- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#41
Part 39 Pulang
Aku sedang berada di sebuah pesawat yang akan membawaku pulang ke rumah. Yah, pulang ke rumah. Kini aku punya tempat untuk dituju. Tempat yang bisa disebut rumah. Di mana ada orang-orang yang menganggap ku keluarga, dan kuanggap keluarga. Mama Irene duduk di sampingku. Papa duduk di kursi lain bersama salah satu saudara tiriku, yakni Bang Haikal. Anak pertama Papa dengan Mama Irene. Sementara anak bungsu mereka bernama Iqbal yang duduk seorang sendiri di sudut pesawat. Di telinga nya bertengger headset, kepalanya bergerak-gerak diikuti tubuhnya. Dia anak band sementara Bang Haikal lebih pendiam karena lulusan Universitas Kairo. Agamanya lebih unggul daripada kami tentunya. Maka dari itu dia lebih bisa menjaga sikap, dan juga lebih dewasa.
Untungnya mereka mampu menerima kehadiranku. Bahkan tidak tampak kebencian dari kedua pria itu. Justru mereka sangat menerima ku sebagai salah satu anggota keluarga baru.
"Gimana rasanya akhirnya pulang lagi ke Indonesia?" tanya Mama.
"Hm, campur aduk, Ma. Senang, sedih, nggak sangka aja. Rasanya aku sudah terbiasa dengan Korea."
"Kita bisa pergi ke sana lagi kapan-kapan."
Aku mengangguk dan bersandar di bahu Mama. Keluarga baru, kehidupan baru. Tapi cintaku masih sama seperti dulu. Bagaimana kabar Rangga? Apakah dia sudah menikah dengan wanita itu?
Baik Indi dan Mey tidak tau menahu kabar Rangga. Nita sekali pun tidak tau kabar Rangga. Bahkan pesan yang Nita kirim, jarang Rangga baca. Sekalipun Rangga membaca dan membalas, itu pun sekadarnya saja. Katanya sejak aku pergi, Rangga jarang berkumpul bersama lagi. Seolah sengaja bersembunyi atau benar-benar ingin melupakanku. Aku berharap dia baik-baik saja.
.
.
.
Aku sengaja tidak memberitahukan kepulanganku pada teman-teman. Ingin mengejutkan mereka dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Aku dengar, mereka bekerja di stasiun radio yang bekerja sama dengan penerbitan majalah Dunia sebelah. Majalah bertema mistis dan perhantuan memang cocok untuk mereka. Aku juga mengenal beberapa pegawai di sana. Di sana aku mengenal Mey, Bang Cen, dan pemilik majalah tersebut Om Fendi. Salah satu penulis horor di sana juga idolaku. Danielo.
Dari Bandara ada supir yang menjemput. Tapi sebelum kami pergi, aku terpaksa ke toilet untuk buang air kecil.
"Jangan lama-lama, Ines. Sebentar lagi azan," kata Bang Haikal mewanti-wanti.
"Siap!" Aku berlari ke toilet sambil menoleh ke arah mereka yang masih menungguku. Tiba-tiba tubuhku terhuyung karena menabrak seseorang. Aku bahkan sampai terjatuh.
"Duh, maaf-maaf." sadar kalau hal ini akibat kesalahanku, tanpa melihat orang yang aku tabrak, aku segera meminta maaf sambil berusaha bangkit. Dia tidak menyahut, tapi malah mengulurkan tangan kanannya, membantuku berdiri.
Pria ini tampak tidak asing, sekali pun memakai masker dan hanya menampilkan kedua bola matanya saja. Tapi sorot matanya sangat aku kenal. Hanya saja aku lupa di mana. Dia juga memakai topi serta jaket denim. Dia mengangguk lalu berlalu meninggalkanku.
"Ines! Cepat!" jerit Iqbal kesal.
"Oke!"
.
.
.
Sebuah kamar berukuran 5x5 meter akan menjadi tempat aku tidur sekarang. Wallpaper berwarna pink dan pastel membuatku benar-benar nyaman. Penataan furniture serta boneka yang ada di ujung kasur membuatku seperti kembali muda. Sebelum kami pulang, Papa sudah menyiapkan kamar ini untukku. Begitu katanya. Kamar ini cukup luas jika disebut kamar, karena sebelumnya aku selalu tinggal di apartemen dengan ruangan yang hanya satu dan dibagi beberapa bagian. Saat membuka kamar, ada meja rias di dekat pintu. Cermin besar dengan lampu di sekitarnya benar-benar mengingatkan ku pada kamar Indi. Perlengkapan make up belum tersedia di sana. Akhirnya aku punya meja rias. Sehingga tidak selalu meletakkan make up dengan sembarangan. Di sisi kanan, dekat meja rias, ada lemari pakaian yang cukup besar. Ada tiga bagian lemari dengan ruangan cukup besar. Aku bahkan merasa pakaianku akan sangat muat masuk ke dalam sana. Bahkan mungkin malah akan ada ruang yang tidak terpakai. Setelah lemari, ada ranjang besar dengan bed cover warna cokelat muda. Bantal terlihat empuk. Dengan meja nakas di kanan kiri ranjang. Dilengkapi lampu di sana. Sisi paling ujung hanya ada karpet bulu yang berada di dekat balkon. Lalu sisi di seberang ada kamar mandi dalam. Ini yang paling aku suka. Benar-benar sesuai dengan apa yang aku mau. Aku tidak begitu suka berbagi kamar mandi, mungkin karena terbiasa hidup sendiri selama ini.
Pintu di ketuk saat aku baru selesai mandi dan berniat membereskan koper. Bu Siti, sebagai asisten rumah tangga, membantuku membereskan barang-barangku sejak tadi. Dia orang yang baik dan ramah.
"Masuk!" jeritku sambil mengeringkan rambut.
"Yah, Bu Siti di sini? Aku cari-cari," kata Iqbal yang muncul dari balik pintu.
"Kenapa, Mas Iqbal?"
"Dipanggil mama. Katanya mau ada tamu nih. Suruh bikin makanan," kata Iqbal yang kini ikut masuk ke dalam.
"Oh, siap. Nanti lagi, ya, Neng," kata Bu Siti padaku.
"Iya, Bu. Nggak apa-apa, biar aku bereskan sisanya."
Aku duduk di meja rias. Pintu telah ditutup Bu siti. Sementara Iqbal malah merebahkan diri di kasur sambil memainkan ponselnya.
"Siapa tamunya, Bal?" tanyaku mulai menyapu serum ke wajah.
"Temen Mama katanya. Dari luar kota. Kayaknya sih mau nginep deh. Soalnya kamar tamu mulai dibersihin juga tuh," jelas Iqbal tidak menatapku, hanya terpaku pada pemainan game di ponselnya.
"Cewek?"
"Satu keluarga sih kayaknya. Soalnya ada dua kamar yang dibersihin," tambah Iqbal. Tak lama dia menjerit karena kesal. "Yah, mati!" Dia lalu melempar ponsel asal ke atas kasur.
"Eh gimana? Kamarnya? Nyaman, kan?"
"Nyaman kok. Aku suka."
"Gue yang pilih wallpaper nya nih," tunjuk nya lalu beranjak dan memperhatikan tembok sekitar kami.
"Waw, serius? Pilihan elu bagus," pujiku.
"Iya dong. Kebetulan yang biasa renovasi itu kenalan gue, dan biasa benerin rumah ini sejak awal. Jadi gue tinggal pilih dari jauh, dia yang kerjain semua. Kalau ada yang nggak suka, elu bilang aja."
"So far so good!" Aku berjalan ke kasur dan berniat tidur sebenarnya. Hanya memakai piyama tidur lengan pendek dan celana panjang saja. Ritual malam ku sudah selesai dilakukan.
"Yee, malah mau tidur. Baru jam segini ih," ejek Iqbal ikut tidur di sampingku.
"Siapa juga yang mau tidur. Gue kan cuma tiduran. Capek."
"Eh, Ines? Gue panggil Ines apa Rosi? Nama elu banyak banget, heran."
"Apa aja. Terserah elu."
"Ya udah Ines aja. Awal kenal, kan, nama elu Ines."
"Hm." aku mulai mengerjap kan mata. Berusaha menahan kantuk yang sudah ada di ujung. Tapi Iqbal terus mengajakku berbicara. Sejak awal dia memang sangat akrab denganku. Bahkan tidak jarang kami sering adu mulut karena diskusi yang tidak mencapai titik temu. Tapi aku akui, Iqbal sangat baik dan peduli padaku.
"Gimana sama Rangga? Nggak pingin ketemu gitu, setelah balik?" tanyanya dan sekejap membuat kantukku hilang.
"Hah! Kok elu tau nama itu?!" tanyaku setengah menjerit.
"Ya ampun. Iqbal gitu loh. Jadi, dia siapa nya elu? Pacar? Mantan? Atau apa?"
"Sebentar! Elu tau nama itu dari mana? Perasaan gue nggak pernah bahas deh."
"Gue tau dari password media sosial punya elu. Bahkan sampai password email nama dia, kan?"
"Heh! Kok elu tau password email gue? Jangan macam-macam, ya!" aku menunjuk nya yang masih santai tiduran di atas kasurku.
"Elu lupa? Pas kemarin email lu nggak bisa kebuka, sementara ada banyak surel penting yang belum dibaca?"
Aku lantas teringat kejadian beberapa saat lalu. Iqbal membantuku memulihkan email dan beberapa media sosial ku yang tiba-tiba terkena hack seseorang. Padahal aku tidak pernah memberitahunya password emailku.
"Jadi bisa kelihatan?"
"Yah, gampang sih buat gue. Gue ini kan hacker, Nes, yang udah tutup lapak. Tapi kalau untuk orang terdekat ya bisa diaturlah. Mau akun apa pun yang elu punya tiba-tiba hilang, gue bisa pulihkan lagi," katanya bangga.
"Iya deh, iya."
Iqbal lantas duduk di depanku. "Jadi gimana? Siapa Rangga? Cerita dong ih. Gue yakin dia salah satu kenangan manis elu, kan? Soalnya yang kemarin elu ceritain kehidupan pait elu semua."
Aku lantas tertawa, dan akhirnya aku menceritakan bagaimana aku bertemu Rangga sampai akhirnya kami berpisah.
"Kenapa elu nggak tanya dulu sama dia? Mungkin dia mau perjuangin elu, Nes? Elu jangan kayak cewek pada umumnya kenapa sih! Gitu aja ngambek, main kabur gitu aja tanpa ada obrolan apa pun. Setidaknya ucapan selamat tinggal."
"Kan udah, Bal."
"Kapan?"
"Pas di bandara."
"Ditelepon? Mana bisa disebut obrolan yang serius. Ih, elu mah, cewek banget! Kesel gue yang denger ceritanya."
"Udahlah. Gue nggak akan terima kalau ibunya nggak setuju sama hubungan kami. Gue takut, kejadian lagi seperti pernikahan kedua gue kemarin."
"Kan belum tentu, Nes."
"Udah ih. Nggak usah dibahas!"
"Yee. Dasar! Bilang aja elu kangen, kan? Mau gue temenin nemuin dia?"
"Apa sih ih!" aku melempar Iqbal dengan boneka yang sejak tadi aku pegang.
Pintu kembali diketuk, Bu Siti muncul.
"Neng, Mas, dipanggil ibu. Tamunya sudah datang."
"Iya, Bu."
Aku meraih sweeter dan segera memakainya.
"Nes, gue serius. Daripada elu uring-uringan kepikiran dia terus," kata Iqbal terus menggangguku.
"Bawel ih! Dibilang nggak mau!"
Iqbal mengacak-acak rambutku dan kami pun keluar dari kamar. Masih tetap dengan ejekan Iqbal dan jawaban ketus dariku.
"Nah ini anak-anakku. Sini, kenalkan teman Mama dulu pas SMA."
Iqbal yang masih membuat rambutku berantakan lantas tertawa. Dia lebih dulu memperkenalkan diri. Aku masih merapikan rambut dan berusaha menyusul adik tiriku itu.
Namun, tubuhku seperti diperintahkan untuk diam di tempat. Saat melihat tamu yang Mama sebut teman SMA itu, rupanya adalah ... mama Rangga.
"Ayok, Ines, salim sama Tante Nunik, itu suaminya Om Heri, sama putranya Rangga."
Aku menelan ludah saat ketiga orang itu menatapku dengan tatapan yang sama. Aku yakin mereka juga sama terkejutnya seperti ku. Iqbal mendekat lalu menyenggol lenganku.
"Kenapa? Jangan bilang dia Rangga yang kita obrolin tadi," bisiknya.
"Kalian kenapa sih?" tanya Mama.
"Oh, maaf, Ma. Aku ... Eum."
"Loh, kamu Rosi, kan?" tanya Pak Heri yang berhasil mengenaliku walau cukup lama kamu saling tatap.
"Eum, iya Om. Saya Rosi." Aku lantas menyalami pasangan pria dan wanita itu, juga Rangga.
"Loh kok kenal anakku, Her?"
"Lah kan anak kita teman, Ren! Tadi aku pikir Ines siapa, tapi ternyata Ines itu Rosi," tukas Om Heri diiringi tawa bersama Mama dan Papa.
"Oh ya? Wah, kebetulan sekali, ya."
Bu Nuni tampak masih diam. Mungkin terkejut akan kehadiran ku di sini. Aku maklum. Karena aku juga cukup terkejut. Tapi Rangga terlihat diam saja. Aku bahkan tidak tau apa yang ada di dalam pikirannya. Tatapan matanya ... Berbeda dari terakhir kali kami dekat. Mungkin dia membenciku? Yah, lebih baik begitu.
"Terkadang kita butuh benci untuk melupakan seseorang."
Untungnya mereka mampu menerima kehadiranku. Bahkan tidak tampak kebencian dari kedua pria itu. Justru mereka sangat menerima ku sebagai salah satu anggota keluarga baru.
"Gimana rasanya akhirnya pulang lagi ke Indonesia?" tanya Mama.
"Hm, campur aduk, Ma. Senang, sedih, nggak sangka aja. Rasanya aku sudah terbiasa dengan Korea."
"Kita bisa pergi ke sana lagi kapan-kapan."
Aku mengangguk dan bersandar di bahu Mama. Keluarga baru, kehidupan baru. Tapi cintaku masih sama seperti dulu. Bagaimana kabar Rangga? Apakah dia sudah menikah dengan wanita itu?
Baik Indi dan Mey tidak tau menahu kabar Rangga. Nita sekali pun tidak tau kabar Rangga. Bahkan pesan yang Nita kirim, jarang Rangga baca. Sekalipun Rangga membaca dan membalas, itu pun sekadarnya saja. Katanya sejak aku pergi, Rangga jarang berkumpul bersama lagi. Seolah sengaja bersembunyi atau benar-benar ingin melupakanku. Aku berharap dia baik-baik saja.
.
.
.
Aku sengaja tidak memberitahukan kepulanganku pada teman-teman. Ingin mengejutkan mereka dengan kemunculanku yang tiba-tiba. Aku dengar, mereka bekerja di stasiun radio yang bekerja sama dengan penerbitan majalah Dunia sebelah. Majalah bertema mistis dan perhantuan memang cocok untuk mereka. Aku juga mengenal beberapa pegawai di sana. Di sana aku mengenal Mey, Bang Cen, dan pemilik majalah tersebut Om Fendi. Salah satu penulis horor di sana juga idolaku. Danielo.
Dari Bandara ada supir yang menjemput. Tapi sebelum kami pergi, aku terpaksa ke toilet untuk buang air kecil.
"Jangan lama-lama, Ines. Sebentar lagi azan," kata Bang Haikal mewanti-wanti.
"Siap!" Aku berlari ke toilet sambil menoleh ke arah mereka yang masih menungguku. Tiba-tiba tubuhku terhuyung karena menabrak seseorang. Aku bahkan sampai terjatuh.
"Duh, maaf-maaf." sadar kalau hal ini akibat kesalahanku, tanpa melihat orang yang aku tabrak, aku segera meminta maaf sambil berusaha bangkit. Dia tidak menyahut, tapi malah mengulurkan tangan kanannya, membantuku berdiri.
Pria ini tampak tidak asing, sekali pun memakai masker dan hanya menampilkan kedua bola matanya saja. Tapi sorot matanya sangat aku kenal. Hanya saja aku lupa di mana. Dia juga memakai topi serta jaket denim. Dia mengangguk lalu berlalu meninggalkanku.
"Ines! Cepat!" jerit Iqbal kesal.
"Oke!"
.
.
.
Sebuah kamar berukuran 5x5 meter akan menjadi tempat aku tidur sekarang. Wallpaper berwarna pink dan pastel membuatku benar-benar nyaman. Penataan furniture serta boneka yang ada di ujung kasur membuatku seperti kembali muda. Sebelum kami pulang, Papa sudah menyiapkan kamar ini untukku. Begitu katanya. Kamar ini cukup luas jika disebut kamar, karena sebelumnya aku selalu tinggal di apartemen dengan ruangan yang hanya satu dan dibagi beberapa bagian. Saat membuka kamar, ada meja rias di dekat pintu. Cermin besar dengan lampu di sekitarnya benar-benar mengingatkan ku pada kamar Indi. Perlengkapan make up belum tersedia di sana. Akhirnya aku punya meja rias. Sehingga tidak selalu meletakkan make up dengan sembarangan. Di sisi kanan, dekat meja rias, ada lemari pakaian yang cukup besar. Ada tiga bagian lemari dengan ruangan cukup besar. Aku bahkan merasa pakaianku akan sangat muat masuk ke dalam sana. Bahkan mungkin malah akan ada ruang yang tidak terpakai. Setelah lemari, ada ranjang besar dengan bed cover warna cokelat muda. Bantal terlihat empuk. Dengan meja nakas di kanan kiri ranjang. Dilengkapi lampu di sana. Sisi paling ujung hanya ada karpet bulu yang berada di dekat balkon. Lalu sisi di seberang ada kamar mandi dalam. Ini yang paling aku suka. Benar-benar sesuai dengan apa yang aku mau. Aku tidak begitu suka berbagi kamar mandi, mungkin karena terbiasa hidup sendiri selama ini.
Pintu di ketuk saat aku baru selesai mandi dan berniat membereskan koper. Bu Siti, sebagai asisten rumah tangga, membantuku membereskan barang-barangku sejak tadi. Dia orang yang baik dan ramah.
"Masuk!" jeritku sambil mengeringkan rambut.
"Yah, Bu Siti di sini? Aku cari-cari," kata Iqbal yang muncul dari balik pintu.
"Kenapa, Mas Iqbal?"
"Dipanggil mama. Katanya mau ada tamu nih. Suruh bikin makanan," kata Iqbal yang kini ikut masuk ke dalam.
"Oh, siap. Nanti lagi, ya, Neng," kata Bu Siti padaku.
"Iya, Bu. Nggak apa-apa, biar aku bereskan sisanya."
Aku duduk di meja rias. Pintu telah ditutup Bu siti. Sementara Iqbal malah merebahkan diri di kasur sambil memainkan ponselnya.
"Siapa tamunya, Bal?" tanyaku mulai menyapu serum ke wajah.
"Temen Mama katanya. Dari luar kota. Kayaknya sih mau nginep deh. Soalnya kamar tamu mulai dibersihin juga tuh," jelas Iqbal tidak menatapku, hanya terpaku pada pemainan game di ponselnya.
"Cewek?"
"Satu keluarga sih kayaknya. Soalnya ada dua kamar yang dibersihin," tambah Iqbal. Tak lama dia menjerit karena kesal. "Yah, mati!" Dia lalu melempar ponsel asal ke atas kasur.
"Eh gimana? Kamarnya? Nyaman, kan?"
"Nyaman kok. Aku suka."
"Gue yang pilih wallpaper nya nih," tunjuk nya lalu beranjak dan memperhatikan tembok sekitar kami.
"Waw, serius? Pilihan elu bagus," pujiku.
"Iya dong. Kebetulan yang biasa renovasi itu kenalan gue, dan biasa benerin rumah ini sejak awal. Jadi gue tinggal pilih dari jauh, dia yang kerjain semua. Kalau ada yang nggak suka, elu bilang aja."
"So far so good!" Aku berjalan ke kasur dan berniat tidur sebenarnya. Hanya memakai piyama tidur lengan pendek dan celana panjang saja. Ritual malam ku sudah selesai dilakukan.
"Yee, malah mau tidur. Baru jam segini ih," ejek Iqbal ikut tidur di sampingku.
"Siapa juga yang mau tidur. Gue kan cuma tiduran. Capek."
"Eh, Ines? Gue panggil Ines apa Rosi? Nama elu banyak banget, heran."
"Apa aja. Terserah elu."
"Ya udah Ines aja. Awal kenal, kan, nama elu Ines."
"Hm." aku mulai mengerjap kan mata. Berusaha menahan kantuk yang sudah ada di ujung. Tapi Iqbal terus mengajakku berbicara. Sejak awal dia memang sangat akrab denganku. Bahkan tidak jarang kami sering adu mulut karena diskusi yang tidak mencapai titik temu. Tapi aku akui, Iqbal sangat baik dan peduli padaku.
"Gimana sama Rangga? Nggak pingin ketemu gitu, setelah balik?" tanyanya dan sekejap membuat kantukku hilang.
"Hah! Kok elu tau nama itu?!" tanyaku setengah menjerit.
"Ya ampun. Iqbal gitu loh. Jadi, dia siapa nya elu? Pacar? Mantan? Atau apa?"
"Sebentar! Elu tau nama itu dari mana? Perasaan gue nggak pernah bahas deh."
"Gue tau dari password media sosial punya elu. Bahkan sampai password email nama dia, kan?"
"Heh! Kok elu tau password email gue? Jangan macam-macam, ya!" aku menunjuk nya yang masih santai tiduran di atas kasurku.
"Elu lupa? Pas kemarin email lu nggak bisa kebuka, sementara ada banyak surel penting yang belum dibaca?"
Aku lantas teringat kejadian beberapa saat lalu. Iqbal membantuku memulihkan email dan beberapa media sosial ku yang tiba-tiba terkena hack seseorang. Padahal aku tidak pernah memberitahunya password emailku.
"Jadi bisa kelihatan?"
"Yah, gampang sih buat gue. Gue ini kan hacker, Nes, yang udah tutup lapak. Tapi kalau untuk orang terdekat ya bisa diaturlah. Mau akun apa pun yang elu punya tiba-tiba hilang, gue bisa pulihkan lagi," katanya bangga.
"Iya deh, iya."
Iqbal lantas duduk di depanku. "Jadi gimana? Siapa Rangga? Cerita dong ih. Gue yakin dia salah satu kenangan manis elu, kan? Soalnya yang kemarin elu ceritain kehidupan pait elu semua."
Aku lantas tertawa, dan akhirnya aku menceritakan bagaimana aku bertemu Rangga sampai akhirnya kami berpisah.
"Kenapa elu nggak tanya dulu sama dia? Mungkin dia mau perjuangin elu, Nes? Elu jangan kayak cewek pada umumnya kenapa sih! Gitu aja ngambek, main kabur gitu aja tanpa ada obrolan apa pun. Setidaknya ucapan selamat tinggal."
"Kan udah, Bal."
"Kapan?"
"Pas di bandara."
"Ditelepon? Mana bisa disebut obrolan yang serius. Ih, elu mah, cewek banget! Kesel gue yang denger ceritanya."
"Udahlah. Gue nggak akan terima kalau ibunya nggak setuju sama hubungan kami. Gue takut, kejadian lagi seperti pernikahan kedua gue kemarin."
"Kan belum tentu, Nes."
"Udah ih. Nggak usah dibahas!"
"Yee. Dasar! Bilang aja elu kangen, kan? Mau gue temenin nemuin dia?"
"Apa sih ih!" aku melempar Iqbal dengan boneka yang sejak tadi aku pegang.
Pintu kembali diketuk, Bu Siti muncul.
"Neng, Mas, dipanggil ibu. Tamunya sudah datang."
"Iya, Bu."
Aku meraih sweeter dan segera memakainya.
"Nes, gue serius. Daripada elu uring-uringan kepikiran dia terus," kata Iqbal terus menggangguku.
"Bawel ih! Dibilang nggak mau!"
Iqbal mengacak-acak rambutku dan kami pun keluar dari kamar. Masih tetap dengan ejekan Iqbal dan jawaban ketus dariku.
"Nah ini anak-anakku. Sini, kenalkan teman Mama dulu pas SMA."
Iqbal yang masih membuat rambutku berantakan lantas tertawa. Dia lebih dulu memperkenalkan diri. Aku masih merapikan rambut dan berusaha menyusul adik tiriku itu.
Namun, tubuhku seperti diperintahkan untuk diam di tempat. Saat melihat tamu yang Mama sebut teman SMA itu, rupanya adalah ... mama Rangga.
"Ayok, Ines, salim sama Tante Nunik, itu suaminya Om Heri, sama putranya Rangga."
Aku menelan ludah saat ketiga orang itu menatapku dengan tatapan yang sama. Aku yakin mereka juga sama terkejutnya seperti ku. Iqbal mendekat lalu menyenggol lenganku.
"Kenapa? Jangan bilang dia Rangga yang kita obrolin tadi," bisiknya.
"Kalian kenapa sih?" tanya Mama.
"Oh, maaf, Ma. Aku ... Eum."
"Loh, kamu Rosi, kan?" tanya Pak Heri yang berhasil mengenaliku walau cukup lama kamu saling tatap.
"Eum, iya Om. Saya Rosi." Aku lantas menyalami pasangan pria dan wanita itu, juga Rangga.
"Loh kok kenal anakku, Her?"
"Lah kan anak kita teman, Ren! Tadi aku pikir Ines siapa, tapi ternyata Ines itu Rosi," tukas Om Heri diiringi tawa bersama Mama dan Papa.
"Oh ya? Wah, kebetulan sekali, ya."
Bu Nuni tampak masih diam. Mungkin terkejut akan kehadiran ku di sini. Aku maklum. Karena aku juga cukup terkejut. Tapi Rangga terlihat diam saja. Aku bahkan tidak tau apa yang ada di dalam pikirannya. Tatapan matanya ... Berbeda dari terakhir kali kami dekat. Mungkin dia membenciku? Yah, lebih baik begitu.
"Terkadang kita butuh benci untuk melupakan seseorang."
pulaukapok memberi reputasi
1