- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![agamz1217](https://s.kaskus.id/user/avatar/2018/12/12/default.png)
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
bg3873nh dan 204 lainnya memberi reputasi
201
285.2K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#327
#33 - Life is a Burden, when it’s spent in misery
Spoiler for #33 - Life is a Burden, when it’s spent in misery:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412064755.jpg)
Hari pertama di tahun ajaran baru. Gua kini masuk ke sekolah sebagai siswa kelas dua SMA. Suci terlihat berdiri di dekat gerbang sekolah, sepertinya sengaja menunggu kedatangan gua.
“Din, Dina.. lo masih marah sama gue? Maksud gue bukan gitu lho.. Gue jelasin nih”Ucap Suci sambil memohon begitu kami bertemu.
Gua bergeming, terus melangkah masuk ke area sekolah. Sementara, Suci masih terus bicara, mencoba menjelaskan alasan dia pura-pura sakit minggu kemarin.
“Udah ah ci, lo nggak usah bolak-balik jelasin hal yang sama. Gue udah nggak marah..” Ucap gua tanpa menoleh ke arahnya.
“Bener, lo udah nggak marah?” Tanyanya.
“Iya, tapi masih kesel aja. Apalagi kalo lo terus-terusan bahas itu.. Gua jadi makin kesel”
“Yah, yaudah gue diem aja..” Jawabnya.
Kami berdua berjalan menuju ke lobby sekolah dimana para siswa terlihat tengah berdiri, berkerumun di depan dua papan tulis dengan tempelan kertas berisi catatan. Papan tulis di sebelah kiri bertuliskan; Pembagian Kelas, sementara Papan tulis di sebelah kanan bertuliskan; Ranking Siswa berprestasi.
Gua mengabaikan papan tulis di sebelah kanan karena sudah tau gua bakal berada di peringkat berapa. Lalu beringsut, menyeruak kerumunan ke papan tulis di sebelah kiri, mencoba mencari nama gua dari deretan nama siswa-siswa lain.
“Yes, kita sekelas Din..” Teriak Suci seraya menunjuk ke daftar siswa di kelas 2-5, terlihat nama gua berada di urutan atas daftar siswa di kelas 2-5, sementara nama Suci berada di urutan bawah, sesuai dengan absen.
Tangan gua meniti daftar, nama-nama teman sekelas, dan mendapati nama; Julian Jonathan berada di kelas yang sama; kelas 2-5. Gua buru-buru keluar dari kerumunan, dan berlari menuju ke ruang kelas 2-5 yang berada di lantai 2.
Di kelas terlihat, beberapa siswa tengah berebut tempat duduk. Mata gua mulai berkeliling dan nggak mendapati Jeje disana. Yang gua temui malah Izar yang tengah duduk manis di salah satu kursi seraya melambai dan melempar senyum ke arah gua.
Gua menghela nafas panjang dan kembali keluar dari kelas.
Hari pertama, nggak ada pelajaran sama sekali. Hanya wali kelas yang masuk, memperkenalkan diri kemudian mulai mengatur tempat duduk. Setelah pengaturan posisi duduk yang menempatkan gua berada di tengah barisan. Wali kelas mendadak melakukan pemilihan pengurus kelas; ketua kelas, wakil dan bendahara.
Izar terpilih sebagai ketua kelas, sementara gua kedapatan tanggung jawab sebagai bendahara yang bertugas mengurus dan menyimpan uang kas kelas. Sementara, dari semua siswa yang ada di kelas, Jeje sama sekali nggak terlihat.
‘Kemana sih lo?’ Batin gua bertanya-tanya.
Satu kursi kosong tersisa di barisan terdepan. Wali kelas sengaja menyisakan kursi kosong terdepan untuk siswa yang nggak hadir saat ini; Jeje.
Sepulang sekolah, gua menyempatkan diri untuk melihat daftar Ranking Siswa berprestasi yang di tempel pada papan tulis di Lobby sekolah.
Nama gua terlihat berada di posisi kedua dalam satu angkatan. Sementara, posisi satunya ditempati oleh seorang perempuan bernama Dewi Kartika yang juga sekelas dengan gua. Yang membuat gua sedikit terkejut adalah terpampang nama “Julian Jonathan” pada urutan kelima.
Bagaimana mungkin orang yang nggak punya waktu belajar di rumah bisa menjadi siswa berprestasi kelima seangkatan?
Hari kedua berada di kelas dua.
Pagi itu gua datang nyaris terlambat, karena tukang ojek langganan gua tiba-tiba memberi kabar kalau anaknya sedang sakit, jadi nggak bisa mengantar gua. Terpaksa, naik ojek pangkalan dari depan gang rumah.
Gua masuk ke dalam kelas, saat semua siswa sudah hadir. Sementara kursi di depan masih terlihat kosong. Nggak lama setelah gua masuk, guru wali kelas menyusul masuk dan mulai mengabsen.
“Julian. Julian Jonathan?” Panggil wali kelas. Tak ada jawaban. Terlihat ia mencoret di atas buku lalu melanjutkan absensi.
Tepat setelah absensi selesai, pintu kelas terbuka. Seorang cowok masuk ke dalam seraya menundukkan kepalanya. Ia bicara sebentar ke wali kelas lalu duduk di kursi terdepan yang tersisa; Jeje.
Menyadari tubuhnya yang menjulang, wali kelas lalu menukar posisi duduk Jeje dengan seorang perempuan yang duduk di kursi paling belakang. Mereka lalu bertukar posisi, Jeje berjalan sambil membawa tasnya menuju ke kursi belakang. Gua menatapnya, melihat wajahnya yang datar, matanya yang sendu dan rambutnya yang berantakan.
Tak seperti kebanyakan siswa lain yang menggunakan kemeja seragam anyar saat masuk tahun ajaran baru. Jeje terlihat masih mengenakan seragam lamanya yang sudah tak lagi seputih sebelumnya. Begitu pula dengan celana panjang abu-abunya yang terlihat penuh lekukan, seperti baru saja dicuci namun belum sempat di setrika.
Gua menoleh ke belakang. Jeje duduk, mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya dan mulai menatap kosong ke arah jendela kelas, sementara pulpen hitam menari-nari di jarinya.
Bel jam istirahat berbunyi. Izar langsung menghampiri dan mengajak gua untuk pergi ke kantin. “Nggak ah, gue puasa” Jawab gua. Izar lalu pergi bersama dengan Suci.
Dengan cermin kecil alat makeup gua berpura-pura mengecek kondisi alis mata, dan mulai mengarahkan cermin ke Jeje. Ia melihat sekeliling, saat merasa kelas sudah cukup sepi karena sebagian besar siswa pergi ke kantin, ia mengeluarkan kotak makan plastik bekas es krim dari dalam tasnya dan mulai membukanya dengan hati-hati. Alih-alih meletakkan kotak tersebut di atas meja, ia menaruh kotak di pangkuannya dan mulai makan.
Tanpa perintah, ujung mata gua mulai basah. Teringat akan cerita Rohman waktu itu, kalau Jeje tak lagi memiliki orang tua, dan orang yang mengurusnya. ‘Lalu siapa yang menyiapkan bekal untuknya?’
Gua menyeka ujung mata yang basah dengan tisu, menghela nafas panjang, berdiri, pasang senyum dan menghampirinya.
“Lo kemaren kemana?” Tanya gua seraya meraih kursi kosong dan duduk di sebelahnya.
Menyadari kehadiran gua, Jeje buru-buru menutup kotak makannya dan memasukkannya ke dalam laci. Gua sempat melihat sekilas isi dari kotak makan miliknya; seporsi nasi dan beberapa potong tempe goreng.
“Emm.. ada urusan” Jeje menjawab sambil berusaha menelan makanan di mulutnya. Ia lalu meraih botol air mineral dari dalam tas dan mulai meneguknya.
“Oh, terus tadi terlambat kenapa?” Tanya gua lagi.
“Emm… ada urusan juga” Jawabnya.
"Abis dari pasar?"
"Iya"
Mata gua lalu beralih ke arah laci meja-nya; “Lo bawa bekal?” Tanya gua seraya melirik ke arah laci mejanya.
“Iya…”
“Bawa bekal apa?”
“Tempe…”
“Coba liat”
“Belum pernah liat tempe?” Jeje balik bertanya.
“Udah. Tapi pengen liat, bekal lo kayak apa”
Ragu, Jeje mengeluarkan kotak makan dari dalam laci dan membukanya perlahan. Kini porsi nasinya tersisa setengah dengan beberapa potong tempe tersisa.
“Kok kayaknya enak” Ucap gua.
“Biasa aja, cuma tempe goreng…”
Gua lalu meraih sendok dari genggamannya dan mulai makan bekal miliknya. Sementara, Jeje hanya melihat sikap gua tanpa sedikit pun melayangkan protes.
“Gue abisin boleh?” Tanya gua sambil terus makan.
“Boleh” Ia menjawab pelan. Lalu menyandarkan tubuhnya di kursi, wajahnya ia palingkan, menatap kosong ke luar melalui jendela kelas.
Sinar matahari yang menembus tirai menerpa wajahnya, hidungnya, dagunya, matanya yang membuat gua semakin jatuh hati. Dari posisi gua duduk terlihat bagian belakang kerah kemeja seragamnya yang mulai brudul, mungkin akibat terlalu sering disikat. Saku kemejanya yang sedikit sobek dan salah satu kancing bajunya yang tampak berbeda dari yang lain.
Lagi, mata gua mulai berlinang. Gua buru-buru menyekanya, namun terlambat. Jeje keburu menyadarinya.
“Kenapa?” Tanyanya seraya mengernyitkan dahi, menatap gua.
“Gapapa, gue baru sadar ini kenapa bekal punya lo enak banget ya” Gua menjawab.
“Mana ada orang makan saking enaknya sampe nangis..” Ucapnya.
“Ada, Gue!”
Setelah menghabiskan bekal milik Jeje. Gua menutup kotak makan dan mengajaknya ke kantin; “Gue masih laper nih, ke kantin yuk”
“Nggak ah, gua udah kenyang” Ia menjawab, kemudian meraih kotak makan dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
“Yah, tapi gue masih laper…”
“Yaudah ke kantin sana, kan nggak perlu sama gua”
“Perlu… Yuk”
Jeje bergeming, ia menggelengkan kepalanya. Gua lantas meraih tangan dan menariknya paksa. Jeje nggak menolak, ia berdiri dan mengikuti gua.
Sebuah sensasi terasa menjalar sekujur tubuh begitu tangan gua bersentuhan dengan tangannya yang kasar. Perlahan, Jeje mencoba melepaskan genggaman tangan gua, lalu berjalan pelan mengikuti gua dari belakang. Seperti biasa, gua nggak berjalan bersisian dengannya, kali ini gua yang di depan, ia berada di belakang.
Di lorong sekolah menuju ke kantin, kami bertemu dengan Izar dan Suci yang baru saja kembali dari kantin. Izar memposisikan tubuhnya tepat di depan gua, menghalangi langkah.
“Mau kemana?” Tanyanya.
“Ke kantin” Jawab gua singkat.
“Buka puasa?” Tanyanya lagi sambil tersenyum, matanya lalu beralih ke Jeje yang berdiri, bersandar pada dinding lorong di belakang gua.
“Iya” Gua menjawab singkat.
“Yaudah, ayo gua temenin…” Balas Izar, lalu meraih lengan gua dan mulai menariknya. Sementara gua berusaha melepas genggaman tangannya, terlihat Jeje berbalik dan berjalan menjauh, kembali ke arah kelas.
“Lepas nggak!” Ancam gua ke Izar setengah berteriak. Beberapa siswa yang berada di sekitar langsung berpaling menatap ke arah kami.
Izar buru-buru melepas genggamannya dan menatap gua sambil mengernyitkan dahi. “Kenapa sih Din?”
“Ngapain lo narik-narik gue?” Ucap gua, kemudian berbalik dan berlari kembali ke kelas.
Di kelas, gua nggak mendapati Jeje di kursinya. Gua lalu duduk dan menundukkan kepala.
Begitu bel tanda istirahat selesai, satu per satu siswa berhamburan masuk ke dalam kelas. Jeje terlihat melewati pintu, dan melangkah pelan menuju ke kursinya. Gua menatap wajahnya yang tanpa ekspresi saat ia tepat melewati gua.
—
Gua melangkah, menyusuri jalan yang ramai, panas dan berdebu. Beberapa meter di depan gua, Jeje berjalan. Ia terus berjalan, mengabaikan terik matahari yang menerpa. Sementara gua mulai kepayahan mengikuti langkahnya yang tak sedikitpun melambat. Gua menunduk, kedua tangan diatas lutut, sementara mata ini terus menatap punggung Jeje, tak ingin kehilangannya.
Setelah menarik nafas panjang, gua kembali berjalan. Kini mulai mempercepat langkah agar nggak tertinggal jauh darinya.
Seragam sekolah, rambut dan wajah gua mulai basah oleh keringat. Entah sudah berapa kilometer gua tempuh, mengikuti Jeje. Gua bahkan sudah melewati gang rumah dan terus berjalan menjauh.
Jeje berbelok, masuk ke dalam sebuah gang di sebelah kiri jalan raya. Dengan sisa tenaga gua mempercepat langkah, agar nggak kehilangan jejaknya. Ia lalu berhenti tepat di depan sebuah rumah berhalaman cukup luas, halaman yang dipenuhi batu kerikil kecil sebagai ganti lantai berbeton.
Seorang anak perempuan membuka pintu rumah dan berteriak menyambutnya. Jeje melangkah masuk ke teras rumah, membungkuk dan memeluk anak perempuan tersebut. Sementara, gua hanya berdiri menatapnya dari depan halaman rumahnya yang tanpa pagar.
Perlahan gua melangkah mendekat. Dan memanggil namanya. Tiba-tiba, pandangan gua mulai kabur, lalu gelap.
Gua terbangun di atas sebuah ranjang dengan tiang-tiang besi di tiap sudutnya. Sebuah kain berjaring, tergulung pada bagian atap ranjang. Orang dulu menyebutnya; Kelambu. Kain berjaring super tipis yang biasa digunakan untuk mencegah nyamuk masuk.
Jeje duduk di sebelah gua dengan tangannya memegang sebuah lap basah. Begitu melihat gua membuka mata, ia langsung meraih botol air mineral dari meja kayu di sebelah ranjang, membantu gua duduk dan mulai menyodorkan air minum ke bibir gua.
Kehausan. Gua menenggak habis seluruh air dari dalam botol. Jeje, berdiri, keluar dari kamar dan kembali beberapa saat berikutnya dengan membawa segelas besar air. Ia kembali menyodorkan gelas ke bibir.
Gua mengernyitkan dahi, karena merasa bukan air putih yang ia berikan.
“Air kelapa” Ucapnya begitu menyadari ekspresi gua yang berbeda saat minum.
Lagi, gua menenggak habis air kelapa dari gelas besar yang ia berikan.
“Ah…” Gua menyeka bibir dengan punggung tangan.
“Lo ngapain?” Tanyanya.
“Hah?”
“Lo ngapain kesini? lo jalan ngikutin gua?” Tanyanya lagi.
“Iya..” Gua menjawab pelan.
Jeje lalu tersenyum. Dan mulai menyeka keringat di dahi gua dengan lap basah yang sejak tadi di genggamnya.
“Nggak capek emangnya jalan kaki ngikutin gua pulang?” Jeje kembali bertanya.
“Lo nggak capek tiap hari pulang-pergi jalan kaki?” Gua balik bertanya.
“Gua sih udah biasa..” Ia menjawab singkat.
Gua berniat turun dari ranjang, namun kedua kaki gua terasa sakit. Bukan, bukan sakit, melainkan rasa pegal luar biasa yang menjalar dari ujung ibu jari hingga ke lutut.
“Arrgh…” Gua mengerang pelan seraya memijat lutut.
Jeje mengangkat kembali kedua kaki gua ke atas ranjang. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan beberapa lembar koyo dan mulai menempelkannya di beberapa titik di kedua kaki gua.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, seorang anak perempuan masuk ke dalam sambil membawa plastik berisi roti. Ia menyerahkan plastik tersebut ke Jeje lalu berpaling menatap gua sambil tersenyum.
“Halo cantik.. kamu namanya siapa?” Tanya gua sambil tersenyum.
“Reni. Kakak namanya siapa?” Reni menjawab, lalu balik bertanya.
“Aku Aldina, Panggil Kak Dina aja..”
“Halo kak Dina…”
“Reni kelas berapa sayang?”
“Aku kelas dua SD” Ia menjawab sambil mengacungkan kedua jarinya ke udara.
“Udah sana kalo mau main di kamar…” Ucap Jeje ke Reni seraya membelai rambutnya. Reni lalu mengangguk dan keluar dari kamar.
Jeje mengeluarkan roti dari dalam plastik, membuka kemasannya dan menyodorkannya ke gua.
“Gue nggak laper”
“Lo kan tadi cuma makan bekal gua setengah. Terus jalan kaki dari sekolah kesini. Bohong kalo lo nggak laper..” Jawabnya, lalu meletakkan roti di genggaman tangan.
Gua hanya menggenggam roti pemberiannya.
“Buruan makan, abis ini gua anterin pulang. Gue mau ke pasar…” Ucap Jeje, seraya berdiri dan keluar dari kamar.
Perlahan, gua mulai memakan roti pemberian darinya. Roti murah yang dijual di warung, Roti yang selama ini selalu gua lihat tapi nggak pernah membelinya karena terlihat nggak menggugah selera dan murahan. Untuk pertama kalinya gua mencoba roti murah ini, rasanya beneran nggak enak, rasa kejunya palsu. Tapi entah kenapa, bibir ini terus mengunyah tanpa henti.
Setelah selesai makan sepotong roti. Gua memaksakan diri turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Mata gua mulai berkeliling, menatap setiap senti dari sudut rumah ini, rumah sederhana yang terasa sejuk. Gua melangkah pelan ke arah ruang tamu dan duduk di salah satu kursinya.
Jeje muncul dari arah dapur sambil membawa sebotol air. Saat menyadari gua sudah duduk di ruang tamu, ia menghampiri gua dan meletakkan sebotol air diatas meja lalu kembali ke dapur.
Penasaran dengan apa yang tengah ia lakukan di dapur. Sambil menahan rasa pegal di kedua kaki, gua menuju ke belakang.
Terlihat Jeje tengah bertelanjang dada, sambil mencuci seragam sekolahnya. Punggungnya penuh luka goresan, bekas memar yang membiru dan tempelan koyo di beberapa titik. Begitu menyadari kehadiran gua, ia buru-buru mengenakan kaosnya. Dan melanjutkan mencuci seragamnya.
Mata gua kembali basah saat melihatnya melakukan itu semua. Gua bersandar pada dinding, lalu terduduk dan mulai terisak.
“Lho, kenapa Din?” Jeje langsung berlari menghampiri gua.
“...”
“... Apanya yang sakit?” Tanyanya, mengira gua menangis karena kesakitan. Iya, sakit luar biasa di dada ini, melebihi rasa pegal di kedua kaki akibat berjalan berkilo-kilo meter.
Gua nggak menjawab, hanya berusaha menyeka air mata di kedua pipi.
Ia lalu membantu gua berdiri, menyeka air mata di pipi gua sambil terus bertanya; “Apanya yang sakit Din?”
Gua menatapnya, lalu menepuk dada ini.
“Nyesek ngeliat lo kayak gini…” Ucap gua pelan.
Jeje tersenyum, sambil menatap gua. Sementara kedua tangannya berusaha menahan bahu gua agar nggak terjatuh lagi.
Setelah menyelesaikan cuciannya, Jeje mengganti bajunya. Kini ia terlihat seperti Jeje yang biasa gua lihat di pasar, dengan kaos oblong bekas kampanye partai dan celana jeans belel selutut.
“Ren, Reni… Abang mau anter Kak Dina pulang dulu, terus langsung ke pasar. Kalau mau makan Nasi sama lauknya udah abang siapin di meja makan. Nanti kalau pulang ngaji, terus belajar, pintunya jangan lupa di kunci, kuncinya di cabut ya..” Ucap Jeje Ke Reni sambil menepuk pelan kepalanya.
“Iya bang…” jawab Reni, lalu tersenyum.
“Bye, Reni…” Gua mengucap salam lalu melambaikan tangan ke arahnya.
Tiba-tiba, Jeje membungkuk, meraih lengan gua dan melingkarkannya di lehernya, lalu mulai membopong gua di pundaknya. Hanya beberapa detik, gua sudah berada di gendongan punggungnya.
Gua menyandarkan kepala di punggungnya yang beraroma koyo. “Gue udah denger cerita tentang orang tua lo…”
“Dari siapa? Rohman? Lo kenal Rohman?” Tanyanya.
“Iya..”
“Bilang apa dia? pasti ceritanya di dramatisir..” Ucapnya.
“Banyak…”
Sepanjang perjalanan gua terus ngobrol dengannya. Mungkin lebih tepat disebut sesi tanya-jawab ketimbang sebuah obrolan. Karena gua lebih banyak mengajukan pertanyaan, dan Jeje menjawabnya.
“Je…”
“Ya?”
“Gue kayaknya jatuh cinta sama lo…” Ucap gua pelan. Jeje nggak merespon ucapan gua. Ia hanya terus berjalan sambil menggendong gua. Setelah beberapa langkah, barulah ia bicara; “Jangan…”
“Apa?”
“Jangan, Jangan jatuh cinta sama gua.”
“Kenapa? Jatuh cinta kan hak orang.. Lo nggak bisa ngelarang”
“Perasaan lo salah. That’s call compassion; Rasa Iba. Lo cuma merasa iba ke gua. Terus otak lo salah mentranslate-nya. Mungkin karena sebelumnya lo belum pernah merasa Iba ke seseorang. Otak nggak punya bank data yang tepat untuk rasa iba itu, jadi otak mentranslate menjadi rasa cinta; rasa yang udah pernah lo alami sebelumnya…” Ucapnya panjang lebar.
“Apaan sih lo. Perasaan gue, otak-otak gue kok jadi lo yang sok tau…” Gua memprotes.
“Hahaha…”
“Terserah lo mau bilang apa. Pokoknya gue udah membulatkan tekad!”
“Membulatkan tekad? buat?”
“Buat terus jatuh hati ke elo…”
“Hahaha…”
“Kenapa? Kenapa cuma ketawa? ngomong dong, kasih respon…”
“Kenapa bisa jatuh cinta, kita baru kenal setahun. Ngobrol pun baru beberapa kali…”
“Nggak tau deh… Lagian emang jatuh cinta perlu alasan?”
“Nggak tau, gua nggak pernah jatuh cinta…”
“Yaudah kalo gitu mulai sekarang lo harus belajar. Belajar untuk jatuh cinta ke gue..”
Jeje menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh, menatap ke arah gua sambil tersenyum; “Gua baru kali ini ketemu cewek kayak lo…”
“Maksud lo cewek yang secantik gue kan?”
“Hahaha, Bukan. Tapi cewek yang to the point kayak elo…”
Tanpa terasa, kami sudah berada tepat di depan rumah. Ia membungkuk, membiarkan gua turun dari punggungnya.
“Masuk dulu, minum…” Ajak gua.
“Nggak usah, gua langsung aja…”
“Lo mau ke pasar kan?”
“Iya..”
“Jalan kaki?”
“Iya..”
![](https://img.youtube.com/vi/Qq4j1LtCdww/0.jpg)
Alice Cooper - Poison
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![wadepakmann](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/07/09/default.png)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
jiyanq dan 71 lainnya memberi reputasi
72
Kutip
Balas
Tutup