- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
A Man and The Lady
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/12/6448808_20230412071043.jpg)
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/03/29/6448808_20230329092951.jpg)
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
![A Man and The Lady](https://s.kaskus.id/images/2023/04/01/6448808_20230401071833.jpg)
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
![buljaw](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/03/27/avatar6607039_1.gif)
![bg3873nh](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/11/08/avatar3629875_1.gif)
![yusrillllll](https://s.kaskus.id/user/avatar/2013/12/19/avatar6234452_5.gif)
yusrillllll dan 205 lainnya memberi reputasi
202
285.6K
Kutip
2.2K
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![robotpintar](https://s.kaskus.id/user/avatar/2014/02/14/avatar6448808_16.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
robotpintar
#213
#24 - Photograph
Spoiler for #24 - Photograph:
Saat film habis, Lady langsung berdiri dan menarik tangan gua untuk segera keluar dari Bioskop. Tanpa bicara, ia terus menarik tangan gua hingga kami keluar dari mall. Kami duduk di kursi besi yang sengaja disediakan pihak mall untuk pengunjung yang menunggu taksi atau jemputan.
“Bokap gue ngomong apa aja?”Tanyanya, begitu kami duduk.
“Hmmm… apa ya? nggak banyak sih..”
“Iya, apa aja?” Tanyanya lagi.
Gua lalu menceritakan tentang pertemuan gua dengan bokapnya juga Mbak Sum beberapa waktu yang lalu. Sementara gua berkisah, ia hanya duduk dalam diam sambil sesekali menunjukkan ekspresi wajah cemas dan menggenggam erat ponsel di tangannya.
Saat melihat taksi berhenti dan menurunkan penumpang tepat di depan beranda lobby mall, gua berhenti bicara, menarik tangannya dan bergegas masuk ke dalam taksi yang kini kosong. Gua menyebut nama bangunan gedung kantor tempat kami bekerja ke si pengemudi yang tanpa banyak bicara langsung melajukan kendaraan keluar dari mall. Sementara, Lady masih menagih sisa cerita dari gua.
“Terus.. terus?”
“Ya udah gitu doang…” Gua menjawab santai.
“So sekarang lo udah tau kan gimana gue dimata keluarga gue..” Gumamnya pelan.
“Iya” Jawab gua.
Lady lalu berpaling, menatap ke arah lain sambil menggumam pelan; “Rasanya jadi campur aduk. Padahal gue udah seneng banget pas tau lo segitu effortnya sampe harus jauh-jauh ke rumah untuk tau kabar gue. Tapi, begitu sadar kalo sekarang lo jadi tau tentang masa lalu gue yang sengaja gue sembunyiin, gue jadi sedih…”
Di sela-sela obrolan, tiba-tiba ponsel gua berdering. Nama Reni muncul di layarnya; “Halo”
“Bang, nih Anggi mau ngomong…” Ucap Reni dari ujung sana, terdengar suara celoteh Anggi di latarnya.
“Mana?”
Hening sebentar, lalu suara Anggi menyambut gua; “Papah.. kapan Anggi di jemput? Anggi kangen?” Tanyanya.
“Tumben.. Baru berapa hari? biasanya nggak mau pulang kalo nginep di sana?”
“Ah, Papah.. jemput..” Anggi merengek.
“Besok ya, gimana?” Tanya gua.
“Iya deh..”
“Terus nanti Tante Reni sendirian dong kalo Anggi pulang?”
“Nanti Tante Reni aja yang nginep rumah Anggi…” Anggi sok memberikan solusi.
“Oh gitu…”
“Papah udah telepon tante cantik belum?” Anggi menagih janji.
Saat mendengar pertanyaannya barusan, gua langsung berpaling menatap ke arah Lady yang kini duduk di sebelah gua. Mungkin karena suara Anggi yang lantang, Lady tahu kalau yang tengah bicara dengan gua adalah Anggi. Dengan cepat ia merebut ponsel dari tangan gua dan mengambil alih obrolan.
Sebelum bicara ia mengubah panggilan ke mode pengeras suara; “Halo Anggi cantik…” Sapa Lady.
Lalu terdengar teriakan Anggi dari ujung sana begitu mendengar suara orang yang sudah ia rindukan; “Aaaa, Tante cantiik… Tante cantik lagi sama Papah ya? Tante cantik, Anggi kangen lho…”
“Iya, sama, Tante juga kangen sama Anggi. Eh Anggi lagi nginep di rumah Tante Reni ya?”
“Iya Tante…”
“Mau ketemu sama Tante nggak?” Tanya Lady.
“Mau…” Seru Anggi dari ujung sana.
“Kalo nanti Tante yang jemput mau?” Tanya Lady lagi.
“Mau…”
“Ya udah bilang sama papah ya” Ucap Lady lalu menyerahkan ponsel kembali ke gua.
“Papah, nanti jemput Anggi sama Tante cantik yaa…” Ucap Anggi ke gua.
“Iya…”
“Asik..”
—
Panggilan belum berakhir saat taksi yang kami tumpangi tiba di lobby gedung kantor. Lady mengeluarkan uang dari dompet dan membayar ongkos taksi karena gua masih sibuk membujuk Anggi untuk mengakhiri panggilan.
“Ok, gue udah putuskan. Hari ini gue mau langsung jemput Anggi..” Ucap Lady begitu kami berjalan masuk ke dalam lobby gedung.
“Jemputnya besok. Lo balik aja, istirahat..”
“Nggak, gue udah kangen banget sama Anggi..” Jawabnya.
Saat mendengar ucapannya barusan gua langsung terdiam, tertegun. Untuk pertama kalinya ada orang selain Reni, Rohman dan opungnya yang terdengar peduli dengan Anggi. Dan orang itu adalah Lady.
“Kenapa?” Tanyanya saat melihat reaksi gua.
“Gapapa…” Gua menjawab singkat lalu kembali melangkah. Sementara Lady mengikuti gua dari belakang.
Kini ia yang gantian menghentikan langkah; terdiam. “Lo naik duluan aja deh…” Ucapnya seraya melambaikan tangan, memberikan kode agar gua pergi lebih dulu.
Gua mengangguk dan berlalu, meninggalkan Lady sendiri di lobby gedung untuk kembali ke ruang kantor di lantai 19.
Saat baru tiba kembali di kantor, Sari yang terlihat tengah berdiri di depan meja resepsionis langsung menghampiri gua, dan menyodorkan tablet yang layarnya menunjukkan beberapa kandidat untuk posisi CMO; Chief Marketing Officer.
“Ini nanti Kak Desi atau Kak Jeje yang mau interview?” Tanya Sari sambil terus mengikuti langkah gua.
“Langsung berdua aja…” Gua memberi jawaban, sambil terus menggeser layar, yang menampilkan profil para kandidat CMO. Gua berhenti saat layar menampilkan profil kandidat terakhir, terlihat foto seorang perempuan beserta informasi singkat tentang pendidikan dan pengalaman kerjanya yang ‘mengagumkan’. Gua menoleh ke Sari, menunjukkan profil kandidat tersebut yang berada di layar dan bertanya; “Ini dari mana Sar? Dari Rossi bukan?”
“Hmmm… Bentar aku cek dulu kak” Jawab Sari, lalu meraih ponsel dan mengecek sesuatu melalui ponselnya.
Sambil menunggu Sari mengecek dari mana si kandidat terakhir ini mendapat akses ke posisi CMO di sini, gua mengembalikan tablet kepadanya. "So far, go with this list aja Sar. Tapi, kandidat terakhir yang tadi, di hold dulu…”
“Baik Kak..” Sari Merespon.
“Thank you..”
“Mmm.. kak, Besok aku cek calendar kak Jeje masih kosong. Bisa aku arrange user interview CMO besok siang kak?” Tanya Sari, seraya menyusul langkah gua.
“Siang ya? Harusnya sih bisa..”
“...”
Baru beberapa langkah gua pergi meninggalkan Sari, Gua berhenti dan melangkah mundur; “Eh Sar bentar, bisa geser ke Lusa aja nggak?” Tanya gua ke Sari yang lantas dijawabnya dengan anggukan kepala.
“Lusa siang ya Kak?”
“Ok”
Saat kami selesai bicara, Sari berbalik dan tanpa sengaja ia menabrak Lady yang baru saja tiba. Tablet yang berada di tangan Sari hampir saja terjatuh jika Lady dengan refleksnya yang tangkas mampu segera menangkap tablet tersebut.
“Sorry…” Ia sempat melirik sekilas ke layar sebelum mengembalikan tablet tersebut ke Sari.
“No worries..” Balas Sari, kemudian pergi.
Lady menatap gua kemudian menundukkan kepala, seakan menunjukkan rasa hormat dan berlalu, kembali ke mejanya. Sementara gua pun kembali ke salah satu meja kosong yang sejak datang tadi gua tempati, membuka layar laptop, sambil terus menatap Lady dari kejauhan. Terlihat ia baru saja duduk di kursinya, wajahnya yang penuh senyum membawa kehangatan pada rekan-rekan di sekitarnya.
Belum puas menatapnya dari jauh, sebuah tepukan membuyarkan lamunan gua. Desi berdiri tepat di sebelah, ia lalu meraih salah satu kursi kosong dan duduk.
“Hhh…” Desi menghela nafas begitu duduk.
“Kenapa?” Tanya gua sambil menatap wajahnya. Binar matanya yang biru membias, memantulkan cahaya dari layar laptop yang baru saja ia buka.
“Lo kemana aja sih, dari tadi gue cariin?”
“Keluar sebentar” Jawab gua singkat.
“Udah jarang dateng, giliran dateng susah dicari…” Desi mengajukan protes.
“Sorry…”
Ia lalu mengeluarkan sebuah kartu memori kecil dari saku jaket kulit yang ia kenakan. kartu memori yang sepertinya berasal dari sebuah kamera digital. “Nih titipan dari Kak Salsa” Ucapnya.
Salsa merupakan kakak ipar dari Desi sekaligus investor utama dari perusahaan rintisan kami. Yang sebelumnya berdiskusi dengan gua di pelataran sekolah Anggi.
Gua meraih kartu memori tersebut dan mulai menyambungkannya ke slot memori pada sisi laptop. Sebuah notifikasi pada layar laptop muncul dan gua segera mengkliknya. Sesaat kemudian muncul sebuah folder yang berisi kumpulan foto. Gua mengklik salah satu foto, yang disusul gambar Anggi kecil tengah terlelap di atas ranjang.
“Ih lucu banget… Itu Anggi kan?” Tanya Desi.
“Iya…”
“Umur berapa tuh?”
“5 bulan kayaknya…” Gua menjawab, mengira-ngira.
Gua lantas mengecek foto lainnya, yang hampir semuanya merupakan foto diri Anggi sewaktu bayi. Sesekali, Desi tersenyum saat melihat foto bayi Anggi yang memang terlihat lucu dan menggemaskan.
Setelah puas memandangi foto-foto Anggi kecil, gua menutup layar laptop dan berpaling ke Desi: “Lo nyari gua cuma mau ngasih itu doang?”
“Ya nggak lah” Jawabnya, lalu menggeser laptopnya ke arah gua dan mulai menjelaskan perihal skema budget perusahaan secara mendetail.
Gua mengenal Desi saat berkuliah dulu. Diantara teman-teman yang lain, ia punya julukan ‘Si Kalkulator berjalan’ karena kemampuannya berhitung yang mirip dengan kalkulator. Desi bisa dengan mudah menghitung perkalian ratusan hingga ribuan tanpa alat bantu apapun dengan cepat dan tentu saja tepat.
Awalnya gua bahkan sedikit minder saat harus memberikan draft budget perusahaan kepadanya; takut ada salah hitung. Namun, sepertinya melakukan salah hitung di hadapannya bukanlah sebuah keremehan.
Jauh sebelum perusahaan ini running, gua sempat membantu Rossi membuat draft budget roadmap untuk enam bulan pertama. Pada tahap tersebut budget roadmap harus dibuat dengan realistis dengan menggunakan riset pasar dan estimasi terbaik semampu gua. Tanpa budget roadmap, perusahaan ini mungkin cuma ‘bakar-bakar’ duit tanpa tahu kemana ‘asapnya’ mengarah.
Kini Desi sudah melakukan finalisasi dari draft budget tersebut. Memang nggak banyak perubahan besar, namun secara teknis gua agak kurang sreg dengan bagaimana ia membuat pola budgeting yang tersentralisasi ke CFO; ke dirinya. Keuntungan Model budgeting seperti ini adalah proses ‘uang keluar’ cukup strict, jadi lebih terkontrol. Namun, kelemahannya adalah prosesnya bakal makan waktu yang cukup lama. Maklum, Desi sebelumnya selalu berkutat dengan finansial pada perusahaan konvensional. Jadi, lumrah saja ia menggunakan metode yang sama.
Gua mendengarkan penjelasannya dengan seksama, sambil menatap grafik-grafik pada layar laptopnya.
“Hmm… budgeting-nya sih gua udah ‘Ok’ Des, paling tinggal nunggu konfirmasi dari Head masing-masing divisi aja…”
“Berarti budgeting langsung jadi tanggung jawab ke each department?” Tanyanya mencoba mengkonfirmasi.
“Gua sih maunya gitu. Tapi, kalo lo ada alternatif lain yang resikonya lebih kecil boleh dicoba…”
“Resiko sih sama aja. Tapi, gue pribadi lebih nyaman pake cara ini, cara yang gue proposed. Kita yang set budgetnya, tiap department tinggal menyesuaikan aja…”
“Hmmm…”
“Menurut gue Lebih controllable aja sih…”
“Yaudah go with it deh…”
“Ok Sip…”
“Tapi bulan depan kita review bareng-bareng lagi ya Des..”
“Sure..” Ucapnya santai. Ia lalu mulai menggeser slide pada layar laptop yang kini menampilkan grafik-grafik lain yang masih berhubungan dengan keuangan perusahaan. Desi lanjut memberi penjelasan tentang angka-angka dibalik grafik tersebut sambil sesekali menggeser slide.
Lalu terdengar samar suara tawa dari salah satu sudut ruangan. Gua berpaling dan mendapati Lady tengah tertawa bersama dengan rekan-rekannya yang lain. Melihatnya tertawa lepas penuh kebahagiaan membuat gua semakin yakin, kalau ia begitu mencintai pekerjaannya. Dan tentu saja gua jadi nggak menyesali keputusan untuk mengambil posisi CEO. Karena bisa terus melihatnya seperti sekarang ini.
Tanpa sadar, gua terus memandang ke arah Lady. Menyadari konsentrasi gua yang terbagi, Desi menepuk bahu gua; “Woi fokus lah..” ucapnya.
“Sorry…” Jawab gua singkat, kemudian kembali memfokuskan pandangan ke layar laptop.
Namun, baru beberapa menit berselang, seperti ada kekuatan besar yang memaksa mata ini kembali menatap ke arah sebelumnya. Lagi, Desi menepuk bahu gua. Kali ini ia nggak langsung bicara, melainkan menutup layar laptopnya dan berdiri; “Ntar aja deh kita lanjutin kalo lo udah bisa fokus…” Ucapnya, kemudian pergi.
Gua menyandarkan tubuh pada kursi dengan kedua tangan diatas kepala, tentu dengan pandangan masih tertuju ke arah Lady yang duduk di mejanya. Seperti ada koneksi yang tak nampak antara kami berdua, tiba-tiba Lady berpaling dan menatap balik. Kini kami saling memandang, sama-sama tanpa ekspresi.
Ia mengalihkan tatapannya dan kembali sibuk melihat ke layar laptop. Sementara gua berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Menyadari gua tengah menghampirinya, Lady tampak bingung, lalu meraih gelas diatas meja, berdiri dan pergi ke arah pantry.
Gua membiarkannya pergi, lalu duduk di kursinya, menatap layar laptop miliknya yang tengah menampilkan sheet dengan tabel berisi nama-nama influencer dan angka-angka jumlah pengikut juga engagement rate di sebelahnya. Gua memainkan kursor, memperhatikan tabel tersebut sambil sesekali melirik ke arah rekan-rekan lain yang duduk di sebelah dan di seberang tempat Lady duduk. Mereka terlihat gugup, dengan suara ketikan jari pada keyboard yang menggema.
“Belum pada pulang?” Gua melontarkan pertanyaan ke mereka tanpa memalingkan pandangan dari layar laptop milik Lady.
“Em.. Sebentar lagi kak” Jawab perempuan yang duduk disebelah Lady; Fitri.
“Udah jam enam lewat lho..” Ucap gua seraya melihat jam digital di ujung kanan atas layar laptop.
“Oh iya ya…” Respon Fitri. Seakan diperintah, mereka langsung mematikan laptop, memasukkannya ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pulang.
Tepat saat Lady kembali dari Pantry, rekan-rekannya langsung berpamitan kepadanya; “Lad, duluan ya.. bye..”
“Eh, kok udah balik aja..” Jawab Lady bingung.
“Iya…”
“Yaudah bye, see you..”
Lady lalu meletakkan gelas berisi air putih dan meletakkannya di atas meja; di tempat semula. Ia lalu duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Fitri dan mulai bicara; “Ah elo mah, gue kan jadi nggak enak…”
“Nggak enak sama siapa?” Tanya gua.
“Sama temen-temen yang lain. Bisa nggak lo jangan ganggu gue pas di kantor?”
“Emang kenapa?” Gua balik bertanya.
“Karyawan tuh nggak nyaman kalo ada bos yang wara-wiri deket mereka” Lady memberi jawaban.
“Oh.. Terus kalo gua mau ngobrol sama lo gimana?” Tanya gua lagi.
“Ya lo kan bisa chat gue, ngobrol di bawah atau di pantry” Jawabnya.
“Kalo ngobrolin pekerjaan?”
“Lo bisa panggil gue ke meja lo. Udah pokoknya mulai besok jangan nyamperin gue ke sini kalo masih ada temen-temen yang lain. Awas lo ya..” Ancam Lady.
Gua hanya terdiam mendengar ancamannya barusan. Lalu dalam hati menggumam; ‘Di toko gua diatur sama Rohman, disini diatur sama Lady. Jangan-jangan emang gua nggak bakat jadi pemimpin’.
“... Jadi mau jemput Anggi nggak?” Ia menambahkan.
“Jadi. Lo bener mau ikut? Capek nggak?” Tanya gua, mencoba memastikan.
“Enggak.. Udah lo turun duluan gih sana..” Jawabnya seraya menyerahkan kunci mobil miliknya ke gua.
“Parkir dimana?” Tanya gua sambil meraih kunci darinya.
“B2, pojok, deket lobby lift..” Jawabnya singkat.
“Ok…”
“Ntar gue nunggu di lobby atas ya” Ucap Lady sambil tersenyum.
“Dih ogah.. Kayak supir lagi jemput bos” Balas gua seraya pergi.
Saat keluar dari lobby lift di basement, gua menekan tombol digital pada kunci mobil; terdengar suara ‘beep’ beberapa kali dari sudut area parkir yang disusul nyala lampu sign pada mobil yang berkedip. Gua masuk, menyalakan mesin, lalu kembali keluar dari mobil untuk merokok sambil menunggu Lady.
Nggak seberapa lama Lady datang, Gua mematikan rokok dan bersiap masuk ke dalam mobil. Sesaat sebelum masuk, ada perasaan aneh yang muncul di dalam hati, perasaan seperti ada yang tengah memperhatikan dari kejauhan.
Gua menatap berkeliling dan mendapati sosok perempuan tengah berdiri di sisi minibus mewah menatap ke arah kami. Kami saling bertukar pandang sebentar hingga akhirnya gua masuk ke dalam mobil dan pergi.
Saat baru saja keluar dari area parkir gedung, ponsel gua bergetar, sebuah pesan masuk; Gua membuka pesan tersebut dan membacanya sekilas; ‘Well, that hurt me a lot.’
“Siapa?” Tanya Lady, saat mengetahui gua tengah membaca pesan melalui ponsel sambil mengemudi.
“Rohman” Jawab gua; berbohong.
![](https://img.youtube.com/vi/T3rXdeOvhNE/0.jpg)
Nickelback - Photograph
Look at this photograph
Every time I do, it makes me laugh
How did our eyes get so red?
And what the hell is on Joey's head?
And this is where I grew up
I think the present owner fixed it up
I never knew we ever went without
The second floor is hard for sneaking out
And this is where I went to school
Most of the time had better things to do
Criminal record says I broke in twice
I must've done it half a dozen times
I wonder if it's too late
Should I go back and try to graduate?
Life's better now than it was back then
If I was them, I wouldn't let me in
Oh, oh, oh
Oh, God, I, I
Every memory of looking out the back door
I had the photo album spread out on my bedroom floor
It's hard to say it, time to say it
Goodbye, goodbye
Every memory of walking out the front door
I found the photo of the friend that I was looking for
It's hard to say it, time to say it
Goodbye, goodbye
(Goodbye)
Remember the old arcade?
Blew every dollar that we ever made
The cops hated us hangin' out
They say somebody went and burned it down
We used to listen to the radio
And sing along with every song we know
We said someday we'd find out how it feels
To sing to more than just the steering wheel
Kim's the first girl I kissed
I was so nervous that I nearly missed
She's had a couple of kids since then
I haven't seen her since God knows when
Oh, oh, oh
Oh, God, I, I
Every memory of looking out the back door
I had the photo album spread out on my bedroom floor
It's hard to say it, time to say it
Goodbye, goodbye
Every memory of walking out the front door
I found the photo of the friend that I was looking for
It's hard to say it, time to say it
Goodbye, goodbye
I miss that town
I miss their faces
You can't erase
You can't replace it
I miss it now
I can't believe it
So hard to stay
Too hard to leave it
If I could, I'd relive those days
I know the one thing that would never change
Every memory of looking out the back door
I had the photo album spread out on my bedroom floor
It's hard to say it, time to say it
Goodbye, goodbye
Every memory of walking out the front door
I found the photo of the friend that I was looking for
It's hard to say it, time to say it
Goodbye, goodbye
Look at this photograph
Every time I do, it makes me laugh
Every time I do, it makes me
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:41
![69banditos](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/03/30/avatar11017038_1.gif)
![wadepakmann](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/07/09/default.png)
![jiyanq](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/25/default.png)
jiyanq dan 53 lainnya memberi reputasi
54
Kutip
Balas
Tutup