- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#25
Part 24 Teman Lama
"Elu udah denger kabar Ramon, Ros?" tanya Nita. Kami berempat sedang menikmati martabak manis yang dibeli mereka sebelum datang ke sini, ditemani secangkir teh hijau yang baru kubeli tadi.
"Ramon? Kenapa?" tanyaku tidak bersemangat. Sejak tadi aku hanya memungut cacahan kacang tanah yang menjadi toping makanan di depan kami.
"Dia gila! Masuk RSJ. Nah, anehnya, kata orang-orang dia selalu histeris gitu sambil manggil nama Lili terus. Seolah-olah Lili itu selalu ada di dekat dia!" jelas Indi dengan antusias.
"Ya iyalah. Kan emang Lili nempel mulu ke dia. Rasain!" ungkapku kesal.
"Kok bisa gitu, Ros?" tanya Nita mencomot martabak keenam kalinya.
"Mana gue tau."
"Mungkin karena masih dendam gitu kali, ya? Kan elu cerita gimana kematian Lili waktu itu!" Mey menanggapi.
Diskusi tentang Ramon dan Lili kembali memanas. Ternyata kondisi Ramon memburuk. Dia bahkan sering menyakiti dirinya sendiri, atau terus menjerit-jerit, sehingga harus dipindahkan ke ruangan khusus, di mana tidak banyak pasien lain di sekitarnya. Mereka masih membahas kematian Lili, yang sebenarnya sudah malas kuungkit lagi. Karena biasanya dia akan muncul jika terus disebut seperti sekarang. Aku sedang tidak ingin menjadi juru bicara para ruh.
"Eh, bau apa nih?" tanya Mey sambil mendengus, hidungnya bergerak sambil tengak-tengok.
"Eh, iya! Bau bunga nih! Jangan-jangan ...," gumam Nita sambil melirik sekitar dengan was-was.
"Wah, nggak beres nih!" Indi berucap lalu mengecup jari telunjuk dan ibu jari karena terkena saus cokelat.
Aku tidak menanggapi hal ini, masih melakukan gerakan sama seperti tadi, ditambah menompang dagu sebagai bentuk rasa lelah atas semua yang terjadi. Lebih tepatnya, kejadian di rumah Rangga. Aku selalu lemah dengan masalah ini. Mengapa ibu mertuaku, ah tidak, mantan ibu mertuaku bisa mengenal Mama Rangga? Aku yakin, Mama Rangga sekarang tidak menyukaiku. Apalagi tatapan matanya tadi, terlihat jijik saat melihatku.
Aku menjerit sambil mengacak-acak rambutku sendiri. Kepala kusandarkan di meja, kedua tanganku mengepal, menahan rasa marah dan sedih, serta takut yang bersamaan.
"Elu kenapa, Ros?" tanya Mey bingung.
"Ada setan, ya?" Nita bertanya dengan serius.
"Siapa, Ros? Siapa yang datang? Di mana?" Mey tengak tengok ke seluruh sudut ruangan ini.
Aku lantas meraung, tidak tahan lagi. Tetap berada di atas meja, seperti biasanya, jika aku menangis selama ini.
"Hey, lu kenapa sih? Rosi!" Indi menarik tubuhku dan kini berhadapan dengannya. Dahinya berkerut, kedua bola matanya liar menatap wajahku, dan menelusuri kedua bola mataku. Seolah-olah dia dapat menemukan letak masalah di sana.
"Gue ... Gue salah apa sih, Ndi?" tanyaku sambil memukul dadaku pelan. Tangisan ku makin kencang dan membuat mereka bertiga saling berpandangan.
"Salah apa? Memangnya ada masalah apa sih? Cerita ... Cerita," suruh Indi mulai melunak dengan wajah yang sudah tidak serius seperti tadi.
Aku menceritakan semua kejadian itu dari awal, dan semua perkataan mantan Ibu mertuaku tadi.
"Astaga!"
"Gila tu mak lampir, masih aja mulutnya jahat!"
"Mungkin yang dia bilang bener, ya? Gue emang ...," kataku tidak melanjutkan kalimat lebih panjang lagi.
"Hey! Ngomong apa lu?! Jangan mikir macem-macem, ya! Siapa berani ngomong gitu? Ibu-ibu jahat itu? Ibu yang membela anaknya yang jelas-jelas selingkuh-in elu berkali-kali?! Iya?! Itu namanya Ibu nggak waras!" kata Indi mulai menaikkan nada bicaranya.
"Bener tuh! Orang anaknya yang salah, kenapa malah menyalahkan menantunya! Belum aja paku masuk perutnya tuh," ungkap Nita ikut terbakar emosi.
"Emangnya elu bisa nyantet orang, Nit?" tanya Mey dengan wajah polos.
"Bisa diatur itu mah! Kenapa? Mau coba?"
"Iya, buat uji coba, santetin mantan gue dong. Sumpah tu orang mirip setan!"
Nita dan Indi melirik Mey sambil mendengus. Indi kembali memandangi ku. Aku yang tidak bisa berhenti menangis lantas dia peluk.
"Udah. Biarin aja dia mau bilang apa. Nanti juga ke bongkar siapa yang busuk sebenarnya," nasehat Indi terus mengelus punggungku.
"Tapi masalahnya, Ibunya Rangga mikir apa, ya? Jangan-jangan terpengaruh! Apalagi ternyata Mak Lampir itu temennya Ibu Rangga!" tutur Nita, yang memang hal itu yang sedang aku cemaskan sekarang.
"Bener. Hubungan Rosi sama Rangga itu kan udah mulai deket. Jangan sampai karena omongan manusia itu, bikin mereka nggak direstui sama orang tua Rangga!" Mey memberikan pendapat.
"Heh! Diem lu! Malah dibahas!" Indi menoleh ke Mey sambil bergumam pelan yang tidak begitu jelas kudengar.
.
.
.
[Udah bobo?]
Pesan itu masuk, saat aku memang hendak tidur, tapi tak kunjung bisa memejamkan mata. Sementara ketiga temanku sudah terlelap sejak tadi.
[Belum. Kamu juga kok belum tidur?]
[Iya, habis beresin rumah. Lelah. Malam ini kan terakhir acara tahlilan Kakek.]
[Oh gitu. Ya udah, istirahat, ya. Biar besok bangun paginya fresh. Kerja, kan?]
[Kerja.]
Belum sempat aku membalas, Rangga mengirim pesan berikutnya.
[Sayang ...]
[Hm?] Jantungku berdegup kencang. Bibirku berusaha tertarik ke samping tapi entah mengapa aku masih menahannya. Panggilan ini tidak pernah terpikirkan akan terucap dari mulut Rangga.
[Kamu nggak apa-apa?]
[Iya. Aku baik-baik aja kok.]
[Jangan terlalu dipikirin, ya.]
[Eum, nggak bisa janji, Rangga. Eh, Mama kamu ngomong apa?]
[Ya cuma nanya-nanya tentang kamu. Kan Mama sebelumnya emang nggak tau tentang masa lalu kamu. Ya aku jelasin. Udah gitu aja.]
[Mama kamu nggak suka, ya, sama aku?]
[Bukan nggak suka. Cuma kaget aja, Ros. Udah ah, jangan dipikirin banget. Nanti biar aku yang jelasin ke Mama pelan-pelan. Oke?]
[Hm. Oke]
[Ya udah. Tidur, ya. Jangan begadang terus. Mata panda kamu tuh. Makin tebal. Nanti mirip panda betulan. Masa aku pacaran sama panda?]
[Yee. Salah siapa mau sama Panda?]
[Ya gimana dong. Udah terlanjur sayang.]
[Gembel.]
[Hehe. Biarin. Udah, bobo gih. Malah kelamaan ngobrol.]
[Belum bisa, Rangga. Belum ngantuk.]
[Kamu tuh begitu. Kalau sedih banget, sama seneng banget pasti nggak bisa tidur. Jadi sekarang sedih apa seneng? ]
[Keduanya.]
[Ya udah, gini gini, sekarang kamu tutup mata, bayangin aja kalau aku di situ. Udah?]
Aku menurutinya. Memejamkan mata dan membayangkan dia ada di samping ku.
[Udah.]
[Eh, temen-temen kamu di sebelah mana? Jangan sampai aku salah peluk nih.]
[Itu, mereka di sebelah sana. Aku dipinggir ini.]
[Oke. Aku sekarang tidur di samping kamu. Terus, peluk kamu. Bayangin! Bayangin!]
[Hm. Iya.] Aku tersenyum sambil membayangkan apa yang dia katakan. Entah mengapa rasanya seperti nyata. Aku benar-benar merasa nyaman.
[Udah? Sekarang aku kecup kening kamu. Turun lagi ke kelopak mata kamu. Turun ke hidung, terus ... Turun ke ....]
[Rangga! Nanti malah mesum!]
[Oh iya, ya. Wahahaha. Oke oke. Kecup kening aja. Selamat tidur, sayang.]
[Love you.]
[Too.]
[Ih, kok cuma too aja?]
[Kan sama juga ujungnya. Udah diwakilkan kamu.]
[Dasar!]
[Udah, tidur. Ketemu besok, ya.]
[Oke.]
Aku terus senyum-senyum setelah mematikan telepon. Kemudian merapatkan selimut, melirik sebentar ke teman-temanku dan berusaha memejamkan mata sekali lagi.
.
.
.
Lorong ini begitu sunyi. Suatu tempat yang benar-benar asing bagiku. Tapi jika dilihat dari bangunannya, sepertinya aku berada di rumah sakit. Hanya saja kondisinya tidak seperti rumah sakit yang biasanya aku datangi. Beberapa teralis besi yang seharusnya dibuat jendela, justru malah terlihat seperti tempat mengurung manusia.
Jeritan minta tolong membuatku penasaran. Suara pria yang sedang merengek ketakutan membuatku ingin segera mendekat. Aku pun mulai berlari kecil, sambil terus tengak tengok.
Sampai pada sebuah ujung lorong, aku berbelok ke kiri. Saat itu lah aku melihat pergerakan dari seseorang yang berada di salah satu kamar di sana. Semua kamar sama. Dikelilingi teralis besi agar orang di dalam tidak bisa keluar, dan orang di luar tidak mudah masuk. Bahkan pintunya digembok dari luar.
Aku mengintip dari celah jeruji besi. Wajah pria di dalam sana membuatku terhenyak. "Ramon?!"
Seolah mendengar gumamanku, Ramon menoleh cepat. Dia lantas berlari mendekat ke jendela. Tangannya keluar dari celah jeruji, dan berusaha menggapaiku. Aku tentu mundur, menjauh darinya.
"Ros, tolong aku, Ros! Ros! Tolong!" katanya sambil sesekali melihat ke belakang.
Aku hanya diam, sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi padanya. Namun dari arah belakang Ramon, sebuah bayangan lewat dengan cepat.
Ramon makin histeris dan berusaha menerobos jeruji besi. Membuatku sulit melihat keadaan di dalam. Akhirnya aku menggeser tubuhku, dan berpindah ke jendela sebelahnya.
Aku mendekat, dan mulai dapat mengenali bayangan siapa yang ada di dalam. Yah, itu Lili. Ternyata cerita Indi benar tentang Ramon. Ramon makin parah dari terakhir kali aku melihatnya.
Lili menggeram, posisinya yang awalnya jauh dari Ramon, kini perlahan mulai mendekati pria itu. Ramon masih ketakutan dan terus berusaha menerobos jeruji besi di depannya. Hal yang sangat tidak mungkin bisa dilakukan. Lili terus mendekat, sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tidak hanya itu, dia juga terkikik seolah menikmati apa yang ia buat ke Ramon.
Ramon menoleh, lalu jeritannya terdengar sangat keras, saat Lili berlari ke arahnya dengan sangat cepat. Kini wanita yang sudah berbeda alam dengan kami tersebut, sudah naik ke atas bahu Ramon. Ia juga menjambak rambut Ramon, kepala Ramon dibenturkan ke besi itu. Cukup keras dan membuat bercak darah yang awalnya sedikit, menjadi makin banyak. Tidak hanya itu, dahi Ramon mulai retak, darah yang mengucur deras dari sana. Bahkan sampai keluar dari kamarnya.
"Rosi! Tolong!" Ramon terus menjerit meminta bantuanku. Sementara aku justru ketakutan melihat hal itu. Perlahan aku mundur dan berjalan menjauh.
"Astaga! Pasti aku mimpi! Bangun, Rosi! Bangun!" kataku bergumam sendiri.
Saat aku berbelok ke lorong lain, langkahku mendadak berhenti, karena di depanku ada Lili. Berdiri dengan jarak lima meter dariku. Di tangannya, ada sebuah benda bulat. Lili mencengkeram erat bagian atasnya yang berwarna hitam. Benda itu meneteskan cairan berwarna merah. Lili melemparkan apa yang ada di tangannya ke arahku. Benda itu menggelinding bagai bola bowling. Mendekat dan berhenti di kakiku. Tepat saat kedua bola mata itu melotot dengan mulut terbuka. "Ramon!"
.
.
.
"Ros! Handphone lu bunyi terus nih! Cowok lu telpon dari tadi!" kata Indi, menggoyangkan tubuhku dan menempelkan benda pipih itu ke wajahku.
"Astaga! Indi! Ih!" aku mendorong nya sambil menutup wajahku yang baru bangun tidur.
"Ih dilihat dulu! Rangga Videocall nih! Angkat buruan!" ujarnya lalu meletakkan ponsel ku di telapak tangan kananku. Benda ini terus bergetar, hingga saat aku melihat layar yang menyala terang itu, wajahku terlihat di sana.
Ah, benar. Rangga video call. Aku pun menggeser layar, dan menutup wajah dengan telapak tangan.
"Bangun hey! Udah jam berapa ini? Astaga. Anak gadis belum bangun juga?" katanya sambil senyum-senyum. Aku hanya mengintip dari celah jemari.
"Iya, iya. Ini bangun."
"Tidur jam berapa?"
"Langsung tidur kok, habis pamitan itu."
"Kok baru bangun? Eh, kenapa ditutupin sih mukanya? Mana coba muka bangun tidurnya?"
"Malu ah, masih ileran!"
"Emangnya bisa ke cium sampai sini, ya? Buka ih! Aku pengen lihat muka naturalnya."
Aku pun menyingkirkan tanganku lalu tersenyum sambil mengucek mata, mencari jika ada tai mata yang masih belum ku bersihkan.
"Nah gitu kan, cantik. Ya udah, sana mandi. Bau. Aku berangkat kerja dulu, ya."
"Iya. Hati-hati di jalan, ya."
"Oke. Jangan lupa sarapan. Bye."
"Ramon? Kenapa?" tanyaku tidak bersemangat. Sejak tadi aku hanya memungut cacahan kacang tanah yang menjadi toping makanan di depan kami.
"Dia gila! Masuk RSJ. Nah, anehnya, kata orang-orang dia selalu histeris gitu sambil manggil nama Lili terus. Seolah-olah Lili itu selalu ada di dekat dia!" jelas Indi dengan antusias.
"Ya iyalah. Kan emang Lili nempel mulu ke dia. Rasain!" ungkapku kesal.
"Kok bisa gitu, Ros?" tanya Nita mencomot martabak keenam kalinya.
"Mana gue tau."
"Mungkin karena masih dendam gitu kali, ya? Kan elu cerita gimana kematian Lili waktu itu!" Mey menanggapi.
Diskusi tentang Ramon dan Lili kembali memanas. Ternyata kondisi Ramon memburuk. Dia bahkan sering menyakiti dirinya sendiri, atau terus menjerit-jerit, sehingga harus dipindahkan ke ruangan khusus, di mana tidak banyak pasien lain di sekitarnya. Mereka masih membahas kematian Lili, yang sebenarnya sudah malas kuungkit lagi. Karena biasanya dia akan muncul jika terus disebut seperti sekarang. Aku sedang tidak ingin menjadi juru bicara para ruh.
"Eh, bau apa nih?" tanya Mey sambil mendengus, hidungnya bergerak sambil tengak-tengok.
"Eh, iya! Bau bunga nih! Jangan-jangan ...," gumam Nita sambil melirik sekitar dengan was-was.
"Wah, nggak beres nih!" Indi berucap lalu mengecup jari telunjuk dan ibu jari karena terkena saus cokelat.
Aku tidak menanggapi hal ini, masih melakukan gerakan sama seperti tadi, ditambah menompang dagu sebagai bentuk rasa lelah atas semua yang terjadi. Lebih tepatnya, kejadian di rumah Rangga. Aku selalu lemah dengan masalah ini. Mengapa ibu mertuaku, ah tidak, mantan ibu mertuaku bisa mengenal Mama Rangga? Aku yakin, Mama Rangga sekarang tidak menyukaiku. Apalagi tatapan matanya tadi, terlihat jijik saat melihatku.
Aku menjerit sambil mengacak-acak rambutku sendiri. Kepala kusandarkan di meja, kedua tanganku mengepal, menahan rasa marah dan sedih, serta takut yang bersamaan.
"Elu kenapa, Ros?" tanya Mey bingung.
"Ada setan, ya?" Nita bertanya dengan serius.
"Siapa, Ros? Siapa yang datang? Di mana?" Mey tengak tengok ke seluruh sudut ruangan ini.
Aku lantas meraung, tidak tahan lagi. Tetap berada di atas meja, seperti biasanya, jika aku menangis selama ini.
"Hey, lu kenapa sih? Rosi!" Indi menarik tubuhku dan kini berhadapan dengannya. Dahinya berkerut, kedua bola matanya liar menatap wajahku, dan menelusuri kedua bola mataku. Seolah-olah dia dapat menemukan letak masalah di sana.
"Gue ... Gue salah apa sih, Ndi?" tanyaku sambil memukul dadaku pelan. Tangisan ku makin kencang dan membuat mereka bertiga saling berpandangan.
"Salah apa? Memangnya ada masalah apa sih? Cerita ... Cerita," suruh Indi mulai melunak dengan wajah yang sudah tidak serius seperti tadi.
Aku menceritakan semua kejadian itu dari awal, dan semua perkataan mantan Ibu mertuaku tadi.
"Astaga!"
"Gila tu mak lampir, masih aja mulutnya jahat!"
"Mungkin yang dia bilang bener, ya? Gue emang ...," kataku tidak melanjutkan kalimat lebih panjang lagi.
"Hey! Ngomong apa lu?! Jangan mikir macem-macem, ya! Siapa berani ngomong gitu? Ibu-ibu jahat itu? Ibu yang membela anaknya yang jelas-jelas selingkuh-in elu berkali-kali?! Iya?! Itu namanya Ibu nggak waras!" kata Indi mulai menaikkan nada bicaranya.
"Bener tuh! Orang anaknya yang salah, kenapa malah menyalahkan menantunya! Belum aja paku masuk perutnya tuh," ungkap Nita ikut terbakar emosi.
"Emangnya elu bisa nyantet orang, Nit?" tanya Mey dengan wajah polos.
"Bisa diatur itu mah! Kenapa? Mau coba?"
"Iya, buat uji coba, santetin mantan gue dong. Sumpah tu orang mirip setan!"
Nita dan Indi melirik Mey sambil mendengus. Indi kembali memandangi ku. Aku yang tidak bisa berhenti menangis lantas dia peluk.
"Udah. Biarin aja dia mau bilang apa. Nanti juga ke bongkar siapa yang busuk sebenarnya," nasehat Indi terus mengelus punggungku.
"Tapi masalahnya, Ibunya Rangga mikir apa, ya? Jangan-jangan terpengaruh! Apalagi ternyata Mak Lampir itu temennya Ibu Rangga!" tutur Nita, yang memang hal itu yang sedang aku cemaskan sekarang.
"Bener. Hubungan Rosi sama Rangga itu kan udah mulai deket. Jangan sampai karena omongan manusia itu, bikin mereka nggak direstui sama orang tua Rangga!" Mey memberikan pendapat.
"Heh! Diem lu! Malah dibahas!" Indi menoleh ke Mey sambil bergumam pelan yang tidak begitu jelas kudengar.
.
.
.
[Udah bobo?]
Pesan itu masuk, saat aku memang hendak tidur, tapi tak kunjung bisa memejamkan mata. Sementara ketiga temanku sudah terlelap sejak tadi.
[Belum. Kamu juga kok belum tidur?]
[Iya, habis beresin rumah. Lelah. Malam ini kan terakhir acara tahlilan Kakek.]
[Oh gitu. Ya udah, istirahat, ya. Biar besok bangun paginya fresh. Kerja, kan?]
[Kerja.]
Belum sempat aku membalas, Rangga mengirim pesan berikutnya.
[Sayang ...]
[Hm?] Jantungku berdegup kencang. Bibirku berusaha tertarik ke samping tapi entah mengapa aku masih menahannya. Panggilan ini tidak pernah terpikirkan akan terucap dari mulut Rangga.
[Kamu nggak apa-apa?]
[Iya. Aku baik-baik aja kok.]
[Jangan terlalu dipikirin, ya.]
[Eum, nggak bisa janji, Rangga. Eh, Mama kamu ngomong apa?]
[Ya cuma nanya-nanya tentang kamu. Kan Mama sebelumnya emang nggak tau tentang masa lalu kamu. Ya aku jelasin. Udah gitu aja.]
[Mama kamu nggak suka, ya, sama aku?]
[Bukan nggak suka. Cuma kaget aja, Ros. Udah ah, jangan dipikirin banget. Nanti biar aku yang jelasin ke Mama pelan-pelan. Oke?]
[Hm. Oke]
[Ya udah. Tidur, ya. Jangan begadang terus. Mata panda kamu tuh. Makin tebal. Nanti mirip panda betulan. Masa aku pacaran sama panda?]
[Yee. Salah siapa mau sama Panda?]
[Ya gimana dong. Udah terlanjur sayang.]
[Gembel.]
[Hehe. Biarin. Udah, bobo gih. Malah kelamaan ngobrol.]
[Belum bisa, Rangga. Belum ngantuk.]
[Kamu tuh begitu. Kalau sedih banget, sama seneng banget pasti nggak bisa tidur. Jadi sekarang sedih apa seneng? ]
[Keduanya.]
[Ya udah, gini gini, sekarang kamu tutup mata, bayangin aja kalau aku di situ. Udah?]
Aku menurutinya. Memejamkan mata dan membayangkan dia ada di samping ku.
[Udah.]
[Eh, temen-temen kamu di sebelah mana? Jangan sampai aku salah peluk nih.]
[Itu, mereka di sebelah sana. Aku dipinggir ini.]
[Oke. Aku sekarang tidur di samping kamu. Terus, peluk kamu. Bayangin! Bayangin!]
[Hm. Iya.] Aku tersenyum sambil membayangkan apa yang dia katakan. Entah mengapa rasanya seperti nyata. Aku benar-benar merasa nyaman.
[Udah? Sekarang aku kecup kening kamu. Turun lagi ke kelopak mata kamu. Turun ke hidung, terus ... Turun ke ....]
[Rangga! Nanti malah mesum!]
[Oh iya, ya. Wahahaha. Oke oke. Kecup kening aja. Selamat tidur, sayang.]
[Love you.]
[Too.]
[Ih, kok cuma too aja?]
[Kan sama juga ujungnya. Udah diwakilkan kamu.]
[Dasar!]
[Udah, tidur. Ketemu besok, ya.]
[Oke.]
Aku terus senyum-senyum setelah mematikan telepon. Kemudian merapatkan selimut, melirik sebentar ke teman-temanku dan berusaha memejamkan mata sekali lagi.
.
.
.
Lorong ini begitu sunyi. Suatu tempat yang benar-benar asing bagiku. Tapi jika dilihat dari bangunannya, sepertinya aku berada di rumah sakit. Hanya saja kondisinya tidak seperti rumah sakit yang biasanya aku datangi. Beberapa teralis besi yang seharusnya dibuat jendela, justru malah terlihat seperti tempat mengurung manusia.
Jeritan minta tolong membuatku penasaran. Suara pria yang sedang merengek ketakutan membuatku ingin segera mendekat. Aku pun mulai berlari kecil, sambil terus tengak tengok.
Sampai pada sebuah ujung lorong, aku berbelok ke kiri. Saat itu lah aku melihat pergerakan dari seseorang yang berada di salah satu kamar di sana. Semua kamar sama. Dikelilingi teralis besi agar orang di dalam tidak bisa keluar, dan orang di luar tidak mudah masuk. Bahkan pintunya digembok dari luar.
Aku mengintip dari celah jeruji besi. Wajah pria di dalam sana membuatku terhenyak. "Ramon?!"
Seolah mendengar gumamanku, Ramon menoleh cepat. Dia lantas berlari mendekat ke jendela. Tangannya keluar dari celah jeruji, dan berusaha menggapaiku. Aku tentu mundur, menjauh darinya.
"Ros, tolong aku, Ros! Ros! Tolong!" katanya sambil sesekali melihat ke belakang.
Aku hanya diam, sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi padanya. Namun dari arah belakang Ramon, sebuah bayangan lewat dengan cepat.
Ramon makin histeris dan berusaha menerobos jeruji besi. Membuatku sulit melihat keadaan di dalam. Akhirnya aku menggeser tubuhku, dan berpindah ke jendela sebelahnya.
Aku mendekat, dan mulai dapat mengenali bayangan siapa yang ada di dalam. Yah, itu Lili. Ternyata cerita Indi benar tentang Ramon. Ramon makin parah dari terakhir kali aku melihatnya.
Lili menggeram, posisinya yang awalnya jauh dari Ramon, kini perlahan mulai mendekati pria itu. Ramon masih ketakutan dan terus berusaha menerobos jeruji besi di depannya. Hal yang sangat tidak mungkin bisa dilakukan. Lili terus mendekat, sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tidak hanya itu, dia juga terkikik seolah menikmati apa yang ia buat ke Ramon.
Ramon menoleh, lalu jeritannya terdengar sangat keras, saat Lili berlari ke arahnya dengan sangat cepat. Kini wanita yang sudah berbeda alam dengan kami tersebut, sudah naik ke atas bahu Ramon. Ia juga menjambak rambut Ramon, kepala Ramon dibenturkan ke besi itu. Cukup keras dan membuat bercak darah yang awalnya sedikit, menjadi makin banyak. Tidak hanya itu, dahi Ramon mulai retak, darah yang mengucur deras dari sana. Bahkan sampai keluar dari kamarnya.
"Rosi! Tolong!" Ramon terus menjerit meminta bantuanku. Sementara aku justru ketakutan melihat hal itu. Perlahan aku mundur dan berjalan menjauh.
"Astaga! Pasti aku mimpi! Bangun, Rosi! Bangun!" kataku bergumam sendiri.
Saat aku berbelok ke lorong lain, langkahku mendadak berhenti, karena di depanku ada Lili. Berdiri dengan jarak lima meter dariku. Di tangannya, ada sebuah benda bulat. Lili mencengkeram erat bagian atasnya yang berwarna hitam. Benda itu meneteskan cairan berwarna merah. Lili melemparkan apa yang ada di tangannya ke arahku. Benda itu menggelinding bagai bola bowling. Mendekat dan berhenti di kakiku. Tepat saat kedua bola mata itu melotot dengan mulut terbuka. "Ramon!"
.
.
.
"Ros! Handphone lu bunyi terus nih! Cowok lu telpon dari tadi!" kata Indi, menggoyangkan tubuhku dan menempelkan benda pipih itu ke wajahku.
"Astaga! Indi! Ih!" aku mendorong nya sambil menutup wajahku yang baru bangun tidur.
"Ih dilihat dulu! Rangga Videocall nih! Angkat buruan!" ujarnya lalu meletakkan ponsel ku di telapak tangan kananku. Benda ini terus bergetar, hingga saat aku melihat layar yang menyala terang itu, wajahku terlihat di sana.
Ah, benar. Rangga video call. Aku pun menggeser layar, dan menutup wajah dengan telapak tangan.
"Bangun hey! Udah jam berapa ini? Astaga. Anak gadis belum bangun juga?" katanya sambil senyum-senyum. Aku hanya mengintip dari celah jemari.
"Iya, iya. Ini bangun."
"Tidur jam berapa?"
"Langsung tidur kok, habis pamitan itu."
"Kok baru bangun? Eh, kenapa ditutupin sih mukanya? Mana coba muka bangun tidurnya?"
"Malu ah, masih ileran!"
"Emangnya bisa ke cium sampai sini, ya? Buka ih! Aku pengen lihat muka naturalnya."
Aku pun menyingkirkan tanganku lalu tersenyum sambil mengucek mata, mencari jika ada tai mata yang masih belum ku bersihkan.
"Nah gitu kan, cantik. Ya udah, sana mandi. Bau. Aku berangkat kerja dulu, ya."
"Iya. Hati-hati di jalan, ya."
"Oke. Jangan lupa sarapan. Bye."
pulaukapok memberi reputasi
1
Tutup