- Beranda
- Stories from the Heart
KELOPAK BUNGA ANGGREK
...
TS
beavermoon
KELOPAK BUNGA ANGGREK

Halo semuanya.
Beavermoon kembali hadir dengan cerita terbaru, dan kali ini kita akan mengusung tema detektif.
Kenapa tema detektif? Karena sebenarnya cerita ini berawal dari cerita pendek yang dibuat untuk perlombaan. Berhubung terbatasnya jumlah kata saat itu, akhirnya dibuatlah versi lengkapnya yang baru selesai beberapa bulan lalu.
Kenapa tidak buat cerita romantis lagi? Kehabisan ide, atau bisa dibilang butuh waktu untuk mengistirahatkan diri dari romansa-romansa yang sudah semakin banyak.
Apa tidak akan membuat cerita romantis lagi? Masih dalam pembuatan.
Jika ada dari suhu-suhu sekalian yang belum sempat membaca karya-karya Beavermoon sebelumnya, bisa langsung ke TKP :
Semoga suhu-suhu terhibur dengan cerita tema detektif perdana dari Beavermoon.
Salam Lemon.
Spoiler for Ringkasan:
Kasus pembunuhan kembali terjadi setelah sekian lama. Ali dan Damar, yang bekerja sebagai detektif pun mulai memecahkan kasus yang ada. Sayangnya, belum selesai dengan satu kasus, muncul kasus lain yang semakin memperkeruh keadaan.
Teringat akan satu kasus beberapa tahun silam, dimana sang pembunuh memiliki pola yang terstruktur hingga sulit untuk dipecahkan. Ali dan Damar menjadikan laporan kasus itu sebagai alat bantu untuk mencari, siapa pembunuh yang kembali beraksi. Dugaan demi dugaan terus bermunculan, mulai dari orang yang belum pernah mereka temui, hingga orang-orang terdekat.
Lalu, siapakah pembunuh kali ini?
Spoiler for Episode:
1. Kasus Lama yang Terulang. (Part 1)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
2. Kasus Lama yang Terulang. (Part 2)
3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1)
4. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 2)
5. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 1)
6. Terbang Terlalu Tinggi, Namun Jatuh Dengan Keras. (Part 2)
7. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 1)
8. Setitik Lentera dari Gelap Gulita. (Part 2)
9. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 1)
10. Lentera Lain di Gelap Berbeda. (Part 2)
11. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 1)
12. Kejutan Demi Kejutan pun Berdatangan. (Part 2)
13. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 1)
14. Lalu, Siapakah Pelakunya? (Part 2)
15. Kebetulan? (Part 1)
16. Kebetulan? (Part 2)
17. Semakin Dekat? (Part 1)
18. Semakin Dekat? (Part 2)
19. Hilangnya Penunjuk Arah.
20. Lembaran Baru dengan Cerita yang Sama.
21. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 1)(FINALE)
22. Upaya Terakhir yang Membuahkan Hasil. (Part 2) (FINALE)
Diubah oleh beavermoon 20-05-2023 18:38
sukhhoi dan 2 lainnya memberi reputasi
3
3.4K
Kutip
35
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#4
Spoiler for 3. Sudah Menemukan Petunjuk? (Part 1):
Esok pun datang, entah dengan membawa kabar apa. Damar sedang membereskan barang-barangnya ke dalam tas, sementara Sasa sedang bercermin seraya mengenakan anting di telinganya.
“Kamu mau bareng?” Tanya Sasa.
“Boleh, ke rumah Ali aja.” Jawabnya.
“Oke.” Sahut Sasa.
Mereka bersamaan keluar dari dalam kamar lalu berjalan menuju halaman depan. Sasa sempat mengunci pintu terlebih dahulu, kemudian mereka berjalan bersama menuju mobil terparkir di tepi jalan.
TIN!Suara klakson mobil yang menepi berhasil mendapatkan perhatian mereka. Kaca jendela kemudi terbuka, Ali melambaikan tangan ke arah mereka.
“Selamat pagi Sasa.” Sapanya.
“Eh, pagi Bang Ali.” Jawabnya.
“Udah lama nih kita ngga berbincang. Selesai dari acara peragaan busana, kita ngobrol-ngobrol, nanti gue ajak Anggi juga.” Ucap Ali.
“Boleh Bang.” Jawabnya singkat.
“Ayo Mar, kita harus ke Rumah Sakit buat cek hasil otopsi kemarin.” Ajak Ali.
Damar menatap Sasa.
“Aku langsung sama Ali ya, kamu hati-hati di jalan.” Ucapnya.
Sasa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, Damar pun mencium keningnya sebelum akhirnya ia beranjak untuk masuk ke dalam mobil Ali. Mobil pun melaju meninggalkan Sasa yang melambaikan tangan ke arah mereka pada pagi hari ini.
Perjalanan terlihat lebih ramai dari biasanya, hingga membuat Ali mengemudikan mobilnya dengan kecepatan pelan. Ia mengambil bungkus rokok dari saku kemejanya lalu menyalakan satu batang, Damar pun membuka kaca jendela dan ikut menyalakan sebatang rokok.
“Eh iya...”
Damar merogoh saku celananya untuk mengambil tiket, ia meletakkan tiket itu di spidometer mobil Ali.
“...tiket dari Sasa buat lo sama Anggi.” Ucap Damar.
“Yah, ngga tau gue. Kalau gitu tadi gue bilang makasih sama Sasa. Nanti bilang sama dia ya, Anggi pasti seneng banget bisa dateng ke sana lagi.” Sahut Ali.
“Santai aja...” Damar menghisap rokoknya, “eh iya, menurut lo apa kasus ini sama kayak Payung Kuning?”
“Maksudnya sama gimana?” Tanya Ali.
“Tanpa motif.” Jawab Damar singkat.
Ali menghela nafas, “Gue ngga tau sih ada motif apa ngga. Semisal ngga ada, kayaknya keadaan balik lagi ke beberapa tahun lalu. Banyak pelaku yang cuma mau nunjukin dirinya aja, pilih korban secara acak, dan bisa mengada-ada kayak Leo juga.”
“Bener juga sih, tapi gue kok ngerasa kayaknya ini ngga ada motifnya juga, sama kayak kasusnya Leo.” Sahut Damar.
“Sekilas emang begitu. Gue cuma berdoa semoga hasil otopsi hari ini ada racun di tubuh korban. Kalau sampai ngga ada, berarti ada Leo lain yang muncul.” Jelas Ali.
Damar mengangguk setuju. Perjalanan pun berakhir ketika mobil masuk ke dalam area Rumah Sakit yang sudah ramai oleh wartawan.
“Astaga.” Sahut Damar.
“Pasang badan ya.” Ucap Ali.
Setelah memarkirkan mobil, Ali dan Damar mencoba untuk menerobos masuk ke dalam ruang otopsi melewati banyaknya wartawan yang penasaran dengan hasilnya. Mereka pun berhasil masuk setelah dibantu oleh beberapa anggota kepolisian, di dalam sudah ada Kania dan juga Agung yang sedang menunggu mereka.
“Selamat pagi.” Ucap Ali.
Damar tersenyum ke arah mereka.
“Pagi Pak, bisa kita mulai sekarang aja Pak?” Tanya Kania.
“Bisa, ayo kita masuk.” Jawab Agung.
Mereka masuk ke dalam ruangan di mana mayat korban terbaring dengan perut yang sudah terbuka. Kania mengambil posisi di depan kepala korban, sementara mereka berada di sisi tubuh korban.
“Selamat pagi semuanya. Hari ini saya akan mengumumkan hasil otopsi yang sudah dilakukan kemarin terkait korban pembunuhan. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada racun di dalam tubuh korban...”
Ali memejamkan matanya dengan ekspresi kecewa, sementara Damar hanya bisa menghela nafasnya.
“...penemuan lain kami temukan dengan adanya luka sayatan yang tersembunyi di sisi kiri tubuh korban...”
Dua dokter lainnya memiringkan tubuh korban ke arah kanan. Kania menunjuk ke arah sebuah sayatan yang ada di bagian perut.
“...dimana bekas sayatan itu disembunyikan menggunakan lilin hingga berhasil menyerupai tekstur kulit aslinya. Bersamaan dengan itu pula, kami mengidentifikasi bahwa organ ginjal korban sudah tidak ada...”
Salah satu dokter memberikan hasil foto kepada mereka, di mana benar saja, sudah tidak ada organ ginjal di tubuh korban seperti penjelasan Kania.
“...hasil penelitian sementara, korban dibiarkan kehabisan darah dari luka di sisi kiri, kemudian tangan pelaku masuk dan mengambil ginjal korban. Luka sayatan pun ia tutup dengan benang jahit lalu dilapisi dengan lilin.” Jelas Kania.
“Apa ada indikasi pemaksaan?” Tanya Agung.
“Saya ragu untuk menjawab itu, karena tidak ada bekas ikatan atau sesuatu yang menahan korban. Tidak ada pula indikasi benda tumpul untuk melumpuhkan korban.” Jawab Kania.
“Kalau alat yang digunakan?” Tanya Damar.
“Kali ini menggunakan pisau yang lebih besar ukurannya, dilihat dari sisa bentuk daging yang sepertinya menggunakan pisau bergerigi.” Jawab Kania.
“Gimana soal jahitannya?” Tanya Ali.
Kania menghela nafas, “Benang yang digunakan sama persis dengan benang yang ada di wajah korban, menggunakan benang jahit yang biasanya digunakan untuk pakaian.”
“Sama persis?” Tanya Ali lagi.
Kania meminta dokter yang lain membawakan jenis benang jahit yang sudah mereka lepas dari tubuh korban, kemudian ia memberikan benang tersebut kepada mereka.
“Saya ragu untuk menjawabnya, mungkin kalian bisa mengidentifikasi dengan orang yang tepat.” Jawab Kania.
Damar menerima benang jahit yang sudah dimasukkan ke dalam plastik bening, ia dan Ali sempat melihat ke arah plastik tersebut sebelum diserahkan kepada Agung.
“Kalian bisa investigasi benang ini?” Tanya Agung.
“Bisa Pak, ada sumber kami yang ahli dibidang ini.” Jawab Ali.
“Baiklah...” Agung menyerahkan plastik itu, “saya tunggu hasilnya dari kalian.”
Damar kembali menerima plastik itu lalu dimasukkan ke dalam saku celananya, Ali mendekat ke arah tubuh korban untuk kembali membandingkan hasil luka yang ada di foto dengan apa yang ada di hadapannya.
“Kalau begitu, kita bisa konferensi pers sekarang?” Tanya Agung.
“Bisa Pak.” Jawab Kania.
Damar dan Ali pun mengangguk setuju. Akhirnya mereka keluar dari ruangan lalu disambut dengan banyaknya wartawan yang sudah memenuhi Rumah Sakit. Beberapa orang dari pihak kepolisian memaksa wartawan untuk memberikan ruang sebelum konferensi pers dilakukan.
“Baik, rekan-rekan wartawan sekalian. Selamat pagi, saya akan memberikan hasil otopsi yang sudah dilakukan di Rumah Sakit, yang dipimpin oleh dokter Kania. Hasil otopsi menunjukkan bahwa...”
Damar melihat ke arah Agung yang sedang memberikan informasi kepada wartawan, sesekali ia melihat ke arah Kania yang berdiri di tengah, lalu menatap Ali yang memandang lurus ke arah wartawan. Ia sempat menghela nafasnya sebelum kembali menatap ke arah wartawan, hingga ia beradu pandang dengan seseorang yang tersenyum kepadanya. Damar menatap heran ke arah orang itu, lalu orang itu hilang di antara keramaian. Damar mencoba untuk terus mengikuti ke mana orang itu pergi lewat pandangannya, sayangnya usahanya gagal begitu saja.
Pertanyaan demi pertanyaan pun terlontar dari para wartawan, Agung dan Kania secara bergantian menjawab pertanyaan tersebut, hingga akhirnya konferensi pers berakhir.
“Pak, saya izin masuk ke dalam ruangan.” Ucap Kania.
“Baik, terima kasih ya dok.” Ucap Agung.
“Saya permisi ya.” Ucap Kania lagi.
“Terima kasih dok.” Ucap Damar.
Kania kembali masuk ke dalam ruangan sementara mereka bertiga berjalan menuju parkiran.
“Saya tunggu laporan kalian mengenai benang jahit itu. Saya harus ke Kantor Kepolisian Resor 1 untuk melapor terkait kasus ini.” Ucap Agung.
“Baik Pak, kami akan berikan informasi sesegera mungkin.” Jawab Ali.
Mereka pun berpisah di parkiran, Agung pergi dengan mobil dinas bersama ajudannya sementara Damar dan Ali masuk ke dalam mobil.
“Balik ke toko jahit?” Tanya Ali.
Damar mengangguk setuju, mobil pun meninggalkan Rumah Sakit pada siang hari ini. Beberapa menit berlalu, mobil kembali melewati tempat kejadian yang masih diberikan garis pembatas. Ali mengendarai mobilnya menuju toko jahit yang pernah mereka kunjungi.
Mobil pun menepi di depan toko tersebut, lalu mereka keluar dari dalam mobil. Dari luar mereka dapat melihat pemilik toko jahit sedang mengukur seorang pelanggan yang terlihat sedang memesan pakaian. Ali sempat menyalakan sebatang rokok sebelum ia menatap ke arah Damar.
“Kita masuk sekarang?” Tanya Ali.
“Yakin lo? Ada pelanggan.” Ucap Damar.
“Nunggu aja berarti?” Tanya Ali.
“Iya, bentar doang paling.” Jawab Damar.
Ali mengangguk setuju. Akhirnya mereka menunggu di depan mobil sambil menghisap rokok yang ada di tangan mereka masing-masing. Benar saja, belum satu batang habis, pelanggan itu keluar dari toko jahit bersama pemilik toko. Ia pun melihat ke arah mereka lalu memberikan isyarat untuk ikut masuk ke dalam. Ali dan Damar pun masuk ke dalam toko, mereka melihat ada catatan yang ditulis tangan oleh pemilik toko.
“Ada permintaan pakaian Pak?” Tanya Ali.
“Iya, langganan saya dari dulu. Kali ini dia minta dibikinkan pakaian untuk acara pernikahan teman lamanya, itu yang membuat pesanannya spesial.” Jawabnya.
“Saya sampai lupa kalau belum tau nama Bapak.” Ucap Ali.
“Oh ya? Saya belum memperkenalkan diri? Astaga...”
Damar hanya tersenyum menanggapi ucapannya.
“…maafkan saya ya. Kalau begitu, perkenalkan nama saya Candra. Ngomong-ngomong, gimana soal perkembangan kasus pembunuhan itu?” Ucap Candra.
“Itu tujuan kami ke sini Pak...”
Damar memberikan plastik berisi benang jahit kepada Candra.
“...perihal benda itu, apa dua benda itu berbeda atau sama ya Pak?” Tanya Damar.
Candra melihat dengan seksama, “Ini benang jahit yang sama, benang jahit yang biasa digunakan untuk gaun berbahan licin, sebutannya gaun-gaun pesta saat saya muda dulu. Benang jahit ini udah cukup ketinggalan zaman, karena mudah putus dan tajam.”
“Tajam?” Tanya Ali.
Candra mengangguk, “Benang ini punya karakteristik tajam dibandingkan benang lain. Peruntukan untuk gaun pesta harus menggunakan benang yang tajam supaya bahan kain tidak rusak ketika ditarik oleh benang. Kalau pakai benang getah, pasti kainnya akan rusak.”
“Apa mungkin bisa terluka sama benang ini Pak?” Tanya Damar.
"Sangat bisa. Dulu ramai berita soal penjahit yang terluka karena benang ini, makanya produksi pun dihentikan dan diganti dengan benang yang lebih aman namun tidak kalah tajamnya...” Candra mengembalikan plastik itu, “apa kasus kemarin menggunakan benang ini?”
Damar mengangguk, “Itulah alasan kami menemui Pak Candra hari ini setelah hasil otopsi dari Rumah Sakit diterbitkan.”
“Astaga...” Candra menghela nafas, “kok tega banget ya pelaku itu, tapi anehnya dia tau tentang jenis benang itu. Apa mungkin dia penjahit juga?”
“Alasan kami menghampiri Pak Candra di hari penemuan mayat karena itu. Kecil kemungkinan kalau pelaku bukan penjahit, karena bentuknya pun sangat rapi. Ditambah dengan pengetahuannya soal benang jahit yang sudah berhenti diproduksi, semakin menguatkan itu semua.” Jawab Ali.
“Ada kemungkinan juga kalau dia perancang busana...”
Ali dan Damar sempat beradu pandang.
“...karena sejatinya, perancang busana juga bisa menjahit, tapi tidak semua penjahit bisa merancang sebuah busana.” Jawab Candra.
“Perancang busana?” Tanya Damar.
Beberapa saat berlalu begitu saja. Damar dan Ali pun berpamitan pada Candra, mereka keluar dari toko bersamanya hingga di depan mobil.
“Kalau kalian butuh apa-apa, datang aja lagi. Saya siap untuk membantu.” Ucap Candra.
“Terima kasih banyak ya Pak.” Ucap Damar.
“Kami pamit ya Pak.” Sahut Ali.
Candra menganggukkan kepalanya. Ali dan Damar masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Candra yang melambaikan tangan kepada mereka. Mobil tak bergerak jauh, Ali kembali menghentikan mobil di tempat kejadian. Mereka kembali keluar dari dalam mobil lalu mendekat ke arah garis pembatas.
“Ke mana ya kita harus cari petunjuk?” Tanya Ali.
“Kamu mau bareng?” Tanya Sasa.
“Boleh, ke rumah Ali aja.” Jawabnya.
“Oke.” Sahut Sasa.
Mereka bersamaan keluar dari dalam kamar lalu berjalan menuju halaman depan. Sasa sempat mengunci pintu terlebih dahulu, kemudian mereka berjalan bersama menuju mobil terparkir di tepi jalan.
TIN!Suara klakson mobil yang menepi berhasil mendapatkan perhatian mereka. Kaca jendela kemudi terbuka, Ali melambaikan tangan ke arah mereka.
“Selamat pagi Sasa.” Sapanya.
“Eh, pagi Bang Ali.” Jawabnya.
“Udah lama nih kita ngga berbincang. Selesai dari acara peragaan busana, kita ngobrol-ngobrol, nanti gue ajak Anggi juga.” Ucap Ali.
“Boleh Bang.” Jawabnya singkat.
“Ayo Mar, kita harus ke Rumah Sakit buat cek hasil otopsi kemarin.” Ajak Ali.
Damar menatap Sasa.
“Aku langsung sama Ali ya, kamu hati-hati di jalan.” Ucapnya.
Sasa tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, Damar pun mencium keningnya sebelum akhirnya ia beranjak untuk masuk ke dalam mobil Ali. Mobil pun melaju meninggalkan Sasa yang melambaikan tangan ke arah mereka pada pagi hari ini.
Perjalanan terlihat lebih ramai dari biasanya, hingga membuat Ali mengemudikan mobilnya dengan kecepatan pelan. Ia mengambil bungkus rokok dari saku kemejanya lalu menyalakan satu batang, Damar pun membuka kaca jendela dan ikut menyalakan sebatang rokok.
“Eh iya...”
Damar merogoh saku celananya untuk mengambil tiket, ia meletakkan tiket itu di spidometer mobil Ali.
“...tiket dari Sasa buat lo sama Anggi.” Ucap Damar.
“Yah, ngga tau gue. Kalau gitu tadi gue bilang makasih sama Sasa. Nanti bilang sama dia ya, Anggi pasti seneng banget bisa dateng ke sana lagi.” Sahut Ali.
“Santai aja...” Damar menghisap rokoknya, “eh iya, menurut lo apa kasus ini sama kayak Payung Kuning?”
“Maksudnya sama gimana?” Tanya Ali.
“Tanpa motif.” Jawab Damar singkat.
Ali menghela nafas, “Gue ngga tau sih ada motif apa ngga. Semisal ngga ada, kayaknya keadaan balik lagi ke beberapa tahun lalu. Banyak pelaku yang cuma mau nunjukin dirinya aja, pilih korban secara acak, dan bisa mengada-ada kayak Leo juga.”
“Bener juga sih, tapi gue kok ngerasa kayaknya ini ngga ada motifnya juga, sama kayak kasusnya Leo.” Sahut Damar.
“Sekilas emang begitu. Gue cuma berdoa semoga hasil otopsi hari ini ada racun di tubuh korban. Kalau sampai ngga ada, berarti ada Leo lain yang muncul.” Jelas Ali.
Damar mengangguk setuju. Perjalanan pun berakhir ketika mobil masuk ke dalam area Rumah Sakit yang sudah ramai oleh wartawan.
“Astaga.” Sahut Damar.
“Pasang badan ya.” Ucap Ali.
Setelah memarkirkan mobil, Ali dan Damar mencoba untuk menerobos masuk ke dalam ruang otopsi melewati banyaknya wartawan yang penasaran dengan hasilnya. Mereka pun berhasil masuk setelah dibantu oleh beberapa anggota kepolisian, di dalam sudah ada Kania dan juga Agung yang sedang menunggu mereka.
“Selamat pagi.” Ucap Ali.
Damar tersenyum ke arah mereka.
“Pagi Pak, bisa kita mulai sekarang aja Pak?” Tanya Kania.
“Bisa, ayo kita masuk.” Jawab Agung.
Mereka masuk ke dalam ruangan di mana mayat korban terbaring dengan perut yang sudah terbuka. Kania mengambil posisi di depan kepala korban, sementara mereka berada di sisi tubuh korban.
“Selamat pagi semuanya. Hari ini saya akan mengumumkan hasil otopsi yang sudah dilakukan kemarin terkait korban pembunuhan. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada racun di dalam tubuh korban...”
Ali memejamkan matanya dengan ekspresi kecewa, sementara Damar hanya bisa menghela nafasnya.
“...penemuan lain kami temukan dengan adanya luka sayatan yang tersembunyi di sisi kiri tubuh korban...”
Dua dokter lainnya memiringkan tubuh korban ke arah kanan. Kania menunjuk ke arah sebuah sayatan yang ada di bagian perut.
“...dimana bekas sayatan itu disembunyikan menggunakan lilin hingga berhasil menyerupai tekstur kulit aslinya. Bersamaan dengan itu pula, kami mengidentifikasi bahwa organ ginjal korban sudah tidak ada...”
Salah satu dokter memberikan hasil foto kepada mereka, di mana benar saja, sudah tidak ada organ ginjal di tubuh korban seperti penjelasan Kania.
“...hasil penelitian sementara, korban dibiarkan kehabisan darah dari luka di sisi kiri, kemudian tangan pelaku masuk dan mengambil ginjal korban. Luka sayatan pun ia tutup dengan benang jahit lalu dilapisi dengan lilin.” Jelas Kania.
“Apa ada indikasi pemaksaan?” Tanya Agung.
“Saya ragu untuk menjawab itu, karena tidak ada bekas ikatan atau sesuatu yang menahan korban. Tidak ada pula indikasi benda tumpul untuk melumpuhkan korban.” Jawab Kania.
“Kalau alat yang digunakan?” Tanya Damar.
“Kali ini menggunakan pisau yang lebih besar ukurannya, dilihat dari sisa bentuk daging yang sepertinya menggunakan pisau bergerigi.” Jawab Kania.
“Gimana soal jahitannya?” Tanya Ali.
Kania menghela nafas, “Benang yang digunakan sama persis dengan benang yang ada di wajah korban, menggunakan benang jahit yang biasanya digunakan untuk pakaian.”
“Sama persis?” Tanya Ali lagi.
Kania meminta dokter yang lain membawakan jenis benang jahit yang sudah mereka lepas dari tubuh korban, kemudian ia memberikan benang tersebut kepada mereka.
“Saya ragu untuk menjawabnya, mungkin kalian bisa mengidentifikasi dengan orang yang tepat.” Jawab Kania.
Damar menerima benang jahit yang sudah dimasukkan ke dalam plastik bening, ia dan Ali sempat melihat ke arah plastik tersebut sebelum diserahkan kepada Agung.
“Kalian bisa investigasi benang ini?” Tanya Agung.
“Bisa Pak, ada sumber kami yang ahli dibidang ini.” Jawab Ali.
“Baiklah...” Agung menyerahkan plastik itu, “saya tunggu hasilnya dari kalian.”
Damar kembali menerima plastik itu lalu dimasukkan ke dalam saku celananya, Ali mendekat ke arah tubuh korban untuk kembali membandingkan hasil luka yang ada di foto dengan apa yang ada di hadapannya.
“Kalau begitu, kita bisa konferensi pers sekarang?” Tanya Agung.
“Bisa Pak.” Jawab Kania.
Damar dan Ali pun mengangguk setuju. Akhirnya mereka keluar dari ruangan lalu disambut dengan banyaknya wartawan yang sudah memenuhi Rumah Sakit. Beberapa orang dari pihak kepolisian memaksa wartawan untuk memberikan ruang sebelum konferensi pers dilakukan.
“Baik, rekan-rekan wartawan sekalian. Selamat pagi, saya akan memberikan hasil otopsi yang sudah dilakukan di Rumah Sakit, yang dipimpin oleh dokter Kania. Hasil otopsi menunjukkan bahwa...”
Damar melihat ke arah Agung yang sedang memberikan informasi kepada wartawan, sesekali ia melihat ke arah Kania yang berdiri di tengah, lalu menatap Ali yang memandang lurus ke arah wartawan. Ia sempat menghela nafasnya sebelum kembali menatap ke arah wartawan, hingga ia beradu pandang dengan seseorang yang tersenyum kepadanya. Damar menatap heran ke arah orang itu, lalu orang itu hilang di antara keramaian. Damar mencoba untuk terus mengikuti ke mana orang itu pergi lewat pandangannya, sayangnya usahanya gagal begitu saja.
Pertanyaan demi pertanyaan pun terlontar dari para wartawan, Agung dan Kania secara bergantian menjawab pertanyaan tersebut, hingga akhirnya konferensi pers berakhir.
“Pak, saya izin masuk ke dalam ruangan.” Ucap Kania.
“Baik, terima kasih ya dok.” Ucap Agung.
“Saya permisi ya.” Ucap Kania lagi.
“Terima kasih dok.” Ucap Damar.
Kania kembali masuk ke dalam ruangan sementara mereka bertiga berjalan menuju parkiran.
“Saya tunggu laporan kalian mengenai benang jahit itu. Saya harus ke Kantor Kepolisian Resor 1 untuk melapor terkait kasus ini.” Ucap Agung.
“Baik Pak, kami akan berikan informasi sesegera mungkin.” Jawab Ali.
Mereka pun berpisah di parkiran, Agung pergi dengan mobil dinas bersama ajudannya sementara Damar dan Ali masuk ke dalam mobil.
“Balik ke toko jahit?” Tanya Ali.
Damar mengangguk setuju, mobil pun meninggalkan Rumah Sakit pada siang hari ini. Beberapa menit berlalu, mobil kembali melewati tempat kejadian yang masih diberikan garis pembatas. Ali mengendarai mobilnya menuju toko jahit yang pernah mereka kunjungi.
Mobil pun menepi di depan toko tersebut, lalu mereka keluar dari dalam mobil. Dari luar mereka dapat melihat pemilik toko jahit sedang mengukur seorang pelanggan yang terlihat sedang memesan pakaian. Ali sempat menyalakan sebatang rokok sebelum ia menatap ke arah Damar.
“Kita masuk sekarang?” Tanya Ali.
“Yakin lo? Ada pelanggan.” Ucap Damar.
“Nunggu aja berarti?” Tanya Ali.
“Iya, bentar doang paling.” Jawab Damar.
Ali mengangguk setuju. Akhirnya mereka menunggu di depan mobil sambil menghisap rokok yang ada di tangan mereka masing-masing. Benar saja, belum satu batang habis, pelanggan itu keluar dari toko jahit bersama pemilik toko. Ia pun melihat ke arah mereka lalu memberikan isyarat untuk ikut masuk ke dalam. Ali dan Damar pun masuk ke dalam toko, mereka melihat ada catatan yang ditulis tangan oleh pemilik toko.
“Ada permintaan pakaian Pak?” Tanya Ali.
“Iya, langganan saya dari dulu. Kali ini dia minta dibikinkan pakaian untuk acara pernikahan teman lamanya, itu yang membuat pesanannya spesial.” Jawabnya.
“Saya sampai lupa kalau belum tau nama Bapak.” Ucap Ali.
“Oh ya? Saya belum memperkenalkan diri? Astaga...”
Damar hanya tersenyum menanggapi ucapannya.
“…maafkan saya ya. Kalau begitu, perkenalkan nama saya Candra. Ngomong-ngomong, gimana soal perkembangan kasus pembunuhan itu?” Ucap Candra.
“Itu tujuan kami ke sini Pak...”
Damar memberikan plastik berisi benang jahit kepada Candra.
“...perihal benda itu, apa dua benda itu berbeda atau sama ya Pak?” Tanya Damar.
Candra melihat dengan seksama, “Ini benang jahit yang sama, benang jahit yang biasa digunakan untuk gaun berbahan licin, sebutannya gaun-gaun pesta saat saya muda dulu. Benang jahit ini udah cukup ketinggalan zaman, karena mudah putus dan tajam.”
“Tajam?” Tanya Ali.
Candra mengangguk, “Benang ini punya karakteristik tajam dibandingkan benang lain. Peruntukan untuk gaun pesta harus menggunakan benang yang tajam supaya bahan kain tidak rusak ketika ditarik oleh benang. Kalau pakai benang getah, pasti kainnya akan rusak.”
“Apa mungkin bisa terluka sama benang ini Pak?” Tanya Damar.
"Sangat bisa. Dulu ramai berita soal penjahit yang terluka karena benang ini, makanya produksi pun dihentikan dan diganti dengan benang yang lebih aman namun tidak kalah tajamnya...” Candra mengembalikan plastik itu, “apa kasus kemarin menggunakan benang ini?”
Damar mengangguk, “Itulah alasan kami menemui Pak Candra hari ini setelah hasil otopsi dari Rumah Sakit diterbitkan.”
“Astaga...” Candra menghela nafas, “kok tega banget ya pelaku itu, tapi anehnya dia tau tentang jenis benang itu. Apa mungkin dia penjahit juga?”
“Alasan kami menghampiri Pak Candra di hari penemuan mayat karena itu. Kecil kemungkinan kalau pelaku bukan penjahit, karena bentuknya pun sangat rapi. Ditambah dengan pengetahuannya soal benang jahit yang sudah berhenti diproduksi, semakin menguatkan itu semua.” Jawab Ali.
“Ada kemungkinan juga kalau dia perancang busana...”
Ali dan Damar sempat beradu pandang.
“...karena sejatinya, perancang busana juga bisa menjahit, tapi tidak semua penjahit bisa merancang sebuah busana.” Jawab Candra.
“Perancang busana?” Tanya Damar.
Beberapa saat berlalu begitu saja. Damar dan Ali pun berpamitan pada Candra, mereka keluar dari toko bersamanya hingga di depan mobil.
“Kalau kalian butuh apa-apa, datang aja lagi. Saya siap untuk membantu.” Ucap Candra.
“Terima kasih banyak ya Pak.” Ucap Damar.
“Kami pamit ya Pak.” Sahut Ali.
Candra menganggukkan kepalanya. Ali dan Damar masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Candra yang melambaikan tangan kepada mereka. Mobil tak bergerak jauh, Ali kembali menghentikan mobil di tempat kejadian. Mereka kembali keluar dari dalam mobil lalu mendekat ke arah garis pembatas.
“Ke mana ya kita harus cari petunjuk?” Tanya Ali.
pulaukapok memberi reputasi
1
Kutip
Balas