- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#53
Part 51 Kebersamaan
"Yuk, pulang. Nggak dijemput, kan?" tanya Rangga setelah dia selesai siaran.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun aku baru keluar dari ruang siaran karena menemani Rangga sejak tadi.
"Eum, aku belum kasih kabar Iqbal, dia juga belum telpon aku sih," sahutku sambil memeriksa gawai di tangan.
"Ya udah, balik sama aku saja. Sebentar aku ambil jaket. Eh, naik motor nggak apa-apa, kan?" tanyanya.
"Ya nggak apa-apa sih. Memangnya aku harus naik mobil terus. Gitu?"
"Oke. Ya kali aja, sekarang level kamu udah naik. Alergi naik motor."
"Dih, apaan sih! Rese!"
"Ye ngambek. Manyun. Jelek banget."
"Buruan ah, Rangga!"
"Iya, oneng!" katanya memanggil ku dengan panggilan seperti dulu. Hal ini tentu membuatku kembali merasakan bagaimana hubungan kami dulu. Bagai Dejavu yang ingin aku terus ulangi dan ulangi.
Aku menunggu di sebuah kursi yang memang dipakai untuk ruang tunggu, dan tak lama kemudian Rangga keluar sambil buru-buru memakai jaketnya. Jaket itu, adalah hadiah terakhir yang pernah aku berikan untuk dia sebelum hubungan kami berakhir begitu saja. Ini kali pertama aku melihatnya memakai jaket itu. Karena hanya sekali setelah aku memberikan kado itu, dan kami pun berpisah. Dia menyukainya, entah benar-benar menyukainya atau hanya untuk menyenangkan hatiku saja. Katanya dulu, "Bagus dong. Kamu kamu yang pilih, pasti bagus."
Dia memang pintar menyenangkan hati orang dan menghargai orang lain. Walau terkadang kalimat yang dia lontarkan terkesan menyebalkan.
"Yuk, turun," ajak Rangga berjalan lebih dulu ke lift. Ada salah satu teman kerjanya yang juga sepertinya akan turun ke lantai bawah, jadi kami tidak berdua saja selama di dalam lift. Rasanya ini melegakan, karena aku masih kurang nyaman jika hanya berdua saja dengannya. Aku grogi dan bingung harus berbuat apa. Padahal diam saja pun termasuk tindakan paling tepat.
"Balik lo?" tanya pria muda yang sedang membawa tumpukan map di tangan.
"Iyalah. Emangnya elu, kerja mulu. Hati-hati ... jangan terlalu malam di sini," bisik Rangga yang masih dapat kudengar.
"Jangan begitu, Ngga. Sudah malam gini, jangan mulai lo ya! Besok-besok giliran elu yang dikasih lihat!"
Rangga hanya tertawa, lalu pintu lift dibuka. Kami segera keluar bersamaan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya ada gangguan tak terlihat di gedung ini yang pernah dialami teman Rangga. Hanya saja sejauh ini aku belum melihat penampakan yang berarti.
Sampai di lobi, rupanya teman-teman juga akan pulang. Mereka masih berkumpul di depan entah sedang berdiskusi apa.
"Nah, ini dia orangnya. Kirain udah balik lo, Ros?" tanya Indi. Mereka semua menatapku dan membuatku risih.
"Belum, kenapa?"
"Ayok. Ikut. Kita makan-makan. Babeh yang traktir!" kata Mey menambahkan.
"Eum, bagaimana, ya ...."
"Nggak boleh nolak! Rangga juga ikut kok. Iya, kan?"
Rangga mengangguk sambil menatap layar ponselnya, sesekali memperhatikan sekitar. Sepertinya ada yang sedang ia cari.
"Nahkan! Ya sudah, ayo semua ke cafe biasanya. Elu sama Rangga, kan? Rangga! Heh! Jagain teman gue! Awas kalau kenapa-kenapa!" hardik Indi.
"Bawel!"
"Ya sudah kita duluan, Ros. Ketemu di sana, ya," kata Mey lalu berjalan ke sebuah mobil yang baru saja berhenti di depan. Mereka masuk bergantian, namun Indi justru masih diam di tempat, menatap jam di pergelangan tangan.
"Nah, jemputan gue sudah datang." Sebuah motor berhenti di depan kami, rasanya aku mengenal kendaraan satu ini, karena terlihat familiar diingatan. Saat helm dibuka ...
"Raja!" pekikku. Pria itu hanya merapikan rambutnya, lalu menarik sebelah bibir padaku.
"Gue duluan, ya. Kalian jangan lama-lama. Buruan!" kata Indi lalu naik ke jok belakang motor Raja. Aku yang masih bengong, lantas memiliki banyak pertanyaan di kepala.
"Indi ... sama Raja ...?"
"Iya, mereka pacaran," sahut Rangga santai.
"Kok bisa?!"
"Mana gue tau! Bukan urusan gue!" Rangga tengak-tengok ke kanan dan kiri, lalu muncul seorang wanita yang cukup aku kenal. Nida.
"Sorry, lama, ya?" tanyanya dengan wajah bahagia mendekat ke Rangga.
"Nggak apa-apa. Mana kunci motor gue?!" pinta Rangga dengan tangan kanan menengadah.
"Ini. Makasih, ya. "
"Elu nggak ikut makan-makan tim?"
"Oh, enggak. Rizal balik duluan, Mama nya sakit. Males gue ikut kalau dia nggak ada. Lagian elu udah ada gandengannya sih. Coba kalau enggak, kita pergi bareng saja," sindir Nida sambil melirik padaku.
"Oh, ya sudah. Gue balik aja, ya. Udah malam juga. Biar kalian aja yang pergi ke sana. Tuh ada taksi," timpalku yang memang sedikit tersinggung dengan perkataan dan sikapnya. Aku hampir melangkah, saat Rangga menahan tanganku.
"Mau ke mana?"
"Pulang," kataku tanpa menatapnya.
"Eum, ya udah deh, gue duluan ya." Nida pergi begitu saja dan berhasil membuat moodku sangat jelek saat ini.
"Nggak jadi ikut makan bareng?"
"Malas ah. Kamu aja sana, sama Nida. Lagian aku bukan siapa-siapa di sana," kataku ketus.
"Bukan siapa-siapa apanya? Justru acara makan-makan kali ini buat menyambut kamu balik. Jadi kenapa aku pergi sama Nida. Kan kamu bintang tamunya. Nida mah siapa atuh?"
Aku masih diam, berusaha menetralkan emosi yang hampir meledak tadi. Tapi Rangga malah menarik tanganku ke parkiran. Aku masih tetap diam. Rasanya aku tidak ingin banyak bicara lagi sekarang. Kedatanganku merupakan hal yang tidak Nida sukai. Dia bahkan dengan terang-terangan mengatakan hal tersebut di depanku. Dasar wanita tidak tau malu. Sekalipun itu hanya gurauan, itu keterlaluan bagiku.
"Lagi PMS, ya?' tanya Rangga yang sudah duduk di atas kuda besinya.
"Enggak tau."
"Biasanya kalau PMS sensitif gini soalnya. Jangan diambil hati, ya. Nida cuma bercanda kok."
"Aku nggak apa-apa."
"Masa? Tapi kok mukanya kelihatan ada apa-apa, hayo," ledek Rangga dan membuatku terpaksa memukul lengannya. "Sudah yuk, naik. Kemalaman nanti kita."
Kami berkendara sampai ke sebuah cafe yang memang tidak asing bagiku. Di sana mereka semua sudah menempatkan diri di kursi dengan meja yang panjang berada di tengah. Saat aku dan Rangga datang, Mey dan Indi melambaikan tangan pada kami.
Pukul 22.30 kami mulai menyantap hidangan yang sudah ada di meja. Saling berbincang dan bercanda seperti biasanya. Hal yang sangat aku rindukan selama berjauhan dari mereka. Semua berkumpul di sini. Bahkan Raja dan Indi mulai menjalin hubungan, dan yang membuat aku kesal, karena dia tidak memberi tau ku sebelumnya. Tapi aku bahagia melihat mereka bersama. Raja masih terlihat sama, tapi dia jauh lebih hangat dari sebelumnya. Walau sikap cuek dan dinginnya masih melekat.
"Pulang?" tanya Rangga sambil menatap jam di pergelangan tangannya. Rupanya sudah tengah malam, dan suasana cafe mulai lenggang. Entah pukul berapa tempat ini tutup, tapi kami tidak juga diusir setelah duduk di sini hampir 1,5 jam.
Rupanya, mereka sering melakukan hal ini jika sedang merayakan sesuatu. Bahkan pemilik cafe sudah dekat dengan mereka dan menganggap hal ini sudah biasa.
"Boleh. Udah malam juga nih."
"Kenapa? Mau balik?" tanya Mey saat melihat gelagat kami berdua yang mulai menghabiskan makanan dan minuman.
"Iya. Udah malam nih. Pulang dulu, ya," kataku pada mereka.
"Lah iya, udah tengah malam. Udah jam nya mereka nih, kita juga harus balik. Gantian," sahut Asep.
Kami sudah terbiasa membagi waktu, jatah kami, manusia, dengan mereka para hantu.
"Kalau udah ngobrol, kita mah lupa waktu, ya," tambah Mey.
"Ya sudah. Bubar aja sekarang. Pulang. Jangan lupa, Ros, besok masuk kerja. Kita tunggu!" kata Babeh padaku.
"Iya, Bos."
"Ya sudah, balik sana. Hati-hati. Rangga, jangan ngebut," nasehat Babeh pada kami.
"Iya, Bos," kata Rangga menirukan kalimat ku.
Saat kami pamitan, mereka juga satu persatu mulai mempersiapkan diri untuk pulang. Beruntung malam ini langit cerah. Di mana bintang bertabur dengan indah di angkasa. Tapi, suasana makin dingin kali ini.
Rangga duduk di jok motornya, ia memberikan jaketnya dan menyuruhku untuk mengenakannya.
"Kok gitu? Jangan ah. Kan kamu yang di depan, kamu yang bakal kedinginan kalau nggak pakai jaket," kataku menolak tawarannya.
"Udah, pakai!" Dia malah menarik tanganku, dan mulai memakaikan jaket itu. Aku hanya pasrah. Tapi dia pasti tidak akan menuruti perkataanku. "Udah? Pegangan!" kata Rangga saat aku sudah duduk di belakangnya.
Dengan malu-malu, aku menjulurkan tangan ke pinggang Rangga. Tapi tiba-tiba dia menarik tanganku sampai akhirnya membuat tubuh kami menempel. "Yang kenceng! Kalau jatuh gimana?"
Tidak menanggapi, namun aku mulai membiasakan diri dengan posisi ini. Perlahan kepalaku justru mulai bersandar pada bahu Rangga. Dia melirik sekilas, dan terlihat seulas senyum di bibirnya yang langsung disembunyikan kembali. Motor dinyalakan, dan kami pun melesat menembus jalanan ibukota yang sudah mulai sepi.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, atau memilih diam. Rangga yang dulu ku kenal cerewet dan sering melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak jelas, mulai terlihat berbeda. Hanya saja bagiku, berada di dekat nya seperti ini saja sudah cukup. Mungkin butuh waktu bagi kami untuk kembali bisa seperti dulu, entah menjadi teman atau lebih. Rasanya semesta mulai berpihak padaku. Tapi aku tidak mau terlalu menikmati momen seperti ini. Rasa takut masih kerap kurasakan, jika tiba-tiba kami harus kembali dipisahkan oleh keadaan.
"Sampai. Eh, udah sepi," katanya sambil menatap rumahku yang keadaan ruang tamunya sudah gelap. "Ya udah, gue balik, ya."
"Eh, tunggu!" kataku lalu menahan tangannya. Rangga yang hendak menyalakan motornya, berhenti dan menatapku heran.
"Kenapa lagi? Masih kangen?" tanyanya dengan pertanyaan yang tepat.
"Ih, pede sekali sih anda. Itu, kok aneh, ya. Rumahku sepi gitu. Biasanya nggak gitu, Ngga " jelas ku sambil memperhatikan sekitar.
"Pada ke mana? Coba ditelepon. Memangnya situ nggak berani sendirian di rumah?"
Aku menggeleng lalu mencari ponselku. Beberapa kali menghubungi Mama dan Papa tidak kunjung diangkat. Sampai akhirnya Iqbal mengirim sebuah pesan.
[Lo, udah pulang, Nes? Gue masih di rumah Regi. Mama Papa pergi, kondangan ke luar kota. Bang Haikal ada acara katanya, pengajian atau apalah. Nanti gue balik kok. Lo tunggu rumah, ya.]
"Yah, nggak ada orang di rumah. Gimana dong, Ngga," rengekku lebih mirip anak kecil yang ditinggal orang tuanya sendirian di rumah.
"Temenin?" tanyanya sambil melirikku.
"Huum. Mau nggak? Aku masih trauma. Takut di rumah sendirian."
"Ya udah, ayok. Gue parkirin dulu motornya," kata Rangga saat melihat jam di pergelangan tangannya. Jam bermerk swiss army, pemberianku dulu.
Aku lantas berjalan ke teras, sambil menunggunya. Setelah Rangga memarkirkan motor, dia menyusul ku.
Pintu rumah kubuka, suasana hening segera menyelimuti seluruh rumah. Kami berdua mengucap salam begitu menginjakkan kaki ke ruang tamu. Bersamaan dengan itu, terdengar guntur yang cukup kencang, dan berhasil membuatku melonjak karena terkejut.
"Wah, mau hujan," gumam Rangga menoleh ke halaman rumahku.
Aku lantas segera menyalakan lampu ruang tamu, dan mempersilakan Rangga duduk.
"Mau minum apa? Kopi?"
"Iya, boleh."
"Sebentar, ya."
Aku pergi ke dapur dan membuat dua cangkir kopi untuk kami berdua. Namun, sesaat aku mendengar bunyi aneh dari arah taman, dekat dapur. Perlahan aku mendekat untuk memeriksanya. Tiba-tiba seseorang berlari dari lemari, samping kulkas dan menerobos ku begitu saja.
"Maling!" Jeritku spontan dan berlari mengejar nya. Dia yang memakai pakaian serba hitam langsung kutuduh sebagai pencuri. Rangga terkejut dan ikut mengejar orang tadi. Namun sayangnya, dia berhasil lolos.
"Ya ampun. Ada maling! Astaga! Masuk dari mana dia!" kataku berdiri di halaman bersama Rangga.
"Namanya maling, bisa masuk lewat mana aja, Ros. Sebaiknya kita cek rumah kamu. Takutnya dia ada komplotan." Rangga mengajakku kembali ke rumah. Melupakan pencuri yang sudah berhasil lolos. Sekalipun kami kejar, pasti tidak akan berhasil.
Aku dan Rangga lantas memeriksa seisi rumah. Memastikan tiap sudut aman dan tidak ada lagi komplotan pencuri tadi. Tak lupa, kami menghubungi polisi. Setidaknya kejadian ini harus dilaporkan. Setelah memeriksa sekitar, tidak ada satupun hal mencurigakan lagi. Satpam kompleks dan ketua RT pun datang bersama polisi yang sudah kami undang tadi. Untung gerakan mereka cepat, untuk datang ke rumahku. Kami pun ditanyai pertanyaan dasar tentang kejadian tadi.
Hanya saja, aku merasa pernah melihat orang tadi. Dia memang memakai pakaian serba hitam dan penutup wajah. Tapi sorot matanya, aku seperti pernah melihat sebelumnya. Hanya saja aku lupa di mana.
"Baik, kami permisi dulu. Nanti akan ada petugas yang berjaga di rumah, Ibu, sementara. Semoga kejadian tadi tidak terulang." Polisi itu pergi, tapi meninggalkan dua orang petugas untuk berjaga di halaman rumahku.
"Mungkin kalian perlu pasang kamera cctv deh, Ros. Udah kejadian gini, takutnya ada kejadian lagi," kata Rangga.
"Hm, iya, ya. Besok aku bilang Papa deh kalau gitu."
"Untung gue belum pulang, ya. Coba kalau udah. Apa yang terjadi nanti sama kamu. Hm."
Entah perkataannya benar-benar tulus, atau hanya sekedar basa basi saja. Padahal aku sebenarnya tidak takut pada ancaman manusia, seperti tadi. Aku lebih takut pada ancaman makhluk tak kasat mata.
"Kamu nggak apa-apa? Pulang malam, Ngga?"
"Nggak apa-apa. Nanti aja gue baliknya, nunggu Iqbal pulang."
"Ibu nggak cariin?"
"Ye, gue bukan anak kecil lagi kali. Santai aja."
"Hm, ya udah. Oh iya, kopi! Lupa!"
Pukul 01.00 dini hari, dan aku pun masih duduk di ruang tamu bersama Rangga. Aku sedikit gelisah, karena takut mengganggu waktunya hingga selarut ini. Sementara Iqbal belum juga kembali.
Kopi sudah habis sejak tadi. Aku dan Rangga seolah bergantian menguap karena menahan kantuk.
"Rangga, lo balik aja deh, nggak apa-apa. Besok kerja, kan?" tanyaku sedikit mengusirnya. Aku yakin dia sudah lelah seharian.
"Lo? Hm, nanti deh. Sebentar lagi. Daripada nanti gue kepikiran lo di rumah. Mending gue tunggu sebentar lagi. Iqbal paling bentar lagi balik, kan?" tanyanya. Pertanyaan pertama Rangga membuat ku tidak nyaman. Dia seolah mempermasalahkan panggilan ku padanya. "Lo gue." Yah, aku memang ingin membiasakan panggilan ini lagi. Karena sejak awal, kami selalu memanggil dengan sebutan ini. Sampai akhirnya, berlanjut menjadi "Aku dan kamu." setelah kami makin dekat. Dan panggilan "Sayang" setelahnya.
"Kenapa? Lo nggak suka gue, panggil gitu?"
"Panggil apa? Lo gue, lagi? Biasa aja kok. Lagian gue juga suka labil manggil lo. Kadang manggil lo, kamu, kadang juga manggil ... Ayang."
Deg!
"Rangga. Jangan gitu ah."
"Apa?"
"Enggak apa-apa."
Suara motor Iqbal terdengar nyaring. Perhatian kami pun teralih ke luar rumah. Begitu Iqbal masuk dia bingung sambil menunjuk ke halaman. "Ada apaan? Kok ada polisi di luar?"
"Ada pencuri tadi. Jadi mereka berjaga malam ini. Mereka khawatir kalau pencuri itu balik lagi, dan gue sendirian."
"Pencuri? Kok bisa?!"
"Ya bisa lah, Bal. Ibarat lo kena sakit bisul, mau lo kaya kek, mau lo miskin, kalau Tuhan berkehendak, ya jadilah!"
"Buset. Ngapa jadi ke bisul perumpamaan nya?" tanya Iqbal karena merasa tersindir sebagai pasien bisul abadi. Dia memiliki bisul di daerah pantat, dan itu akan kambuh setiap sebulan sekali.
"Ya udah, gue balik dulu. Iqbal udah pulang inih."
"Lah, kaga nginep, Ngga?" tanya Iqbal menyindir.
"Enggak. Yang punya rumah sinis," kata Rangga melirikku.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun aku baru keluar dari ruang siaran karena menemani Rangga sejak tadi.
"Eum, aku belum kasih kabar Iqbal, dia juga belum telpon aku sih," sahutku sambil memeriksa gawai di tangan.
"Ya udah, balik sama aku saja. Sebentar aku ambil jaket. Eh, naik motor nggak apa-apa, kan?" tanyanya.
"Ya nggak apa-apa sih. Memangnya aku harus naik mobil terus. Gitu?"
"Oke. Ya kali aja, sekarang level kamu udah naik. Alergi naik motor."
"Dih, apaan sih! Rese!"
"Ye ngambek. Manyun. Jelek banget."
"Buruan ah, Rangga!"
"Iya, oneng!" katanya memanggil ku dengan panggilan seperti dulu. Hal ini tentu membuatku kembali merasakan bagaimana hubungan kami dulu. Bagai Dejavu yang ingin aku terus ulangi dan ulangi.
Aku menunggu di sebuah kursi yang memang dipakai untuk ruang tunggu, dan tak lama kemudian Rangga keluar sambil buru-buru memakai jaketnya. Jaket itu, adalah hadiah terakhir yang pernah aku berikan untuk dia sebelum hubungan kami berakhir begitu saja. Ini kali pertama aku melihatnya memakai jaket itu. Karena hanya sekali setelah aku memberikan kado itu, dan kami pun berpisah. Dia menyukainya, entah benar-benar menyukainya atau hanya untuk menyenangkan hatiku saja. Katanya dulu, "Bagus dong. Kamu kamu yang pilih, pasti bagus."
Dia memang pintar menyenangkan hati orang dan menghargai orang lain. Walau terkadang kalimat yang dia lontarkan terkesan menyebalkan.
"Yuk, turun," ajak Rangga berjalan lebih dulu ke lift. Ada salah satu teman kerjanya yang juga sepertinya akan turun ke lantai bawah, jadi kami tidak berdua saja selama di dalam lift. Rasanya ini melegakan, karena aku masih kurang nyaman jika hanya berdua saja dengannya. Aku grogi dan bingung harus berbuat apa. Padahal diam saja pun termasuk tindakan paling tepat.
"Balik lo?" tanya pria muda yang sedang membawa tumpukan map di tangan.
"Iyalah. Emangnya elu, kerja mulu. Hati-hati ... jangan terlalu malam di sini," bisik Rangga yang masih dapat kudengar.
"Jangan begitu, Ngga. Sudah malam gini, jangan mulai lo ya! Besok-besok giliran elu yang dikasih lihat!"
Rangga hanya tertawa, lalu pintu lift dibuka. Kami segera keluar bersamaan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya ada gangguan tak terlihat di gedung ini yang pernah dialami teman Rangga. Hanya saja sejauh ini aku belum melihat penampakan yang berarti.
Sampai di lobi, rupanya teman-teman juga akan pulang. Mereka masih berkumpul di depan entah sedang berdiskusi apa.
"Nah, ini dia orangnya. Kirain udah balik lo, Ros?" tanya Indi. Mereka semua menatapku dan membuatku risih.
"Belum, kenapa?"
"Ayok. Ikut. Kita makan-makan. Babeh yang traktir!" kata Mey menambahkan.
"Eum, bagaimana, ya ...."
"Nggak boleh nolak! Rangga juga ikut kok. Iya, kan?"
Rangga mengangguk sambil menatap layar ponselnya, sesekali memperhatikan sekitar. Sepertinya ada yang sedang ia cari.
"Nahkan! Ya sudah, ayo semua ke cafe biasanya. Elu sama Rangga, kan? Rangga! Heh! Jagain teman gue! Awas kalau kenapa-kenapa!" hardik Indi.
"Bawel!"
"Ya sudah kita duluan, Ros. Ketemu di sana, ya," kata Mey lalu berjalan ke sebuah mobil yang baru saja berhenti di depan. Mereka masuk bergantian, namun Indi justru masih diam di tempat, menatap jam di pergelangan tangan.
"Nah, jemputan gue sudah datang." Sebuah motor berhenti di depan kami, rasanya aku mengenal kendaraan satu ini, karena terlihat familiar diingatan. Saat helm dibuka ...
"Raja!" pekikku. Pria itu hanya merapikan rambutnya, lalu menarik sebelah bibir padaku.
"Gue duluan, ya. Kalian jangan lama-lama. Buruan!" kata Indi lalu naik ke jok belakang motor Raja. Aku yang masih bengong, lantas memiliki banyak pertanyaan di kepala.
"Indi ... sama Raja ...?"
"Iya, mereka pacaran," sahut Rangga santai.
"Kok bisa?!"
"Mana gue tau! Bukan urusan gue!" Rangga tengak-tengok ke kanan dan kiri, lalu muncul seorang wanita yang cukup aku kenal. Nida.
"Sorry, lama, ya?" tanyanya dengan wajah bahagia mendekat ke Rangga.
"Nggak apa-apa. Mana kunci motor gue?!" pinta Rangga dengan tangan kanan menengadah.
"Ini. Makasih, ya. "
"Elu nggak ikut makan-makan tim?"
"Oh, enggak. Rizal balik duluan, Mama nya sakit. Males gue ikut kalau dia nggak ada. Lagian elu udah ada gandengannya sih. Coba kalau enggak, kita pergi bareng saja," sindir Nida sambil melirik padaku.
"Oh, ya sudah. Gue balik aja, ya. Udah malam juga. Biar kalian aja yang pergi ke sana. Tuh ada taksi," timpalku yang memang sedikit tersinggung dengan perkataan dan sikapnya. Aku hampir melangkah, saat Rangga menahan tanganku.
"Mau ke mana?"
"Pulang," kataku tanpa menatapnya.
"Eum, ya udah deh, gue duluan ya." Nida pergi begitu saja dan berhasil membuat moodku sangat jelek saat ini.
"Nggak jadi ikut makan bareng?"
"Malas ah. Kamu aja sana, sama Nida. Lagian aku bukan siapa-siapa di sana," kataku ketus.
"Bukan siapa-siapa apanya? Justru acara makan-makan kali ini buat menyambut kamu balik. Jadi kenapa aku pergi sama Nida. Kan kamu bintang tamunya. Nida mah siapa atuh?"
Aku masih diam, berusaha menetralkan emosi yang hampir meledak tadi. Tapi Rangga malah menarik tanganku ke parkiran. Aku masih tetap diam. Rasanya aku tidak ingin banyak bicara lagi sekarang. Kedatanganku merupakan hal yang tidak Nida sukai. Dia bahkan dengan terang-terangan mengatakan hal tersebut di depanku. Dasar wanita tidak tau malu. Sekalipun itu hanya gurauan, itu keterlaluan bagiku.
"Lagi PMS, ya?' tanya Rangga yang sudah duduk di atas kuda besinya.
"Enggak tau."
"Biasanya kalau PMS sensitif gini soalnya. Jangan diambil hati, ya. Nida cuma bercanda kok."
"Aku nggak apa-apa."
"Masa? Tapi kok mukanya kelihatan ada apa-apa, hayo," ledek Rangga dan membuatku terpaksa memukul lengannya. "Sudah yuk, naik. Kemalaman nanti kita."
Kami berkendara sampai ke sebuah cafe yang memang tidak asing bagiku. Di sana mereka semua sudah menempatkan diri di kursi dengan meja yang panjang berada di tengah. Saat aku dan Rangga datang, Mey dan Indi melambaikan tangan pada kami.
Pukul 22.30 kami mulai menyantap hidangan yang sudah ada di meja. Saling berbincang dan bercanda seperti biasanya. Hal yang sangat aku rindukan selama berjauhan dari mereka. Semua berkumpul di sini. Bahkan Raja dan Indi mulai menjalin hubungan, dan yang membuat aku kesal, karena dia tidak memberi tau ku sebelumnya. Tapi aku bahagia melihat mereka bersama. Raja masih terlihat sama, tapi dia jauh lebih hangat dari sebelumnya. Walau sikap cuek dan dinginnya masih melekat.
"Pulang?" tanya Rangga sambil menatap jam di pergelangan tangannya. Rupanya sudah tengah malam, dan suasana cafe mulai lenggang. Entah pukul berapa tempat ini tutup, tapi kami tidak juga diusir setelah duduk di sini hampir 1,5 jam.
Rupanya, mereka sering melakukan hal ini jika sedang merayakan sesuatu. Bahkan pemilik cafe sudah dekat dengan mereka dan menganggap hal ini sudah biasa.
"Boleh. Udah malam juga nih."
"Kenapa? Mau balik?" tanya Mey saat melihat gelagat kami berdua yang mulai menghabiskan makanan dan minuman.
"Iya. Udah malam nih. Pulang dulu, ya," kataku pada mereka.
"Lah iya, udah tengah malam. Udah jam nya mereka nih, kita juga harus balik. Gantian," sahut Asep.
Kami sudah terbiasa membagi waktu, jatah kami, manusia, dengan mereka para hantu.
"Kalau udah ngobrol, kita mah lupa waktu, ya," tambah Mey.
"Ya sudah. Bubar aja sekarang. Pulang. Jangan lupa, Ros, besok masuk kerja. Kita tunggu!" kata Babeh padaku.
"Iya, Bos."
"Ya sudah, balik sana. Hati-hati. Rangga, jangan ngebut," nasehat Babeh pada kami.
"Iya, Bos," kata Rangga menirukan kalimat ku.
Saat kami pamitan, mereka juga satu persatu mulai mempersiapkan diri untuk pulang. Beruntung malam ini langit cerah. Di mana bintang bertabur dengan indah di angkasa. Tapi, suasana makin dingin kali ini.
Rangga duduk di jok motornya, ia memberikan jaketnya dan menyuruhku untuk mengenakannya.
"Kok gitu? Jangan ah. Kan kamu yang di depan, kamu yang bakal kedinginan kalau nggak pakai jaket," kataku menolak tawarannya.
"Udah, pakai!" Dia malah menarik tanganku, dan mulai memakaikan jaket itu. Aku hanya pasrah. Tapi dia pasti tidak akan menuruti perkataanku. "Udah? Pegangan!" kata Rangga saat aku sudah duduk di belakangnya.
Dengan malu-malu, aku menjulurkan tangan ke pinggang Rangga. Tapi tiba-tiba dia menarik tanganku sampai akhirnya membuat tubuh kami menempel. "Yang kenceng! Kalau jatuh gimana?"
Tidak menanggapi, namun aku mulai membiasakan diri dengan posisi ini. Perlahan kepalaku justru mulai bersandar pada bahu Rangga. Dia melirik sekilas, dan terlihat seulas senyum di bibirnya yang langsung disembunyikan kembali. Motor dinyalakan, dan kami pun melesat menembus jalanan ibukota yang sudah mulai sepi.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, atau memilih diam. Rangga yang dulu ku kenal cerewet dan sering melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak jelas, mulai terlihat berbeda. Hanya saja bagiku, berada di dekat nya seperti ini saja sudah cukup. Mungkin butuh waktu bagi kami untuk kembali bisa seperti dulu, entah menjadi teman atau lebih. Rasanya semesta mulai berpihak padaku. Tapi aku tidak mau terlalu menikmati momen seperti ini. Rasa takut masih kerap kurasakan, jika tiba-tiba kami harus kembali dipisahkan oleh keadaan.
"Sampai. Eh, udah sepi," katanya sambil menatap rumahku yang keadaan ruang tamunya sudah gelap. "Ya udah, gue balik, ya."
"Eh, tunggu!" kataku lalu menahan tangannya. Rangga yang hendak menyalakan motornya, berhenti dan menatapku heran.
"Kenapa lagi? Masih kangen?" tanyanya dengan pertanyaan yang tepat.
"Ih, pede sekali sih anda. Itu, kok aneh, ya. Rumahku sepi gitu. Biasanya nggak gitu, Ngga " jelas ku sambil memperhatikan sekitar.
"Pada ke mana? Coba ditelepon. Memangnya situ nggak berani sendirian di rumah?"
Aku menggeleng lalu mencari ponselku. Beberapa kali menghubungi Mama dan Papa tidak kunjung diangkat. Sampai akhirnya Iqbal mengirim sebuah pesan.
[Lo, udah pulang, Nes? Gue masih di rumah Regi. Mama Papa pergi, kondangan ke luar kota. Bang Haikal ada acara katanya, pengajian atau apalah. Nanti gue balik kok. Lo tunggu rumah, ya.]
"Yah, nggak ada orang di rumah. Gimana dong, Ngga," rengekku lebih mirip anak kecil yang ditinggal orang tuanya sendirian di rumah.
"Temenin?" tanyanya sambil melirikku.
"Huum. Mau nggak? Aku masih trauma. Takut di rumah sendirian."
"Ya udah, ayok. Gue parkirin dulu motornya," kata Rangga saat melihat jam di pergelangan tangannya. Jam bermerk swiss army, pemberianku dulu.
Aku lantas berjalan ke teras, sambil menunggunya. Setelah Rangga memarkirkan motor, dia menyusul ku.
Pintu rumah kubuka, suasana hening segera menyelimuti seluruh rumah. Kami berdua mengucap salam begitu menginjakkan kaki ke ruang tamu. Bersamaan dengan itu, terdengar guntur yang cukup kencang, dan berhasil membuatku melonjak karena terkejut.
"Wah, mau hujan," gumam Rangga menoleh ke halaman rumahku.
Aku lantas segera menyalakan lampu ruang tamu, dan mempersilakan Rangga duduk.
"Mau minum apa? Kopi?"
"Iya, boleh."
"Sebentar, ya."
Aku pergi ke dapur dan membuat dua cangkir kopi untuk kami berdua. Namun, sesaat aku mendengar bunyi aneh dari arah taman, dekat dapur. Perlahan aku mendekat untuk memeriksanya. Tiba-tiba seseorang berlari dari lemari, samping kulkas dan menerobos ku begitu saja.
"Maling!" Jeritku spontan dan berlari mengejar nya. Dia yang memakai pakaian serba hitam langsung kutuduh sebagai pencuri. Rangga terkejut dan ikut mengejar orang tadi. Namun sayangnya, dia berhasil lolos.
"Ya ampun. Ada maling! Astaga! Masuk dari mana dia!" kataku berdiri di halaman bersama Rangga.
"Namanya maling, bisa masuk lewat mana aja, Ros. Sebaiknya kita cek rumah kamu. Takutnya dia ada komplotan." Rangga mengajakku kembali ke rumah. Melupakan pencuri yang sudah berhasil lolos. Sekalipun kami kejar, pasti tidak akan berhasil.
Aku dan Rangga lantas memeriksa seisi rumah. Memastikan tiap sudut aman dan tidak ada lagi komplotan pencuri tadi. Tak lupa, kami menghubungi polisi. Setidaknya kejadian ini harus dilaporkan. Setelah memeriksa sekitar, tidak ada satupun hal mencurigakan lagi. Satpam kompleks dan ketua RT pun datang bersama polisi yang sudah kami undang tadi. Untung gerakan mereka cepat, untuk datang ke rumahku. Kami pun ditanyai pertanyaan dasar tentang kejadian tadi.
Hanya saja, aku merasa pernah melihat orang tadi. Dia memang memakai pakaian serba hitam dan penutup wajah. Tapi sorot matanya, aku seperti pernah melihat sebelumnya. Hanya saja aku lupa di mana.
"Baik, kami permisi dulu. Nanti akan ada petugas yang berjaga di rumah, Ibu, sementara. Semoga kejadian tadi tidak terulang." Polisi itu pergi, tapi meninggalkan dua orang petugas untuk berjaga di halaman rumahku.
"Mungkin kalian perlu pasang kamera cctv deh, Ros. Udah kejadian gini, takutnya ada kejadian lagi," kata Rangga.
"Hm, iya, ya. Besok aku bilang Papa deh kalau gitu."
"Untung gue belum pulang, ya. Coba kalau udah. Apa yang terjadi nanti sama kamu. Hm."
Entah perkataannya benar-benar tulus, atau hanya sekedar basa basi saja. Padahal aku sebenarnya tidak takut pada ancaman manusia, seperti tadi. Aku lebih takut pada ancaman makhluk tak kasat mata.
"Kamu nggak apa-apa? Pulang malam, Ngga?"
"Nggak apa-apa. Nanti aja gue baliknya, nunggu Iqbal pulang."
"Ibu nggak cariin?"
"Ye, gue bukan anak kecil lagi kali. Santai aja."
"Hm, ya udah. Oh iya, kopi! Lupa!"
Pukul 01.00 dini hari, dan aku pun masih duduk di ruang tamu bersama Rangga. Aku sedikit gelisah, karena takut mengganggu waktunya hingga selarut ini. Sementara Iqbal belum juga kembali.
Kopi sudah habis sejak tadi. Aku dan Rangga seolah bergantian menguap karena menahan kantuk.
"Rangga, lo balik aja deh, nggak apa-apa. Besok kerja, kan?" tanyaku sedikit mengusirnya. Aku yakin dia sudah lelah seharian.
"Lo? Hm, nanti deh. Sebentar lagi. Daripada nanti gue kepikiran lo di rumah. Mending gue tunggu sebentar lagi. Iqbal paling bentar lagi balik, kan?" tanyanya. Pertanyaan pertama Rangga membuat ku tidak nyaman. Dia seolah mempermasalahkan panggilan ku padanya. "Lo gue." Yah, aku memang ingin membiasakan panggilan ini lagi. Karena sejak awal, kami selalu memanggil dengan sebutan ini. Sampai akhirnya, berlanjut menjadi "Aku dan kamu." setelah kami makin dekat. Dan panggilan "Sayang" setelahnya.
"Kenapa? Lo nggak suka gue, panggil gitu?"
"Panggil apa? Lo gue, lagi? Biasa aja kok. Lagian gue juga suka labil manggil lo. Kadang manggil lo, kamu, kadang juga manggil ... Ayang."
Deg!
"Rangga. Jangan gitu ah."
"Apa?"
"Enggak apa-apa."
Suara motor Iqbal terdengar nyaring. Perhatian kami pun teralih ke luar rumah. Begitu Iqbal masuk dia bingung sambil menunjuk ke halaman. "Ada apaan? Kok ada polisi di luar?"
"Ada pencuri tadi. Jadi mereka berjaga malam ini. Mereka khawatir kalau pencuri itu balik lagi, dan gue sendirian."
"Pencuri? Kok bisa?!"
"Ya bisa lah, Bal. Ibarat lo kena sakit bisul, mau lo kaya kek, mau lo miskin, kalau Tuhan berkehendak, ya jadilah!"
"Buset. Ngapa jadi ke bisul perumpamaan nya?" tanya Iqbal karena merasa tersindir sebagai pasien bisul abadi. Dia memiliki bisul di daerah pantat, dan itu akan kambuh setiap sebulan sekali.
"Ya udah, gue balik dulu. Iqbal udah pulang inih."
"Lah, kaga nginep, Ngga?" tanya Iqbal menyindir.
"Enggak. Yang punya rumah sinis," kata Rangga melirikku.
Terkadang senyuman adalah topeng terbaik untuk menyembunyikan luka
pulaukapok memberi reputasi
1