- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#33
Part 32 Siapakah Lee?
Aku terus berjalan mencari dua orang yang sejak tadi mengusik pikiranku. Jika memang perkiraan ku benar, maka Sung Chul akan menjadi target berikutnya, dan pelaku itu kemungkinan besar sang cleaning service tadi. Ruangan demi ruangan aku telusuri, tapi dua orang itu tidak juga terlihat sejauh ini. Sampai akhirnya, aku mendengar orang berbincang di dalam bilik toilet. Aku mengintip dari lubang kunci, lalu tak lama terbelalak. Sang Chul ada di dalam, sekaligus cleaning service tadi.
Tulisan di depan pintu, membuatku tidak bisa masuk begitu saja. Karena ini adalah toilet pria. Aku mondar mandir di depan pintu sambil terus berpikir bagaimana caranya masuk.
Bahuku ditepuk seseorang, "Lee?!" pekikku.
"Kamu sedang apa di sini? Mencari toilet? Di sana toilet wanita," tunjuk Lee ke ujung lorong.
"Eum, bukan. Tolong ... Ah, gimana cara gue jelasinnya! Itu di dalam ... Ada," tunjuk ku ke toilet di depan kami dengan bahasa campuran. Korea dan Indonesia. Aku bingung bagaimana menjelaskan semua ini, karena semua hanya praduga tanpa ada bukti nyata.
"Memangnya ada apa sih di dalam? Oke, biar gue cek," sahut Lee dengan fasih berbahasa Indonesia. Aku pun dibuat melongo tidak percaya.
Perlahan Lee membuka pintu, tapi tidak ada siapa pun di dalam. Dia menoleh padaku untuk menunjukkan keadaan di dalam.
"Kok nggak ada! Sang Chul! Dalam bahaya, Lee. Cleaning service itu ... Dia ...."
Dahi Lee berkerut, dia lantas masuk dengan tergesa-gesa, mencari tiap bilik toilet di dalam. Satu bilik ternyata kosong, dia bergeser ke bilik selanjutnya. "Hei! Apa yang kau lakukan!" kata Lee kembali memakai bahasa Korea. Dari jauh, aku melihat dia sedang melakukan perlawanan. Seseorang dari toilet keluar, dan berlari. Menabrak ku yang memang ada di depan pintu. Aku lantas ikut masuk, guna memastikan apa yang terjadi.
"Ines! Panggil pertolongan!" kata Lee sambil memangku seseorang yang sedang sekarat. Sang Chul. Di sampingnya ada sebuah suntikan yang sudah dipakai setengahnya. Aku pun keluar dan berteriak meminta pertolongan.
Ambulance dan mobil polisi datang. Sang Chul segera dibawa ke rumah sakit, kami berdua diperiksa polisi untuk ditanyai perihal insiden ini.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Lee, tetap memakai bahasa Korea. Aku yang sedang minum teh karena terkejut, hanya dapat mengangguk.
"Bagaimana dengan Sang Chul? Apakah dia baik-baik saja?"
"Dia mendapatkan suntikan sodium petothal dan succinylcholine, biasanya dia akan perlahan mati lemas, karena kelumpuhan otot pernafasan, untungnya hanya setengah dosis yang dipakai. Semoga dia baik-baik saja," jelas Lee.
Kami berdua duduk di ruangan kosong, setelah diperiksa polisi. Cleaning service itu masuk ke dalam daftar buronan, akibat percobaan pembunuhan, dan kemungkinan tersangka pembunuhan untuk kasus lain.
"Lee ... Kamu bisa bahasa Indonesia?" tanyaku penasaran. Dia melirik, lantas tertawa kencang.
"Yah, begitulah. Aku pernah ke Indonesia sebelumnya. Eum, berapa lama, ya. Kurang lebih dua tahun," jelas Lee.
"Wah, liburan atau pekerjaan?"
"Pekerjaan. Jadi aku coba belajar bahasa Indonesia sedikit demi sedikit. Saat tau ada orang Indonesia yang bekerja di sini, aku penasaran, ingin berkenalan," katanya sedikit menggoda.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Eh, Ines, bagaimana kamu tau tentang Sang Chul? Aku pikir, toilet tadi sangat jauh dari ruangan mu? Kamu sengaja mengikutinya? Sebentar ... Tentang kejadian di lift tadi ...." Lee tidak meneruskan kalimatnya. Seolah ingin aku melanjutkan sebagai penjelasan dariku.
"Ah, itu. Tidak sengaja. Tadi aku mencari ... Wong Sik, tapi malah melihat gelagat aneh dari cleaning Service itu. Sebenarnya dia siapa? Lalu apa tujuannya menyakiti Sang Chul?" tanyaku mencoba mengalihkan pertanyaan Lee.
"Dia sudah lama bekerja di sini. Bahkan sejak perusahaan ini berdiri, aku tidak tau motif apa yang membuat dia menyakiti Sang Chul. Tapi beberapa orang memang tidak menyukai Sang Chul, atas perbuatannya dulu. Tapi mungkin Dong Sik memiliki dendam pribadi kepadanya."
"Hm, mungkin saja."
.
.
.
Aku langsung merebahkan tubuh di kasur. Rasanya ingin sekali tidur kali ini. Bekerja di sini, membuat tenagaku terkuras. Mungkin biasanya aku menjalani hidup santai, sehingga saat dihadapkan pada kehidupan seperti ini, sedikit terkejut. Mungkin aku belum terbiasa saja. Mataku mulai terpejam, aku memang ingin tidur sekarang.
"Hei ... Bangun, Sayang." Suara seseorang terasa jelas di telinga. Aku membuka mata dan melihat Rangga berada di samping ku. Sedang memainkan ujung hidungku, agar aku bangun.
"Rangga? Kok di sini? Nggak kerja?" tanyaku lalu segera memeluknya.
"Pulang kerja, lihat jam berapa sekarang. Kamu tidur terus sih," tunjuk Rangga ke jam di meja nakas.
"Ya ampun, aku ketiduran," gumamku makin mengeratkan pelukan padanya.
"Capek, ya?"
"Huum. Capek banget."
"Jaga kesehatan, Sayang. Jangan lupa makan. Bangun sana, makan dulu."
Getaran ponsel membuatku terperanjat. Aku membuka mata dan segera menyapu pandang ke sekitar. "Ah, cuma mimpi."
Saat ini sudah hampir pukul 10 malam. Perutku keroncongan karena sejak pulang kerja belum diisi apa pun. Terpaksa aku bangun. Saat membuka kulkas, tidak ada bahan makanan apa pun yang ingin aku masak. Rasa lelah membuatku memutuskan mencari makanan di luar saja. Kota ini cukup ramai, bahkan saat lewat tengah malam sekalipun. Aku putuskan berganti pakaian dulu. Lalu segera pergi keluar.
Menikmati suasana malam hari di Mapo, cukup menghibur. Lalu lintas masih ramai. Beberapa pejalan kaki juga masih mondar mandir di trotoar. Aku memilih sebuah kedai pinggir jalan yang menampilkan gambar beberapa makanan yang sepertinya halal untukku.
"Ines?!" panggil seseorang.
"Lee?" Dia melambaikan tangan padaku, otomatis aku mendekat.
"Kamu lapar?" tanyanya saat aku duduk di depannya.
"Iya. Pulang kerja aku langsung ketiduran, eh sekarang kelaparan. Hehe."
"Ya sudah, pesan dulu. Kebetulan aku juga lapar."
Pemilik kedai mendekat, dan menyodorkan menu makanan. Lee memilihkan untukku makanan yang enak dan bisa aku makan.
"Kamu baru pulang kerja?" tanyaku yang melihatnya masih memakai pakaian yang sama seperti tadi.
"Iya. Banyak pekerjaan. Biasalah lembur," sahutnya, meneguk satu sloki soju dengan cepat.
"Bagaimana? Betah kerja di sana?"
"Lumayan. Belum terbiasa aja mungkin."
"Iya, lama-lama juga kamu terbiasa dan menikmatinya."
Makanan pesananku sudah datang. Aku segera menyantapnya karena terlihat menggiurkan. Rasa lapar yang aku rasakan seolah bertambah setelah melihat beberapa makanan di meja ini. Lee menjelaskan apa nama makanan ini, bahannya dan cara pengolahannya.
"Aku pilih kan makanan halal untukmu. Karena kebanyakan orang Indonesia itu muslim, kan?"
"Iya, Lee. Terima kasih, ya."
Dia tersenyum sambil meneruskan makan. Kami berbincang banyak hal. Tentang Indonesia tentang Korea, bahkan pekerjaan. Sampai-sampai sedikit lupa waktu.
"Ya ampun, hampir tengah malam. Aku pulang dulu, ya. Bisa-bisa kesiangan besok," kataku mulai berkemas. Sambil membuka dompet.
"Eh, biar aku saja yang bayar." Lee segera berdiri dan membayar semua makanan kami.
Sampai tengah malam pun, kondisi sekitar masih ramai. Ini sedikit melegakan, karena aku tidak perlu takut pulang nanti.
"Terima kasih, Lee. Lain kali aku yang traktir."
"Cholilah. Aku tunggu. Rumahmu ke mana? Aku antar?"
"Oh, aku ke sana. Kamu?"
"Aku ke sana," tunjuk Lee ke arah sebaliknya.
"Ya sudah, kita berpisah di sini saja. Dah, Lee," pamitku.
"Hati-hati, Ines!"
.
.
.
Jaket yang aku pakai cukup tebal, sehingga udara dingin tidak terlalu mengusik. Beberapa toko mulai tutup. Aku terus berjalan sambil mengingat tempat ini. Jalanan nya, bangunannya, serta beberapa tulisan yang ditulis menggunakan tulisan Hangul. Ternyata aku masih harus belajar banyak.
Aku mulai belok mendekat ke apartemen. Jalanan di sini lebih sunyi dari sebelumnya, yang merupakan jalan utama. Tapi beberapa orang masih terlihat berjalan sepertiku. Bahkan ada tuna wisma yang sedang mencari sesuatu di tempat sampah, atau tidur di depan ruko. Semakin berjalan jauh, aku merasa seperti sedang diikuti. Tapi entah kenapa aku tidak berani menoleh untuk memastikan. Yang kulakukan hanya berjalan lebih cepat agar segera sampai di rumah.
Suara kaleng yang jatuh, membuatku terpaksa menoleh. Tapi tidak ada seorang pun di belakang. Aku kembali mempercepat langkah, sampai akhirnya mulutku dibekap seseorang dan ditarik ke gang sempit. Aku mencoba berontak, tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan. Sampai-sampai sepatu yang aku kenakan terlepas satu persatu.
Kami masuk ke sebuah ruko terbengkalai. Dia mengikatku di sebuah kursi dan menutup mulutku rapat menggunakan plester besar. Kini aku dapat melihat siapa pelakunya. Yah, dia adalah Dong Sik, pria yang kini menjadi daftar buronan yang hampir membunuh Sang Chul.
Aku terus menggeram. Apalagi saat dia mengeluarkan sebilah pisau. "Aku tidak ada urusan denganmu. Tapi kau telah mengacaukan rencana ku!" katanya dengan emosi yang tertahan.
Dia memainkan pisau dan tentu membuatku ketakutan. Aku sudah berpikir kalau tidak akan bisa melihat matahari esok hari. Sejenak aku menyesal telah datang ke sini. Aku menyesal meninggalkan Indonesia. Meninggalkan teman-teman dan ... Aku merindukan Rangga. Tangisku pecah. Tapi dia justru tertawa. Berusaha melepas ikatan tangan, tapi justru pergelangan ku terasa pedih.
"Kamu terlalu banyak ikut campur!" katanya. Jantungku makin berdegup kencang, kini aku yakin nyawaku tidak akan lama lagi melayang ditangannya. Dia meletakkan pisau itu, lalu mengambil sebuah jarum suntik. Aku lantas melotot karena teringat jarum suntik yang telah membuat Sang Chul hampir meregang nyawa hanya setengah dosis yang disuntikkan. Bagaimana jika semua cairan itu masuk ke dalam tubuhku?
Tiba-tiba pintu didobrak kasar. Seseorang masuk ke dalam. Ah tidak! Beberapa orang. Mereka memakai pakaian lengkap mirip anggota pasukan khusus yang sering kulihat di Tv. Di tangan mereka ada senjata api dan akhirnya Dong Sik berhasil dilumpuhkan.
"Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu petugas sambil membuka ikatan tanganku. Aku hanya mengangguk lalu diantar keluar. Beberapa mobil polisi dan ambulance datang. Aku segera mendapat pertolongan untuk lukaku dan sebotol air mineral.
"Ines? Kamu baik-baik saja, kan? Maaf aku terlalu lama," jelas Lee padaku. "Sebentar ya, nanti aku antar kamu pulang," katanya lalu pergi menemui beberapa petugas yang masih berada di sana. Sikap Lee aneh. Aku merasa dia bukan orang sembarangan.
Lee kembali padaku sambil memakaikan sepatu yang tadi sempat hilang. "Akhirnya kami berhasil menangkap Dong Sik. Maaf kalau kamu menjadi umpan," kata Lee lagi.
"Umpan? Aku?"
"Iya. Aku menyadari Dong Sik memperhatikan kita sejak di kedai makan tadi. Tapi aku biarkan dia sebentar, karena kita harus menangkapnya saat dia sedang melakukan operasinya. Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Lee sambil menyentuk sebelah pipiku.
"Iya, aku nggak apa-apa."
"Ya sudah, aku antar kamu pulang."
Tulisan di depan pintu, membuatku tidak bisa masuk begitu saja. Karena ini adalah toilet pria. Aku mondar mandir di depan pintu sambil terus berpikir bagaimana caranya masuk.
Bahuku ditepuk seseorang, "Lee?!" pekikku.
"Kamu sedang apa di sini? Mencari toilet? Di sana toilet wanita," tunjuk Lee ke ujung lorong.
"Eum, bukan. Tolong ... Ah, gimana cara gue jelasinnya! Itu di dalam ... Ada," tunjuk ku ke toilet di depan kami dengan bahasa campuran. Korea dan Indonesia. Aku bingung bagaimana menjelaskan semua ini, karena semua hanya praduga tanpa ada bukti nyata.
"Memangnya ada apa sih di dalam? Oke, biar gue cek," sahut Lee dengan fasih berbahasa Indonesia. Aku pun dibuat melongo tidak percaya.
Perlahan Lee membuka pintu, tapi tidak ada siapa pun di dalam. Dia menoleh padaku untuk menunjukkan keadaan di dalam.
"Kok nggak ada! Sang Chul! Dalam bahaya, Lee. Cleaning service itu ... Dia ...."
Dahi Lee berkerut, dia lantas masuk dengan tergesa-gesa, mencari tiap bilik toilet di dalam. Satu bilik ternyata kosong, dia bergeser ke bilik selanjutnya. "Hei! Apa yang kau lakukan!" kata Lee kembali memakai bahasa Korea. Dari jauh, aku melihat dia sedang melakukan perlawanan. Seseorang dari toilet keluar, dan berlari. Menabrak ku yang memang ada di depan pintu. Aku lantas ikut masuk, guna memastikan apa yang terjadi.
"Ines! Panggil pertolongan!" kata Lee sambil memangku seseorang yang sedang sekarat. Sang Chul. Di sampingnya ada sebuah suntikan yang sudah dipakai setengahnya. Aku pun keluar dan berteriak meminta pertolongan.
Ambulance dan mobil polisi datang. Sang Chul segera dibawa ke rumah sakit, kami berdua diperiksa polisi untuk ditanyai perihal insiden ini.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Lee, tetap memakai bahasa Korea. Aku yang sedang minum teh karena terkejut, hanya dapat mengangguk.
"Bagaimana dengan Sang Chul? Apakah dia baik-baik saja?"
"Dia mendapatkan suntikan sodium petothal dan succinylcholine, biasanya dia akan perlahan mati lemas, karena kelumpuhan otot pernafasan, untungnya hanya setengah dosis yang dipakai. Semoga dia baik-baik saja," jelas Lee.
Kami berdua duduk di ruangan kosong, setelah diperiksa polisi. Cleaning service itu masuk ke dalam daftar buronan, akibat percobaan pembunuhan, dan kemungkinan tersangka pembunuhan untuk kasus lain.
"Lee ... Kamu bisa bahasa Indonesia?" tanyaku penasaran. Dia melirik, lantas tertawa kencang.
"Yah, begitulah. Aku pernah ke Indonesia sebelumnya. Eum, berapa lama, ya. Kurang lebih dua tahun," jelas Lee.
"Wah, liburan atau pekerjaan?"
"Pekerjaan. Jadi aku coba belajar bahasa Indonesia sedikit demi sedikit. Saat tau ada orang Indonesia yang bekerja di sini, aku penasaran, ingin berkenalan," katanya sedikit menggoda.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Eh, Ines, bagaimana kamu tau tentang Sang Chul? Aku pikir, toilet tadi sangat jauh dari ruangan mu? Kamu sengaja mengikutinya? Sebentar ... Tentang kejadian di lift tadi ...." Lee tidak meneruskan kalimatnya. Seolah ingin aku melanjutkan sebagai penjelasan dariku.
"Ah, itu. Tidak sengaja. Tadi aku mencari ... Wong Sik, tapi malah melihat gelagat aneh dari cleaning Service itu. Sebenarnya dia siapa? Lalu apa tujuannya menyakiti Sang Chul?" tanyaku mencoba mengalihkan pertanyaan Lee.
"Dia sudah lama bekerja di sini. Bahkan sejak perusahaan ini berdiri, aku tidak tau motif apa yang membuat dia menyakiti Sang Chul. Tapi beberapa orang memang tidak menyukai Sang Chul, atas perbuatannya dulu. Tapi mungkin Dong Sik memiliki dendam pribadi kepadanya."
"Hm, mungkin saja."
.
.
.
Aku langsung merebahkan tubuh di kasur. Rasanya ingin sekali tidur kali ini. Bekerja di sini, membuat tenagaku terkuras. Mungkin biasanya aku menjalani hidup santai, sehingga saat dihadapkan pada kehidupan seperti ini, sedikit terkejut. Mungkin aku belum terbiasa saja. Mataku mulai terpejam, aku memang ingin tidur sekarang.
"Hei ... Bangun, Sayang." Suara seseorang terasa jelas di telinga. Aku membuka mata dan melihat Rangga berada di samping ku. Sedang memainkan ujung hidungku, agar aku bangun.
"Rangga? Kok di sini? Nggak kerja?" tanyaku lalu segera memeluknya.
"Pulang kerja, lihat jam berapa sekarang. Kamu tidur terus sih," tunjuk Rangga ke jam di meja nakas.
"Ya ampun, aku ketiduran," gumamku makin mengeratkan pelukan padanya.
"Capek, ya?"
"Huum. Capek banget."
"Jaga kesehatan, Sayang. Jangan lupa makan. Bangun sana, makan dulu."
Getaran ponsel membuatku terperanjat. Aku membuka mata dan segera menyapu pandang ke sekitar. "Ah, cuma mimpi."
Saat ini sudah hampir pukul 10 malam. Perutku keroncongan karena sejak pulang kerja belum diisi apa pun. Terpaksa aku bangun. Saat membuka kulkas, tidak ada bahan makanan apa pun yang ingin aku masak. Rasa lelah membuatku memutuskan mencari makanan di luar saja. Kota ini cukup ramai, bahkan saat lewat tengah malam sekalipun. Aku putuskan berganti pakaian dulu. Lalu segera pergi keluar.
Menikmati suasana malam hari di Mapo, cukup menghibur. Lalu lintas masih ramai. Beberapa pejalan kaki juga masih mondar mandir di trotoar. Aku memilih sebuah kedai pinggir jalan yang menampilkan gambar beberapa makanan yang sepertinya halal untukku.
"Ines?!" panggil seseorang.
"Lee?" Dia melambaikan tangan padaku, otomatis aku mendekat.
"Kamu lapar?" tanyanya saat aku duduk di depannya.
"Iya. Pulang kerja aku langsung ketiduran, eh sekarang kelaparan. Hehe."
"Ya sudah, pesan dulu. Kebetulan aku juga lapar."
Pemilik kedai mendekat, dan menyodorkan menu makanan. Lee memilihkan untukku makanan yang enak dan bisa aku makan.
"Kamu baru pulang kerja?" tanyaku yang melihatnya masih memakai pakaian yang sama seperti tadi.
"Iya. Banyak pekerjaan. Biasalah lembur," sahutnya, meneguk satu sloki soju dengan cepat.
"Bagaimana? Betah kerja di sana?"
"Lumayan. Belum terbiasa aja mungkin."
"Iya, lama-lama juga kamu terbiasa dan menikmatinya."
Makanan pesananku sudah datang. Aku segera menyantapnya karena terlihat menggiurkan. Rasa lapar yang aku rasakan seolah bertambah setelah melihat beberapa makanan di meja ini. Lee menjelaskan apa nama makanan ini, bahannya dan cara pengolahannya.
"Aku pilih kan makanan halal untukmu. Karena kebanyakan orang Indonesia itu muslim, kan?"
"Iya, Lee. Terima kasih, ya."
Dia tersenyum sambil meneruskan makan. Kami berbincang banyak hal. Tentang Indonesia tentang Korea, bahkan pekerjaan. Sampai-sampai sedikit lupa waktu.
"Ya ampun, hampir tengah malam. Aku pulang dulu, ya. Bisa-bisa kesiangan besok," kataku mulai berkemas. Sambil membuka dompet.
"Eh, biar aku saja yang bayar." Lee segera berdiri dan membayar semua makanan kami.
Sampai tengah malam pun, kondisi sekitar masih ramai. Ini sedikit melegakan, karena aku tidak perlu takut pulang nanti.
"Terima kasih, Lee. Lain kali aku yang traktir."
"Cholilah. Aku tunggu. Rumahmu ke mana? Aku antar?"
"Oh, aku ke sana. Kamu?"
"Aku ke sana," tunjuk Lee ke arah sebaliknya.
"Ya sudah, kita berpisah di sini saja. Dah, Lee," pamitku.
"Hati-hati, Ines!"
.
.
.
Jaket yang aku pakai cukup tebal, sehingga udara dingin tidak terlalu mengusik. Beberapa toko mulai tutup. Aku terus berjalan sambil mengingat tempat ini. Jalanan nya, bangunannya, serta beberapa tulisan yang ditulis menggunakan tulisan Hangul. Ternyata aku masih harus belajar banyak.
Aku mulai belok mendekat ke apartemen. Jalanan di sini lebih sunyi dari sebelumnya, yang merupakan jalan utama. Tapi beberapa orang masih terlihat berjalan sepertiku. Bahkan ada tuna wisma yang sedang mencari sesuatu di tempat sampah, atau tidur di depan ruko. Semakin berjalan jauh, aku merasa seperti sedang diikuti. Tapi entah kenapa aku tidak berani menoleh untuk memastikan. Yang kulakukan hanya berjalan lebih cepat agar segera sampai di rumah.
Suara kaleng yang jatuh, membuatku terpaksa menoleh. Tapi tidak ada seorang pun di belakang. Aku kembali mempercepat langkah, sampai akhirnya mulutku dibekap seseorang dan ditarik ke gang sempit. Aku mencoba berontak, tapi tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan. Sampai-sampai sepatu yang aku kenakan terlepas satu persatu.
Kami masuk ke sebuah ruko terbengkalai. Dia mengikatku di sebuah kursi dan menutup mulutku rapat menggunakan plester besar. Kini aku dapat melihat siapa pelakunya. Yah, dia adalah Dong Sik, pria yang kini menjadi daftar buronan yang hampir membunuh Sang Chul.
Aku terus menggeram. Apalagi saat dia mengeluarkan sebilah pisau. "Aku tidak ada urusan denganmu. Tapi kau telah mengacaukan rencana ku!" katanya dengan emosi yang tertahan.
Dia memainkan pisau dan tentu membuatku ketakutan. Aku sudah berpikir kalau tidak akan bisa melihat matahari esok hari. Sejenak aku menyesal telah datang ke sini. Aku menyesal meninggalkan Indonesia. Meninggalkan teman-teman dan ... Aku merindukan Rangga. Tangisku pecah. Tapi dia justru tertawa. Berusaha melepas ikatan tangan, tapi justru pergelangan ku terasa pedih.
"Kamu terlalu banyak ikut campur!" katanya. Jantungku makin berdegup kencang, kini aku yakin nyawaku tidak akan lama lagi melayang ditangannya. Dia meletakkan pisau itu, lalu mengambil sebuah jarum suntik. Aku lantas melotot karena teringat jarum suntik yang telah membuat Sang Chul hampir meregang nyawa hanya setengah dosis yang disuntikkan. Bagaimana jika semua cairan itu masuk ke dalam tubuhku?
Tiba-tiba pintu didobrak kasar. Seseorang masuk ke dalam. Ah tidak! Beberapa orang. Mereka memakai pakaian lengkap mirip anggota pasukan khusus yang sering kulihat di Tv. Di tangan mereka ada senjata api dan akhirnya Dong Sik berhasil dilumpuhkan.
"Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu petugas sambil membuka ikatan tanganku. Aku hanya mengangguk lalu diantar keluar. Beberapa mobil polisi dan ambulance datang. Aku segera mendapat pertolongan untuk lukaku dan sebotol air mineral.
"Ines? Kamu baik-baik saja, kan? Maaf aku terlalu lama," jelas Lee padaku. "Sebentar ya, nanti aku antar kamu pulang," katanya lalu pergi menemui beberapa petugas yang masih berada di sana. Sikap Lee aneh. Aku merasa dia bukan orang sembarangan.
Lee kembali padaku sambil memakaikan sepatu yang tadi sempat hilang. "Akhirnya kami berhasil menangkap Dong Sik. Maaf kalau kamu menjadi umpan," kata Lee lagi.
"Umpan? Aku?"
"Iya. Aku menyadari Dong Sik memperhatikan kita sejak di kedai makan tadi. Tapi aku biarkan dia sebentar, karena kita harus menangkapnya saat dia sedang melakukan operasinya. Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Lee sambil menyentuk sebelah pipiku.
"Iya, aku nggak apa-apa."
"Ya sudah, aku antar kamu pulang."
pulaukapok memberi reputasi
1
Tutup