- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#64
Part 61 Bukan Manusia
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.
Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.
Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" tanyanya karena ini bukan sebuah kebiasaan ku.
"Nggak apa-apa. Kangen," sahutku sambil mendongak sedikit ke arahnya.
"Semalam kurang memangnya?" canda nya.
"Is! Kamu mah mikirnya ke situ mulu. Memangnya kalau kangen harus tentang 'itu'? Itu sih kamu!" cetus ku dan dia tertawa.
Tapi tiba-tiba Rangga menyentuh pipi lalu membuat wajah ku kembali mendongak. Dia mencium bibirku lembut. Matanya terpejam membuatku ikut memejam. Pintu lift terbuka, aku segera melepaskan ciuman kami. Dia merajuk meminta lebih.
"Ih, banyak orang! Aku kerja dulu. Bye, sayang," kata ku lalu mengecup singkat pipinya dan keluar dari lift. Sementara dia kembali naik ke atas sendirian.
Desas desus pertengkaran Rizal dan Nida mulai merebak di seluruh kantor. Apalagi dengan kemunculan Gladis yang di gadang-gadang sebagai pelakor. Semua orang makin intens menatapnya yang tidak berubah sama sekali sejak awal kemunculannya. Dia masih memakai pakaian mini, dan seksi, membuat beberapa orang yang melihat tidak ingin berpaling. Bahkan tidak hanya para pria, para wanita pun sama. Ada yang menatapnya kagum, ada yang menatapnya jijik.
Nida muncul dari dalam lift, keluar dan menyapu pandang ke semua ruangan di sini. Dia lantas mendesah, lalu saat melihatku, dia mendekat.
"Ros ... Rizal nggak masuk?" tanyanya. Otomatis aku pun menoleh ke meja Rizal.
"Oh iya, ya. Telat mungkin."
"Hm, bisa jadi."
Namun tak lama Rizal muncul, masuk ke ruangan dengan wajah lesu. Sepertinya dia sangat kelelahan. Bahkan cara berjalannya saja terkesan malas-malasan.
"Itu dia!" kataku menunjuk ke pemuda tersebut. Nida berbinar, lalu segera mendekat. Mereka terlibat perdebatan bahkan sampai membuat Rizal menarik paksa tangannya yang terus dipegang Nida. "Awas kamu! Pergi sana! Berisik banget tau!" jeritnya dan berhasil membuat seisi kantor menganga.
Sejak aku mengenal Rizal, belum pernah sekali pun melihat nya semarah itu pada orang lain, bahkan Nida, orang yang sebenarnya menjadi salah satu yang paling dekat dengannya di kantor ini. Rizal orang yang sabar, dan ramah. Tapi Rizal yang ada di ruangan ini sekarang bukan Rizal yang ku kenal.
Rahma mendekat ke Nida, berusaha menghiburnya yang sedang menangis. Sementara Rizal justru berjalan meninggalkan Nida tanpa ada rasa perduli sedikit pun. Beberapa orang terlihat geleng - geleng kepala. Pertengkaran pasangan itu sudah cukup lama terjadi. Mereka kerap bertengkar sejak kabar Rizal dekat dengan Gladis terendus. Setelah mereka bertengkar, penonton pun menatap Gladis yang seolah tidak perduli pada pertikaian pasangan sejoli tersebut.
Nida akhirnya dibujuk untuk kembali ke ruangannya yang berada di lantai atas. Rahma dan Lilis mengantarnya ke lift. Semua orang kembali pada pekerjaannya walau beberapa masih membahas masalah ini sambil bekerja.
Beberapa jam berlalu, semua kembali pada rutinitas, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mataku mulai lelah melihat monitor, hingga pada akhirnya aku mulai meregangkan kedua tangan ke atas. Membuat gerakan senam kecil untuk membuat tubuhku kembali relaks. Namun sesuatu justru tampak jelas di depan mata. Bukan sesuatu, tapi lebih tepat sesosok makhluk.
Jendela di ruangan ini ada sekitar 10 buah. Salah satu jendela tersebut muncul sebuah telapak tangan hitam yang seolah sosok pemiliknya sedang merangkak dari luar, hendak masuk ke dalam. Aku terus memperhatikan, tangan hitam itu kini mulai menunjukkan bayangan lain. Kepala. Kepala sosok itu muncul dari luar jendela. Kaca jendela itu seolah bukan suatu penghalang makhluk itu dapat menembusnya. Karena tidak hanya kedua tangannya saja, tapi kepala nya kini yang sudah terlihat sempurna mulai masuk ke dalam, menembus kaca.
Aku menelan ludah, melihat adegan tersebut. Bukan acara sulap seperti di tv, melainkan sosok makhluk mengerikan yang mulai mengusik. Sekujur tubuh nya berwarna hitam. Entah gosong atau memang begitu warna kulitnya. Dia mulai masuk ke dalam dan kini seluruh tubuhnya dapat terlihat olehku, apalagi rambut panjangnya yang tergerai lepek menyentuh lantai, seperti meninggalkan bekas kotor di sana. Wajahnya keriput, dengan banyak urat-urat dengan warna merah. Bukan hanya wajah, melainkan sekujur tubuhnya. Pakaiannya seolah senada dengan warna tubuhnya. Dia tidak berjalan, melainkan mengesot. Menarik kakinya sambil mencari sesuatu atau seseorang.
Aku terus memperhatikan dalam diam, dan tiba-tiba dia menyeringai saat melihat seseorang. Gladis. Seperti melihat teman lama, dia lantas terus menyeret tubuhnya mendekati Gladis. Tapi Gladis sendiri tidak melihatnya. Karena masih fokus pada pekerjaan di depannya, walau sesekali terlibat obrolan jarak jauh dengan Rizal.
Hm. Pantas saja Nida kesal. Jika aku menjadi dia, pasti akan melakukan hal serupa. Untung bukan Rangga yang didekati Gladis.
Perhatianku teralihkan oleh jendela lain. Bahkan semua jendela di ruangan ini kedatangan makhluk serupa. Aku melotot dengan tubuh bergetar. Semua makhluk itu datang dan mendekat ke Gladis seperti makhluk sebelumnya. Mereka semua mengitari Gladis dan hanya duduk di lantai begitu saja.
Menatap Gladis yang sedang sibuk berbincang dengan Rizal, sambil berkode yang hanya mereka berdua yang tau. Gelagat mereka aneh. Makhluk di dekat Gladis pun yang awalnya hanya terpaku pada wanita itu kini ikut memperhatikan Rizal. Bahkan salah satu dari mereka seolah berbincang dengan yang lain, sambil tersenyum mengerikan dan menunjuk Rizal. Mereka mengangguk serempak dan mendekati Rizal juga.
Ada apa ini? Mau apa mereka? Siapa mereka?
Pertanyaan tersebut terus terngiang di kepala ku. Aku makin tidak kuat, tubuhku makin bergetar hebat jika terus memperhatikan makhluk-makhluk itu. Aku paksa kan untuk berpaling dan mencari seseorang.
"Lis? Bang Cen ... Mana?" tanya ku dengan nafas tersengal.
Dia tengak-tengok dan sama-sama tidak melihat orang yang ku maksud. "Eh! Iya! Ke atas! Tadi mau ambil berkas dari Kris, belum balik ke sini lagi sepertinya," jelasnya.
"Oh ya udah." Aku menahan tubuhku dengan kedua tangan saat hendak beranjak. Kaki ku entah mengapa terasa lemas. Sehingga jarak lift dan meja kerja ku terasa jauh sekali.
"Neng? Kenapa?" tanya Lilis memperhatikan. Ia lantas mendekat dan membantu memegangi tubuh ku.
"Bang Cen ... Panggil dia! Cepat!" kataku menunjuk lift. Lilis yang melihat ku aneh lantas mengangguk.
"Ya udah, kamu tunggu di sini. Biar aku yang panggil."
Lilis membawa ku kembali ke meja ku. Sementara dia pergi ke lantai atas memanggil orang yang ku minta tadi. Tidak sanggup lagi melihat ke arah itu, sosok-sosok mengerikan itu masih ada di sana. Tapi entah mengapa, mata ku seolah tidak ingin berpaling dari mereka. Rasa penasaran masih menyelimuti ku. Entah mengapa perasaan ku tidak enak. Terutama terhadap Rizal.
Kini salah satu dari mereka mendekati Gladis. Duduk di bawah nya sambil memeluk kakinya. Satu sosok lain ikut mendekat, melakukan hal yang sama.
Sosok lain justru mendekati Rizal. Mereka seperti punya tugas masing-masing. Awalnya kupikir mereka tidak bisa berdiri, tapi saat salah satu dari mereka berada di belakang Rizal, aku mulai melihat gerakan nya berusaha berdiri di atas kakinya sendiri. Walau kesulitan, dia menahan beban tubuhnya dan kini berdiri di belakang Rizal. Tangannya yang lengket itu berlendir, dan berwarna hitam, mengelus kepala Rizal. Dia bahkan menjilat telinga Rizal lalu mengangguk pada yang lain. Seolah sebuah ajakan untuk melakukan hal yang sama, sosok lain yang sejak tadi hanya duduk di dekat Rizal, kini ikut mendekat, mereka menempatkan diri di posisi masing-masing. Lalu melakukan hal yang sama, menjilat seluruh bagian tubuh pria jangkung kurus tersebut. Menganggapnya seolah makanan lezat.
Tunggu! Jangan-jangan mereka ....
Obrolan Gladis dan Rizal berakhir. Aku yang awalnya berpikir kalau Gladis tidak bisa melihat 'mereka' kini menarik pernyataan itu. Karena saat ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia sedang berbincang dengan sosok yang berada di kakinya. Walau aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dari gelagatnya dapat ku simpulkan kalau mereka membicarakan Rizal.
Tapi seketika dia melihat ku yang sedang memperhatikannya. Mungkin dia merasakan hal itu. Sosok di dekatnya juga menatapku sekarang. Gladis menggumam padanya lalu menunjukku dengan dagunya. Sosok itu mengangguk, lantas bergerak menjauh dari Gladis. Ternyata Gladis menyuruhnya mendekati ku. Sadar ancaman akan datang, aku kembali beranjak. Tapi anehnya tubuhku makin berat, lebih berat dari pada yang kurasakan tadi. Kini aku kesulitan berjalan, bahkan berdiri pun aku seolah tidak sanggup. Jalan keluar satu-satunya hanya merangkak. Itu pun sulit kulakukan karena kakiku lemas. Alhasil, aku menarik tubuhku, berpegangan pada kaki-kaki meja di sekitar dan berusaha untuk pergi dari tempat ini secepat mungkin.
Perlahan tapi pasti, tubuhku mulai bergerak, namun saat aku menoleh ke belakang, rupanya sosok-sosok itu merangkak ke arahku, pelan tapi lama kelamaan gerakan mereka makin cepat. Bahkan terkesan berlari. Dalam sekejap aku melihatnya sudah berada di dekatku, dia menyergap dan membuatku menutup mata sambil berteriak.
"Ros? Rosi? Kenapa, Ros?" tanya seseorang yang ku kenal suaranya. Indi. Aku yang sejak tadi histeris sambil menutup wajah. Kini memberanikan diri melihat sekitar. Hanya ada teman-teman ku yang berdiri mengelilingi dan menatapku bingung. Posisi ku sudah sampai dekat lift. "Lo kenapa?" tanya Indi lalu membantuku berdiri.
Aku lantas menoleh ke segala arah. Mencari keberadaan makhluk yang tadi hendak menyerang ku.
"Heh! Kenapa sih lo?" tanya Mey ikut bingung melihatku.
"Nih minum dulu," kata Mpok Khusnul menyodorkan segelas air minum. Mey membantuku minum tapi aku masih panik dan tetap mencari keberadaan makhluk-makhluk tadi yang tiba-tiba raib begitu saja. Dari kejauhan Gladis tersenyum. Hal ini membuatku yakin, kalau apa yang ku alami bukan mimpi. Walau pada akhirnya mereka semua kini lenyap. Tapi mereka memang ada, dan aku yakin itu sebuah ancaman. Baik untukku, maupun untuk Rizal.
_____
"Aku yakin banget sama apa yang aku lihat! Mereka ... Mereka mau mencelakai Rizal! Itu pasti!" kataku saat kami semua berada di cafe dekat kantor.
Sore ini kami semua pulang lebih awal, karena pekerjaan di awal bulan masih tidak terlalu banyak.
"Gila sih, kalau bener gitu. Dan semua dugaan kita sebelumnya beralasan!" cetus Mey.
"Pantes gue nggak suka lihat itu perempuan! Macam pramuria aja! Ternyata emang perempuan gila! Bertemen kok sama setan, kayak nggak ada makhluk berjenis manusia aja di sekitar dia."
"Sekarang kita harus memikirkan langkah selanjutnya. Kalau apa yang Rosi bilang beneran, itu artinya Rizal dalam bahaya, juga kamu ... Sayang," kata Rangga yang duduk di samping ku sambil terus memegang tanganku, cemas.
Dia tidak melihat keadaanku saat insiden tadi siang, karena sedang berada di luar kantor dengan Bagus. Makanya saat ini dia sangat cemas.
"Kenapa aku juga?" tanyaku tidak paham.
"Ya jelas elu juga! Kan elu saksi mata. Gue yakin Gladis juga mengincar elu!" tandas Indi.
"Bener! Karena dia tau, kalau elu bisa lihat para anak buahnya itu. Tapi ... Mana Rizal?" tanya Mey tengak tengok.
"Langsung balik, kan sempat ribut sama Nida lagi tadi. Rizal yang mau pergi sama Gladis, dihalangi Nida. Kasihan itu anak, sampai di dorong sama Rizal, jatuh di parkiran," jelas Mpok Khusnul.
"Masa sih, Mpok?"
"Iya, tuh tanya Rahma, saksi mata sekaligus tempat curhat Nida," tunjuk Mpok Khusnul.
"Iya, kasihan. Stres itu anak. Nggak mau makan sejak tau Rizal main hati sama Gladis."
"Lagian salah dia sendiri. Pas Rizal masih normal, belum kena guna-guna, sering 'kan Nida bertindak seenaknya ke Rizal. Mentang-mentang Rizal cinta sama dia, dia manfaatkan hal itu. Sekarang Rizal berpaling dia kelimpungan," tandas Lilis.
"Yang jelas, kita harus bantu Rizal. Rosi setuju banget buat bantu Rizal, biar Nida balik sama Rizal lagi, iya, kan, Ros?" tanya Asep.
"Iya. Kalau bisa secepatnya. Kasihan Nida."
"Yakin karena kasihan sama Nida? Bukannya elu takut Nida godain laki lu lagi?" sindir Asep menanyakan hal yang membuat beberapa dari mereka terkekeh.
"Iya, cemburunya, Sep ... Beuh! Serem. Kemarin aja hampir gue nggak dapat jatah. Gara-gara Nida," timpal Rangga dan segera ku sikut dia. Dia lantas tersenyum lalu mengeratkan tubuhku agar mendekat padanya. "Bercanda ih. Tapi emang kenyataan, kan, sayang?" bisiknya.
"Awas. Kalau diulangi lagi. Aku potong punya mu!"
"Is. Ngilu ih. Tuh, serem kan, Sep. Mana punya gue mau dipotong," rajuk Rangga.
Bang Cen yang baru saja datang lantas segera bergabung. Dia memang sengaja pergi ke suatu tempat terlebih dahulu untuk menyelesaikan urusan lain di sana.
"Akhirnya ... Yang ditunggu pun tiba," cetus Asep.
Bang Cen duduk di kursi samping Asep, menatap kami semua bergantian. "Jadi gimana? Kita mulai dari mana?" tanya nya.
"Kan kita nunggu Abang," tukas Indi.
"Hm. Begitu, ya? Sepertinya kita harus cari Rizal dulu. Langkah pertama ya harus pisahkan dia sama Gladis. Kita obati dia dulu, baru kita singkirkan Gladis."
"Singkirkan? Maksud Abang?"
"Dia itu ... Bukan manusia."
"Hah!"
Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.
Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" tanyanya karena ini bukan sebuah kebiasaan ku.
"Nggak apa-apa. Kangen," sahutku sambil mendongak sedikit ke arahnya.
"Semalam kurang memangnya?" canda nya.
"Is! Kamu mah mikirnya ke situ mulu. Memangnya kalau kangen harus tentang 'itu'? Itu sih kamu!" cetus ku dan dia tertawa.
Tapi tiba-tiba Rangga menyentuh pipi lalu membuat wajah ku kembali mendongak. Dia mencium bibirku lembut. Matanya terpejam membuatku ikut memejam. Pintu lift terbuka, aku segera melepaskan ciuman kami. Dia merajuk meminta lebih.
"Ih, banyak orang! Aku kerja dulu. Bye, sayang," kata ku lalu mengecup singkat pipinya dan keluar dari lift. Sementara dia kembali naik ke atas sendirian.
Desas desus pertengkaran Rizal dan Nida mulai merebak di seluruh kantor. Apalagi dengan kemunculan Gladis yang di gadang-gadang sebagai pelakor. Semua orang makin intens menatapnya yang tidak berubah sama sekali sejak awal kemunculannya. Dia masih memakai pakaian mini, dan seksi, membuat beberapa orang yang melihat tidak ingin berpaling. Bahkan tidak hanya para pria, para wanita pun sama. Ada yang menatapnya kagum, ada yang menatapnya jijik.
Nida muncul dari dalam lift, keluar dan menyapu pandang ke semua ruangan di sini. Dia lantas mendesah, lalu saat melihatku, dia mendekat.
"Ros ... Rizal nggak masuk?" tanyanya. Otomatis aku pun menoleh ke meja Rizal.
"Oh iya, ya. Telat mungkin."
"Hm, bisa jadi."
Namun tak lama Rizal muncul, masuk ke ruangan dengan wajah lesu. Sepertinya dia sangat kelelahan. Bahkan cara berjalannya saja terkesan malas-malasan.
"Itu dia!" kataku menunjuk ke pemuda tersebut. Nida berbinar, lalu segera mendekat. Mereka terlibat perdebatan bahkan sampai membuat Rizal menarik paksa tangannya yang terus dipegang Nida. "Awas kamu! Pergi sana! Berisik banget tau!" jeritnya dan berhasil membuat seisi kantor menganga.
Sejak aku mengenal Rizal, belum pernah sekali pun melihat nya semarah itu pada orang lain, bahkan Nida, orang yang sebenarnya menjadi salah satu yang paling dekat dengannya di kantor ini. Rizal orang yang sabar, dan ramah. Tapi Rizal yang ada di ruangan ini sekarang bukan Rizal yang ku kenal.
Rahma mendekat ke Nida, berusaha menghiburnya yang sedang menangis. Sementara Rizal justru berjalan meninggalkan Nida tanpa ada rasa perduli sedikit pun. Beberapa orang terlihat geleng - geleng kepala. Pertengkaran pasangan itu sudah cukup lama terjadi. Mereka kerap bertengkar sejak kabar Rizal dekat dengan Gladis terendus. Setelah mereka bertengkar, penonton pun menatap Gladis yang seolah tidak perduli pada pertikaian pasangan sejoli tersebut.
Nida akhirnya dibujuk untuk kembali ke ruangannya yang berada di lantai atas. Rahma dan Lilis mengantarnya ke lift. Semua orang kembali pada pekerjaannya walau beberapa masih membahas masalah ini sambil bekerja.
Beberapa jam berlalu, semua kembali pada rutinitas, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mataku mulai lelah melihat monitor, hingga pada akhirnya aku mulai meregangkan kedua tangan ke atas. Membuat gerakan senam kecil untuk membuat tubuhku kembali relaks. Namun sesuatu justru tampak jelas di depan mata. Bukan sesuatu, tapi lebih tepat sesosok makhluk.
Jendela di ruangan ini ada sekitar 10 buah. Salah satu jendela tersebut muncul sebuah telapak tangan hitam yang seolah sosok pemiliknya sedang merangkak dari luar, hendak masuk ke dalam. Aku terus memperhatikan, tangan hitam itu kini mulai menunjukkan bayangan lain. Kepala. Kepala sosok itu muncul dari luar jendela. Kaca jendela itu seolah bukan suatu penghalang makhluk itu dapat menembusnya. Karena tidak hanya kedua tangannya saja, tapi kepala nya kini yang sudah terlihat sempurna mulai masuk ke dalam, menembus kaca.
Aku menelan ludah, melihat adegan tersebut. Bukan acara sulap seperti di tv, melainkan sosok makhluk mengerikan yang mulai mengusik. Sekujur tubuh nya berwarna hitam. Entah gosong atau memang begitu warna kulitnya. Dia mulai masuk ke dalam dan kini seluruh tubuhnya dapat terlihat olehku, apalagi rambut panjangnya yang tergerai lepek menyentuh lantai, seperti meninggalkan bekas kotor di sana. Wajahnya keriput, dengan banyak urat-urat dengan warna merah. Bukan hanya wajah, melainkan sekujur tubuhnya. Pakaiannya seolah senada dengan warna tubuhnya. Dia tidak berjalan, melainkan mengesot. Menarik kakinya sambil mencari sesuatu atau seseorang.
Aku terus memperhatikan dalam diam, dan tiba-tiba dia menyeringai saat melihat seseorang. Gladis. Seperti melihat teman lama, dia lantas terus menyeret tubuhnya mendekati Gladis. Tapi Gladis sendiri tidak melihatnya. Karena masih fokus pada pekerjaan di depannya, walau sesekali terlibat obrolan jarak jauh dengan Rizal.
Hm. Pantas saja Nida kesal. Jika aku menjadi dia, pasti akan melakukan hal serupa. Untung bukan Rangga yang didekati Gladis.
Perhatianku teralihkan oleh jendela lain. Bahkan semua jendela di ruangan ini kedatangan makhluk serupa. Aku melotot dengan tubuh bergetar. Semua makhluk itu datang dan mendekat ke Gladis seperti makhluk sebelumnya. Mereka semua mengitari Gladis dan hanya duduk di lantai begitu saja.
Menatap Gladis yang sedang sibuk berbincang dengan Rizal, sambil berkode yang hanya mereka berdua yang tau. Gelagat mereka aneh. Makhluk di dekat Gladis pun yang awalnya hanya terpaku pada wanita itu kini ikut memperhatikan Rizal. Bahkan salah satu dari mereka seolah berbincang dengan yang lain, sambil tersenyum mengerikan dan menunjuk Rizal. Mereka mengangguk serempak dan mendekati Rizal juga.
Ada apa ini? Mau apa mereka? Siapa mereka?
Pertanyaan tersebut terus terngiang di kepala ku. Aku makin tidak kuat, tubuhku makin bergetar hebat jika terus memperhatikan makhluk-makhluk itu. Aku paksa kan untuk berpaling dan mencari seseorang.
"Lis? Bang Cen ... Mana?" tanya ku dengan nafas tersengal.
Dia tengak-tengok dan sama-sama tidak melihat orang yang ku maksud. "Eh! Iya! Ke atas! Tadi mau ambil berkas dari Kris, belum balik ke sini lagi sepertinya," jelasnya.
"Oh ya udah." Aku menahan tubuhku dengan kedua tangan saat hendak beranjak. Kaki ku entah mengapa terasa lemas. Sehingga jarak lift dan meja kerja ku terasa jauh sekali.
"Neng? Kenapa?" tanya Lilis memperhatikan. Ia lantas mendekat dan membantu memegangi tubuh ku.
"Bang Cen ... Panggil dia! Cepat!" kataku menunjuk lift. Lilis yang melihat ku aneh lantas mengangguk.
"Ya udah, kamu tunggu di sini. Biar aku yang panggil."
Lilis membawa ku kembali ke meja ku. Sementara dia pergi ke lantai atas memanggil orang yang ku minta tadi. Tidak sanggup lagi melihat ke arah itu, sosok-sosok mengerikan itu masih ada di sana. Tapi entah mengapa, mata ku seolah tidak ingin berpaling dari mereka. Rasa penasaran masih menyelimuti ku. Entah mengapa perasaan ku tidak enak. Terutama terhadap Rizal.
Kini salah satu dari mereka mendekati Gladis. Duduk di bawah nya sambil memeluk kakinya. Satu sosok lain ikut mendekat, melakukan hal yang sama.
Sosok lain justru mendekati Rizal. Mereka seperti punya tugas masing-masing. Awalnya kupikir mereka tidak bisa berdiri, tapi saat salah satu dari mereka berada di belakang Rizal, aku mulai melihat gerakan nya berusaha berdiri di atas kakinya sendiri. Walau kesulitan, dia menahan beban tubuhnya dan kini berdiri di belakang Rizal. Tangannya yang lengket itu berlendir, dan berwarna hitam, mengelus kepala Rizal. Dia bahkan menjilat telinga Rizal lalu mengangguk pada yang lain. Seolah sebuah ajakan untuk melakukan hal yang sama, sosok lain yang sejak tadi hanya duduk di dekat Rizal, kini ikut mendekat, mereka menempatkan diri di posisi masing-masing. Lalu melakukan hal yang sama, menjilat seluruh bagian tubuh pria jangkung kurus tersebut. Menganggapnya seolah makanan lezat.
Tunggu! Jangan-jangan mereka ....
Obrolan Gladis dan Rizal berakhir. Aku yang awalnya berpikir kalau Gladis tidak bisa melihat 'mereka' kini menarik pernyataan itu. Karena saat ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia sedang berbincang dengan sosok yang berada di kakinya. Walau aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dari gelagatnya dapat ku simpulkan kalau mereka membicarakan Rizal.
Tapi seketika dia melihat ku yang sedang memperhatikannya. Mungkin dia merasakan hal itu. Sosok di dekatnya juga menatapku sekarang. Gladis menggumam padanya lalu menunjukku dengan dagunya. Sosok itu mengangguk, lantas bergerak menjauh dari Gladis. Ternyata Gladis menyuruhnya mendekati ku. Sadar ancaman akan datang, aku kembali beranjak. Tapi anehnya tubuhku makin berat, lebih berat dari pada yang kurasakan tadi. Kini aku kesulitan berjalan, bahkan berdiri pun aku seolah tidak sanggup. Jalan keluar satu-satunya hanya merangkak. Itu pun sulit kulakukan karena kakiku lemas. Alhasil, aku menarik tubuhku, berpegangan pada kaki-kaki meja di sekitar dan berusaha untuk pergi dari tempat ini secepat mungkin.
Perlahan tapi pasti, tubuhku mulai bergerak, namun saat aku menoleh ke belakang, rupanya sosok-sosok itu merangkak ke arahku, pelan tapi lama kelamaan gerakan mereka makin cepat. Bahkan terkesan berlari. Dalam sekejap aku melihatnya sudah berada di dekatku, dia menyergap dan membuatku menutup mata sambil berteriak.
"Ros? Rosi? Kenapa, Ros?" tanya seseorang yang ku kenal suaranya. Indi. Aku yang sejak tadi histeris sambil menutup wajah. Kini memberanikan diri melihat sekitar. Hanya ada teman-teman ku yang berdiri mengelilingi dan menatapku bingung. Posisi ku sudah sampai dekat lift. "Lo kenapa?" tanya Indi lalu membantuku berdiri.
Aku lantas menoleh ke segala arah. Mencari keberadaan makhluk yang tadi hendak menyerang ku.
"Heh! Kenapa sih lo?" tanya Mey ikut bingung melihatku.
"Nih minum dulu," kata Mpok Khusnul menyodorkan segelas air minum. Mey membantuku minum tapi aku masih panik dan tetap mencari keberadaan makhluk-makhluk tadi yang tiba-tiba raib begitu saja. Dari kejauhan Gladis tersenyum. Hal ini membuatku yakin, kalau apa yang ku alami bukan mimpi. Walau pada akhirnya mereka semua kini lenyap. Tapi mereka memang ada, dan aku yakin itu sebuah ancaman. Baik untukku, maupun untuk Rizal.
_____
"Aku yakin banget sama apa yang aku lihat! Mereka ... Mereka mau mencelakai Rizal! Itu pasti!" kataku saat kami semua berada di cafe dekat kantor.
Sore ini kami semua pulang lebih awal, karena pekerjaan di awal bulan masih tidak terlalu banyak.
"Gila sih, kalau bener gitu. Dan semua dugaan kita sebelumnya beralasan!" cetus Mey.
"Pantes gue nggak suka lihat itu perempuan! Macam pramuria aja! Ternyata emang perempuan gila! Bertemen kok sama setan, kayak nggak ada makhluk berjenis manusia aja di sekitar dia."
"Sekarang kita harus memikirkan langkah selanjutnya. Kalau apa yang Rosi bilang beneran, itu artinya Rizal dalam bahaya, juga kamu ... Sayang," kata Rangga yang duduk di samping ku sambil terus memegang tanganku, cemas.
Dia tidak melihat keadaanku saat insiden tadi siang, karena sedang berada di luar kantor dengan Bagus. Makanya saat ini dia sangat cemas.
"Kenapa aku juga?" tanyaku tidak paham.
"Ya jelas elu juga! Kan elu saksi mata. Gue yakin Gladis juga mengincar elu!" tandas Indi.
"Bener! Karena dia tau, kalau elu bisa lihat para anak buahnya itu. Tapi ... Mana Rizal?" tanya Mey tengak tengok.
"Langsung balik, kan sempat ribut sama Nida lagi tadi. Rizal yang mau pergi sama Gladis, dihalangi Nida. Kasihan itu anak, sampai di dorong sama Rizal, jatuh di parkiran," jelas Mpok Khusnul.
"Masa sih, Mpok?"
"Iya, tuh tanya Rahma, saksi mata sekaligus tempat curhat Nida," tunjuk Mpok Khusnul.
"Iya, kasihan. Stres itu anak. Nggak mau makan sejak tau Rizal main hati sama Gladis."
"Lagian salah dia sendiri. Pas Rizal masih normal, belum kena guna-guna, sering 'kan Nida bertindak seenaknya ke Rizal. Mentang-mentang Rizal cinta sama dia, dia manfaatkan hal itu. Sekarang Rizal berpaling dia kelimpungan," tandas Lilis.
"Yang jelas, kita harus bantu Rizal. Rosi setuju banget buat bantu Rizal, biar Nida balik sama Rizal lagi, iya, kan, Ros?" tanya Asep.
"Iya. Kalau bisa secepatnya. Kasihan Nida."
"Yakin karena kasihan sama Nida? Bukannya elu takut Nida godain laki lu lagi?" sindir Asep menanyakan hal yang membuat beberapa dari mereka terkekeh.
"Iya, cemburunya, Sep ... Beuh! Serem. Kemarin aja hampir gue nggak dapat jatah. Gara-gara Nida," timpal Rangga dan segera ku sikut dia. Dia lantas tersenyum lalu mengeratkan tubuhku agar mendekat padanya. "Bercanda ih. Tapi emang kenyataan, kan, sayang?" bisiknya.
"Awas. Kalau diulangi lagi. Aku potong punya mu!"
"Is. Ngilu ih. Tuh, serem kan, Sep. Mana punya gue mau dipotong," rajuk Rangga.
Bang Cen yang baru saja datang lantas segera bergabung. Dia memang sengaja pergi ke suatu tempat terlebih dahulu untuk menyelesaikan urusan lain di sana.
"Akhirnya ... Yang ditunggu pun tiba," cetus Asep.
Bang Cen duduk di kursi samping Asep, menatap kami semua bergantian. "Jadi gimana? Kita mulai dari mana?" tanya nya.
"Kan kita nunggu Abang," tukas Indi.
"Hm. Begitu, ya? Sepertinya kita harus cari Rizal dulu. Langkah pertama ya harus pisahkan dia sama Gladis. Kita obati dia dulu, baru kita singkirkan Gladis."
"Singkirkan? Maksud Abang?"
"Dia itu ... Bukan manusia."
"Hah!"
0