- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#59
Part 57 Papaku Mantan Gengster
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota.
"Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami.
"Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja."
"Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes.
"Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya, kan, Rangga?" tanya Papa menyindir.
"Iya, Om. Saya akan jaga Rosi selama Om pergi."
"Tuh, kan? Tenang aja. Mama udah negosiasi sama Mama Rangga. Jadi kalian bisa bersatu lagi sekarang." Papa tersenyum menatap kami berdua bergantian.
"Oh, jadi alasan kau pergi ke Korea karena menghindari dia, Nes?" tanya Lee ikut menanggapi.
"Bukan! Karena pekerjaan, Lee. Kenapa kalian semua berpikir seperti itu sih?"
"Yah, bisa jadi semacam aji mumpung. Tapi tenang saja, Rangga, selama di Korea, dia itu tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Bagaimana bisa dekat, mereka melihat Ines saja sudah bergidik ngeri. Kau tidak tau, betapa garangnya kekasihmu dulu? Teman-temanku saja tidak berani mendekatinya, padahal wajahnya cantik."
"Lee ...," panggilku agar dia berhenti membongkar masa lalu ku.
"Kenapa? Kurasa dia perlu tau, Nes. Betul kan, Om?" tanya Lee pada Papa. Papa hanya mengangguk dan tersenyum sambil menyelesaikan sarapannya.
"Tapi perlu diingat baik-baik. Ancaman saya kemarin bukan berlaku hanya untuk Woong saja. Kalian juga, terutama kamu, Rangga. Sedikit saja saya dengar dari Ines kamu bertingkah, maka kamu akan lenyap dari muka bumi tanpa ada orang yang tau," ancam Papa. Aku melihat Rangga menelan ludah dengan wajah sedikit pucat. Tapi setelah nya Papa justru tertawa puas. "Hahaha. Saya cuma bercanda."
Selesai sarapan kami lantas menuju bandara untuk kembali ke Ibukota. Rasanya banyak kenangan di Jogja kemarin. Tapi satu hal yang membuat ku terus melebarkan senyum. Mengetahui kalau hubunganku dengan Rangga kembali, membuatku merasa lega. Tidak perlu lagi ada drama menghindarinya, atau mencari perhatiannya. Kini kami sama-sama memberikan perhatian dan bunga cinta kami terus berkembang dari waktu ke waktu.
Setelah acara di Jogja kemarin, Om Fendi memberikan kami cuti selama tiga hari. Terhitung hari ini. Rangga menjemput ku sore hari ke rumah, dan mengajakku ke suatu tempat.
Sebuah apartemen di tengah kota membuatku bertanya-tanya. Kenapa dia mengajakku ke sini.
"Ini apartemen siapa?" tanyaku begitu dia mengajakku masuk ke salah satu bangunan di gedung itu.
"Punyaku dong. Aku udah pindah dari rumah ke sini. Kamu tau sendiri rumahku jauh dari kantor. Capek kalau harus bolak balik. Jadi aku putuskan sewa apartemen di sini."
Sederhana, tapi aku suka. Sama seperti apartemen sebelumnya yang pernah ku tinggali. Apartemen milik Rangga hanya memiliki satu ruangan besar yang tidak disekat. Dapur dan kamar, di tambah kamar mandi tentunya. Juga sedikit ruang tengah dengan tv layar datar yang letaknya dekat dengan balkon. "Kamu boleh kok, tidur di sini. Apalagi di rumah kan sendirian? Jujur aku kepikiran kalau tau kamu sendirian di rumah gitu. Gimana? Kamu mau tinggal di sini sama aku?" tanyanya lagi. Sebuah ajakan yang sangat menggoda iman.
"Eum, oke deh. Tapi sesekali aku pulang ke rumah juga ya. Ya mungkin aku bakal tidur di sini sih, kalau Iqbal nggak di rumah."
"Oke. Berarti dimulai malam ini dong?"
"Eh, aku belum bawa baju ganti. Kenapa tadi nggak sekalian, ya."
"Nggak apa-apa. Aku udah belikan kamu baju. Sedikit. Untuk sementara waktu. Besok kalau kita keluar, sekalian aja ambil beberapa baju kamu. Gimana?"
"Iya, sayang. Oke."
Entah mendapat ide dari mana, aku mengecup bibir Rangga lebih dulu. Dia terkejut, tersenyum, lalu membalas ciumanku. Tas yang masih ada di bahuku, terlepas. Tubuh kami memutar seiring dengan ciuman kami yang makin ganas. "Eh, mandi dulu yuk," ajak Rangga.
"Mandi? Tapi ... Aku udah man ...."
Dia tidak memperdulikan kata-kataku, hanya menarik tanganku dan ku biarkan tubuhku mengikuti permainannya. Kami terus berciuman, sambil Rangga menanggalkan pakaianku satu persatu. Dia mulai meremas, menjilat dan mengulum dengan lembut beberapa bagian tubuhku yang sensitif. Sehingga pada akhirnya kloset duduk di kamar mandi ini menjadi objek kami melepaskan hasrat.
Kamar mandi Rangga di lengkap bath up. Kami lantas berendam sambil memainkan busa. Dia duduk di belakangku sambil sesekali meledekku dengan gelitikan. Rangga juga membantu menggosok punggungku. Malam ini kami putuskan hanya berada di apartemen saja. Beberapa pekerjaan yang menumpuk membuat kami enggan pergi keluar. Bahkan untuk makan malam juga kami lebih suka memesan lewat aplikasi daring.
Rambutku masih basah dan digelung memakai handuk. Baju yang Rangga belikan untukku memang sesuai kebiasaan ku selama ini. Tengtop dan celana pendek. Dia paham kalau aku mudah berkeringat. Kami lantas menyelesaikan pekerjaan bersama. Sampai malam harinya, sebelum tidur, kembali melakukan ritual berhubungan intim lagi. Tidur di pelukannya membuatku nyaman, dan enggan terbangun dari tempat tidur. Rasanya memeluk Rangga saja sudah cukup sebagai pengantar tidur. Bahkan selama kami cuti, hanya satu kali saja kami berdua keluar dari apartemen. Mengambil beberapa pakaianku, dan kembali ke tempat ini. Untungnya baik aku dan Rangga sama-sama lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Apalagi sekarang kami tinggal bersama. Tentu kami berdua makin betah saja.
"Sayang ... Mama kamu udah tau tentang kita?" tanyaku setelah malam ketiga aku menginap di sini. Baik Rangga dan aku sama-sama tidak memakai pakaian. Hanya menutupi tubuh kami dengan selimut.
"Udah." Rangga menjadikan lengan kanannya sebagai bantalan kepalaku. Kami yang tidur terlentang membuat sama-sama melihat ke langit-langit kamar. Tangannya terus bergerak menyisir rambutku, walau dia tidak melihat ke arahku.
"Terus?"
"Apanya yang terus? Ya udah. Gitu aja."
"Maksudnya kamu bilang apa ke Mama kamu?" tanyaku lalu tengkurap sambil menghadap ke wajahnya. Kini giliran aku yang mengelus kepalanya. Menyisir rambutnya yang lurus.
"Aku bilang kalau kita balikan. Terus mama cuma bilang. 'Oh, ya sudah.' cuma gitu aja."
"Mama kamu udah mau nerima aku, kan?" tanyaku masih gelisah.
"Udah, sayang. Bahkan sebelum kita ketemu lagi. Aku udah jelaskan ke Mama. Tentang kamu. Semuanya. Memang sih, ada drama di awal. Aku pergi dari rumah. Karena aku marah. Setelah tau mama nemuin kamu diam-diam. Dan karena hal itu, menjadi pemicu kamu pergi dari Indonesia dulu. Aku tau, kalau seharusnya aku nggak bersikap begitu. Tapi aku frustrasi. Apalagi dengan putusnya kita dengan tiba-tiba dulu. Aku belum bisa terima kenyataan itu, Ros." Rangga menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Menatap wajahku dengan raut muka sedih. Aku lantas mengecup bibirnya singkat.
"Maaf, ya. Seharusnya aku membahas masalah ini sama kamu lebih dulu, sebelum aku putuskan pergi. Saat itu aku mikirnya, aku memang nggak pantas buat kamu, Ngga."
"Karena? Kamu janda dan aku bujangan?"
Aku mengangguk.
"Memangnya kenapa dengan status itu? Toh, kamu janda berkelas. Kamu mandiri. Bukan janda yang gatal seperti pikiran orang-orang pada umumnya. Kamu bisa menjaga diri. Yah, walau pada akhirnya kita pernah tidur bareng dulu, sekarang juga. Tapi kamu cuma tidur sama aku, kan? Bukan berganti pasangan tidur setiap hari."
"Iya. Memang sih. Cuma kadang pikiran seperti itu terus terbayang. Kamu tau sendiri gimana masyarakat kita menanggapi seorang janda yang dekat sama bujangan."
"Kenapa kamu memikirkan omongan orang sih, sayang? Kan yang menjalani kita berdua. Apalagi sekarang Mama udah nggak mempermasalahkan hubungan kita lagi. Sebelum mama tau, kalau orang tua kita bersahabat, aku tau banget kalau mama menyesal. Oh ya, kamu tau nggak kabar mantan suami kamu sekarang?" tanya Rangga antusias, dia bahkan membetulkan posisi duduknya.
"Enggak. Memangnya kenapa?"
"Dia kan udah nikah lagi, sama perempuan pilihan ibunya. Ternyata mantan suami kamu lagi-lagi selingkuh, dan selingkuh nya ... Justru sama teman dekat istrinya. Istrinya nggak terima, dia menuntut ke pengadilan. Akhirnya dia di penjara karena kasus perzinahan. Setelah itu mama baru benar-benar sadar, kalau kamu nggak salah saat menikah sama dia. Penjelasan aku, akhirnya mama akui kebenarannya."
"Oh ya? Wah, gila itu orang. Nggak berubah sama sekali."
Rangga dia, menatapku lalu menarik tubuhku ke atasnya. "Jangan mikirin dia lagi. Aku nggak suka. Sekarang kamu punya aku, dan aku punya kamu."
Cup. Kecupan pertama singkat. Aku balas menciumnya lagi, dan akhirnya kami kembali bergulat di atas ranjang dengan erotis.
_____
"Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami.
"Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja."
"Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes.
"Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya, kan, Rangga?" tanya Papa menyindir.
"Iya, Om. Saya akan jaga Rosi selama Om pergi."
"Tuh, kan? Tenang aja. Mama udah negosiasi sama Mama Rangga. Jadi kalian bisa bersatu lagi sekarang." Papa tersenyum menatap kami berdua bergantian.
"Oh, jadi alasan kau pergi ke Korea karena menghindari dia, Nes?" tanya Lee ikut menanggapi.
"Bukan! Karena pekerjaan, Lee. Kenapa kalian semua berpikir seperti itu sih?"
"Yah, bisa jadi semacam aji mumpung. Tapi tenang saja, Rangga, selama di Korea, dia itu tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Bagaimana bisa dekat, mereka melihat Ines saja sudah bergidik ngeri. Kau tidak tau, betapa garangnya kekasihmu dulu? Teman-temanku saja tidak berani mendekatinya, padahal wajahnya cantik."
"Lee ...," panggilku agar dia berhenti membongkar masa lalu ku.
"Kenapa? Kurasa dia perlu tau, Nes. Betul kan, Om?" tanya Lee pada Papa. Papa hanya mengangguk dan tersenyum sambil menyelesaikan sarapannya.
"Tapi perlu diingat baik-baik. Ancaman saya kemarin bukan berlaku hanya untuk Woong saja. Kalian juga, terutama kamu, Rangga. Sedikit saja saya dengar dari Ines kamu bertingkah, maka kamu akan lenyap dari muka bumi tanpa ada orang yang tau," ancam Papa. Aku melihat Rangga menelan ludah dengan wajah sedikit pucat. Tapi setelah nya Papa justru tertawa puas. "Hahaha. Saya cuma bercanda."
Selesai sarapan kami lantas menuju bandara untuk kembali ke Ibukota. Rasanya banyak kenangan di Jogja kemarin. Tapi satu hal yang membuat ku terus melebarkan senyum. Mengetahui kalau hubunganku dengan Rangga kembali, membuatku merasa lega. Tidak perlu lagi ada drama menghindarinya, atau mencari perhatiannya. Kini kami sama-sama memberikan perhatian dan bunga cinta kami terus berkembang dari waktu ke waktu.
Setelah acara di Jogja kemarin, Om Fendi memberikan kami cuti selama tiga hari. Terhitung hari ini. Rangga menjemput ku sore hari ke rumah, dan mengajakku ke suatu tempat.
Sebuah apartemen di tengah kota membuatku bertanya-tanya. Kenapa dia mengajakku ke sini.
"Ini apartemen siapa?" tanyaku begitu dia mengajakku masuk ke salah satu bangunan di gedung itu.
"Punyaku dong. Aku udah pindah dari rumah ke sini. Kamu tau sendiri rumahku jauh dari kantor. Capek kalau harus bolak balik. Jadi aku putuskan sewa apartemen di sini."
Sederhana, tapi aku suka. Sama seperti apartemen sebelumnya yang pernah ku tinggali. Apartemen milik Rangga hanya memiliki satu ruangan besar yang tidak disekat. Dapur dan kamar, di tambah kamar mandi tentunya. Juga sedikit ruang tengah dengan tv layar datar yang letaknya dekat dengan balkon. "Kamu boleh kok, tidur di sini. Apalagi di rumah kan sendirian? Jujur aku kepikiran kalau tau kamu sendirian di rumah gitu. Gimana? Kamu mau tinggal di sini sama aku?" tanyanya lagi. Sebuah ajakan yang sangat menggoda iman.
"Eum, oke deh. Tapi sesekali aku pulang ke rumah juga ya. Ya mungkin aku bakal tidur di sini sih, kalau Iqbal nggak di rumah."
"Oke. Berarti dimulai malam ini dong?"
"Eh, aku belum bawa baju ganti. Kenapa tadi nggak sekalian, ya."
"Nggak apa-apa. Aku udah belikan kamu baju. Sedikit. Untuk sementara waktu. Besok kalau kita keluar, sekalian aja ambil beberapa baju kamu. Gimana?"
"Iya, sayang. Oke."
Entah mendapat ide dari mana, aku mengecup bibir Rangga lebih dulu. Dia terkejut, tersenyum, lalu membalas ciumanku. Tas yang masih ada di bahuku, terlepas. Tubuh kami memutar seiring dengan ciuman kami yang makin ganas. "Eh, mandi dulu yuk," ajak Rangga.
"Mandi? Tapi ... Aku udah man ...."
Dia tidak memperdulikan kata-kataku, hanya menarik tanganku dan ku biarkan tubuhku mengikuti permainannya. Kami terus berciuman, sambil Rangga menanggalkan pakaianku satu persatu. Dia mulai meremas, menjilat dan mengulum dengan lembut beberapa bagian tubuhku yang sensitif. Sehingga pada akhirnya kloset duduk di kamar mandi ini menjadi objek kami melepaskan hasrat.
Kamar mandi Rangga di lengkap bath up. Kami lantas berendam sambil memainkan busa. Dia duduk di belakangku sambil sesekali meledekku dengan gelitikan. Rangga juga membantu menggosok punggungku. Malam ini kami putuskan hanya berada di apartemen saja. Beberapa pekerjaan yang menumpuk membuat kami enggan pergi keluar. Bahkan untuk makan malam juga kami lebih suka memesan lewat aplikasi daring.
Rambutku masih basah dan digelung memakai handuk. Baju yang Rangga belikan untukku memang sesuai kebiasaan ku selama ini. Tengtop dan celana pendek. Dia paham kalau aku mudah berkeringat. Kami lantas menyelesaikan pekerjaan bersama. Sampai malam harinya, sebelum tidur, kembali melakukan ritual berhubungan intim lagi. Tidur di pelukannya membuatku nyaman, dan enggan terbangun dari tempat tidur. Rasanya memeluk Rangga saja sudah cukup sebagai pengantar tidur. Bahkan selama kami cuti, hanya satu kali saja kami berdua keluar dari apartemen. Mengambil beberapa pakaianku, dan kembali ke tempat ini. Untungnya baik aku dan Rangga sama-sama lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Apalagi sekarang kami tinggal bersama. Tentu kami berdua makin betah saja.
"Sayang ... Mama kamu udah tau tentang kita?" tanyaku setelah malam ketiga aku menginap di sini. Baik Rangga dan aku sama-sama tidak memakai pakaian. Hanya menutupi tubuh kami dengan selimut.
"Udah." Rangga menjadikan lengan kanannya sebagai bantalan kepalaku. Kami yang tidur terlentang membuat sama-sama melihat ke langit-langit kamar. Tangannya terus bergerak menyisir rambutku, walau dia tidak melihat ke arahku.
"Terus?"
"Apanya yang terus? Ya udah. Gitu aja."
"Maksudnya kamu bilang apa ke Mama kamu?" tanyaku lalu tengkurap sambil menghadap ke wajahnya. Kini giliran aku yang mengelus kepalanya. Menyisir rambutnya yang lurus.
"Aku bilang kalau kita balikan. Terus mama cuma bilang. 'Oh, ya sudah.' cuma gitu aja."
"Mama kamu udah mau nerima aku, kan?" tanyaku masih gelisah.
"Udah, sayang. Bahkan sebelum kita ketemu lagi. Aku udah jelaskan ke Mama. Tentang kamu. Semuanya. Memang sih, ada drama di awal. Aku pergi dari rumah. Karena aku marah. Setelah tau mama nemuin kamu diam-diam. Dan karena hal itu, menjadi pemicu kamu pergi dari Indonesia dulu. Aku tau, kalau seharusnya aku nggak bersikap begitu. Tapi aku frustrasi. Apalagi dengan putusnya kita dengan tiba-tiba dulu. Aku belum bisa terima kenyataan itu, Ros." Rangga menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Menatap wajahku dengan raut muka sedih. Aku lantas mengecup bibirnya singkat.
"Maaf, ya. Seharusnya aku membahas masalah ini sama kamu lebih dulu, sebelum aku putuskan pergi. Saat itu aku mikirnya, aku memang nggak pantas buat kamu, Ngga."
"Karena? Kamu janda dan aku bujangan?"
Aku mengangguk.
"Memangnya kenapa dengan status itu? Toh, kamu janda berkelas. Kamu mandiri. Bukan janda yang gatal seperti pikiran orang-orang pada umumnya. Kamu bisa menjaga diri. Yah, walau pada akhirnya kita pernah tidur bareng dulu, sekarang juga. Tapi kamu cuma tidur sama aku, kan? Bukan berganti pasangan tidur setiap hari."
"Iya. Memang sih. Cuma kadang pikiran seperti itu terus terbayang. Kamu tau sendiri gimana masyarakat kita menanggapi seorang janda yang dekat sama bujangan."
"Kenapa kamu memikirkan omongan orang sih, sayang? Kan yang menjalani kita berdua. Apalagi sekarang Mama udah nggak mempermasalahkan hubungan kita lagi. Sebelum mama tau, kalau orang tua kita bersahabat, aku tau banget kalau mama menyesal. Oh ya, kamu tau nggak kabar mantan suami kamu sekarang?" tanya Rangga antusias, dia bahkan membetulkan posisi duduknya.
"Enggak. Memangnya kenapa?"
"Dia kan udah nikah lagi, sama perempuan pilihan ibunya. Ternyata mantan suami kamu lagi-lagi selingkuh, dan selingkuh nya ... Justru sama teman dekat istrinya. Istrinya nggak terima, dia menuntut ke pengadilan. Akhirnya dia di penjara karena kasus perzinahan. Setelah itu mama baru benar-benar sadar, kalau kamu nggak salah saat menikah sama dia. Penjelasan aku, akhirnya mama akui kebenarannya."
"Oh ya? Wah, gila itu orang. Nggak berubah sama sekali."
Rangga dia, menatapku lalu menarik tubuhku ke atasnya. "Jangan mikirin dia lagi. Aku nggak suka. Sekarang kamu punya aku, dan aku punya kamu."
Cup. Kecupan pertama singkat. Aku balas menciumnya lagi, dan akhirnya kami kembali bergulat di atas ranjang dengan erotis.
_____
pulaukapok memberi reputasi
1