- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#61
Part 59 Gladis
"Siapa tuh?"
Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu.
"Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu.
"Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.
Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus ada di dekatnya.
Kami kembali berkutat dengan pekerjaan masing - masing. Hingga saat Om Fendi muncul bersama wanita yang kami gosip kan tadi, dia memberikan pengumuman yang sudah bisa kami tebak sebelumnya.
"Perhatian! Kenalkan ini karyawan baru di divisi kita. Namanya ... Siapa namamu tadi?" tanya Om Fendi padanya.
"Gladis, Pak," sahutnya malu-malu.
"Oh iya, Gladis. Dia nanti yang menggantikan posisi Sekar, ya. Itu meja kamu. Selamat bekerja," tunjuk Om Fendi padanya.
"Baik." Wanita itu lantas berjalan ke kubik miliknya. Sepanjang ia berjalan, semua orang melihat ke arahnya. Cara berjalannya seperti sengaja mengundang semua mata agar memandangnya. Pantat nya yang sama berisi nya dengan bagian payudara, bergerak berirama bahkan membuat semua mata lelaki tak terlepas dari sosok wanita itu. Bahkan Asep sampai mendapat jeweran dari Mey.
Lilis mengajari nya beberapa hal tentang apa yang harus dia lakukan. Posisinya yang berada di seberang kubik milikku, membuat ku dapat melihatnya dengan mudah. Bahkan dengan posisiku duduk seperti sekarang. Dia mengangguk saat Lilis bertanya. Sepertinya Lilis hendak membiarkan dia mandiri terhadap pekerjaan yang sudah diajarkan selama beberapa menit tadi.
Aku pun kembali menatap laptop. Barisan kalimat di depan terkadang membuat mataku lelah. Sehingga aku sering mengalihkan pandangan dari layar di depan ke tempat lain. Dan kini ada objek baru yang membuatku selalu ingin melihat ke arahnya. Gladis. Padahal aku wanita, sama seperti dia. Tapi bahkan aku sendiri saja tidak ingin memalingkan pandangan ku dari wanita itu, apalagi para pria.
Rangga muncul, seperti biasa mengambil beberapa tumpukan kertas dari ruangan ku. Tapi dia datang ke meja Asep. Hanya menatapku dari kejauhan sambil mengedipkan sebelah mata nya. Sengaja aku beranjak dan mendekat ke meja Asep, selain memang ada hal yang ingin ku minta darinya, aku juga ingin menemui kekasih ku tersebut.
"Tuh, lihat, Ngga? Cakep bener 'kan? Bisa nih, deketin," ucap Asep menunjuk Gladis dengan gerak tangannya yang sembunyi - sembunyi.
"Wuih, mantep, Sep. Body nya ...," cetus Rangga menanggapi perkataan Asep.
"Heh! Apa yang mantep?!" pekik ku lalu menjewer telinga kekasih ku itu. Dia meringis kesakitan, lalu meraih tangan ku agar berhenti menjewer nya.
"Kamu sayang, yang mantep. Dia mah lewat. Selera nya si Asep itu mah. Kamu nggak sadar ya, kalau kamu itu mirip indomie?" tanya Rangga sambil menggenggam kedua tangan ku, kini kami berdiri berhadapan.
"Maksud kamu? Keriting? Kurus? Mirip mie?!" tukas ku makin kesal.
"Bukan, Yang. Tapi kamu itu ... Seleraku." Rangga tersenyum dengan tatapan menggoda padaku.
"Halah. Kalau Rosi nggak ada juga pasti elu setuju sama kata - kata gue! Dasar cowok!" sindir Asep.
"Diem, kambing! Nanti gue nggak di kasih jatah nih," cicitnya lalu memukul kepala Asep dengan setumpuk kertas putih yang hendak ia berikan ke Asep.
"Tuh, minta jatah sama itu tuh," sahut ku lalu mengambil map hijau dari meja Asep. "Ini gue ambil!"
"Ambil dah. Emang jatah kerjaan lo kok," tandasnya lalu tertawa saat melihat Rangga bermuka masam.
"Elu sih! Dasar, kambing lo!" omel Rangga.
Ia mengejar ku yang kembali ke kursi tempatku bekerja. "Yang ... Ih. Jangan ngambek dong. Si Asep emang setan! Aku nggak serius tadi ngomong gitu, sayang," cetusnya terus berusaha mendapatkan perhatian ku. Beberapa teman melihat kami sambil terkekeh. Bahkan kini Rangga sampai berlutut di lantai dan terus mencoba meraih tangan kiri ku.
"Ih, apa sih! Aku nggak bisa ketik nih, kalau kamu pegangin terus! Udah sana balik ke atas! Masih betah, karena pengen lama - lama lihat Gladis?" tuduh ku dan membuat Rangga beristigfar.
"Kan aku di sini sama kamu terus, Yang. Masa kamu nuduh aku yang enggak-enggak. Dosa loh, Yang. Berburuk sangka. Apalagi sama pacar yang setia kayak aku gini," jelasnya dengan menampilkan wajah mengiba.
"Jangan percaya, Ros! Laki mah kalau lihat yang bahenol bakal melirik!" jerit Mey sambil melirik Asep.
"Heh! Kenapa lo lihatnya ke gue?" tanya Asep tidak terima.
"Ya elo salah satunya, buaya!" kata Mey kesal sepertinya mereka ini sedikit menyimpan perasaan, terlihat dari reaksi Mey saat Asep bertingkah, dia pasti marah - marah dan uring - iringan tidak jelas.
"Heh! Kalian pasangan tidak sah, tolong jangan mengompori kekasih saya, ya. Jangan libatkan masalah kalian agar kami bertengkar seperti itu! Awas saja!" kata Rangga, berdiri sambil berkacak pinggang.
"Heh! Sembarang mulut ente. Pasangan apaan!" elak Mey.
"Halah. Jangan munafik lu! Ngaku hayo," canda Rangga.
"Heh! Tutup mulut anda! Jangan menyebar fitnah. Ros, tolong kondisikan mulut laki lo!" kata Mey kesal.
Obrolan mereka justru membuatku menahan tawa, tapi aku sengaja pura-pura kesal agar Rangga juga tidak berani macam-macam dengan Gladis. Setidaknya untuk berjaga-jaga. Aku lantas berdiri, lalu menahan tubuh Rangga yang hendak menanggapi omelan Mey. "Udah ... Udah. Sana balik ah ke atas. Jangan bikin ribut, Yang," pinta ku sedikit mendorong tubuhnya agar menuju lift.
"Nggak mau ah. Kamu masih ngambek gitu."
"Enggak. Udah enggak. Sana kerja dulu. Buruan. Nanti kamu kelamaan di sini malah pulang malam, lembur lagi."
"Beneran udah enggak ngambek?"
"Enggak, Rangga sayang. Udah sana."
"Eh tapi, sun dulu atuh," kata Rangga mendekatkan pipinya padaku.
"Ih banyak orang!" kataku sambil tengak tengok. Kami berada di tengah ruangan dengan 20 orang yang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang melihat kami bagai tontonan, ada yang cuek saja dan tetap fokus pada pekerjaan.
"Is, pipi doang. Buruan." Rangga makin mendekatkan pipinya dan akhirnya aku mencium pipi kanannya sekilas. "Asik! Makasih, sayang. Aku balik dulu, ya. I Love you," katanya lalu balik mencium ku dan berlari ke lift.
______
Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu.
"Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu.
"Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.
Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus ada di dekatnya.
Kami kembali berkutat dengan pekerjaan masing - masing. Hingga saat Om Fendi muncul bersama wanita yang kami gosip kan tadi, dia memberikan pengumuman yang sudah bisa kami tebak sebelumnya.
"Perhatian! Kenalkan ini karyawan baru di divisi kita. Namanya ... Siapa namamu tadi?" tanya Om Fendi padanya.
"Gladis, Pak," sahutnya malu-malu.
"Oh iya, Gladis. Dia nanti yang menggantikan posisi Sekar, ya. Itu meja kamu. Selamat bekerja," tunjuk Om Fendi padanya.
"Baik." Wanita itu lantas berjalan ke kubik miliknya. Sepanjang ia berjalan, semua orang melihat ke arahnya. Cara berjalannya seperti sengaja mengundang semua mata agar memandangnya. Pantat nya yang sama berisi nya dengan bagian payudara, bergerak berirama bahkan membuat semua mata lelaki tak terlepas dari sosok wanita itu. Bahkan Asep sampai mendapat jeweran dari Mey.
Lilis mengajari nya beberapa hal tentang apa yang harus dia lakukan. Posisinya yang berada di seberang kubik milikku, membuat ku dapat melihatnya dengan mudah. Bahkan dengan posisiku duduk seperti sekarang. Dia mengangguk saat Lilis bertanya. Sepertinya Lilis hendak membiarkan dia mandiri terhadap pekerjaan yang sudah diajarkan selama beberapa menit tadi.
Aku pun kembali menatap laptop. Barisan kalimat di depan terkadang membuat mataku lelah. Sehingga aku sering mengalihkan pandangan dari layar di depan ke tempat lain. Dan kini ada objek baru yang membuatku selalu ingin melihat ke arahnya. Gladis. Padahal aku wanita, sama seperti dia. Tapi bahkan aku sendiri saja tidak ingin memalingkan pandangan ku dari wanita itu, apalagi para pria.
Rangga muncul, seperti biasa mengambil beberapa tumpukan kertas dari ruangan ku. Tapi dia datang ke meja Asep. Hanya menatapku dari kejauhan sambil mengedipkan sebelah mata nya. Sengaja aku beranjak dan mendekat ke meja Asep, selain memang ada hal yang ingin ku minta darinya, aku juga ingin menemui kekasih ku tersebut.
"Tuh, lihat, Ngga? Cakep bener 'kan? Bisa nih, deketin," ucap Asep menunjuk Gladis dengan gerak tangannya yang sembunyi - sembunyi.
"Wuih, mantep, Sep. Body nya ...," cetus Rangga menanggapi perkataan Asep.
"Heh! Apa yang mantep?!" pekik ku lalu menjewer telinga kekasih ku itu. Dia meringis kesakitan, lalu meraih tangan ku agar berhenti menjewer nya.
"Kamu sayang, yang mantep. Dia mah lewat. Selera nya si Asep itu mah. Kamu nggak sadar ya, kalau kamu itu mirip indomie?" tanya Rangga sambil menggenggam kedua tangan ku, kini kami berdiri berhadapan.
"Maksud kamu? Keriting? Kurus? Mirip mie?!" tukas ku makin kesal.
"Bukan, Yang. Tapi kamu itu ... Seleraku." Rangga tersenyum dengan tatapan menggoda padaku.
"Halah. Kalau Rosi nggak ada juga pasti elu setuju sama kata - kata gue! Dasar cowok!" sindir Asep.
"Diem, kambing! Nanti gue nggak di kasih jatah nih," cicitnya lalu memukul kepala Asep dengan setumpuk kertas putih yang hendak ia berikan ke Asep.
"Tuh, minta jatah sama itu tuh," sahut ku lalu mengambil map hijau dari meja Asep. "Ini gue ambil!"
"Ambil dah. Emang jatah kerjaan lo kok," tandasnya lalu tertawa saat melihat Rangga bermuka masam.
"Elu sih! Dasar, kambing lo!" omel Rangga.
Ia mengejar ku yang kembali ke kursi tempatku bekerja. "Yang ... Ih. Jangan ngambek dong. Si Asep emang setan! Aku nggak serius tadi ngomong gitu, sayang," cetusnya terus berusaha mendapatkan perhatian ku. Beberapa teman melihat kami sambil terkekeh. Bahkan kini Rangga sampai berlutut di lantai dan terus mencoba meraih tangan kiri ku.
"Ih, apa sih! Aku nggak bisa ketik nih, kalau kamu pegangin terus! Udah sana balik ke atas! Masih betah, karena pengen lama - lama lihat Gladis?" tuduh ku dan membuat Rangga beristigfar.
"Kan aku di sini sama kamu terus, Yang. Masa kamu nuduh aku yang enggak-enggak. Dosa loh, Yang. Berburuk sangka. Apalagi sama pacar yang setia kayak aku gini," jelasnya dengan menampilkan wajah mengiba.
"Jangan percaya, Ros! Laki mah kalau lihat yang bahenol bakal melirik!" jerit Mey sambil melirik Asep.
"Heh! Kenapa lo lihatnya ke gue?" tanya Asep tidak terima.
"Ya elo salah satunya, buaya!" kata Mey kesal sepertinya mereka ini sedikit menyimpan perasaan, terlihat dari reaksi Mey saat Asep bertingkah, dia pasti marah - marah dan uring - iringan tidak jelas.
"Heh! Kalian pasangan tidak sah, tolong jangan mengompori kekasih saya, ya. Jangan libatkan masalah kalian agar kami bertengkar seperti itu! Awas saja!" kata Rangga, berdiri sambil berkacak pinggang.
"Heh! Sembarang mulut ente. Pasangan apaan!" elak Mey.
"Halah. Jangan munafik lu! Ngaku hayo," canda Rangga.
"Heh! Tutup mulut anda! Jangan menyebar fitnah. Ros, tolong kondisikan mulut laki lo!" kata Mey kesal.
Obrolan mereka justru membuatku menahan tawa, tapi aku sengaja pura-pura kesal agar Rangga juga tidak berani macam-macam dengan Gladis. Setidaknya untuk berjaga-jaga. Aku lantas berdiri, lalu menahan tubuh Rangga yang hendak menanggapi omelan Mey. "Udah ... Udah. Sana balik ah ke atas. Jangan bikin ribut, Yang," pinta ku sedikit mendorong tubuhnya agar menuju lift.
"Nggak mau ah. Kamu masih ngambek gitu."
"Enggak. Udah enggak. Sana kerja dulu. Buruan. Nanti kamu kelamaan di sini malah pulang malam, lembur lagi."
"Beneran udah enggak ngambek?"
"Enggak, Rangga sayang. Udah sana."
"Eh tapi, sun dulu atuh," kata Rangga mendekatkan pipinya padaku.
"Ih banyak orang!" kataku sambil tengak tengok. Kami berada di tengah ruangan dengan 20 orang yang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang melihat kami bagai tontonan, ada yang cuek saja dan tetap fokus pada pekerjaan.
"Is, pipi doang. Buruan." Rangga makin mendekatkan pipinya dan akhirnya aku mencium pipi kanannya sekilas. "Asik! Makasih, sayang. Aku balik dulu, ya. I Love you," katanya lalu balik mencium ku dan berlari ke lift.
______
pulaukapok memberi reputasi
1