- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![agamz1217](https://s.kaskus.id/user/avatar/2018/12/12/default.png)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
bg3873nh dan 204 lainnya memberi reputasi
201
285.1K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#337
#34 - He is a maze with no escape
Spoiler for #34 - He is a maze with no escape:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412094021.jpg)
“Yaudah tunggu disini. Jangan pergi dulu. Awas lo..”Gua memberi ancaman, lalu sambil tertatih masuk ke dalam rumah. Sebotol penuh air dan dua batang coklat dalam pelukan, gua kembali ke luar. Terlihat Jeje tengah berdiri sambil bersandar pada dinding pagar.
“Nih…” Gua menyerahkan botol berisi minuman dan dua batang coklat kepadanya.
“Buat gua?”
“Iya. Botolnya jangan diilangin ya.. Terus kalo laper, coklatnya makan. Itu gue kasih dua, satu buat lo, satu buat Reni. Jangan kasih Reni dua-duanya. Lo ngangkat-ngangkat juga butuh kalori…” Ucap gua mrepet.
Gua lantas mengeluarkan buku dan pulpen dari dalam tas. Merobek kertas dan mulai menulis nomor telepon rumah gua lalu menyelipkan sobekan kertas tersebut di saku celananya. “Itu nomer telepon gue. Kalo ada apa-apa kasih tau gue..”
“Kalo ada apa-apa tuh maksudnya gimana?” Tanyanya.
“Misalnya lo nggak masuk sekolah, sakit, bolos, meriang, atau apalah… Pokoknya kasih tau gue…” Gua bicara.
“Oh..”
“Pokoknya gue nggak mau lo tiba-tiba ilang dan nggak ada kabar, kayak kemaren..”
“Gua kan nggak ilang” Jeje membantah.
“Iya tapi gue nggak tau kabar lo…”
“...”
“.. Gue kan khawatir…” Gua menambahkan dengan suara lebih lirih sambil menundukkan kepala.
“Oh.. yaudah, thank you ya…” Ucapnya, kemudian pergi.
Gua berdiri, menatapnya pergi menjauh. Sesaat, gua baru tersadar, kalau tadi gua sama sekali nggak memberi tahu lokasi rumah gua. Dan ia bisa mengantarkan gua hingga kesini. Gua lalu teringat akan ucapannya dulu; ‘Rumah lo yang deket lapangan kan?’
‘Ah, gue lupa mau nanya itu’ batin gua berteriak dalam hati.
Suci berlari masuk ke dalam kelas dan langsung menuju ke meja gua. Sambil mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal, ia bicara; “Hhh… Din..”
“Apaan? Kayak abis ngeliat setan lo?”
“Jeje..”
Gua kembali meletakkan buku, begitu Suci menyebut nama Jeje; “Kenapa?”
“Jeje berantem…”
“Hah, sama siapa?” Tanya gua, kemudian berdiri.
“Nggak tau, tuh rame di depan gerbang…” Jawab Suci, seraya menunjuk ke arah lantai bawah. Gua bergegas keluar dari kelas, dan berlari turun ke bawah, menuju ke gerbang sekolah.
Sekitar gerbang sekolah sudah terlihat ramai. Beberapa siswa berkerumun, sementara seorang satpam dan salah satu guru terlihat mencoba mengurai keributan. Sekuat tenaga gua mendorong, menelusup masuk kerumunan dan mendapati Jeje tengah terduduk, sementara Rohman di sebelahnya tengah memegangi bagian punggung Jeje.
Gua menghampiri keduanya.
“Kenapa Je?” Tanya gua, lalu pindah posisi kebelakangnya. Terlihat sebuah pisau dapur tertancap di punggung Jeje yang kini masih mengeluarkan darah. Sementara Rohman mencoba menahan pisau tersebut tengah handuk kecil miliknya.
“Astaga!” Gua berseru seraya menutup mulut dengan kedua tangan.
“Ke rumah sakit man” Teriak gua, kemudian menepuk pundaknya.
“Taksi dong, please taksi dong…” Gua kembali berseru. Entah ke siapa, berharap siapapun yang berada di kerumunan mendengar dan membantu mencarikan taksi.
Nggak seberapa lama, sebuah taksi menepi dekat gerbang sekolah. Rupanya salah seorang siswa cepat tanggap dan langsung berlari mencari taksi.
Rohman membantu Jeje masuk ke dalam taksi melalui pintu penumpang bagian belakang. Sementara, gua masuk melalui pintu penumpang depan.
“Kenapa sih man?” Tanya gua begitu kami berdua sudah di dalam taksi menuju ke rumah sakit.
“Duh, ntar deh gua ceritain” Jawab Rohman.
Begitu tiba di rumah sakit, Jeje langsung mendapatkan perawatan. Dengan uang seadanya di dompet, gua membayar administrasi dan menjanjikan pelunasannya akan gua bayar sebelum Jeje pulang.
Gua duduk di sebelah Rohman, sementara Jeje tengah mendapat jahitan di punggungnya. “Ada apaan sih Man?” Tanya gua.
Rohman lalu mulai bercerita. Tentang gerombolan siswa dari sekolah lain yang tiba-tiba datang menyerbu. Jeje apes, berada di waktu dan tempat yang salah, tanpa peringatan seorang siswa dari sekolah lain memukul bagian kepalanya dengan batu.
Merasa nggak terima, Jeje lalu mengejar siswa yang menusuknya. Tiba-tiba, salah satu rekan pelaku menikam punggungnya dengan pisau dapur dari arah belakang. Jeje sempat roboh sesaat, namun kembali bangkit dan terus mengejar gerombolan pelaku. Rohman yang kala itu kebetulan baru saja tiba, dan melihatnya langsung bergabung dengan Jeje mengejar si pelaku. Namun, ditengah pengejaran, Jeje roboh.
“Duh.. lagian ngapain dikejar sih?” Gua menggumam pelan, menyesali sikap Jeje. Seandainya saat itu dia langsung dibawa ke rumah sakit, pasti kondisinya nggak bakal gawat.
“Tenang aja Din. Ntar gua cari tuh orang sampe ketemu.. Gua congkel biji matanya…” Ancam Rohman sambil mengepalkan tangannya.
“Yee, yang ada ntar lo di bui…” Jawab gua seraya menepuk kepalanya.
“Ah bodo!”
“Eh, Man.. lo tunggu sini dulu ya. Gue mau ambil duit dulu di rumah, soalnya tadi bayarnya masih kurang” Ucap gua.
“Kurang berapa emang?” Tanya Rohman.
Gua lantas mengeluarkan kertas berisi bukti pembayaran, melihat ke bagian bawah kertas yang menunjukkan sisa uang yang harus dibayar; 45.000.
“Empat lima…” Jawab gua.
“Pake duit gua aja nih…” Ucap Rohman, lalu mengeluarkan uang dari dalam amplop di tasnya.
“Duit apaan tuh?” Tanya gua, curiga.
“Duit buat beli LKS.. Tapi gapapa pake aja dulu. Ntar gampang gua cari lagi…”
Gua meraih uang pemberiannya dan kembali ke bagian administrasi untuk melunasi sisa pembayaran.
Begitu semua urusan administrasi sudah selesai, gua dan Rohman menghampiri Jeje yang kini terlihat duduk di ranjang dalam bangsal UGD. Ia menatap kemeja seragamnya yang robek dan penuh darah.
Sambil mengepalkan tangan, gua mempercepat langkah ke arahnya, lalu melayangkan pukulan tepat di bahu depannya. “Bego.. Bego.. Bego.. Ngapain lo kejar? kalo lo nggak ngejar kan lo nggak ditusuk? Hah? nggak mikir? Otak lo kemana?”
“Ya refleks aja…” Jeje menjawab pelan. Ia lalu berpaling ke Rohman dan menyerahkan kemejanya.
“Man, masih bisa dijahit nggak?” Tanyanya ke Rohman.
Gua meraih kemeja seragam miliknya dan membuangnya ke tempat sampah. “Kayak gini aja lo masih mikirin seragam. Besok gue beliin. Pikirin dulu tuh luka lo!”
Jeje berdiri, berniat mengambil kembali seragam kemeja miliknya yang sudah gua buang ke tempat sampah di sudut ruangan.
“Duduk. Duduk nggak!” Seru gua sambil menunjuk ke arah ranjang. Jeje menghentikan langkahnya, kemudian kembali duduk di atas ranjang.
“Terus gua pulang gimana? telanjang?” Tanya Jeje pelan.
Gua lantas berpaling ke Rohman, menatap kemejanya. Menyadari arti dari tatapan gua, Rohman langsung memeluk dadanya dan menggelengkan kepala; “Nggak, nggak, masa gua yang telanjang?”
“Baju olahraga lo…” Ucap gua seraya menunjuk ke arah tasnya. Tadi, gua sempat melihat baju seragam olahraga milik Rohman saat ia mengeluarkan uang dari dalam tas.
“Ooiya…”
Karena sudah kehabisan uang untuk naik taksi, kami bertiga pulang dari rumah sakit dengan angkot. Itu pun Rohman minta gratis karena mereka berdua kenal dengan supir angkotnya. Sementara, gua dan Jeje langsung menuju ke rumah. Rohman mampir ke sekolah, gua meminta bantuannya untuk mengambil tas milik gua dan mengantarnya ke rumah Jeje.
“Besok lo nggak usah masuk sekolah dulu ya Je” Ucap gua seraya membantunya duduk di kursi ruang tamu di rumahnya.
“Iya, lagian mau masuk juga gua nggak ada seragam…” Jawabnya.
“Seragam mulu lo pikirin. Besok gue beliin… Terus nggak usah ke pasar dulu ya”
“Iya..”
Saat gua tengah memeriksa bekas lukanya, terlihat darah merembes melalui perban, mengenai seragam olahraga milik Rohman yang dipakainya.
“Yah Je, berdarah lagi…” Ucap gua pelan.
Dengan cepat, Jeje langsung melepas seragam olahraga yang ia kenakan, khawatir seragam olahraga milik Rohman terkena darah lebih banyak lagi.
Sebelumnya, gua pernah tanpa sengaja melihat tubuhnya. Kini, gua melihatnya lebih dekat, lebih jelas. Terdapat banyak bekas luka, di dadanya, di punggungnya, di bagian perut, di pinggang, sebagian besar terlihat seperti bekas luka sayatan. Sementara sisanya, seperti luka lama akibat memar yang membekas karena tak dirawat dengan baik.
Perlahan, gua menyentuh bekas luka di tubuhnya, merabanya dengan lembut; “Gue penasaran dengan betapa kerasnya hidup yang selama ini lo jalani” gua berbisik.
Jeje meraih tangan gua, lalu menjawab pelan; “Hidup sebenarnya gini-gini aja. Kalo kita merasa hidup ini keras, mungkin kita yang lembek”
“Oh ya?”
Gua lantas mulai mengganti perban yang menutup bekas luka tusukan di punggungnya dengan perban baru yang tadi sempat diberikan oleh seorang perawat.
Besoknya, gua sengaja membolos sekolah. Pergi ke pasar, membeli kemeja seragam baru untuk Jeje. Gua terkejut saat melihat Jeje berada di pasar, kami saling menatap, ia pun sama terkejutnya.
Dengan tatapan tajam, sambil berkacak pinggang gua berteriak sekuat tenaga; “Pulang!!”
Orang-orang yang berada di sekitar langsung berpaling dan menatap ke arah kami berdua. Jeje berbalik, lalu berjalan menuju ke arah rumah. Bergegas gua menyusul lalu meraih tangannya; “Mau kemana?”
“Tadi katanya suru pulang” Jawabnya pelan.
“Jalan?”
“Iya”
“Naik angkot aja” Ucap gua seraya menyodorkan plastik berisi kemeja seragam sekolah kepadanya. Tatapannya yang sebelumnya ia arahkan ke gua, kini berpaling ke bungkusan plastik. Ia meraih dan membukanya; “Seragam?”
“Iya…”
“Buat gua?”
“Bukan! ya buat elo lah…”
—
Besoknya, Jeje memaksa masuk ke sekolah. Ia sempat dipanggil oleh guru BK untuk menjelaskan apa yang terjadi tempo hari. Sementara, mulai beredar rumor di sekolah kalau Rohman tengah memburu orang yang menusuk Jeje.
Beberapa hari setelahnya, rumor semakin berkembang; “Bocah yang nusuk Jeje, matanya buta sebelah. Di congkel sama Rohman” kira-kira begitu isi gosip yang beredar di kalangan siswa.
Sepulang sekolah, gua dan Jeje menyempatkan diri berkunjung ke rumah Rohman untuk mengkonfirmasi rumor tersebut.
Nyokapnya Rohman tengah duduk di dipan bambu pelataran rumahnya, tangannya sibuk menampi beras di atas tampah.
Jeje mengucap salam, memperkenalkan gua dan duduk di atas dipan bambu yang sama.
“Oman kemana nggak masuk sekolah nyak?” Tanya Jeje
“Orang kata si Rohman dibawa sama polisi Je, ini sekarang Baba sama Abangnya lagi pada ngurusin” Jawab Nyak Embun, nyokapnya Rohman.
Gua terkejut begitu mendengar jawaban dari nyokapnya Rohman. Pertama, gua terkejut karena berarti rumor yang beredar itu ada benarnya. Kedua, gua cukup terkejut saat tau kok bisa-bisanya seorang ibu terlihat begitu santai saat anaknya dibawa polisi.
Di perjalanan pulang, gua membahas perihal keterkejutan tadi dengannya. Jeje hanya tersenyum dan menjawab pelan; “Bapaknya Rohman polisi”
“Hah?! Percuma dong gue khawatir…”
“Gua justru bukan khawatir sama Rohman..”
“Terus khawatir sama siapa?”
“Khawatir sama orang yang jadi korbannya Rohman lah…”
Lusa, Rohman sudah tak lagi terlihat di sekolah. Rumor sudah berubah menjadi fakta, dan walaupun nggak sampai masuk bui, karena harus berurusan dengan pihak berwajib, Rohman dikeluarkan dari sekolah.
Menurut cerita Jeje, Rohman kini enggan melanjutkan sekolah. Ia menghabiskan waktu dengan bekerja membantu pamannya berjualan di pasar. Dan kini Jeje, punya stok kemeja seragam sekolah yang berlimpah; dari yang gua belikan dan limpahan kemeja seragam dari Rohman.
Sementara, hubungan gua dengan Jeje semakin ‘dekat’. Walau tak pernah secara eksplisit membalas pernyataan cinta gua, perlakuannya selama ini sudah menggambarkan rasa ‘cintanya’ ke gua.
Jeje nggak pernah sekalipun berlaku romantis. Ia nggak pernah bilang ‘sayang’, juga nggak pernah sekalipun mengajak gua pergi ke bioskop untuk menonton film apalagi makan malam di restoran. Jeje nggak pernah memberikan bunga, nggak pernah menelpon hanya untuk sekedar mengucapkan selamat malam. Tapi, entah kenapa gua sangat fine-fine saja dengan segalanya.
Ia mengungkapkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda. Atau mungkin hanya itu cara yang ia tahu.
Setiap kami berjalan bersama, Jeje nggak pernah sekalipun membiarkan gua berada di sisi terluar jalan. Tanpa bicara, ia bakal berpindah, menggantikan posisi gua di sisi terluar jalan.
Pernah suatu ketika, gua nyaris pingsan karena kelelahan saat tengah upacara bendera. Saat itu, mata terasa kunang-kunang; pusing, kedua lutut lemas serasa tak bertulang. Beruntung ada Suci yang dengan sigap menahan tubuh gua agar tak terjatuh. Semenjak saat itu, tanpa gua sadari, Jeje selalu berdiri di belakang gua saat upacara bendera. Saat gua mulai terlihat kelelahan, ia bakal maju, memiringkan badannya dan mulai menahan tubuh gua dengan bahunya.
Saat malam minggu, kala pasangan-pasangan lain bersiap untuk pergi keluar, menonton film atau sekedar makan bersama. Gua hanya menghabiskan waktu untuk membaca sambil mendengarkan lagu. Sementara, Jeje biasanya sibuk menjadi juru parkir di pasar.
Minggu sore, barulah kami bertemu; Bertiga. Iya bertiga, gua, Jeje dan Reni. Kami biasanya duduk-duduk di tepi lapangan sepak bola, menonton pertandingan sambil ngobrol, dan membiarkan Reni berlarian kesana kemari di tepi lapangan. Sesekali ia membelikan gua es cincau atau sekedar tahu goreng. Terdengar sederhana bukan? iya memang sederhana bahkan sedikit memprihatinkan. Tapi, kok gua rasanya bahagia luar biasa ya? aneh.
“Pacar?” Tanya Mamak sambil mengintip dari jendela, setelah Jeje dan Reni mengantarkan gua pulang.
“Iya” Jawab gua penuh kebanggaan.
“Siapa namanya?”
“Jeje..”
“Batak?”
“Bukaan..”
“Terus itu siapa?” Tanya mamak lagi seraya menunjuk ke arah Reni.
“Adiknya; Reni…”
“Ooh.. Kenapa tak kau ajak masuk?”
“Dia nggak mau”
“Kenapa?”
“Tak tahulah aku..”
Tiba-tiba kepala terasa pusing, mata kunang-kunang dan pandangan mulai kabur. Sementara rasa sakit luar biasa terasa di bagian pinggang belakang. Gua mencoba bertahan dengan berpegangan pada dinding, namun pada akhirnya ambruk dan gelap.
Tangan gua terasa hangat. Saat membuka mata, Bapak dan Mamak sudah duduk di sebelah sambil menggenggam kedua tangan. Selang infus menempel pada lengan, seorang perawat terlihat tengah mengecek sisa cairan infus sambil mencatat.
Saat itu juga gua menyadari kalau kini kami tengah berada di rumah sakit. Tak ada kata-kata yang diucapkan oleh Bapak dan Mamak. Mereka berdua hanya menangis.
—
![](https://img.youtube.com/vi/xqds0B_meys/0.jpg)
Three Days Grace - Animal I Have Become
I can't escape this hell
So many times I've tried
But I'm still caged inside
Somebody get me through this nightmare
I can't control myself
So what if you can see the darkest side of me?
No one will ever change this animal I have become
Help me believe it's not the real me
Somebody help me tame this animal
(This animal, this animal)
I can't escape myself
(I can't escape myself)
So many times I've lied
(So many times I've lied)
But there's still rage inside
Somebody get me through this nightmare
I can't control myself
So what if you can see the darkest side of me?
No one will ever change this animal I have become
Help me believe it's not the real me
Somebody help me tame this animal I have become
Help me believe it's not the real me
Somebody help me tame this animal
Somebody help me through this nightmare
I can't control myself
Somebody wake me from this nightmare
I can't escape this hell
(This animal
This animal
This animal
This animal
This animal
This animal
This animal)
So what if you can see the darkest side of me?
No one will ever change this animal I have become
Help me believe it's not the real me
Somebody help me tame this animal I have become
Help me believe it's not the real me
Somebody help me tame this animal
(This animal I have become)
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![wadepakmann](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/07/09/default.png)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
jiyanq dan 67 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup