk...!!!" Tengah asyik melamun, tiba tiba Kang Sastro dikejutkan oleh jatuhnya sepotong dahan pohon beringin yang telah lapuk. Dahan sebesar betis dengan panjang hampir satu meter itu jatuh tak jauh dari tempatnya duduk.
"Wah, rejeki nomplok ini, dapat kayu kering. Lumayan, bisa dibawa pulang untuk dijadikan kayu bakar," batin Kang Sastro sambil bangkit dan memungut dahan kayu itu.
"Jangan diambil Kang," tiba tiba sebuah suara mengejutkan Kang Sastro. Ternyata perempuan itu telah selesai mandi dan bersiap untuk pulang.
"Lha kenapa to? Kan lumayan ini, bisa buat kayu bakar," tanya Kang Sastro heran.
"Ya pokoknya jangan diambil. Kan kata orang orang kayu dari pohon beringin ini nggak boleh diambil Kang, apalagi sampai dijadikan kayu bakar. Pamali! Bisa celaka sampeyan!" ujar si perempuan lagi.
"Halah! Lha wong cuma kayu lho, dan sudah lapuk juga. Masa bisa bikin celaka," sanggah Kang Sastro sambil tetap memungut kayu itu.
"Yo wis, sak karepmu Kang! Dikandhani kok ngeyel! Nek enek apa apane yo sangganen dhewe!" (Ya sudah, terserah kamu Kang! Dibilangin kok ngeyel! Kalau ada apa apanya ya tanggung saja sendiri), sungut si perempuan sambil berlalu meninggalkan Kang Sastro.
"Ada ada saja. Mana ada kayu lapuk sampai bisa bikin orang celaka," gerutu Kang Sastro sambil bersiap siap untuk mandi. "Lagipula, memangnya kamu siapa, anak kemarin sore saja kok berani beraninya ....,"
Kang Sastro tertegun sejenak. Perempuan itu tadi, siapa ya? Sepertinya ia belum pernah melihatnya. Apakah bukan warga sini? Tapi, setahunya hanya warga desa sini yang memanfaatkan Belik ini untuk mandi dan mencuci.
Ah, mungkin salah satu kerabat dari warga yang datang berkunjung ke desa ini, pikir Kang Sastro sambil melanjutkan mandinya. Kalau dilihat dari penampilannya sih, sepertinya orang dari kota. Wajahnya cantik. Kulitnya juga putih bersih, tidak seperti kulit warga desa sini yang rata rata berkulit hitam. Dan saat tadi lewat di dekatnya, ada tercium bau harum yang sangat menusuk hidung.
"Eh, tunggu! Ini kok ...," kembali Kang Sastro tertegun. Hidungnya mengendus endus. Bau wangi itu masih tercium. Bahkan kini terasa semakin tajam. Padahal perempuan itu sudah pergi dari tadi.
"Hiiiiiiiiii....!" Kang Sastro bergidik, saat merasakan bulu kuduknya tiba tiba merinding. Laki laki itu buru buru menyelesaikan mandinya, lalu bergegas pulang dengan membawa cangkul dan dahan beringin lapuk yang tadi ia temukan.
"Nih, tak bawain kayu bakar," seru Kang Sastro sambil melemparkan kayu yang tadi didapatnya ke samping sang istri yang sedang berjongkok di depan tungku dapur.
"Wah, kebetulan Kang, sampeyan dapat kayu kering," sahut Yu Darmi sambil meraih kayu itu dan memasukkannya ke dalam mulut tungku. Perempuan itu lalu bangkit dan menyeduh kopi untuk sang suami yang baru pulang itu.
"Emmm, baunya enak banget Mak, kamu lagi manggang ayam to?" hidung Kang Sastro mengendus endus saat mencium bau sangit seperti ayam yang sedang dipanggang.
"Ayam darimana to Pak, lah wong punya ayam saja enggak kok manggang ayam," sahut Yu Darmi sambil kembali ke depan tungku.
"Lha ini baunya ...."
"Lho, Pak, ini kayu apa to? Kok dibakar jadi seperti ini?" seru Yu Darmi memotong ucapan Kang Sastro.
"Jadi seperti apa to?" tanya Kang Sastro yang masih asyik duduk sambil menikmati kopinya.
"Ini lho Pak, coba sampeyan lihat, kayu sudah lapuk begini dibakar kok masih keluar getahnya. Warna getahnya merah seperti darah, dan baunya ini, kok seperti ..."
"Bapaaaaaakkkk...!!! Simboooookkkk...!!! Toloooonggggg...!!! Panaaaaasssss...!!! Panaaaasssss...!!!!"
Belum selesai istri Yu Darmi berkata, mendadak mereka dikejutkan oleh teriakan sang anak yang sejak tadi asyik menonton TV di ruang depan. Sontak keduanyapun menghambur menghampiri sang anak.
"Kamu kenapa to..., astagfirullaaaahhh...!!! Paaaakkk...!!! Anakmu kenapa ini?!" jerit Yu Darmi saat melihat sang anak tengah berguling guling dilantai sambil berteriak teriak kesakitan. Sekujur tubuh anak itu melepuh seperti habis dibakar.
"Paaaaakkkkk...!!!" jeritan Yu Darmi tak dihiraukan lagi oleh Kang Sastro. Alih alih menolong sang anak, laki laki itu justru berlari kembali ke dapur. Dahan beringin lapuk yang masih menyala di dalam mulut tungku itu segera ditariknya keluar, lalu ia siram dengan seember air.
"Huaaaaaaaa...!!! Panaaaassss...!!! Periiiiihhhh...!!!" teriakan anak Kang Sastro mengundang para tetangga yang segera berdatangan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga itu.
"Ada apa ini?"
"Ya Allah, anakmu kenapa Kang? Kok sampai melepuh begitu?"
"Ayo cepat kita tolong!"
"Kita bawa ke rumah sakit saja!"
"Jangan, panggil pak Modin saja dulu!"
Berbagai pertanyaan dan saran dari para tetangga seolah tak dihiraukan oleh Kang Sastro. Laki laki itu justru diam terpaku sambil matanya menatap nanar keluar rumah, dimana nampak sosok perempuan yang tadi ia temui di Belik Ringin sedang berdiri di sudut halaman sambil tersenyum sinis ke arahnya.
Melihat Kang Sastro yang seperti orang linglung, para tetangga akhirnya mengambil inisiatif untuk memanggil Pak Modin, orang yang dituakan di desa Kedhungjati. Setelah datang dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, laki laki sepuh itu segera mengambil tindakan. Dengan bantuan para warga, Anak Kang Sastro yang masih histeris itu segera dibawa ke Belik Ringin dan dimandikan di tempat itu oleh Pak Modin, dengan disertai ritual ritual khusus. Sisa dahan beringin lapuk yang sebagian sudah terbakar menjadi arang itu juga dikembalikan ke tempatnya semula, tempat dimana pertama kali Kang Sastro menemukannya.
Beruntung, nasib baik masih memihak ke keluarga Kang Sastro. Sang anak masih bisa diselamatkan, meski mengalami sedikit cacat permanen. Kulit di sekujur tubuhnya menjadi belang belang akibat bekas luka bakar yang dialaminya.
*****
Spoiler for :
Diubah oleh indrag057 28-10-2024 04:57
bentoboyzz dan 513 lainnya memberi reputasi
482
908.7K
28.7K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
indrag057
#3371
Curhatan Slamet
"Dji*nc*k!" Tanpa sadar aku memaki, saat mendapati sosok yang tiba tiba telah berdiri di hadapanku. Sosok yang begitu menyeramkan, sekaligus juga sangat menjijikkan. Berwujud seperti perempuan bergaun merah kusam dengan wajah hancur setengah membusuk dipenuhi belatung serta rambut panjang acak acakan yang sebagian tergerai menutupi wajahnya. Sosok itulah yang tadi kulihat berada di dalam warung, meneteskan air liurnya kedalam setiap mangkok hidangan yang disiapkan oleh para pelayan. Juga menjatuhkan serpihan serpihan daging busuk dari wajahnya yang hancur ke dalam mangkok. Entah bagaimana caranya, tau tau ia sudah berada di hadapanku.
"Khikhikhi...!!!" Sosok itu menyeringai ke arahku, memamerkan bibirnya yang sangat lebar hingga nyaris menyentuh daun telinga, juga gigi geliginya yang runcing tajam berwarna kehitaman. Sementara kedua matanya yang melotot berwarna kemerahan menatap tajam ke arahku.
"Wedhus! Makhluk apa lagi ini," sontak aku berusaha memalingkan wajahku, karena tak tahan melihat wujudnya yang begitu menyeramkan itu. Sialnya, aku berpaling justru ke arah yang salah. Alhasil, meski aku bisa menghindari wajah busuk mengerikan itu, namun pemandangan yang tak kalah mengerikan segera menyambutku. Ada sosok sosok lain yang tak kalah mengerikan dari perempuan bergaun merqh itu. Puluhan makhluk kerdil mirip anak kecil dengan tubuh yang tak sempurna, nampak berkeliaran di tempat itu. Mereka seolah sedang memaksa orang orang yang melintas di jalanan agar singgah ke warung tersebut dengan berbagai cara. Dan seolah sadar kalau aku tengah melihat ke arah mereka, makhluk makhluk itu serempak menoleh ke arahku, juga sambil menyeringai lebar.
"As*!" Kembali aku memalingkan wajahku kedepan, dan..., "HUUAAAAHH...!!!" sontak aku terpekik, karena sosok perempuan berwajah busuk itu ternyata telah melayang mendekat ke arahku. Wajahnya yang begitu menyeramkan, kini hanya berjarak sepersekian inci dari wajahku, hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang berbau busuk menerpa wajahku.
Dengan tubuh gemetar, aku berusaha menjauh dari sosok itu. Namun apa daya, tubuh ini seolah terpaku, dan hanya mampu diam di tempat. Bahkan untuk sekedar menutup kelopak matakupun aku tak mampu.
"Ssssstttt...!!!" Sosok itu mendesis pelan. Wajah buruknya semakin ia dekatkan ke wajahku. Lalu sambil masih tetap menyeringai lebar, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu membisikkan kata kata yang mampu membuat bulu kudukku merinding seketika.
"Aku tau kau bisa melihatku! Tapi ingat, jika kauceritakan kehadiran kami di tempat ini kepada orang lain, kau akan celaka! Camkan itu!" Suara serak bernada kering melengking itu seolah menggema di gendang telingaku, membuat kepalaku seketika berdenyut hebat seolah hendak meledak.
"Khikhikhi...!!!" Sosok itu lalu melayang menjauh, sambil tertawa mengikik, sebelum akhirnya sosoknya mengabur dan lenyap dari pandanganku.
"Mas!"
"Huaahhh...!" Sontak aku terpekik saat merasakan tepukan keras di bahuku, yang disusul dengan seruan Slamet yang ternyata telah berdiri di belakangku.
"Sampeyan ini kenapa to? Kok malah bengong? Jadi makan ndak nih?" Seru Slamet.
"Eh, ndak papa Met! Kita makan di tempat lain saja, yuk" jawabku tergagap, sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru tempat parkir itu. Sosok sosok menyerupai anak kecil dengan tubuh tak sempurna yang tadi kulihat, kini juga telah lenyap entah kemana.
"Yo wis lah kalau memang mau sampeyan begitu. Tapi beneran ya, sampeyan yang bayarin. Aku lagi bokek soalnya," ujar Slamet.
"Lho, kalau lagi bokek kenapa tadi ngajak mampir kesini?" Tanyaku sambil berusaha menyelah motorku. Namun sial, beberapa kali mencoba motor tua ini tak kunjung mau menyala juga. Terpaksa, aku harus mendorongnya sampai keluar dari area parkiran, barulah motor itu mau menyala. Sial memang! Pasti ini ulah dari para dedhemit tadi.
"Lha kan ada sampeyan Mas. Masa iya sampeyan tega melihat anak buah kesayangan sampeyan ini sampai kelaparan," tanpa rasa bersalah Slamet menjawab, sambil menjajari laju motor tuaku.
Berdua, kami lalu melipir mencari tempat makan lain yang sekiranya tak terlalu ramai. Nasib baik, tak jauh dari warung soto itu ada warung mie ayam sederhana. Kesitulah kami akhirnya merapat. Sambil menunggu pesanan, aku dan Slamet kembali membahas soal tawaran Pak Prabowo tadi.
"Gimana Mas soal tawaran Pak Prabowo tadi? Kalau bisa sih, mikirnya jangan lama lama Mas. Aku lagi butuh duit soalnya," ujar Slamet memulai percakapan.
"Halah! Kamu kapan sih Met bilang nggak butuh duit? Butuh duit buat apa lagi? Buat ngelamar Cempluk? Sudah berapa kali kamu bilang kalau dapet duit mau cepet cepet melamar Cempluk? Tapi sampai sekarang nggak jadi jadi juga! Ingat Met, ndak baik mempermainkan perasaan anak gadis orang. Kalau kau memang serius, segeralah kauresmikan hubunganmu dengan si Cempluk itu. Kasihan dia kalau kelamaan menunggu," jawabku sok bijak.
"Hehehe..., ya habisnya gimana lagi Mas, tiap dapat duit pasti selalu saja ada kebutuhan, jadinya ya gitu deh. Lagipula kali ini bukan soal si Cempluk Mas, tapi aku beneran butuh duit buat simbok," ujar Slamet lagi. Kali ini nadanya sedikit serius.
"Lha, memangnya kenapa dengan simbokmu Met?" Tanyaku.
"Ya sampeyan kan tau sendiri, simbok itu sudah semakin tua. Sudah sering sakit sakitan. Yang encok lah, rematik lah, asam urat lah, bengek lah, wis, pokoknya banyak Mas. Harus sering sering periksa ke dokter. Harus rutin minum obat juga. Semua itu kan harus pake duit Mas. Sementara aku, sampeyan kan tau sendiri, kerjaanku ya kayak gini. Kadang ada kadang enggak. Sampeyan enak, biar ndak kerja tapi masih punya sawah dan ladang yang bisa diandelin. Lha aku, kalau ndak kerja ya ndak makan Mas. Mungkin, kalau proyek yang ditawarkan Pak Prabowo tadi gagal, aku mau nyusul Pak Jan saja ke Jakarta. Katanya disana ia dapat proyek gedhe," Slamet menjawab, kali ini dengan nada yang benar benar serius, membuat aku merasa ditampar karenanya.
Aku tau siapa Slamet. Meski sifatnya sedikit selenge'an, tapi sebagai tulang punggung keluarga, anak ini cukup paham akan rasa tanggung jawab. Hidup hanya berdua dengan simboknya yang sudah tua, praktis membuat Slamet menjadi harapan satu satunya bagi keluarga itu untuk bertahan hidup. Memang, simboknya juga punya warung kecil kecilan seperti Indri. Namun aku tau hasil dari warung itu juga ndak seberapa. Dan secara tidak langsung, selama ini Slamet juga bergantung kepadaku, karena hanya akulah yang mungkin bisa ia harapkan untuk memberinya pekerjaan.
"Lha, kalau kamu ke Jakarta, nanti siapa yang mengurus simbokmu Met?" Tanyaku lagi.
"Justru itu Mas yang jadi masalah. Makanya aku sangat berharap, proyek dari Pak Prabowo ini bisa gol. Kalau cuma di Jogja kan deket, berapa hari sekali aku bisa pulang buat nengokin simbok. Lha kalau aku ke Jakarta, belum tentu sebulan sekali bisa pulang. Itupun paling cuma habis di ongkos. Pusing aku Mas. Cari kerja yang deket deket sini juga ndak gampang. Harapanku satu satunya ya paling cuma sampeyan."
Kembali aku terdiam mendengar curhatan Slamet itu. Tak tega rasanya kalau aku membiarkan sahabat baikku ini sengsara hanya karena keegoisan pribadiku. Namun di lain pihak, aku juga tak bisa gegabah dalam mengambil keputusan, karena ini bukan hanya menyangkut keselamatan pribadiku, namun juga keluarga kecilku.
"Yach, coba lihat nanti saja lah Met. Beri aku waktu barang sehari atau dua hari untuk berpikir. Jangan buru buru nekat ke Jakarta dulu. Kasihan simbokmu Met," ujarku akhirnya.
"Iya. Beneran ya Mas, aku sangat berharap sama sampeyan lho."
Hufth, sepertinya masalahku semakin bertambah dengan curhatan Slamet itu. Ditambah, saat sampai dirumah, kudapati Mbak Ratih tengah asyik menemani Aish bermain. Ada Si Sri juga disitu. Namun sepertinya Mbak Ratih sama sekali tak menyadari keberadaan dhemit cilik misterius itu. Ini semakin menambah beban pikiranku. Kalau orang sekelas Mbak Ratih saja tak bisa mendeteksi kehadiran Sri, berarti benar apa yang dikatakan oleh Sirih Kuning tempo hari. Sri bukan makhluk sembarangan. Dan aku belum tau apakah ia benar benar baik, atau hanya pura pura baik kepada keluargaku.
Sepertinya, malam ini aku tak akan bisa beristirahat dengan tenang. Peringatan dari Met Bengkel, permintaan dari Pak Prabowo, curhatan Slamet, kehadiran Sri, serta rengekan Indri yang meminta motor baru, terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan, dan harus segera kucarikan jalan keluar. Itu jelas membuatku pusing tujuh keliling.
"Khikhikhi...!!!" Sosok itu menyeringai ke arahku, memamerkan bibirnya yang sangat lebar hingga nyaris menyentuh daun telinga, juga gigi geliginya yang runcing tajam berwarna kehitaman. Sementara kedua matanya yang melotot berwarna kemerahan menatap tajam ke arahku.
"Wedhus! Makhluk apa lagi ini," sontak aku berusaha memalingkan wajahku, karena tak tahan melihat wujudnya yang begitu menyeramkan itu. Sialnya, aku berpaling justru ke arah yang salah. Alhasil, meski aku bisa menghindari wajah busuk mengerikan itu, namun pemandangan yang tak kalah mengerikan segera menyambutku. Ada sosok sosok lain yang tak kalah mengerikan dari perempuan bergaun merqh itu. Puluhan makhluk kerdil mirip anak kecil dengan tubuh yang tak sempurna, nampak berkeliaran di tempat itu. Mereka seolah sedang memaksa orang orang yang melintas di jalanan agar singgah ke warung tersebut dengan berbagai cara. Dan seolah sadar kalau aku tengah melihat ke arah mereka, makhluk makhluk itu serempak menoleh ke arahku, juga sambil menyeringai lebar.
"As*!" Kembali aku memalingkan wajahku kedepan, dan..., "HUUAAAAHH...!!!" sontak aku terpekik, karena sosok perempuan berwajah busuk itu ternyata telah melayang mendekat ke arahku. Wajahnya yang begitu menyeramkan, kini hanya berjarak sepersekian inci dari wajahku, hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang berbau busuk menerpa wajahku.
Dengan tubuh gemetar, aku berusaha menjauh dari sosok itu. Namun apa daya, tubuh ini seolah terpaku, dan hanya mampu diam di tempat. Bahkan untuk sekedar menutup kelopak matakupun aku tak mampu.
"Ssssstttt...!!!" Sosok itu mendesis pelan. Wajah buruknya semakin ia dekatkan ke wajahku. Lalu sambil masih tetap menyeringai lebar, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu membisikkan kata kata yang mampu membuat bulu kudukku merinding seketika.
"Aku tau kau bisa melihatku! Tapi ingat, jika kauceritakan kehadiran kami di tempat ini kepada orang lain, kau akan celaka! Camkan itu!" Suara serak bernada kering melengking itu seolah menggema di gendang telingaku, membuat kepalaku seketika berdenyut hebat seolah hendak meledak.
"Khikhikhi...!!!" Sosok itu lalu melayang menjauh, sambil tertawa mengikik, sebelum akhirnya sosoknya mengabur dan lenyap dari pandanganku.
"Mas!"
"Huaahhh...!" Sontak aku terpekik saat merasakan tepukan keras di bahuku, yang disusul dengan seruan Slamet yang ternyata telah berdiri di belakangku.
"Sampeyan ini kenapa to? Kok malah bengong? Jadi makan ndak nih?" Seru Slamet.
"Eh, ndak papa Met! Kita makan di tempat lain saja, yuk" jawabku tergagap, sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru tempat parkir itu. Sosok sosok menyerupai anak kecil dengan tubuh tak sempurna yang tadi kulihat, kini juga telah lenyap entah kemana.
"Yo wis lah kalau memang mau sampeyan begitu. Tapi beneran ya, sampeyan yang bayarin. Aku lagi bokek soalnya," ujar Slamet.
"Lho, kalau lagi bokek kenapa tadi ngajak mampir kesini?" Tanyaku sambil berusaha menyelah motorku. Namun sial, beberapa kali mencoba motor tua ini tak kunjung mau menyala juga. Terpaksa, aku harus mendorongnya sampai keluar dari area parkiran, barulah motor itu mau menyala. Sial memang! Pasti ini ulah dari para dedhemit tadi.
"Lha kan ada sampeyan Mas. Masa iya sampeyan tega melihat anak buah kesayangan sampeyan ini sampai kelaparan," tanpa rasa bersalah Slamet menjawab, sambil menjajari laju motor tuaku.
Berdua, kami lalu melipir mencari tempat makan lain yang sekiranya tak terlalu ramai. Nasib baik, tak jauh dari warung soto itu ada warung mie ayam sederhana. Kesitulah kami akhirnya merapat. Sambil menunggu pesanan, aku dan Slamet kembali membahas soal tawaran Pak Prabowo tadi.
"Gimana Mas soal tawaran Pak Prabowo tadi? Kalau bisa sih, mikirnya jangan lama lama Mas. Aku lagi butuh duit soalnya," ujar Slamet memulai percakapan.
"Halah! Kamu kapan sih Met bilang nggak butuh duit? Butuh duit buat apa lagi? Buat ngelamar Cempluk? Sudah berapa kali kamu bilang kalau dapet duit mau cepet cepet melamar Cempluk? Tapi sampai sekarang nggak jadi jadi juga! Ingat Met, ndak baik mempermainkan perasaan anak gadis orang. Kalau kau memang serius, segeralah kauresmikan hubunganmu dengan si Cempluk itu. Kasihan dia kalau kelamaan menunggu," jawabku sok bijak.
"Hehehe..., ya habisnya gimana lagi Mas, tiap dapat duit pasti selalu saja ada kebutuhan, jadinya ya gitu deh. Lagipula kali ini bukan soal si Cempluk Mas, tapi aku beneran butuh duit buat simbok," ujar Slamet lagi. Kali ini nadanya sedikit serius.
"Lha, memangnya kenapa dengan simbokmu Met?" Tanyaku.
"Ya sampeyan kan tau sendiri, simbok itu sudah semakin tua. Sudah sering sakit sakitan. Yang encok lah, rematik lah, asam urat lah, bengek lah, wis, pokoknya banyak Mas. Harus sering sering periksa ke dokter. Harus rutin minum obat juga. Semua itu kan harus pake duit Mas. Sementara aku, sampeyan kan tau sendiri, kerjaanku ya kayak gini. Kadang ada kadang enggak. Sampeyan enak, biar ndak kerja tapi masih punya sawah dan ladang yang bisa diandelin. Lha aku, kalau ndak kerja ya ndak makan Mas. Mungkin, kalau proyek yang ditawarkan Pak Prabowo tadi gagal, aku mau nyusul Pak Jan saja ke Jakarta. Katanya disana ia dapat proyek gedhe," Slamet menjawab, kali ini dengan nada yang benar benar serius, membuat aku merasa ditampar karenanya.
Aku tau siapa Slamet. Meski sifatnya sedikit selenge'an, tapi sebagai tulang punggung keluarga, anak ini cukup paham akan rasa tanggung jawab. Hidup hanya berdua dengan simboknya yang sudah tua, praktis membuat Slamet menjadi harapan satu satunya bagi keluarga itu untuk bertahan hidup. Memang, simboknya juga punya warung kecil kecilan seperti Indri. Namun aku tau hasil dari warung itu juga ndak seberapa. Dan secara tidak langsung, selama ini Slamet juga bergantung kepadaku, karena hanya akulah yang mungkin bisa ia harapkan untuk memberinya pekerjaan.
"Lha, kalau kamu ke Jakarta, nanti siapa yang mengurus simbokmu Met?" Tanyaku lagi.
"Justru itu Mas yang jadi masalah. Makanya aku sangat berharap, proyek dari Pak Prabowo ini bisa gol. Kalau cuma di Jogja kan deket, berapa hari sekali aku bisa pulang buat nengokin simbok. Lha kalau aku ke Jakarta, belum tentu sebulan sekali bisa pulang. Itupun paling cuma habis di ongkos. Pusing aku Mas. Cari kerja yang deket deket sini juga ndak gampang. Harapanku satu satunya ya paling cuma sampeyan."
Kembali aku terdiam mendengar curhatan Slamet itu. Tak tega rasanya kalau aku membiarkan sahabat baikku ini sengsara hanya karena keegoisan pribadiku. Namun di lain pihak, aku juga tak bisa gegabah dalam mengambil keputusan, karena ini bukan hanya menyangkut keselamatan pribadiku, namun juga keluarga kecilku.
"Yach, coba lihat nanti saja lah Met. Beri aku waktu barang sehari atau dua hari untuk berpikir. Jangan buru buru nekat ke Jakarta dulu. Kasihan simbokmu Met," ujarku akhirnya.
"Iya. Beneran ya Mas, aku sangat berharap sama sampeyan lho."
Hufth, sepertinya masalahku semakin bertambah dengan curhatan Slamet itu. Ditambah, saat sampai dirumah, kudapati Mbak Ratih tengah asyik menemani Aish bermain. Ada Si Sri juga disitu. Namun sepertinya Mbak Ratih sama sekali tak menyadari keberadaan dhemit cilik misterius itu. Ini semakin menambah beban pikiranku. Kalau orang sekelas Mbak Ratih saja tak bisa mendeteksi kehadiran Sri, berarti benar apa yang dikatakan oleh Sirih Kuning tempo hari. Sri bukan makhluk sembarangan. Dan aku belum tau apakah ia benar benar baik, atau hanya pura pura baik kepada keluargaku.
Sepertinya, malam ini aku tak akan bisa beristirahat dengan tenang. Peringatan dari Met Bengkel, permintaan dari Pak Prabowo, curhatan Slamet, kehadiran Sri, serta rengekan Indri yang meminta motor baru, terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan, dan harus segera kucarikan jalan keluar. Itu jelas membuatku pusing tujuh keliling.
Bersambung
Diubah oleh indrag057 18-04-2023 23:00
kerjasamakam161 dan 53 lainnya memberi reputasi
54
Tutup