- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady

Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:

Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’

Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 09:23
Dhekazama dan 241 lainnya memberi reputasi
238
342.9K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#305
#30 - Some Memories will hurt you as Hell
Spoiler for #30 - Some Memories will hurt you as Hell:

Hari berikutnya, gua nggak mendapati Jeje di sekolah. Suci dan teman-teman sekelasnya yang lain tak ada yang tau kemana ia pergi; sengaja membolos atau sakit?
Baru setelah hari ketiga ia nggak masuk sekolah, Suci memberi informasi ke gua kalau kakeknya Jeje meninggal.
“Lo tau dari mana ci?”Tanya gua ke Suci.
“Tadi temennya dari kelas lain ngasih tau ke anak-anak” Jawab Suci.
“Siapa?”
“Siapa ya namanya, anak dari kelas 1-4. Rohman kalo nggak salah…”
Begitu bel tanda pelajaran berakhir, gua buru-buru keluar dari kelas dan bergegas menuju ke kelas 1-4, mencari cowok bernama Rohman. Setelah bertanya ke beberapa siswa lain, yang langsung menunjuk ke sosok pria jangkung yang duduk di belakang kelas; Rohman.
“Lo Rohman?” Tanya gua.
Ia menatap gua dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu balik bertanya; “Iya, kenapa?”
Gua menyodorkan tangan ke arahnya seraya menyebutkan nama. Rohman menjabat tangan gua lantas kembali mengajukan pertanyaan: “Ada apaan?”
“Lo kenal Julian, Jeje?”
“Kenal, kenapa?”
“Kakeknya meninggal?”
“Iya… nih gua mau ke rumahnya, nganter uang duka dari temen-temen..” Ucap Rohman.
“...”
“... Ada apaan sih? Jeje bikin gara-gara sama lo? Duh.. kalo dia bikin gara-gara, gua minta tolong lupain aja deh, dia udah banyak masalah…” Rohman menambahkan.
“Nggak kok, nggak ada apa-apa, gue cuma pengen tau aja kabar dia gimana” Gua menjawab.
“Aneh… orang lain pada ogah tau kabarnya, lo malah nanya…” Ucap Rohman kemudian pergi.
Besoknya, Jeje masih belum terlihat di sekolah. Nggak habis akal, gua mencari Rohman, berniat mengajaknya ngobrol; ingin tau lebih banyak tentang Jeje.
Awalnya Rohman sedikit memberi penolakan, karena dia menganggap gua hanya mengada-ada. Namun, setelah beberapa kali mencoba, Rohman akhirnya luluh dan mau bercerita tentang temannya; Jeje.
Rohman bercerita dengan hati-hati, seperti ada yang dijaganya, takut keceplosan. Siang itu, ia hanya memberitahu gua tentang Jeje yang punya seorang adik perempuan dan cerita singkat tentang kakeknya yang baru saja meninggal. Tak lebih dari itu.
“Kalo lo mau tau banyak, lo tanya aja langsung sama orangnya…” Ucap Rohman sebelum pergi.
“Iya..”
Rohman melangkah kembali mendekat ke arah gua, lalu bertanya; “Emang ada apaan sih sebenernya? lo getol banget nanyain Jeje?”
“Gapapa…”
—
Pagi itu hujan deras mengguyur pinggiran Jakarta. Sudah siap dengan seragam sekolah dan tas di punggung, gua duduk di kursi teras rumah sambil menatap air hujan yang jatuh dari talang.
“Tumben kali kau nak, hujan begini masih mau masuk sekolah?” Tanya Mamak yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Mempertanyakan kelakuan gua yang terbilang nggak lumrah. Iya, biasanya saat hujan deras di pagi hari, gua cenderung enggan bersekolah. Pertama, karena cuacanya dingin dan sejuk, cocok untuk terus tidur. Kedua, gua benci basah. Gua benci sepatu yang basah, gua benci baju yang basah, gua benci ketidaknyamanan.
“Anaknya rajin kok malah dibilang tumben” Balas gua ke Mamak, kemudian berdiri, membuka payung dan berangkat.
Saat hujan tentu saja, ojek langganan gua nggak datang menjemput karena sudah tau dengan kebiasaan gua yang enggan masuk sekolah kala hujan. Jadi, hari itu gua memutuskan untuk naik angkot.
Ini bukan pengalaman pertama gua naik angkutan umum ke sekolah. Sebelumnya pernah beberapa kali gua harus naik angkot karena tukang ojek langganan gua sakit. Dan yang gua benci dari naik angkutan umum adalah; Lelet. Udah lelet, kadang mereka masih suka ngetem, menunggu penumpang.
Seperti yang terjadi sekarang. Angkot yang gua tumpangi, berhenti di tepi jalan dekat pasar; Ngetem. Menunggu semua kursi kosong dipenuhi penumpang, padahal saat ini hanya tersisa satu tempat kosong di dalam angkot.
Gua menghela nafas panjang sambil menyandarkan kepala pada jendela bagian belakang angkot.
Tanpa sengaja mata gua tertuju kesosok Jeje yang terlihat baru saja keluar dari lorong pasar. Seluruh tubuhnya basah karena hujan, tangannya menggenggam plastik berwarna merah yang sepertinya berisi tas dan sepatu sekolahnya. Sepasang sandal jepit usang melindungi kedua kakinya, satu tangannya mencoba melindungi kepalanya dari hujan yang kini mulai menyisakan gerimis.
Ia menyusuri jalan menuju ke arah sekolah.
Begitu semua kursi terisi penuh, angkot yang gua tumpangi mulai berjalan. Mata gua terus menatap keluar, ke sisi jalan dan mendapati Jeje masih berjalan, menuju ke arah yang sama dengan angkot yang gua tumpangi.
Gerimis. Gua kembali membuka payung begitu turun dari angkot di gang depan sekolah. Beberapa siswa lainnya terlihat berjalan cepat, sebagian lainnya berlari menghindari genangan air menuju ke sekolah, takut terlambat. Sementara gua masih berdiri mematung sambil menoleh ke arah jalan menunggu Jeje.
Samar terdengar suara bel dari bangunan sekolah, tanda jam pelajaran pertama sudah dimulai.
Gua masih berdiri dibawah payung menatap ke arah jalan.
Dari kejauhan terlihat sosok Jeje berjalan mendekat, ia berbelok masuk ke area pom bensin. Beberapa menit berikutnya, ia keluar, kini sudah berganti pakaian dengan seragam sekolah. Dengan tasnya ia menutupi kepala, melindungi diri dari gerimis.
Gua berbalik dan melangkah pelan masuk ke dalam gang arah sekolah, takut dikira sengaja menunggunya. Gua melambatkan langkah agar ia menyusul dan berjalan bersama ke arah sekolah. Namun, Jeje sepertinya nggak menyadari kehadiran gua. Ia terus berjalan cepat melewati gua.
“Je…” Spontan, bibir ini memanggil namanya tanpa perintah. Masih terus berjalan, ia menoleh ke arah gua.
“Eh, Din..” Balasnya. Jeje menghentikan langkahnya, menunggu gua hingga berada tepat di sebelahnya.
Gua menggeser payung agar ia terlindung dari rintik hujan. Namun, dengan cepat ia kembali menggeser payung ke arah gua. “Ntar lo basah” Ucapnya pelan.
Gerbang sekolah sudah hampir ditutup oleh satpam. Biasanya, saat hari normal pagar sekolah pasti sudah ditutup, tapi sepertinya ada sedikit keringanan saat hujan, memberi kelonggaran bagi para siswa yang datang terlambat akibat hujan.
Tiba-tiba ia meraih tangan gua dan mempercepat langkah, lalu menyelinap masuk melalui pagar sekolah yang nyaris tertutup.
Deg! Mampus dia megang tangan gua.
Begitu sudah berada di dalam area sekolah, ia langsung melepas genggamannya dan pergi begitu saja menuju ke kelasnya. Sementara, gua berdiri, terdiam sambil memegangi pergelangan tangan yang tadi di genggamnya. Masih tersisa rasa hangat dari tangannya, rasa hangat yang membuat gua sama sekali nggak menyesal harus masuk ke sekolah di hari hujan.
Saat jam istirahat, gua membulatkan tekad untuk mengajaknya ke kantin.
Gua berjinjit dari luar kelasnya, mengintip dari jendela dan nggak mendapati Jeje di kursinya.
“Woi… Ngapain?” Seri Suci sambil menepuk bahu gua.
“...”
“... Ke kantin yuk..” Ajak Suci.
“Lo duluan aja…” Jawab gua singkat, sementara mata gua masih memindai isi kelas, mencari keberadaan Jeje.
“Nyari siapa sih? Jeje? dia keluar tadi…” Ucap Suci.
“Kemana?” Tanya gua. Yang lalu diresponnya dengan mengangkat kedua bahu.
Gua berbalik, menyusuri lorong kelas, menuju ke kelas 1-4; kelasnya Rohman. Dan kembali berjinjit, mengintip melalui jendela kelas dan nggak mendapati Jeje bersama Rohman. Nggak menyerah, gua langsung turun, menuju ke kantin, ke perpustakaan, ke lapangan basket dan masih nggak berhasil menemukan Jeje.
Saat berniat kembali ke kelas, gua melihat Jeje tengah duduk sendirian di kursi panjang di area parkir motor. Gua berjalan mendekat ke arahnya. Ia tengah duduk bertopang dagu sambil menatap kosong ke depan, ke arah deretan sepeda motor yang terparkir rapi. Di salah satu body sepeda motor, terlihat sebuah kaos basah yang sengaja di lampirkan. Gua mengenali kaos tersebut, sebagai kaos miliknya yang tadi ia kenakan saat keluar dari pasar.
Gua berdiri tepat di sebelahnya, memandang ke arah yang sama, ke kaos basahnya.
Menyadari kehadiran gua, ia menoleh sebentar, kemudian menggeser posisi duduknya, seakan memberi kode agar gua duduk di sebelahnya.
“Baju lo?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah kaos di atas sepeda motor dengan dagu.
“Iya” Jawabnya singkat.
Gua lalu duduk di sebelahnya.
“Emang bakal kering kalo lo jemur disini?” Gua memberanikan diri kembali bertanya.
“Nggak tau deh. Lo nyari siapa?”
“Nyari elo” Gua menjawab sambil menundukkan kepala, nggak berani menatap ke arahnya.
“Nyari gua, ngapain?”
“Kata si Rohman, kemarin kakek lo meninggal?”
“Iya..”
“Turut berduka ya Je..”
“Iya, thank you…”
—
Ini merupakan obrolan pertama antara kami berdua yang berlangsung lebih dari satu kalimat. Sungguh perasaan ini campur aduk, antara gugup dan senang yang menjadi satu.
“... Lo nyari gua cuma mau bilang itu?”
“Iya… Kenapa udah banyak yang ngomong gitu ke elo?” Tanya gua.
“Haha, nggak. Justru lo orang pertama yang ngucapin belasungkawa ke gua..”
“Serius? pengen bangga tapi kok nggak etis rasanya”
“Bangga? kenapa? bukannya harusnya malah aneh?”
“Aneh, aneh kenapa?”
“Aneh aja, diantara orang lain yang nggak peduli kenapa lo sampe nyari gua cuma buat bilang belasungkawa..”
“Ya.. bukannya emang seharusnya gitu?”
“...”
“By the way, tadi gue liat lo di pasar pas berangkat sekolah..”
“Oh..”
“Lo tadi jalan kaki ya?” Tanya gua penasaran.
“Iya..”
“Jalan kaki dari rumah apa dari pasar?”
“Dari rumah ke pasar, dari pasar ke sekolah”
“Rumah lo emang dimana?” Gua kembali bertanya, yang lalu dijawab oleh Jeje dengan menyebut nama daerah tempatnya tinggal. Yang tentu saja gua sudah bisa menebaknya, karena pernah melihatnya beberapa kali di sekitar rumah, tempat tinggalnya nggak begitu jauh dari tempat gua.
Rumah kami berdua berada di kelurahan yang sama, berbeda RW, dan dipisahkan oleh jalan raya.
“Lo nggak capek? sekolah jalan kaki?”
“Udah biasa…”
“Terus lo ngapain tadi keluar dari pasar?” Tanya gua lagi, kali ini gua memberanikan diri menoleh, menatap ke arahnya. Sementara Jeje masih memandang kosong ke kaos miliknya yang terlampir di atas sepeda motor.
Ia lalu berpaling ke arah gua, ekspresi wajahnya terlihat bingung.
“Gua lagi di interview?” Tanyanya.
“Eh, nggak.. cuma pengen tau aja…” Jawab gua gelagapan.
“...”
“...Soalnya waktu itu gue pernah liat lo di deket rumah gue…” Gua menambahkan.
Jeje nggak langsung memberi respon. Ia berdiri, meraih kaosnya yang belum kering, lalu bersiap pergi.
“Rumah lo yang deket lapangan bola kan? yang ada ayunan di halamannya?” Tanyanya sebelum pergi.
“Iya.. eh kok lo tau?” Gua balik bertanya. Namun, Jeje nggak menjawab. Ia keburu pergi meninggalkan gua yang kini duduk sendiri menatap punggungnya yang perlahan hilang dibalik kerumunan siswa-siswa lain.
Sejak saat itu, gua selalu menyempatkan diri untuk menyapanya disetiap kesempatan. Saat gua menyambangi Suci di kelasnya, saat kami berpapasan di lorong kelas, atau saat kami berbaris menjelang upacara bendera di hari Senin.
Tapi ya hanya sekedar menyapa, tak ada obrolan panjang seperti sebelumnya. Bukannya tak mau atau tak sempat, tapi sepertinya Jeje merasa nggak begitu nyaman saat harus ngobrol dengan gua. Saat ada kesempatan untuk ngobrol berdua, Jeje terlihat selalu berusaha menghindar, entah dengan berlagak ke kamar mandi atau dengan sengaja memasang earphone di telinganya. Gua sama sekali nggak masalah, hanya dengan menyapa dan melihat wajahnya setiap hari sudah cukup membuat gua bahagia.
—
Ada kebiasaan yang gua selalu lakukan, yang berkaitan dengan Jeje. Gua selalu membolos saat mata pelajaran komputer, hanya demi melihatnya bermain sepak bola saat mata pelajaran olahraga.
Bersama Suci dan beberapa teman cewek dari kelas lain yang juga ingin tebar pesona ke cowok-cowok dari kelasnya Suci, kami duduk berjejer di tepi lapangan, menonton para cowok bermain sepak bola.
Cowok bernama Aldi-lah yang jadi sosok primadona, ia ganteng, putih dan tinggi. Saat ia menerima umpan atau menendang bola, para cewek-cewek akan langsung bersorak, meneriaki namanya. Sementara, gua hanya bertopang dagu sambil menatap Jeje yang bermain tanpa alas kaki, sepatunya sengaja ia lepas dan ia letakkan di sudut lapangan.
Gua begitu senang saat melihat Jeje bermain sepak bola. Karena hanya di saat itu lah wajahnya selalu dipenuhi dengan senyuman dan tawa yang lepas. Hal yang nggak pernah gue lihat di saat-saat lain. Mungkin sepak bola adalah tempatnya melepas penat dari beban hidup yang selama ini ia tanggung, beban hidupnya yang masih belum gua ketahui.
“Mau kemana Din?” Tanya Suci saat gua berdiri dari tepi lapangan.
“Beli minum” Jawab gua singkat.
“Lah itu?” Suci kembali bertanya sambil menunjuk plastik berisi es jeruk di tangan gua.
“Bukan buat gue…”
“Terus buat siapa? Buat Aldi?”
“Idih…”
Setengah berlari gua menuju ke kantin untuk membeli sebotol air mineral dingin. Saat tengah membayar, terdengar riuh rendah suara gerombolan teman sekelas Jeje yang sepertinya baru saja selesai bermain sepak bola. Mereka memenuhi kantin untuk membeli minuman.
Dengan botol air mineral di tangan, gua mencari Jeje diantara kerumunan, tapi ia tak berada disana. Gua berjalan kembali menuju ke lapangan, dan hanya mendapati Aldi tengah dikelilingi para cewek yang menawarkan minuman.
Di sudut terjauh lapangan Jeje berjalan gontai, ia meraih sepatunya kemudian menuju ke arah mushola yang terletak nggak begitu jauh dari area lapangan. Masih dengan botol air mineral dingin di tangan, gua mengikutinya.
Jeje melangkah masuk ke tempat wudhu di area mushola dan mulai mencuci kedua kakinya yang terlihat melepuh akibat bermain sepak bola tanpa alas kaki. Setelah selesai mencuci kedua kakinya, ia menunduk dan membiarkan kepalanya berada di bawah aliran air, kemudian sedikit mendongak, membuka mulutnya dan minum melalui air keran.
Gua buru-buru mendekat; “Je, lo minum air keran?” Seru gua.
Ia terkejut begitu mendengar seruan gua, dan mulai terbatuk-batuk.
“Lo minum air keran?” Tanya gua lagi, sambil terus mendekat.
Ia mengangguk pelan, kemudian menyeka air dari wajahnya dan berjalan ke area duduk di halaman mushola.
“Nih, minum ini aja” Ucap gua seraya mengikutinya duduk dan menyerahkan sebotol air mineral dingin ke arahnya.
Alih-alih langsung menyambut pemberian gua, ia malah menatap botol tersebut kemudian matanya beralih menatap gua.
“Punya siapa?” Tanyanya pelan.
“Punya gue” Jawab gua masih dengan tangan menyodorkan botol air ke arahnya.
Ragu, ia meraih dan meletakkan botol air mineral pemberian gua di sebelahnya; “Thank you” ucapnya. Jeje lalu mulai menyeka kedua kakinya yang basah dengan kaos kaki dan mulai memakai sepatunya tanpa kaos kaki. Sementara, kaos kaki bekas ia menyeka dimasukkannya ke saku celana.
Gua meraih botol di sebelahnya, membuka tutupnya dan menyodorkannya kembali ke arahnya.
Ia meraih botol tersebut dan mulai meminumnya.
“Lo kenapa minum air keran?” Tanya gua lagi, penasaran karena belum mendapat jawaban darinya.
“Emang air keran nggak boleh diminum?” Ia balik bertanya.
“Ya kan itu masih mentah, bisa aja ada bakterinya” Gua menjawab, sementara ekspresi gua mungkin kini terlihat khawatir.
Jeje lalu mengangkat botol air mineral yang kini tersisa setengah; “Kalo ini? dijamin bersih dan nggak ada bakterinya?”
“Harusnya sih iya…”
Ia lalu menenggak habis air yang tersisa dari dalam botol, kemudian berdiri memasukkan botol tersebut ke tempat sampah yang berada di dekatnya.
“Lo bolos pelajaran?” Tanyanya sebelum pergi.
“Iya, hehe…”
Jeje tersenyum sebentar kemudian melangkah pergi. Gua berdiri dan berjalan mengikutinya dari belakang. Kami berdua berjalan menyusuri lorong sekolah, nggak bersebelahan, nggak bersisian, ia di depan dan gua di belakang. Ia berjalan gontai, sementara ujung jarinya meraba dinding lorong sambil tetap berjalan. Entah kenapa, gua mengikuti semua gerak-geriknya, dari mulai gayanya berjalan, langkahnya, hingga ujung jari kami yang sama-sama menyentuh dinding.
Ada perasaan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, perasaan seperti menggugah hati, perasaan baru yang belum pernah gua alami.
Samar terdengar ia bersenandung lirih, menggumamkan sebuah lagu yang terdengar cukup familiar;
…It's a private emotion that fills you tonight, And a silence falls between us
As the shadows steal the light, And wherever you may find it, Wherever it may lead
Let your private emotion come to me, Come to me…
—
Halsey - Nightmare
Now I lay me down to sleep
I pray the Lord my soul to keep
If I shall die before I wake
I pray the Lord my soul to take
I, I keep a record of the wreckage in my life
I gotta recognize the weapon in my mind
They talk shit, but I love it every time
And I realize
I've tasted blood and it is sweet
I've had the rug pulled beneath my feet
I've trusted lies and trusted men
Broke down and put myself back together again
Stared in the mirror and punched it to shatters
Collected the pieces and picked out a dagger
I've pinched my skin in between my two fingers
And wished I could cut some parts off with some scissors
Come on little lady, give us a smile
No, I ain't got nothing to smile about
I got no one to smile for, I've waited a while for
A moment to say "I don't owe you a Goddamn thing"
I, I keep a record of the wreckage in my life
I gotta recognize the weapon in my mind
They talk shit, but I love it every time
And I realize
No sweet dream but I'm a hell of a night
That I'm no sweet dream, but I'm a hell of a night
No, I won't smile, but I'll show you my teeth
And I'ma let you speak if you just let me breathe
I've been polite, but won't be caught dead
Letting a man tell me what I should do in my bed
Keep my exes in check in my basement
'Cause kindness is weakness, or worse, you're complacent
I could play nice, or I could be a bully
I'm tired and angry, but somebody should be
Come on little lady, give us a smile
No, I ain't got nothing to smile about
I got no one to smile for, I've waited a while for
A moment to say "I don't owe you a Goddamn thing"
I, I keep a record of the wreckage in my life
I gotta recognize the weapon in my mind
They talk shit, but I love it every time
And I realize
I, I keep a record of the wreckage in my life
I gotta recognize the weapon in my mind
They talk shit, but I love it every time
And I realize
Someone like me can be a real nightmare, completely aware
But I'd rather be a real nightmare than die unaware, yes
Someone like me can be a real nightmare, completely aware
But I'm glad to be a real nightmare, so save me your prayers
I, I keep a record of the wreckage in my life
I gotta recognize the weapon in my mind
They talk shit, but I love it every time
And I realize
I, I keep a record of the wreckage in my life
I gotta recognize the weapon in my mind
They talk shit, but I love it every time
And I realize
I'm no sweet dream but I'm a hell of a night
That I'm no sweet dream but I'm a hell of a night
medina12 dan 65 lainnya memberi reputasi
66
Kutip
Balas
Tutup