- Beranda
- Stories from the Heart
AMURTI
...
TS
watcheatnsleep
AMURTI

Season 2 dari Awakening : Sixth Sense
Sinopsis :
Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.
Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.
Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.
Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.
Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.
INDEKS :
UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU
Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita
Diubah oleh watcheatnsleep 12-04-2023 21:06
junti27 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
8.9K
92
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
watcheatnsleep
#24
Chapter 8
Senja dan sunyi berpadu menjadi satu pada hari itu. Di hadapanku tampak gerbang hitam yang menjulang tinggi dengan ukuran berkisar tiga meter. Tanaman hias berwarna hijau yang menempel di sepanjang pagar berhasil menghalangi pandanganku hingga tak bisa menembus ke dalam.
Belum sempat aku menghubungi Mahendra, tiba-tiba gerbang di depanku bergeser. Seorang pria paruh baya mengenakan kaos biru dengan celana selutut menyambutku dengan sebuah senyuman ramah.
“Mas Rama, ya?”
“Iya, Pak.” jawabku bingung, sebab aku penasaran, kenapa dia bisa tahu bahwa aku sudah sampai.
Seakan bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Saya lihat dari CCTV, Mas.”
Mataku refleks mencari lokasi CCTV itu berada dan menemukannya tertempel di sudut pagar. Ukurannya yang cukup kecil dan posisinya yang terletak pada ketinggian membuatnya sulit untuk dideteksi mata.
“Silakan masuk, Mas,” ucapnya sembari mengulurkan tangannya ke belakang. “Motornya biar saya yang masukin.”
Aku mengangguk dan perlahan melangkah memasuki gerbang. Baru saja masuk, mataku langsung terkesima oleh rumah megah yang terpampang di hadapanku. Bukan karena hanya besarnya ukuran rumahnya saja, tetapi karena luasnya ukuran pekarangan dan taman di sekelilingnya. Mungkin cukup luas untuk melakukan upacara bagi satu sekolah.
Selesai memarkirkan motorku, pria itu lantas berjalan di depanku, mengantarkanku masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dari belakang, berjalan melewati banyaknya lukisan klasik yang menempel pada dinding.
Uniknya, semua lukisan itu hanya berisikan wujud hewan dan manusia. Tak ada satu pun objek mati di dalam semua lukisan itu. Sesaat kemudian, kami akhirnya melewati lorong itu dan sampai pada ruang tengah berada.
Ruang yang begitu luas seketika terpampang di pandanganku. Satu set sofa lengkap dengan televisi dan perabotan telah tersusun rapi di sebelah kanan ruangan. Di sebelah kiri, terdapat ruang makan yang berisikan meja dan kursi antik. Tak ada dapur di sana, hanya sebuah kulkas dan rak besar yang menempel di dinding.
Dari pembatas kaca yang transparan, di bagian belakang, aku melihat sebuah kolam renang tanpa atap. Satu hal yang paling menyita perhatianku adalah sebuah gubuk yang sepertinya full terbuat dari kayu jati. Anehnya, gubuk itu tampak menyendiri di lapangan yang lempang. Mungkin tempat itu tak pantas disebut gubuk karena kemewahannya.
Tiba-tiba pintu terbuka dan dari baliknya muncul sesosok pria paruh baya dengan rambut yang gondrong. Dengan gerakan tangan yang elegan layaknya seorang pesulap, dia mempersilakanku duduk di sofa. Pria paruh baya di sampingku pun sekilas tampak menahan tawa. Dengan canggung, aku pun duduk di sofa berhadap-hadapan dengan pria gondrong itu, pria yang bernama Mahendra.
“Kamu udah siap buat malam ini, kan?”
Aku menghela nafas dengan pelan lalu mengangguk tegas seraya mengumpulkan kepercayaan diri.
“Tas kamu kasih ke Pak Kusno aja.”
Pria paruh baya yang bernama Kusno itu pun dengan sigap menerima tasku. Tanpa perintah dari Mahendra, Pak Kusno langsung pergi meninggalkan kami berdua di ruang tengah.
“Nanti kamu semedi di sana.” Mahendra menunjuk ke arah gubuk yang berada di belakang.
“Kamu masih ingat pantangannya, kan?”
“Gak boleh keluar sampai jam tujuh pagi kan, Pak?” tanyaku memastikan.
Mahendra mengangguk. “Kamu aman selama ada di dalam.”
“Tapi kalau kamu keluar di tengah-tengah, saya gak bisa jamin nyawa kamu.”
Terbesit firasat buruk di benakku. Aku merasa ini bukan hanya semacam latihan biasa. Dibalik embel-embel puasa mutih dan bersemedi, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.
Bunyi dering dari kantong Mahendra berhasil memecah keheningan. Dengan sigap dia menarik handphonenya dan menerima panggilan itu. Tampak beberapa kali dia tertawa sembari memanggil lawan bicaranya dengan panggilan “Pak”. Selesai menerima panggilan itu, dia langsung beranjak dari sofa.
“Saya ada urusan penting. Nanti saya kabarin Pak Kusno kalau sudah saatnya mulai.” Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung pergi menaiki tangga menuju ke lantai dua.
Senja perlahan bergeser menjadi gelap. Semerbak mawar kian meruak menusuk hidung. Tak tahu dari mana aroma itu berasal, suasana rumah yang tadinya sepi kini berubah seolah menjadi hidup. Bulu kudukku berdiri seketika, rasanya seperti ada yang memerhatikanku. Tiba-tiba terasa sentuhan di pundak yang berhasil mengejutkanku.
Aku menoleh seketika dan pak Kusno telah berdiri di belakangku dengan senyuman khasnya yang ramah. “Mas, kata Pak Mahendra sudah boleh dimulai.”
“Oh, iya, Pak,” balasku spontan.
“Mari saya antarkan, Mas.” Pak Kusno membuka pintu belakang dan kami pun berjalan menuju gubuk itu tanpa terburu-buru.
Dengan jarak yang lebih dekat, ditambah dengan suasana gelapnya malam membuat hawa gubuk itu terasa lebih mencekam. Sebuah lampu tertempel di langit-langit adalah satu-satunya penerangan di luar sana. Pintu yang setengah terbuka dibalut dengan kegelapan membuat pandanganku tak bisa menembus isi ruangan itu. Malah kegelapan itu seakan menatapku balik.
“Saya cuma bisa antar sampai sini saja, Mas,” ucap Pak Kusno. “Besok saya bakal datang bila sudah jam tujuh pagi.”
“Baik, Pak. Terimakasih bantuannya,” tuturku sopan.
Pak Kusno mengangguk lalu tersungging senyuman misterius di sudut bibirnya. Sebuah senyuman penuh arti yang tak kumengerti maksudnya. Setelah itu beliau berbalik badan, pergi kembali masuk ke ruang tengah dan meninggalkanku di depan gubuk sendirian.
Angin membelai kulitku, memberi efek dingin hingga ke pori-pori. Kuangkat kakiku perlahan, menapaki lantai kayu yang mengeluarkan bunyi layaknya dentuman. Kusentuh permukaan pintu yang kasar dan mendorongnya pelan.
Tak ada apa pun di dalam gubuk itu. Hanya terbesit secercah cahaya yang mengisi kehampaan ruangan itu. Secercah cahaya berasal dari rembulan, yang bersusah payah menembus sebuah ventilasi kecil yang berada di dinding belakang gubuk.
Kuberanikan diriku melangkah masuk dan perlahan menutup pintu dari dalam. Aku lalu mengambil posisi duduk bersila di tengah ruangan, tempat di mana cahaya berpusat. Dikelilingi oleh kegelapan di tempat asing, membuatku sungguh tak nyaman. Membuatku was-was dan overthinking.
Kupejamkan kedua mataku, lalu kucoba menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Hal itu kulakukan berulang kali untuk mendistraksi pikiranku yang sedang liar. Memusatkan perhatianku pada jalur pernafasan, meredam ketakutanku dengan berfokus pada satu titik.
Waktu demi waktu telah bergulir tanpa kuamati. Pikiran dan tubuhku semakin rileks karena perlahan beradaptasi. Mungkin karena efek berpuasa mutih, tubuhku terasa sangat ringan dan hangat. Aku merasa seperti ada sesuatu yang membara di dalam diri. Membuat energiku meluap bagaikan gelas yang terisi air hingga tumpah.
Waktu kian bergulir, hingga keheningan total tiba, pertanda malam telah semakin larut. Sejenak kemudian, sebuah bisikan berhasil membuyarkan konsentrasiku.
“Mereka datang.” Bisikan misterius itu muncul dan seketika menghilang.
Belum sempat aku bereaksi akan bisikan itu, tiba-tiba tubuhku bergoyang dengan sendirinya. Bagaikan terombang-ambing di sebuah kapal yang dihantam ombak. Mataku yang tadinya terpejam lantas terbeliak seketika.
Getaran itu hilang seiring kedua mataku terbuka. Sesaat aku menatap sekelilingku, bingung dan was-was akan apa yang baru saja terjadi. Namun gangguan tidak berhenti sampai di situ saja. Bau anyir darah tiba-tiba muncul meruak menusuk hidung.
Langkah berat diselingi dengan bunyi seperti kaki terseret terdengar jelas di telingaku. Suara itu semakin lama semakin nyaring, seiring detak jantungku yang berdebar kencang. Punggungku mulai dibanjiri oleh keringat dingin. Nafasku memberat seraya memerhatikan pergerakan suara itu. Suara yang awalnya muncul dari balik pintu, lalu seakan bergerak mengelilingi gubuk.
Hingga tiba-tiba, suara langkah itu seketika menghilang. Tepat saat perhatianku tertuju pada balik gubuk. Perlahan aku menolehkan kepalaku ke belakang dan detak jantungku berhenti seketika. Sebab pada ventilasi di belakang gubuk, tampak sebuah mata merah yang sedang mengintipku. Saking besarnya mata itu, bahkan tak menampakkan bola mata yang seutuhnya.
Aku langsung berbalik, berusaha untuk menghiraukan sosok mata merah berwarna darah itu. Selama ini aku sudah melihat banyak sosok-sosok yang mungkin sama ngerinya, tapi hawa sosok itu berbeda dari hawa demit biasa. Bisa dibilang, energi yang dipancarkan demit itu lebih kuat dari siluman kelelawar yang merenggut nyawa Putra.
Hawa panas memenuhi seisi ruangan. Membuat sekujur tubuhku terasa lengket oleh keringat. Aku berusaha untuk kembali ke kondisi meditatif, tetapi suara-suara kini bermunculan menyergap perhatianku. Suara langkah kaki yang berlari-larian, atap kayu yang terpijak-pijak, garukan pada balik pintu dan di sepanjang dinding berhasil membuat konsentrasiku kacau. Rasanya seperti dikepung oleh satu batalion pasukan.
Aku mengingat ucapan Mahendra, bahwa aku akan aman selama masih berada di dalam gubuk. Rasa takut yang menghantamku lantas kutekan dengan memunculkan amarah di batinku. Membanjirinya hingga permukaannya tenggelam sepenuhnya.
Makhluk-makhluk yang berkeliaran di luar sepertinya sadar akan apa yang kuperbuat. Mereka lantas semakin liar dalam aksinya. Pintu yang berada tepat di hadapanku seketika di banting habis-habisan. Suara geraman layaknya binatang buas muncul menggertakku. Aku tak mau kalah, di dalam batinku aku malah semakin menantang mereka.
“Demit bodoh! Cuma segitu aja kemampuan kalian?”
Terdengar teriakan murka dari belakangku. Aku berbalik dan memandang mata merah yang masih betah mengintipku.
“Ngintip mulu nih demit, apa perlu gua colok tuh mata!” bentakku.
Suara menggelegar tiba-tiba muncul seakan menghantam telingaku. “Keluar kalau kau berani, manusia pengecut!”
Dalam sepersekian detik, sempat terbesit di benakku untuk keluar, tetapi nalarku langsung membantah. Kurasa aku tak sebodoh itu menerima tawarannya yang sudah jelas ingin menjebakku. Aku pun merasa lelah meladeni makhluk-makhluk itu, kuputuskan untuk lanjut bermeditasi.
Gangguan itu terus-menerus datang menghantuiku, tetapi aku hanya menganggap mereka makhluk kurang kerjaan yang sedang haus akan perhatianku. Merespon mereka sama saja seperti membiarkan mereka menyerap energiku. Melihatku yang tak bergeming dan tak merespon, gangguan itu pun perlahan-lahan menghilang.
“Bocah sialan! Kau akan mati bersama tuanmu!” Itulah ancaman terakhir yang disampaikan oleh makhluk bermata merah itu, sebelum hawanya menghilang.
Tuan? Aku tak paham siapa yang dimaksud oleh makhluk itu. Apa yang dia maksud adalah Mahendra? Aku mulai menerka-nerka hubungan makhluk itu dengan latihan yang sedang kualami saat ini, tapi sayangnya masih banyak kepingan teka-teki yang belum kutemukan.
Aku pun menyerah untuk memikirkannya karena hanya akan membuat kepalaku menjadi pusing. Jadi kuputuskan untuk kembali memusatkan konsentrasiku pada nafas dan melanjutkan latihan meditasi.
Bersambung …
Belum sempat aku menghubungi Mahendra, tiba-tiba gerbang di depanku bergeser. Seorang pria paruh baya mengenakan kaos biru dengan celana selutut menyambutku dengan sebuah senyuman ramah.
“Mas Rama, ya?”
“Iya, Pak.” jawabku bingung, sebab aku penasaran, kenapa dia bisa tahu bahwa aku sudah sampai.
Seakan bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Saya lihat dari CCTV, Mas.”
Mataku refleks mencari lokasi CCTV itu berada dan menemukannya tertempel di sudut pagar. Ukurannya yang cukup kecil dan posisinya yang terletak pada ketinggian membuatnya sulit untuk dideteksi mata.
“Silakan masuk, Mas,” ucapnya sembari mengulurkan tangannya ke belakang. “Motornya biar saya yang masukin.”
Aku mengangguk dan perlahan melangkah memasuki gerbang. Baru saja masuk, mataku langsung terkesima oleh rumah megah yang terpampang di hadapanku. Bukan karena hanya besarnya ukuran rumahnya saja, tetapi karena luasnya ukuran pekarangan dan taman di sekelilingnya. Mungkin cukup luas untuk melakukan upacara bagi satu sekolah.
Selesai memarkirkan motorku, pria itu lantas berjalan di depanku, mengantarkanku masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dari belakang, berjalan melewati banyaknya lukisan klasik yang menempel pada dinding.
Uniknya, semua lukisan itu hanya berisikan wujud hewan dan manusia. Tak ada satu pun objek mati di dalam semua lukisan itu. Sesaat kemudian, kami akhirnya melewati lorong itu dan sampai pada ruang tengah berada.
Ruang yang begitu luas seketika terpampang di pandanganku. Satu set sofa lengkap dengan televisi dan perabotan telah tersusun rapi di sebelah kanan ruangan. Di sebelah kiri, terdapat ruang makan yang berisikan meja dan kursi antik. Tak ada dapur di sana, hanya sebuah kulkas dan rak besar yang menempel di dinding.
Dari pembatas kaca yang transparan, di bagian belakang, aku melihat sebuah kolam renang tanpa atap. Satu hal yang paling menyita perhatianku adalah sebuah gubuk yang sepertinya full terbuat dari kayu jati. Anehnya, gubuk itu tampak menyendiri di lapangan yang lempang. Mungkin tempat itu tak pantas disebut gubuk karena kemewahannya.
Tiba-tiba pintu terbuka dan dari baliknya muncul sesosok pria paruh baya dengan rambut yang gondrong. Dengan gerakan tangan yang elegan layaknya seorang pesulap, dia mempersilakanku duduk di sofa. Pria paruh baya di sampingku pun sekilas tampak menahan tawa. Dengan canggung, aku pun duduk di sofa berhadap-hadapan dengan pria gondrong itu, pria yang bernama Mahendra.
“Kamu udah siap buat malam ini, kan?”
Aku menghela nafas dengan pelan lalu mengangguk tegas seraya mengumpulkan kepercayaan diri.
“Tas kamu kasih ke Pak Kusno aja.”
Pria paruh baya yang bernama Kusno itu pun dengan sigap menerima tasku. Tanpa perintah dari Mahendra, Pak Kusno langsung pergi meninggalkan kami berdua di ruang tengah.
“Nanti kamu semedi di sana.” Mahendra menunjuk ke arah gubuk yang berada di belakang.
“Kamu masih ingat pantangannya, kan?”
“Gak boleh keluar sampai jam tujuh pagi kan, Pak?” tanyaku memastikan.
Mahendra mengangguk. “Kamu aman selama ada di dalam.”
“Tapi kalau kamu keluar di tengah-tengah, saya gak bisa jamin nyawa kamu.”
Terbesit firasat buruk di benakku. Aku merasa ini bukan hanya semacam latihan biasa. Dibalik embel-embel puasa mutih dan bersemedi, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.
Bunyi dering dari kantong Mahendra berhasil memecah keheningan. Dengan sigap dia menarik handphonenya dan menerima panggilan itu. Tampak beberapa kali dia tertawa sembari memanggil lawan bicaranya dengan panggilan “Pak”. Selesai menerima panggilan itu, dia langsung beranjak dari sofa.
“Saya ada urusan penting. Nanti saya kabarin Pak Kusno kalau sudah saatnya mulai.” Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung pergi menaiki tangga menuju ke lantai dua.
<><><>
Senja perlahan bergeser menjadi gelap. Semerbak mawar kian meruak menusuk hidung. Tak tahu dari mana aroma itu berasal, suasana rumah yang tadinya sepi kini berubah seolah menjadi hidup. Bulu kudukku berdiri seketika, rasanya seperti ada yang memerhatikanku. Tiba-tiba terasa sentuhan di pundak yang berhasil mengejutkanku.
Aku menoleh seketika dan pak Kusno telah berdiri di belakangku dengan senyuman khasnya yang ramah. “Mas, kata Pak Mahendra sudah boleh dimulai.”
“Oh, iya, Pak,” balasku spontan.
“Mari saya antarkan, Mas.” Pak Kusno membuka pintu belakang dan kami pun berjalan menuju gubuk itu tanpa terburu-buru.
Dengan jarak yang lebih dekat, ditambah dengan suasana gelapnya malam membuat hawa gubuk itu terasa lebih mencekam. Sebuah lampu tertempel di langit-langit adalah satu-satunya penerangan di luar sana. Pintu yang setengah terbuka dibalut dengan kegelapan membuat pandanganku tak bisa menembus isi ruangan itu. Malah kegelapan itu seakan menatapku balik.
“Saya cuma bisa antar sampai sini saja, Mas,” ucap Pak Kusno. “Besok saya bakal datang bila sudah jam tujuh pagi.”
“Baik, Pak. Terimakasih bantuannya,” tuturku sopan.
Pak Kusno mengangguk lalu tersungging senyuman misterius di sudut bibirnya. Sebuah senyuman penuh arti yang tak kumengerti maksudnya. Setelah itu beliau berbalik badan, pergi kembali masuk ke ruang tengah dan meninggalkanku di depan gubuk sendirian.
Angin membelai kulitku, memberi efek dingin hingga ke pori-pori. Kuangkat kakiku perlahan, menapaki lantai kayu yang mengeluarkan bunyi layaknya dentuman. Kusentuh permukaan pintu yang kasar dan mendorongnya pelan.
Tak ada apa pun di dalam gubuk itu. Hanya terbesit secercah cahaya yang mengisi kehampaan ruangan itu. Secercah cahaya berasal dari rembulan, yang bersusah payah menembus sebuah ventilasi kecil yang berada di dinding belakang gubuk.
Kuberanikan diriku melangkah masuk dan perlahan menutup pintu dari dalam. Aku lalu mengambil posisi duduk bersila di tengah ruangan, tempat di mana cahaya berpusat. Dikelilingi oleh kegelapan di tempat asing, membuatku sungguh tak nyaman. Membuatku was-was dan overthinking.
Kupejamkan kedua mataku, lalu kucoba menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Hal itu kulakukan berulang kali untuk mendistraksi pikiranku yang sedang liar. Memusatkan perhatianku pada jalur pernafasan, meredam ketakutanku dengan berfokus pada satu titik.
Waktu demi waktu telah bergulir tanpa kuamati. Pikiran dan tubuhku semakin rileks karena perlahan beradaptasi. Mungkin karena efek berpuasa mutih, tubuhku terasa sangat ringan dan hangat. Aku merasa seperti ada sesuatu yang membara di dalam diri. Membuat energiku meluap bagaikan gelas yang terisi air hingga tumpah.
Waktu kian bergulir, hingga keheningan total tiba, pertanda malam telah semakin larut. Sejenak kemudian, sebuah bisikan berhasil membuyarkan konsentrasiku.
“Mereka datang.” Bisikan misterius itu muncul dan seketika menghilang.
Belum sempat aku bereaksi akan bisikan itu, tiba-tiba tubuhku bergoyang dengan sendirinya. Bagaikan terombang-ambing di sebuah kapal yang dihantam ombak. Mataku yang tadinya terpejam lantas terbeliak seketika.
Getaran itu hilang seiring kedua mataku terbuka. Sesaat aku menatap sekelilingku, bingung dan was-was akan apa yang baru saja terjadi. Namun gangguan tidak berhenti sampai di situ saja. Bau anyir darah tiba-tiba muncul meruak menusuk hidung.
Langkah berat diselingi dengan bunyi seperti kaki terseret terdengar jelas di telingaku. Suara itu semakin lama semakin nyaring, seiring detak jantungku yang berdebar kencang. Punggungku mulai dibanjiri oleh keringat dingin. Nafasku memberat seraya memerhatikan pergerakan suara itu. Suara yang awalnya muncul dari balik pintu, lalu seakan bergerak mengelilingi gubuk.
Hingga tiba-tiba, suara langkah itu seketika menghilang. Tepat saat perhatianku tertuju pada balik gubuk. Perlahan aku menolehkan kepalaku ke belakang dan detak jantungku berhenti seketika. Sebab pada ventilasi di belakang gubuk, tampak sebuah mata merah yang sedang mengintipku. Saking besarnya mata itu, bahkan tak menampakkan bola mata yang seutuhnya.
Aku langsung berbalik, berusaha untuk menghiraukan sosok mata merah berwarna darah itu. Selama ini aku sudah melihat banyak sosok-sosok yang mungkin sama ngerinya, tapi hawa sosok itu berbeda dari hawa demit biasa. Bisa dibilang, energi yang dipancarkan demit itu lebih kuat dari siluman kelelawar yang merenggut nyawa Putra.
Hawa panas memenuhi seisi ruangan. Membuat sekujur tubuhku terasa lengket oleh keringat. Aku berusaha untuk kembali ke kondisi meditatif, tetapi suara-suara kini bermunculan menyergap perhatianku. Suara langkah kaki yang berlari-larian, atap kayu yang terpijak-pijak, garukan pada balik pintu dan di sepanjang dinding berhasil membuat konsentrasiku kacau. Rasanya seperti dikepung oleh satu batalion pasukan.
Aku mengingat ucapan Mahendra, bahwa aku akan aman selama masih berada di dalam gubuk. Rasa takut yang menghantamku lantas kutekan dengan memunculkan amarah di batinku. Membanjirinya hingga permukaannya tenggelam sepenuhnya.
Makhluk-makhluk yang berkeliaran di luar sepertinya sadar akan apa yang kuperbuat. Mereka lantas semakin liar dalam aksinya. Pintu yang berada tepat di hadapanku seketika di banting habis-habisan. Suara geraman layaknya binatang buas muncul menggertakku. Aku tak mau kalah, di dalam batinku aku malah semakin menantang mereka.
“Demit bodoh! Cuma segitu aja kemampuan kalian?”
Terdengar teriakan murka dari belakangku. Aku berbalik dan memandang mata merah yang masih betah mengintipku.
“Ngintip mulu nih demit, apa perlu gua colok tuh mata!” bentakku.
Suara menggelegar tiba-tiba muncul seakan menghantam telingaku. “Keluar kalau kau berani, manusia pengecut!”
Dalam sepersekian detik, sempat terbesit di benakku untuk keluar, tetapi nalarku langsung membantah. Kurasa aku tak sebodoh itu menerima tawarannya yang sudah jelas ingin menjebakku. Aku pun merasa lelah meladeni makhluk-makhluk itu, kuputuskan untuk lanjut bermeditasi.
Gangguan itu terus-menerus datang menghantuiku, tetapi aku hanya menganggap mereka makhluk kurang kerjaan yang sedang haus akan perhatianku. Merespon mereka sama saja seperti membiarkan mereka menyerap energiku. Melihatku yang tak bergeming dan tak merespon, gangguan itu pun perlahan-lahan menghilang.
“Bocah sialan! Kau akan mati bersama tuanmu!” Itulah ancaman terakhir yang disampaikan oleh makhluk bermata merah itu, sebelum hawanya menghilang.
Tuan? Aku tak paham siapa yang dimaksud oleh makhluk itu. Apa yang dia maksud adalah Mahendra? Aku mulai menerka-nerka hubungan makhluk itu dengan latihan yang sedang kualami saat ini, tapi sayangnya masih banyak kepingan teka-teki yang belum kutemukan.
Aku pun menyerah untuk memikirkannya karena hanya akan membuat kepalaku menjadi pusing. Jadi kuputuskan untuk kembali memusatkan konsentrasiku pada nafas dan melanjutkan latihan meditasi.
Bersambung …
erman123 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup