- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#39
Part 37 Dalam Cermin
Lorong yang kulalui tampak gelap. Bahkan aku harus berpegangan untuk mencari arah yang benar. Langkah demi langkah aku lalui dengan perasaan tidak menentu. Tali di pinggangku masih terpasang kuat. Sampai pada akhirnya di ujung lorong gelap ini ada setitik cahaya. Aku pun mendekat, karena yakin akan ada jalan di sana.
Cahaya yang awalnya hanya setitik, perlahan membesar, saat aku sudah makin dekat rupanya cahaya itu berasa dari sebuah pintu kecil. Berukuran setengah tubuhku. Sepertinya memang ini adalah jalan keluar dari tempat ini, akhirnya aku jongkok dan melewatinya.
Silau cahaya tadi membuat mataku harus terpejam, butuh waktu beberapa detik untuk menyesuaikan dengan tempat baru yang lebih terang ini. Saat aku mulai membuka mata, aku sedikit terperenyak, melihat sekitar. Ternyata aku baru saja keluar dari cermin ini dan berada kembali di rumah Daniel. Hanya saja semua tampak abu-abu. Tidak berwarna, seperti mati. Berkali-kali aku mengucek mata, berharap mataku bermasalah karena cahaya tadi. Tapi ternyata warna rumah ini memang abu-abu. Tidak ada warna lain selain itu. Lalu ... Tidak ada Daniel maupun Lee di depan cermin. Sepertinya aku sudah masuk ke dunia mereka. Kini tugasku tinggal mencari Kim.
Langkah berlarian terdengar di atas. Tubuhku membeku sebentar, karena yakin kalau setelah ini akan ada banyak gangguan yang datang. Dunia mereka tidak mungkin se-sunyi ini. Aku yakin banyak sosok astral yang menghuni tempat ini.
Aku menyalakan senter, hening nya tempat ini terasa aneh bagiku. Hawa sekitar terasa pengap, dan membuatku sedikit kesulitan bernafas. Nafasku pendek-pendek, dan membuatku terus menekan dada. Berharap ada perubahan pada jantungku yang berdetak cepat.
Toilet di dekatku menyala airnya. Aku harus memeriksa, namun sedikit takut jika yang muncul salah satu makhluk mengerikan penghuni tempat ini. Aku berjalan mendekat, berusaha tidak membuat suara apa pun. Saat sampai di depan pintu toilet, tubuhku sedikit membungkuk, berniat mengintip dari celah lubang kunci. Di dalam sana, ada sosok wanita berdiri di depan cermin. Memainkan ujung rambutnya yang panjang. Hanya ada dia di sana. Namun, tiba-tiba dia menoleh ke arah pintu lalu tertawa terkikik dengan suara mengerikan. Aku menutup mulut, mundur dan berusaha menghindar darinya.
Aku yang berjalan mundur, lantas menabrak sofa yang ada di ruang tamu besar rumah ini. Rupanya beberapa sosok lain sedang duduk di sana. Mereka hanya diam sambil menatap ke depan tanpa memperdulikan keberadaanku. Aku kembali berjalan, menjauh. Kini ruang tengah mencari incaranku. Di sana ada seorang wanita yang duduk di kursi santai. Menatap jendela gelap dengan boneka beruang di pangkuannya. Saat aku perhatikan dengan seksama, ternyata wajahnya mirip istri Daniel.
Aku mendekat sambil tengak-tengok sekitar. Berharap tidak ada makhluk lain yang mendekati ku.
"Rani? Hei!" panggilku sambil menggoyangkan tubuh wanita tersebut. Tubuh Kim Rani terlihat sama seperti makhluk yang ada di tempat ini. Semua abu-abu.
Wanita di depanku tidak bereaksi apa pun. Aku pun kembali memanggilnya, bahkan sedikit memukul pipinya pelan. "Sadarlah! Kita harus pergi dari sini. Tapi kita harus mencari anakmu dulu. Mana Kim? Apakah kamu melihatnya?"
Dia masih diam.
"Daniel menunggumu di rumah! Min dan Lin juga! Ayo, sadar!"
Wanita itu menoleh pelan padaku. "Lin? Min?" tanyanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca.
"Iya, Lin dan Min. Daniel juga menunggumu pulang. Kita pulang, ya," kataku berusaha membujuknya.
Tubuh Rani perlahan berubah. Warna abu-abu di tubuhnya perlahan luruh dan kembali ke warna semula. Sama sepertiku.
"Astaga! Apa yang aku lakukan di sini?!" tanyanya yang seolah baru sadar dari lamunan panjang.
"Ah, kamu saja tidak tau, bagaimana aku bisa tau? Yang jelas, kita harus mencari Kim dulu, lalu pulang. Oke?"
Dia mengangguk lalu beranjak dari kursi. Tapi anehnya, sesuatu seperti mengikat pinggang Rani. "Ines! Apa ini?!" tanyanya panik.
Sebuah tali melingkar di pinggangnya. Saat aku berusaha menariknya, jemariku terluka. Seperti ada duri-duri halus pada tali tersebut. Tali ini seperti serabut kasar yang dengan mudah melukai tanganku.
"Aku mencari gunting atau pisau dulu, ya."
Benda tajam tersebut dengan mudah aku dapatkan di atas meja nakas. Aku segera memotong tali itu, tapi anehnya gunting ini tidak bisa memotong benda sialan itu. Dahiku bahkan sampai berkeringat saat terus mencobanya.
"Duh, kenapa nggak bisa!" gerutuku.
"Bagaimana Ines?"
Aku berhenti. Menatap Rani dengan iba. Wajahnya seperti sangat lelah. Pucat dengan lingkar hitam di kedua matanya. Aku yakin dia sudah lama berada di dalam cermin ini. Hanya saja aku tidak tau bagaimana caranya dia masuk ke sini. Aku memejamkan mata. Teringat perkataan Bang Cen sebelum memutuskan masuk ke cermin.
"Jangan lupa, berdoa jika mendapat kesulitan!"
Aku menarik nafas dalam, lalu mengucap doa dalam hati sambil menggunting tali ini. Asap keluar dari tali yang sudah terpotong, lalu samar-samar aku mendengar jeritan memilukan entah dari mana. Aku menatap Rani, begitupun sebaliknya. Tapi dengan cepat aku harus segera menyelesaikannya. Tiba-tiba tali ini menggeliat, seolah hidup. Aku sempat terkejut dan melepaskannya sebelum benar-benar terlepas dari tubuh Rani.
"Ines! Cepat!" perintah wanita itu, panik.
Aku memberanikan diri kembali memotongnya. Walau aku takut, tapi aku harus bergerak cepat. Waktuku di sini tidak banyak. Tali ini mirip ular yang terus menggeliat, setelah terpotong sempurna aku melempar benda terkutuk ini. Tiba-tiba api membakar hangus tali tersebut, dengan suara tangisan yang membuat kami berdua takut. Tanganku masih terasa pedih. Aku segera mengajak Rani pergi mencari putranya.
Saat keluar dari ruang tengah ini, kami dihadapkan pada situasi sulit. Beberapa sosok penghuni tempat ini mulai bermunculan. Tapi anehnya mereka diam, hanya terus berjalan acak dan seolah tidak menyadari keberadaan kami.
"Mereka tidak akan menyadari keberadaanmu. Asal kamu bersikap wajar seperti mereka. Jangan bersuara, berteriak apa pun yang terjadi!" nasihat Bang Cen kembali terngiang di kepalaku.
"Ines, itu Kim!" tunjuk Rani ke lantai atas. Aku mendesis, sambil menutup mulut Rani.
"Jangan bersuara, berteriak, apa pun yang terjadi. Mengerti?" bisikku. Rani mengangguk paham.
Aku menggandeng tangan wanita ini, berjalan di antara para makhluk astral abu-abu sekitar, menuju ke lantai atas. Rani memejamkan mata, aku tau dia takut. Karena aku pun juga, tapi tidak mungkin aku ikut memejamkan mata sepertinya. Bagaimana cara kami menemukan arah yang tepat jika mataku juga ikut terpejam.
Langkah mereka pelan, sehingga aku pun berusaha menyesuaikan. Saat menaiki tangga, salah satu dari mereka menoleh pada kami. Tatapannya datar dan kosong. Aku tidak menanggapinya, dan tidak berniat ikut menoleh sekaligus menatapnya. Rasanya itu akan fatal akibatnya. Geraman beberapa sosok di sekitar kami mirip suara makhluk penghisap darah. Mengerikan dan membuat tubuh lemas sebenarnya. Lagi-lagi demi menemukan Kim, aku harus menahan perasaan takut ini.
Tali yang melingkar di pinggangku bergerak-gerak. Itu tandanya waktunya tidak banyak lagi. Aku segera mempercepat langkah, dan menarik Rani agar berjalan cepat juga.
Tapi rupanya hal ini bukan lah ide bagus. Karena seseorang memanggil kami. Aku dan Rani diam, menoleh. Mereka, makhluk yang berjalan di belakang kami, menatap dengan penuh kebencian.
"Siapa kalian?!" tanya salah satu dari mereka.
"Kalian bukan berasal dari sini, kan?!" tambah yang lainnya.
Aku dan Rani saling tatap, tidak menjawab sepatah katapun.
"Bagaimana ini?" tanya Rani berbisik.
"Kita lari! Dalam hitungan ketiga," sahutku ikut berbisik juga. "Satu ... Dua ..."
Tiba-tiba Rani sudah berlari meninggalkanku sambil menjerit ketakutan. Aku melotot dan menatap mereka semua yang mulai melihatku seperti singa mendapatkan buruan.
Aku pun ikut berlari menyusul Rani. Tapi saat sampai di lantai atas, Rani tidak lagi terlihat. Lantai ruangan ini sunyi. Aku menyapu pandang ke sekitar, tapi tidak menemukan di mana wanita itu berada. "Oh, sial! Ke mana sih dia?" gerutuku.
Aku kembali menoleh ke tangga, untungnya gerak makhluk penghuni rumah ini tidak secepat dugaan ku. Mungkin karena itulah mereka selalu berjalan lamban sejak tadi. Aku gunakan kesempatan ini untuk mencari Rani sekaligus bersembunyi.
Beberapa pintu kamar terlihat tertutup. Aku membuka satu pintu terdekat, kosong. Tidak ada siapa pun. Aku lantas menutup kembali dan mencari pintu lain. Saat membuka pintu terakhir, akhirnya aku melihat Rani dan Kim di dalam. Mereka tengah berpelukan. Tapi Kim terlihat sama seperti pertama kali aku melihat Rani.
Aku menutup pintu dan menguncinya rapat. "Bagaimana?"
"Dia masih belum sadar, Ines! Apa yang harus kita lakukan. Apa yang kamu lakukan padaku tadi?"
"Ingatkan tentang kalian, keluarga kalian."
"Sudah. Tapi dia tetap tidak mau bergerak."
"Oh Tuhan. Aku tidak tau lagi caranya."
Sementara sang ibu berusaha menyadarkan putranya, aku kembali mengintip pintu. Sosok-sosok yang mengejar kami tadi masih berkeliaran di depan. Mencari kami tentunya.
Kali ini aku benar-benar buntu, bagaimana caranya keluar dari tempat ini, sementara di luar semua makhluk mengerikan itu menunggu kami. Tidak ada jalan lain untuk lewat selain tangga tadi. Aku mulai berpikir keras, sambil memperhatikan ruangan ini. Beberapa peralatan make up ada di meja rias. Aku mencari sesuatu yang mungkin dapat digunakan. Saat gugup membuka satu persatu dari kotak make up di meja, secara tidak sengaja aku menumpahkan sebuah bedak. Warnanya ... Abu-abu.
"Rani! Bagaimana Kim? Dia bisa berjalan?" tanyaku.
"Kenapa?"
"Kita harus keluar sekarang. Balur bedak ini ke seluruh tubuh mu, lalu kita keluar. Kita tidak ada waktu lagi!" kataku.
"Cholilah. Kau saja lebih dulu, aku akan menggendong Kim untuk keluar dari sini," jelas Rani.
Aku memakai bedak ini ke sekujur tubuh, termasuk rambut. Setelah aku selesai, giliran Rani. Tubuh kami akhirnya sama seperti Kim. Tapi sekali lagi, kami harus berakting seperti mereka.
"Ingat! Jangan bersuara. Tatapan lurus ke depan. Berjalan perlahan saja."
"Cholilah."
Kim sudah ada di gendongan Rani. Aku memimpin di depan. Pintu kubuka pelan. Berusaha menahan perasaan takut, aku mulai melangkah keluar. Mereka menoleh pada kami. Tapi aku berusaha menahan diri untuk bersikap wajar, selayaknya mereka. Aku berhasil keluar, lalu berjalan terus ke arah tangga. Tentu dengan perlahan, sementara Rani menyusul di belakang. Sosok-sosok itu terus memperhatikan kami. Aku merasa mereka mencurigai kami, tapi aku terus berjalan menjauh.
Tiba-tiba aku mendengar suara tertahan dari Rani. "Ugh! In... Ines," panggilnya pelan.
Aku pun menoleh, saat melihat ke belakang, Kim sedang mencekik leher ibunya dengan seringai mengerikan. Sosok lain di belakang, yang sudah kami tinggalkan cukup jauh, mulai menyadari keberadaan kami.
"Pergi, Ines!" kata Rani.
Aku menggeleng, lalu mendekat. Tangan kecil Kim aku tarik dari leher Rani. Tapi anehnya, kulit tangan Kim terasa kasar. Mirip tali pengikat yang tadi melingkar di pinggang Rani. Beberapa kali telapak tanganku merasa pedih karena tusukan tajam dari tangan Kim.
"Lepas! Lepas, Kim!" jeritku. Kim tertawa seolah mengejekku. Dia terus menatapku datar, sambil tak berhenti mencekik ibunya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan Kim dari Rani.
"Ines, biarkan saja. Kamu pergi! Jangan sampai terjebak di sini. Biar aku di sini bersama Kim," kata Rani.
"Tidak! Aku sudah berjanji untuk membawa kalian kembali! Aku tidak akan meninggalkan kalian! Jangan menyerah!" kataku dengan menaikkan nada bicara.
Sosok-sosok di belakang mulai mendekati kami. Aku pun makin berusaha melepaskan tangan Kim dari leher Rani. Walau telapak tanganku terasa sakit, bahkan mulai berdarah.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah berlari dari arah belakang. Betapa terkejutnya aku saat melihat Kim lainnya, berlari mendekat. Di tangannya ada sebilah potongan cermin. Aku mulai panik, dan bertanya-tanya, mengapa ada dua Kim di sini. Tapi Kim yang sedang berlari itu, terlihat berbeda.
"Ibu!" jeritnya sambil mendekat. Aku mundur begitu anak itu ada di dekat Rani. Dia menunjukkan potongan cermin ke arah Kim di gendongan ibunya. Anehnya, Kim yang ada di belakang Rani menjerit sambil menutupi matanya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya perlahan terbakar dan berubah. Akhirnya dia melepaskan Rani. Rani langsung memeluk Kim yang baru saja datang.
Sepertinya dia memang Kim yang asli.
"Ayo kita pergi!" ajak Kim menarik tangan ibunya. Mereka berdua berlari dan aku mengikuti sampai akhirnya turun ke tangga.
"Kim, kamu ke mana saja?" tanyaku.
"Ceritanya panjang, Kak. Untuk bisa keluar dari sini, kita harus menyingkirkan mereka dulu. Caranya. Dengan cermin!"
"Cermin?"
Makhluk di bawah masih terlalu banyak bagi kami. Kami berhenti.
"Iya, arahkan cermin pada mereka, maka mereka akan binasa!" kata Kim.
Cermin?
Aku mengambil sepotong cermin dari saku celana belakang. Aku memang selalu membawa cermin ke mana pun. Untuk mengetahui, keberadaan makhluk astral di dunia nyata.
"Aku punya satu. Ayo, kita kembali ke cermin besar itu. Waktu kita hampir habis!" kataku tegas.
Kim mengangguk. Dia terus menggandeng ibunya dan berjalan turun ke bawah. Kami bersikap normal kembali, seperti normalnya mereka tentunya. Cermin sudah ada digenggaman tangan. Bersiap jika hal buruk terjadi lagi.
Kami menyelinap di antara penghuni rumah ini. Terus berjalan ke arah cermin yang berada di bawah tangga. Tiba-tiba tanganku di tahan seseorang. Aku menoleh dan mendapati sosok wanita sedang menyeringai padaku.
"Ajak aku serta!" katanya.
"Jangan harap!" aku mengarahkan cermin ini ke wajahnya. Dia menjerit kesakitan. Hal ini membuat sosok lain mulai bergerak karena menyadari keberadaan kami.
"Kim! Lari!" jeritku. Aku mulai mengarahkan cermin ke tiap sosok di depanku sambil berjalan mundur. Satu persatu dari mereka mulai terbakar. Aku merasa di atas angin dan menganggap ini sangat mudah dilakukan. Sampai akhirnya seseorang menahan kakiku dan membuatku jatuh ke lantai. Kaca di tanganku pecah berhamburan. Kakiku terus dicengkeram kuat sekalipun aku terus meronta. Tapi kekuatanku tidak mampu mengalahkan mereka.
Mereka mulai mendatangiku, mengerubungi dengan tatapan kemenangan. Tangan mereka berusaha menggapaiku. Aku mulai pasrah, dan memutuskan diam saja tidak melawan. Tiba-tiba satu persatu dari mereka terhempas. Bahkan beberapa terlihat sedang dilahap sesuatu yang tidak terlihat. Tapi saat bunyi gerakan macan terdengar, aku teringat sosok macan putih di rumah sakit tempo hari. "Pergilah!" kata seseorang tanpa wujud.
Tiba-tiba tubuhku ditarik sesuatu, masuk ke dalam cermin.
Cahaya yang awalnya hanya setitik, perlahan membesar, saat aku sudah makin dekat rupanya cahaya itu berasa dari sebuah pintu kecil. Berukuran setengah tubuhku. Sepertinya memang ini adalah jalan keluar dari tempat ini, akhirnya aku jongkok dan melewatinya.
Silau cahaya tadi membuat mataku harus terpejam, butuh waktu beberapa detik untuk menyesuaikan dengan tempat baru yang lebih terang ini. Saat aku mulai membuka mata, aku sedikit terperenyak, melihat sekitar. Ternyata aku baru saja keluar dari cermin ini dan berada kembali di rumah Daniel. Hanya saja semua tampak abu-abu. Tidak berwarna, seperti mati. Berkali-kali aku mengucek mata, berharap mataku bermasalah karena cahaya tadi. Tapi ternyata warna rumah ini memang abu-abu. Tidak ada warna lain selain itu. Lalu ... Tidak ada Daniel maupun Lee di depan cermin. Sepertinya aku sudah masuk ke dunia mereka. Kini tugasku tinggal mencari Kim.
Langkah berlarian terdengar di atas. Tubuhku membeku sebentar, karena yakin kalau setelah ini akan ada banyak gangguan yang datang. Dunia mereka tidak mungkin se-sunyi ini. Aku yakin banyak sosok astral yang menghuni tempat ini.
Aku menyalakan senter, hening nya tempat ini terasa aneh bagiku. Hawa sekitar terasa pengap, dan membuatku sedikit kesulitan bernafas. Nafasku pendek-pendek, dan membuatku terus menekan dada. Berharap ada perubahan pada jantungku yang berdetak cepat.
Toilet di dekatku menyala airnya. Aku harus memeriksa, namun sedikit takut jika yang muncul salah satu makhluk mengerikan penghuni tempat ini. Aku berjalan mendekat, berusaha tidak membuat suara apa pun. Saat sampai di depan pintu toilet, tubuhku sedikit membungkuk, berniat mengintip dari celah lubang kunci. Di dalam sana, ada sosok wanita berdiri di depan cermin. Memainkan ujung rambutnya yang panjang. Hanya ada dia di sana. Namun, tiba-tiba dia menoleh ke arah pintu lalu tertawa terkikik dengan suara mengerikan. Aku menutup mulut, mundur dan berusaha menghindar darinya.
Aku yang berjalan mundur, lantas menabrak sofa yang ada di ruang tamu besar rumah ini. Rupanya beberapa sosok lain sedang duduk di sana. Mereka hanya diam sambil menatap ke depan tanpa memperdulikan keberadaanku. Aku kembali berjalan, menjauh. Kini ruang tengah mencari incaranku. Di sana ada seorang wanita yang duduk di kursi santai. Menatap jendela gelap dengan boneka beruang di pangkuannya. Saat aku perhatikan dengan seksama, ternyata wajahnya mirip istri Daniel.
Aku mendekat sambil tengak-tengok sekitar. Berharap tidak ada makhluk lain yang mendekati ku.
"Rani? Hei!" panggilku sambil menggoyangkan tubuh wanita tersebut. Tubuh Kim Rani terlihat sama seperti makhluk yang ada di tempat ini. Semua abu-abu.
Wanita di depanku tidak bereaksi apa pun. Aku pun kembali memanggilnya, bahkan sedikit memukul pipinya pelan. "Sadarlah! Kita harus pergi dari sini. Tapi kita harus mencari anakmu dulu. Mana Kim? Apakah kamu melihatnya?"
Dia masih diam.
"Daniel menunggumu di rumah! Min dan Lin juga! Ayo, sadar!"
Wanita itu menoleh pelan padaku. "Lin? Min?" tanyanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca.
"Iya, Lin dan Min. Daniel juga menunggumu pulang. Kita pulang, ya," kataku berusaha membujuknya.
Tubuh Rani perlahan berubah. Warna abu-abu di tubuhnya perlahan luruh dan kembali ke warna semula. Sama sepertiku.
"Astaga! Apa yang aku lakukan di sini?!" tanyanya yang seolah baru sadar dari lamunan panjang.
"Ah, kamu saja tidak tau, bagaimana aku bisa tau? Yang jelas, kita harus mencari Kim dulu, lalu pulang. Oke?"
Dia mengangguk lalu beranjak dari kursi. Tapi anehnya, sesuatu seperti mengikat pinggang Rani. "Ines! Apa ini?!" tanyanya panik.
Sebuah tali melingkar di pinggangnya. Saat aku berusaha menariknya, jemariku terluka. Seperti ada duri-duri halus pada tali tersebut. Tali ini seperti serabut kasar yang dengan mudah melukai tanganku.
"Aku mencari gunting atau pisau dulu, ya."
Benda tajam tersebut dengan mudah aku dapatkan di atas meja nakas. Aku segera memotong tali itu, tapi anehnya gunting ini tidak bisa memotong benda sialan itu. Dahiku bahkan sampai berkeringat saat terus mencobanya.
"Duh, kenapa nggak bisa!" gerutuku.
"Bagaimana Ines?"
Aku berhenti. Menatap Rani dengan iba. Wajahnya seperti sangat lelah. Pucat dengan lingkar hitam di kedua matanya. Aku yakin dia sudah lama berada di dalam cermin ini. Hanya saja aku tidak tau bagaimana caranya dia masuk ke sini. Aku memejamkan mata. Teringat perkataan Bang Cen sebelum memutuskan masuk ke cermin.
"Jangan lupa, berdoa jika mendapat kesulitan!"
Aku menarik nafas dalam, lalu mengucap doa dalam hati sambil menggunting tali ini. Asap keluar dari tali yang sudah terpotong, lalu samar-samar aku mendengar jeritan memilukan entah dari mana. Aku menatap Rani, begitupun sebaliknya. Tapi dengan cepat aku harus segera menyelesaikannya. Tiba-tiba tali ini menggeliat, seolah hidup. Aku sempat terkejut dan melepaskannya sebelum benar-benar terlepas dari tubuh Rani.
"Ines! Cepat!" perintah wanita itu, panik.
Aku memberanikan diri kembali memotongnya. Walau aku takut, tapi aku harus bergerak cepat. Waktuku di sini tidak banyak. Tali ini mirip ular yang terus menggeliat, setelah terpotong sempurna aku melempar benda terkutuk ini. Tiba-tiba api membakar hangus tali tersebut, dengan suara tangisan yang membuat kami berdua takut. Tanganku masih terasa pedih. Aku segera mengajak Rani pergi mencari putranya.
Saat keluar dari ruang tengah ini, kami dihadapkan pada situasi sulit. Beberapa sosok penghuni tempat ini mulai bermunculan. Tapi anehnya mereka diam, hanya terus berjalan acak dan seolah tidak menyadari keberadaan kami.
"Mereka tidak akan menyadari keberadaanmu. Asal kamu bersikap wajar seperti mereka. Jangan bersuara, berteriak apa pun yang terjadi!" nasihat Bang Cen kembali terngiang di kepalaku.
"Ines, itu Kim!" tunjuk Rani ke lantai atas. Aku mendesis, sambil menutup mulut Rani.
"Jangan bersuara, berteriak, apa pun yang terjadi. Mengerti?" bisikku. Rani mengangguk paham.
Aku menggandeng tangan wanita ini, berjalan di antara para makhluk astral abu-abu sekitar, menuju ke lantai atas. Rani memejamkan mata, aku tau dia takut. Karena aku pun juga, tapi tidak mungkin aku ikut memejamkan mata sepertinya. Bagaimana cara kami menemukan arah yang tepat jika mataku juga ikut terpejam.
Langkah mereka pelan, sehingga aku pun berusaha menyesuaikan. Saat menaiki tangga, salah satu dari mereka menoleh pada kami. Tatapannya datar dan kosong. Aku tidak menanggapinya, dan tidak berniat ikut menoleh sekaligus menatapnya. Rasanya itu akan fatal akibatnya. Geraman beberapa sosok di sekitar kami mirip suara makhluk penghisap darah. Mengerikan dan membuat tubuh lemas sebenarnya. Lagi-lagi demi menemukan Kim, aku harus menahan perasaan takut ini.
Tali yang melingkar di pinggangku bergerak-gerak. Itu tandanya waktunya tidak banyak lagi. Aku segera mempercepat langkah, dan menarik Rani agar berjalan cepat juga.
Tapi rupanya hal ini bukan lah ide bagus. Karena seseorang memanggil kami. Aku dan Rani diam, menoleh. Mereka, makhluk yang berjalan di belakang kami, menatap dengan penuh kebencian.
"Siapa kalian?!" tanya salah satu dari mereka.
"Kalian bukan berasal dari sini, kan?!" tambah yang lainnya.
Aku dan Rani saling tatap, tidak menjawab sepatah katapun.
"Bagaimana ini?" tanya Rani berbisik.
"Kita lari! Dalam hitungan ketiga," sahutku ikut berbisik juga. "Satu ... Dua ..."
Tiba-tiba Rani sudah berlari meninggalkanku sambil menjerit ketakutan. Aku melotot dan menatap mereka semua yang mulai melihatku seperti singa mendapatkan buruan.
Aku pun ikut berlari menyusul Rani. Tapi saat sampai di lantai atas, Rani tidak lagi terlihat. Lantai ruangan ini sunyi. Aku menyapu pandang ke sekitar, tapi tidak menemukan di mana wanita itu berada. "Oh, sial! Ke mana sih dia?" gerutuku.
Aku kembali menoleh ke tangga, untungnya gerak makhluk penghuni rumah ini tidak secepat dugaan ku. Mungkin karena itulah mereka selalu berjalan lamban sejak tadi. Aku gunakan kesempatan ini untuk mencari Rani sekaligus bersembunyi.
Beberapa pintu kamar terlihat tertutup. Aku membuka satu pintu terdekat, kosong. Tidak ada siapa pun. Aku lantas menutup kembali dan mencari pintu lain. Saat membuka pintu terakhir, akhirnya aku melihat Rani dan Kim di dalam. Mereka tengah berpelukan. Tapi Kim terlihat sama seperti pertama kali aku melihat Rani.
Aku menutup pintu dan menguncinya rapat. "Bagaimana?"
"Dia masih belum sadar, Ines! Apa yang harus kita lakukan. Apa yang kamu lakukan padaku tadi?"
"Ingatkan tentang kalian, keluarga kalian."
"Sudah. Tapi dia tetap tidak mau bergerak."
"Oh Tuhan. Aku tidak tau lagi caranya."
Sementara sang ibu berusaha menyadarkan putranya, aku kembali mengintip pintu. Sosok-sosok yang mengejar kami tadi masih berkeliaran di depan. Mencari kami tentunya.
Kali ini aku benar-benar buntu, bagaimana caranya keluar dari tempat ini, sementara di luar semua makhluk mengerikan itu menunggu kami. Tidak ada jalan lain untuk lewat selain tangga tadi. Aku mulai berpikir keras, sambil memperhatikan ruangan ini. Beberapa peralatan make up ada di meja rias. Aku mencari sesuatu yang mungkin dapat digunakan. Saat gugup membuka satu persatu dari kotak make up di meja, secara tidak sengaja aku menumpahkan sebuah bedak. Warnanya ... Abu-abu.
"Rani! Bagaimana Kim? Dia bisa berjalan?" tanyaku.
"Kenapa?"
"Kita harus keluar sekarang. Balur bedak ini ke seluruh tubuh mu, lalu kita keluar. Kita tidak ada waktu lagi!" kataku.
"Cholilah. Kau saja lebih dulu, aku akan menggendong Kim untuk keluar dari sini," jelas Rani.
Aku memakai bedak ini ke sekujur tubuh, termasuk rambut. Setelah aku selesai, giliran Rani. Tubuh kami akhirnya sama seperti Kim. Tapi sekali lagi, kami harus berakting seperti mereka.
"Ingat! Jangan bersuara. Tatapan lurus ke depan. Berjalan perlahan saja."
"Cholilah."
Kim sudah ada di gendongan Rani. Aku memimpin di depan. Pintu kubuka pelan. Berusaha menahan perasaan takut, aku mulai melangkah keluar. Mereka menoleh pada kami. Tapi aku berusaha menahan diri untuk bersikap wajar, selayaknya mereka. Aku berhasil keluar, lalu berjalan terus ke arah tangga. Tentu dengan perlahan, sementara Rani menyusul di belakang. Sosok-sosok itu terus memperhatikan kami. Aku merasa mereka mencurigai kami, tapi aku terus berjalan menjauh.
Tiba-tiba aku mendengar suara tertahan dari Rani. "Ugh! In... Ines," panggilnya pelan.
Aku pun menoleh, saat melihat ke belakang, Kim sedang mencekik leher ibunya dengan seringai mengerikan. Sosok lain di belakang, yang sudah kami tinggalkan cukup jauh, mulai menyadari keberadaan kami.
"Pergi, Ines!" kata Rani.
Aku menggeleng, lalu mendekat. Tangan kecil Kim aku tarik dari leher Rani. Tapi anehnya, kulit tangan Kim terasa kasar. Mirip tali pengikat yang tadi melingkar di pinggang Rani. Beberapa kali telapak tanganku merasa pedih karena tusukan tajam dari tangan Kim.
"Lepas! Lepas, Kim!" jeritku. Kim tertawa seolah mengejekku. Dia terus menatapku datar, sambil tak berhenti mencekik ibunya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan Kim dari Rani.
"Ines, biarkan saja. Kamu pergi! Jangan sampai terjebak di sini. Biar aku di sini bersama Kim," kata Rani.
"Tidak! Aku sudah berjanji untuk membawa kalian kembali! Aku tidak akan meninggalkan kalian! Jangan menyerah!" kataku dengan menaikkan nada bicara.
Sosok-sosok di belakang mulai mendekati kami. Aku pun makin berusaha melepaskan tangan Kim dari leher Rani. Walau telapak tanganku terasa sakit, bahkan mulai berdarah.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah berlari dari arah belakang. Betapa terkejutnya aku saat melihat Kim lainnya, berlari mendekat. Di tangannya ada sebilah potongan cermin. Aku mulai panik, dan bertanya-tanya, mengapa ada dua Kim di sini. Tapi Kim yang sedang berlari itu, terlihat berbeda.
"Ibu!" jeritnya sambil mendekat. Aku mundur begitu anak itu ada di dekat Rani. Dia menunjukkan potongan cermin ke arah Kim di gendongan ibunya. Anehnya, Kim yang ada di belakang Rani menjerit sambil menutupi matanya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya perlahan terbakar dan berubah. Akhirnya dia melepaskan Rani. Rani langsung memeluk Kim yang baru saja datang.
Sepertinya dia memang Kim yang asli.
"Ayo kita pergi!" ajak Kim menarik tangan ibunya. Mereka berdua berlari dan aku mengikuti sampai akhirnya turun ke tangga.
"Kim, kamu ke mana saja?" tanyaku.
"Ceritanya panjang, Kak. Untuk bisa keluar dari sini, kita harus menyingkirkan mereka dulu. Caranya. Dengan cermin!"
"Cermin?"
Makhluk di bawah masih terlalu banyak bagi kami. Kami berhenti.
"Iya, arahkan cermin pada mereka, maka mereka akan binasa!" kata Kim.
Cermin?
Aku mengambil sepotong cermin dari saku celana belakang. Aku memang selalu membawa cermin ke mana pun. Untuk mengetahui, keberadaan makhluk astral di dunia nyata.
"Aku punya satu. Ayo, kita kembali ke cermin besar itu. Waktu kita hampir habis!" kataku tegas.
Kim mengangguk. Dia terus menggandeng ibunya dan berjalan turun ke bawah. Kami bersikap normal kembali, seperti normalnya mereka tentunya. Cermin sudah ada digenggaman tangan. Bersiap jika hal buruk terjadi lagi.
Kami menyelinap di antara penghuni rumah ini. Terus berjalan ke arah cermin yang berada di bawah tangga. Tiba-tiba tanganku di tahan seseorang. Aku menoleh dan mendapati sosok wanita sedang menyeringai padaku.
"Ajak aku serta!" katanya.
"Jangan harap!" aku mengarahkan cermin ini ke wajahnya. Dia menjerit kesakitan. Hal ini membuat sosok lain mulai bergerak karena menyadari keberadaan kami.
"Kim! Lari!" jeritku. Aku mulai mengarahkan cermin ke tiap sosok di depanku sambil berjalan mundur. Satu persatu dari mereka mulai terbakar. Aku merasa di atas angin dan menganggap ini sangat mudah dilakukan. Sampai akhirnya seseorang menahan kakiku dan membuatku jatuh ke lantai. Kaca di tanganku pecah berhamburan. Kakiku terus dicengkeram kuat sekalipun aku terus meronta. Tapi kekuatanku tidak mampu mengalahkan mereka.
Mereka mulai mendatangiku, mengerubungi dengan tatapan kemenangan. Tangan mereka berusaha menggapaiku. Aku mulai pasrah, dan memutuskan diam saja tidak melawan. Tiba-tiba satu persatu dari mereka terhempas. Bahkan beberapa terlihat sedang dilahap sesuatu yang tidak terlihat. Tapi saat bunyi gerakan macan terdengar, aku teringat sosok macan putih di rumah sakit tempo hari. "Pergilah!" kata seseorang tanpa wujud.
Tiba-tiba tubuhku ditarik sesuatu, masuk ke dalam cermin.
0