- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady

Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:

Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’

Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 09:23
Dhekazama dan 241 lainnya memberi reputasi
238
343.2K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#147
#19 - I Miss You Terribly
Spoiler for #19 - I Miss You Terribly:

Gua kembali ke area sebelumnya, dimana para teman-teman yang lain duduk menunggu. Karena gua langsung ditawari untuk tanda tangan kontrak kerja, gua menebak kalau mereka juga menunggu untuk tanda tangan kontrak; sama-sama langsung diterima.
“Gimana Lad?”Tanya Paul.
“Cool. Gue amaze sih, baru kali ini interview kerja di pantry dan nggak sama sekali nanya tentang kerjaan…” Gua menjelaskan.
“Hah? Gua ditanyain tentang pengalaman kerja kok tadi” Ucap Paul.
“Gua juga, malah dikasih contoh kasus suruh nyelesaiin…” Ucap Lita yang juga kebetulan ikut menunggu.
“Aneh… Yaudah yuk, cabut.. ngopi dulu di bawah sebelum pulang” Paul bicara sambil meraih tas dan bersiap untuk pergi.
“Hah? kalian nggak suru nunggu?” Tanya gua penasaran.
“Nggak, katanya besok kita bakal dikabarin via email..” Paul menjawab.
“Oh…”
“Emang lo disuruh nunggu Lad?” Tanya Paul.
“Iya…”
“Wah selamat deh, berarti lo doang nih yang diterima. Kita nggak kayaknya…” Paul bicara, lalu bergegas pergi bersama dengan teman-teman yang lain. Sementara, gua duduk terdiam sendiri, sambil memikirkan keanehan-keanehan hari ini.
Setelah hampir setengah jam menunggu, perempuan berpakaian kasual mendatangi gua dengan membawa sebuah amplop coklat. “Kak Lady..”
“Ya..”
“Ini Job Offernya, sekaligus kontraknya… Boleh dibaca dulu, kalo sudah bisa di tanda tangan ya…”
“Oh Ok..”
“Kalau mau dibawa pulang, buat dipelajari dulu gapapa. Tapi, besok harus diantar kesini ya”
“Nggak usah, aku baca disini aja” Gua menjawab singkat. Lalu mengeluarkan kertas berisi Job Offer juga surat kontrak dan mulai membacanya dengan hati-hati. Setelah yakin dengan isi dari Job Offer dan surat kontrak, gua menghela nafas panjang dan membubuhkan tanda tangan pada kedua surat.
—
Ponsel gua bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk dari Paul. ‘Lad, gua diterima nih di perusahaan kemaren. Lo gimana?’
‘Sama, gue juga’ Balas gua.
‘Mantab, si Lita juga katanya diterima juga’ Paul membalas.
‘Cool’ gua membalas dan menjatuhkan ponsel, kemudian menarik selimut untuk kembali tidur. Ada rasa gembira karena langsung diterima bekerja di tempat baru. Ada pula kekecewaan yang mendalam karena Jeje sama sekali nggak mencoba menghubungi gua. Sementara, ingin menelponnya lagi tapi gengsi.
Besoknya, gua bangun pagi-pagi sekali, nggak ingin datang terlambat di hari pertama kerja. Dua jam, dua jam lebih gua berkutat dengan kemacetan hingga akhirnya tiba di kantor baru. Gua, Paul, Lita dan beberapa teman lain yang sama-sama diterima sengaja bikin janji di Coffee shop sebelum naik ke kantor di lantai 19.
Lita buka suara saat kami berada di dalam lift; “Aneh nggak sih kok proses recruitment secepat ini?”
“Ya nggak aneh sih. Mungkin mereka udah dapet database kita dari kantor lama” Paul beropini yang lantas di amini oleh teman yang lain.
Teori dari Paul terdengar cukup masuk akal, namun kecurigaan Lita juga nggak bisa begitu saja diabaikan. Gua kayaknya harus waspada, takutnya kita terjebak dalam perusahaan ‘gelap’ dan ilegal. ‘Duh!’ mana udah terlanjur tanda tangan kontrak lagi’ batin gua dalam hati.
Kami berkumpul, duduk di atas sofa biru di sudut ruangan kantor. Terdapat lebih dari 40 orang yang sepertinya baru hari ini masuk bekerja, sepertiga dari 40 orang yang berada disini berasal dari kantor lama gua. Sisanya, mungkin direkrut dari jasa penyedia lowongan kerja.
Wanita cantik, berwajah blasteran bernama Rossi mendekat ke arah kami bersama dengan satu perempuan lain yang nggak kalah cantik.
“Morning guys” Sapa Rossi sambil tersenyum. Ia lalu memperkenalkan diri sebagai group CEO. Sebagai group CEO artinya ia memimpin beberapa perusahaan dalam sebuah group yang disebut holding company. Jadi, perusahaan tempat gua bakal bekerja ini merupakan salah satu anak perusahaan miliknya yang akan dipimpin oleh CEO lain.
Saat ia tengah bicara, gua langsung mengeluarkan ponsel dan mencoba mencari namanya serta perusahaan holding yang ia sebutkan. Dari hasil pencarian terlihat, Rossi bukanlah sosok ‘asing’ dalam dunia perusahaan rintisan. Bahkan kantor kami sebelumnya ternyata di bangun dan dirintis olehnya, namun di tengah perjalanan Mas Izar memutuskan untuk memisahkan diri dari Holding Company milik Rossi. Sontak gua menyenggol lengan Lita dan Paul, lalu menunjukkan hasil pencarian di ponsel kepada mereka berdua.
“Wow” Paul menggumam pelan, lalu tersenyum. Sementara, terlihat ada pancaran kelegaan dari wajah Lita. Mungkin merasa yakin kalau perusahaan ini bukan perusahaan abal-abal seperti yang ia kira sebelumnya.
Rossi lalu memberikan kesempatan ke perempuan yang berada di sebelahnya untuk gantian bicara. Perempuan yang bersamanya terlihat mengenakan jaket kulit ala gangster dan ripped jeans juga sepatu docmart setumit. Dari tampilannya yang ‘ngerock’ tapi tetap ‘classy’, Gua, Lita dan Paul langsung menebak kalau perempuan tersebut bisa jadi CEO kami.
Perempuan berjaket kulit lalu maju dan memperkenalkan diri. “Morning guys. Gue Desi, Gue disini sebagai Chief Financial Officer, tugas gue ngurusin duit dan sebagian dari kalian mungkin bakal sering tektokan sama gua, khususnya divisi finance and accounting..”
“...”
“... Sebenernya hari ini kita harusnya kedatangan our CEO tapi kayaknya dia agak terlambat sebentar. Jadi, gue yang bakal jelasin sedikit tentang perusahaan ini dan gimana cara kita bekerja…”
Kak Desi lalu mulai memberi penjelasan tentang perusahaan kami, dari mulai visi, latar belakang hingga goals yang harus kita sama-sama capai di akhir periode tahun ini. Namun, karena kapasitasnya sebagai seorang Chief Financial Officer, yang notabene bertanggung jawab terhadap stabilitas keuangan perusahaan, ia hanya memberi penjelasan yang mendasar saja. Penjelasannya mirip dengan penuturan Rossi saat mewawancarai gua kemarin.
Setelah brief singkat diberikan oleh Desi, Rossi kembali mengambil alih bicara; “Nextnya, untuk tim finance, accounting, bisdev, dan tech bisa langsung reach Desi abis ini. Tim Campaign, Marketing, Creative boleh stay disini sebentar ya.. Thank you guys..” Ucap Rossi.
Beberapa dari kami yang berada di divisi Finance, Accounting, Business Dev dan Tech berdiri, meninggalkan kerumunan dan berjalan mengikuti Desi ke arah pantry. Sementara, kami yang tersisa duduk terdiam sambil menunggu suasana gaduh menjadi kondusif.
Rossi lalu berjalan mendekat ke arah kami yang tersisa. Saat ini, posisi kami dengan Rossi semakin dekat. “Oke guys… yang tim campaign dan creative boleh pindah ke sebelah kiri, yang marketing boleh ke sebelah kanan ya” Ucap Rossi.
Gua dan beberapa rekan lain berpindah posisi mengikuti petunjuk Rossi. Kini terlihat 5 orang berada di sebelah kiri Rossi, dan sisanya; 3 orang berada di sisi gua.
“... Karena CEO kalian belum bisa hadir, sementara kita juga belum punya Chief Marketing dan Head marketing, jadi gue belum bisa kasih pengarahan yang tepat dan lengkap. So, sementara ini, sampai ada brief lengkap dari CEO, gue mau minta tolong kalian to do some research terkait micro influencers yang sudah kita engage sebelumnya. Untuk data-datanya, soon bakal gue email ke kalian..”
“Ok Kak” Jawab kami kompak.
“Cool. Sekarang mungkin kalian boleh saling berkenalan satu sama lain, biar lebih bonding ya guys.. Then, bisa ke tim IT di sebelah sana untuk serah terima laptop dan akun email” Rossi menambahkan seraya menunjuk ke arah meja tim IT yang kini disesaki oleh karyawan baru yang berniat mengambil laptop.
Nggak lama, Rossi berpamitan dan pergi. Kami berempat lalu mulai kembali saling memperkenalkan diri secara personal. Fitri, Winda dan Caca; nama rekan-rekan baru gua di tim ini. Diantara mereka semua, hanya gua yang memiliki latar belakang bekerja di perusahaan rintisan sebelumnya. Fitri dan Winda, pernah bekerja di perusahaan distributor makanan, sementara Caca sebelumnya bekerja sebagai sales-marketing di salah satu dealer mobil terkenal.
Setelah selesai berkenalan, kami duduk berbincang sambil menunggu meja Tim IT sepi untuk mengambil laptop. Kesempatan ini juga gua gunakan untuk memperkenalkan Paul dan Lita ke rekan marketing baru gua. Begitu pula Lita yang juga memperkenalkan rekan sesama tim campaign ke gua.
Menjelang makan siang, kami akhirnya mendapat giliran mengambil laptop dan akun email kantor. Setelahnya, kami memutuskan untuk makan siang bersama dan lanjut membeli kopi di coffee shop di lobby lantai dasar gedung.
Jam menunjukkan hampir pukul setengah dua siang. Sudah setengah jam lebih kami terlambat untuk kembali masuk ke kantor. Sebagai karyawan baru yang belum genap sehari bekerja tentu saja kami kelimpungan, mana antrian di coffee shop nggak kunjung berkurang.
Akhirnya kami memutuskan untuk ‘mengorbankan’ satu orang untuk tinggal di Coffee shop, mewakili teman-teman lainnya mengantri membeli kopi yang sudah terlanjur dipesan via online. Sisanya, bergegas kembali ke kantor di lantai atas. Apesnya, proses pengambilan keputusan dibuat dengan hompimpa, dan gua kalah.
“Good luck ya Lad” Ucap Paul sambil tersenyum kemudian keluar dari antrian dan pergi bersama yang lain.
“Hhh…” Gua nggak punya kuasa menolak. Keputusan sudah dibuat.
5 menit, 10 menit, 15 menit berlalu. Antrian tak kunjung berkurang. Beberapa orang yang mengantri di depan gua juga terlihat gelisah, mereka melongok, berjinjit, mencoba mencari tahu apa yang membuat antrian menjadi terhambat.
Ternyata, mesin pembuat kopi; rusak.
“Yaah…” Beberapa pelanggan dalam antrian mengeluh bersamaan. Salah satu orang bahkan memaki dengan suara lantang; “Ngomong dari tadi kek!”
Gua lantas meraih ponsel dan menghubungi Paul untuk memberikan informasi terkait hal ini. Mengikhlaskan pesanan kopi kami dan bersiap kembali ke atas. Saat tengah berbalik, terlihat seorang pria dengan kaos oblong hitam, celana jeans dan sendal jepit berdiri tepat di hadapan gua; Jeje.
“Mau kemana?” Tanyanya.
Gua mendongak dan menatap wajahnya, hampir sebulan tak bertemu, tak berkirim pesan bahkan tak saling ngobrol melalui telepon. Gua jelas rindu setengah mati. Disisi lain, masih ada rasa malu yang tersisa karena ajakan ngedate gua waktu itu ditolaknya. Dan, ada rasa kesal karena selama ini ia sama sekali nggak mencoba menghubungi gua dengan mengirimkan pesan.
Terdiam, tak bicara, gua hanya mendongak dan menatap ke arahnya.
“Mau kemana?” Tanyanya lagi.
“Ke atas. Mesin kopinya rusak” Jawab gua seraya menunjuk ke arah antrian.
“Ke atas mana?” Tanyanya lagi.
“Ke kantor..” Gua menjawab pelan. Baru sadar kalau Jeje belumlah mengetahui tentang pekerjaan baru gua ini.
Tiba-tiba, ia meraih tangan dan membawa gua keluar dari coffee shop, menyusuri lobby lantai dasar, menuju ke coffee shop populer yang berada nggak begitu jauh dari gedung kantor. Tak ada percakapan diantara kami berdua sepanjang perjalanan ke coffee shop, gua hanya terdiam sambil memandangi tangannya yang menggenggam pergelangan tangan gua.
Kami masuk ke Coffee shop, Jeje melepas genggaman tangannya dan langsung menuju ke counter untuk memesan kopi. Ia berpaling dan bertanya; “Lo apa?” Tanyanya.
“Mmm.. Iced Americano” Gua menjawab cepat, kemudian melanjutkan; “.. Tiga, Green Tea Latte tiga, Vanilla Cold Brew tiga..”
“Buset…” Jeje menggumam pelan begitu mendengar jumlah pesanan gua yang merupakan titipan.
Jeje lalu berpaling kembali ke pramusaji dibalik counter dan mulai memesan menu sesuai dengan apa yang barusan gua sebutkan.
“Lo mau jualan?” Tanyanya ke gua setelah selesai memesan dan kami duduk di salah satu meja disudut ruangan.
“Buat temen-temen..”
“Oh..”
“Oiya, gue lupa mau ngasih tau lo, kalo gue udah kerja di tempat baru. Tapi, masih di gedung yang sama”
“Iya, udah tau..”
“Hah? Tau darimana? Ghina?” Tanya gua dan mulai memberi tebakan.
Jeje nggak menjawab, ia hanya tersenyum kecut.
“... Terus lo ngapain disini?” Gua mengganti pertanyaan karena nggak mendapat jawaban dari pertanyaan sebelumnya.
Lagi, ia nggak menjawab, hanya tersenyum. Setelah gua melayangkan pukulan ke tangannya dengan menggunakan dompet, barulah ia menjawab sambil meringis; “Mau ketemu lo..”
Mendengar jawabannya barusan tentu saja bikin gua Ge-er. Tapi, saat teringat kalau selama dua minggu ini ia sama sekali nggak mencoba mengirimi pesan, rasa kesal kembali singgah; “Alah… Gue nggak ada kabar berminggu-minggu aja, lo boro-boro nyariin gue..” Seru gua seraya berlagak merajuk dan memalingkan wajah.
‘Atas nama Kak Lady..’ Seru seorang pramusaji dari balik counter pelayanan.
Jeje berdiri dan mengambil kopi pesanan kami yang ia atas namakan gua.
Ia meraih satu iced Americano dari dalam paper bag beralas karton dan menyerahkan sisanya ke gua. “Thank you.. Berapa semuanya?” Tanya gua ke Jeje.
“Apanya?”
“Harganya…”
“Nggak usah, gua traktir…” Jawab Jeje.
“Punya gue aja yang lo traktir, punya yang lain nggak usah…” Ucap gua, nggak mau teman-teman lain mendapat perlakuan ‘khusus’ dari Jeje berupa traktiran; ‘Enak aja’ batin gua dalam hati.
“Gapapa, sekalian…” Jeje merespon santai.
Jeje terus bersama gua hingga kami berada di lobby lift lantai dasar. “Udah sampe sini aja…" Ucap gue ke Jeje. Seraya berjalan masuk ke area lobby lift dan meninggalkan Jeje berdiri sendirian.
Melalui pantulan pintu lift, gua mendapati Jeje sudah berdiri tepat di belakang gua. Gua berpaling, menatapnya sambil menyipitkan dahi; “Ngapain?” Tanya gua, merujuk ke keberadaannya disini; di lobby lift.
Ia nggak langsung menjawab, lalu meraih paper bag berisi kopi dari tangan gua; “Nganterin lo” Ucapnya.
Gua mengernyit, mengambil kembali paper bag berisi kopi dari tangannya, lalu membatin dalam hati; ‘Kenapa sih nih orang dari tadi flattering mulu..’ batin gua dalam hati, sambil terus mencoba menatapnya melalui pantulan pintu lift.
‘Ting’ Pintu lift terbuka.
Gua buru-buru masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka 19, Jeje mengikuti masuk ke dalam. Saat itu, hanya kami berdua di dalam ruang lift. Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah yang menderu, disusul gerombolan karyawan kantor lain yang langsung masuk dan memenuhi lift, membuat gua dan Jeje terdorong ke dalam, terhimpit.
Jeje berdiri di hadapan gua, kedua tangannya ia sandarkan pada kedua sisi dinding lift. Dengan tubuhnya Jeje mencoba menahan dorongan orang-orang agar nggak menghimpit gua.
Dari tempat berdiri, gua menatap punggungnya, punggung seseorang yang berhasil membuat dunia gua berubah, seseorang yang sukses bikin hati ini amburadul nggak karuan. Perlahan dan tanpa perintah dari otak, Gua lalu menyandarkan kepala di punggungnya. Ingin rasanya gua memeluk tubuhnya saat ini, tapi apa daya, salah satu tangan gua menenteng paper bag berisi kopi.
‘Ting’ pintu lift terbuka, layar digital kecil di atas tombol menunjukkan angka 15. Sebagian besar ‘penumpang’ di dalam lift keluar. Kini tersisa 4-5 orang di dalam lift. Walau kini kondisi di dalam lift sudah lengang, Jeje nggak merubah posisi. Begitupun dengan gua, yang masih menyandarkan kepala di punggungnya.
Menjelang lantai 19, gua bicara ke Jeje sambil berbisik; “Udah pulang sana…”
‘Ting’ Pintu lift kembali terbuka tepat di lantai 19, gua bergegas keluar. Sementara dari ekor mata gua melihat Jeje juga mengikuti keluar dari dalam lift.
“Ngapain sih?!” Seru gua sambil berbalik ke arahnya. Tentu saja bermaksud menanyakan apa maksud dari semua ini, tujuan dari ia terus mengikuti gua sejak dari coffee shop hingga kesini.
“Apaan?” Ia balik bertanya.
“Iya, gue tau lo kangen. Tapi, ini gue baru hari pertama kerja lho. Udah lo pulang sana, nanti gue telpon…” Ucap gua sambil berlagak kesal, lalu berbalik dan melanjutkan langkah sambil tersenyum lebar; ‘Ternyata emang beneran kangen sama gue kan?’.
Di ruangan, rekan-rekan yang lain menyambut gua dengan lambaian tangan, memberi kode ke gua agar mempercepat langkah.
“Apaan?” Tanya gua begitu sudah berada diantara mereka.
“Disuruh kumpul sama Kak Desi” Ucap Fitri, lalu matanya menatap ke arah paper bag berlogo putri duyung warna hijau di tangan gua; “Hah, lo akhirnya beli kopi itu?” tambahnya.
“Iya…”
Dari kejauhan terlihat Desi melambai ke arah kami, sambil menjentikkan jarinya ia berseru; “Let’s go guys..”
Teman-teman yang lain lantas mengambil jatah kopinya masing-masing dari dalam paper bag dan berjalan cepat mendekat ke Desi. Lalu mengikutinya, masuk ke lorong lain di sudut terjauh ruangan; Area yang sama sekali belum pernah kami sambangi.
Lorong dengan model dan style yang sama dengan yang menyambut kami saat baru area kantor, lorong yang akhirnya membawa kami ke sebuah area cukup luas dengan deretan sofa panjang melingkari ruanganan. Di ujung ruangan terlihat kaca besar yang menampilkan pemandangan keluar, memperlihatkan bagian gedung pencakar langit di sekitar bangunan.
“So, guys.. take a seat. Our CEO will be joining us soon..” Ucap Desi sambil berbisik.
Kami lalu duduk bersisian, tak ada yang mau terpisah, menghadap ke arah jendela besar; kagum. Karena mungkin di kantor kami sebelumnya belum pernah ada kaca jendela yang menghadap keluar dengan ukuran sebesar ini.
Lita lalu menyenggol lengan gua, kemudian berbisik; “Lo ngapain beli kopi ini, kan mahal…”
“Bukan gue yang bayar..” Ucap gua, juga sambil berbisik.
“Terus siapa?” Tanyanya lagi.
Tiba-tiba sosok pria berkaos oblong hitam, celana jeans dan sandal jepit dengan gelas plastik berisi iced americano dalam genggamannya masuk ke dalam ruangan. Sontak gua langsung tertegun, nggak percaya dengan kenekatan Jeje yang sampai harus masuk ke dalam kantor hanya untuk menemui gua.
—
The Bangles - Eternal Flame
Close your eyes, give me your hand, darlin'
Do you feel my heart beating
Do you understand
Do you feel the same
Am I only dreaming
Is this burning an eternal flame
I believe it's meant to be, darlin'
I watch you when you are sleeping
You belong with me
Do you feel the same
Am I only dreaming
Or is this burning an eternal flame
Say my name
Sun shines through the rain
A whole life so lonely
And then come and ease the pain
I don't want to lose this feeling, oh
Say my name
Sun shines through the rain
A whole life so lonely
And then come and ease the pain
I don't want to lose this feeling, oh
Close your eyes, give me your hand
Do you feel my heart beating
Do you understand
Do you feel the same
Am I only dreaming
Or is this burning an eternal flame
Close your eyes, give me your hand, darlin'
Do you feel my heart beating
Do you understand
Do you feel the same
Am I only dreaming
Is this burning an eternal flame
Close your eyes, give me your hand, darlin'
Do you feel my heart beating
Do you understand
Do you feel the same
Am I only dreaming, ah
An eternal flame
Close your eyes, give me your hand, darlin'
Do you feel my heart beating
Do you understand
Do you feel the same
Am I only dreaming, ah
Is this burning an eternal flame
Close your eyes, give me your hand, darlin'
Diubah oleh robotpintar 07-04-2023 22:51
jiyanq dan 58 lainnya memberi reputasi
59
Kutip
Balas
Tutup