- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sibli.lpu dan 215 lainnya memberi reputasi
212
298.4K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•45KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#137
#17 The Truth Will Set You Free
Spoiler for #17 The Truth Will Set You Free:
“Well.. I don’t know…”Gua menjawab sambil mengangkat bahu.
“...”
“...Nggak tau deh, awalnya gue juga denial, tapi hati kan nggak kuasa menolak, hehehe..” Gua menambahkan.
“Aneh…” Reni menggumam pelan.
“Kok Aneh, kenapa?”
“Kalo Kak Lady udah lama kenal sama abang, udah tau orangnya kayak gimana, udah tau masa lalunya, tau gimana dia bersikap, wajar kalau jatuh cinta. Tapi kalo baru kenal kan, dia keliatan kayak mas mas biasa. Kok bisa-bisanya lo jatuh hati…”
“Iya sih, makanya gue juga bingung…”
“Yakin nih mau aku ceritain tentang abang?”
“Yakin”
“Reni nggak tanggung jawab ya kalo abis denger ceritanya nanti, Kak Lady tambah jatuh hati sama abang…”
“Ih, buruan ceritain, gue penasaran… Ceritain dari masa Abang lo SMA Ren..”
“Kalo pas abang SMA, Reni masih kecil, nggak begitu inget. Sebenernya kalo mau tau banyak tentang abang, tanya ke Rohman lebih tepat. Soalnya, mereka temen dari kecil.. tapi coba Reni cerita apa yang bisa Reni inget aja ya…”
“Iya gapapa…”
“Abang tuh orangnya nggak mau berbagi beban. Mungkin karena dari kecil udah terbiasa menanggung beban hidup sendirian kali ya. Coba deh perhatiin, setiap kita nawarin bantuan, pasti dia nolak…”
“Eh iya bener bener…”
“Abang juga nggak pernah bener-bener ngerasain hidup ‘Happy’. Masa mudanya abis dipake buat ngurusin Reni, begitu nikah dan punya anak, dia masih harus ngurusin Anggi. Awalnya, Reni juga nggak mau buru-buru married. Reni mau bantuin abang ngurusin Anggi. Tapi, ya kayak yang udah aku bilang tadi. Abang nggak mau Reni bantuin…”
“...”
“... Kadang Reni suka sedih sampe nangis sendiri kalo bayangin abang harus nyuci, masak, ngurusin Anggi sendirian. Masa iya sih, seumur hidupnya abang cuma harus ngurusin orang lain. Terus yang ngurusin abang siapa…” Reni bercerita sambil matanya mulai berkaca-kaca.
“...”
“... Sorry ya kak, malah jadi curhat” Ujar Reni.
“Iya gapapa Ren.. Gue juga sekalian mau tau semua tentang abang lo..”
“Kak Lady tadi sempet diajak makan Bakso Mas Joko kan?” Tiba-tiba Reni bertanya tentang bakso yang sempat ia makan tadi.
“Iya..”
“Menurut Kak Lady enak nggak rasanya?”
“Mmm.. Lumayan sih..”
“Kalo menurut Reni sih nggak enak”
“Lho, tapi kata Jeje lo suka banget sama bakso mas joko itu..”
“Suka. Tapi bukan karena rasanya, tapi karena kenangannya…”
“Maksudnya?”
“Dulu waktu Reni masih kecil, abang selalu bawain Reni bakso Mas Joko itu. Kayaknya, Reni waktu itu masih kelas 2 atau 3 SD ya? lupa deh persisnya, dan Abang udah SMA. Nah, abang tuh dulu sejak SMP, udah kerja di pasar…”
“Hah, kerja?”
“Iya.. Kerja”
“Kerja apa?”
“Apa aja.. Kadang jualan kantong kresek, kadang bantuin bawa belanjaan, jadi kuli panggul, juru parkir, ngupas batok kelapa, apa aja yang bisa dikerjain deh pokoknya. Coba deh Kak Lady perhatiin pundak dan bahu abang, kalo dari belakang kelihatan tinggi sebelah. Karena sisi bahu kanannya keseringan ngangkat barang yang berat...”
“Terus sekolahnya gimana?”
“Abang biasanya bangun subuh, masak, nyiapin sarapan buat Reni, nyuci, terus berangkat ke pasar. Abis dari pasar, abang langsung berangkat sekolah. Nah, nanti pulang sekolah, abang pulang sebentar bawain lauk buat Reni makan, terus bantuin ngerjain PR, baru balik lagi ke pasar…
“...”
“... Biasanya abang pulang sebelum magrib. Dan Reni selalu nunggu abang di teras, berharap abang pulang bawa bakso Mas Joko. Dulu, Reni sering ngambek kalo abang pulang nggak bawa bakso, padahal bisa aja waktu itu abang emang nggak dapet uang sama sekali..” Reni lalu menyeka air mata dengan ujung kaosnya.
Nyatanya, nggak hanya Reni yang bersedih. Mendengar ceritanya tentang Jeje, hati gua juga ikut teriris, pedih. Gua pun ikut berlinang air mata.
“...Abis itu, abang selalu usahakan untuk pulang dengan bawa bakso Mas Joko. Dan abang emang kalo beli cuma satu porsi. Satu porsi untuk kita berdua, makannya pake nasi biar kenyang. Kadang malah, abang cuma makan nasi pake kuahnya aja, karena baksonya Reni abisin..”
“Terus buat bayar uang sekolah gimana Ren?”
“Ya itu, pake duit hasil abang kerja di pasar..”
“Emang cukup?”
“Cukup kok, kan cuma bayar uang sekolah Reni aja. Abang kan sekolahnya gratis, dapet beasiswa..”
“Serius?”
“Iya, pokoknya dari SD abang nggak pernah bayaran, semuanya beasiswa”
“Wow…”
“Gimana? makin jatuh hati nggak?” Tanya Reni sambil menyeka air mata dan berusaha tertawa.
“Iya… banget…”
“Kalo emang Kak Lady sayang sama abang, Reni punya satu permintaan”
“Apa?”
“Reni minta tolong jagain Abang. Udah itu aja..”
“I Will” Gua menjawab pelan.
Saat perbincangan masih berlangsung, terdengar suara pintu depan terbuka. Nggak lama Jeje muncul di hadapan kami berdua, tangannya menggenggam plastik putih. “Pada ngapain?"
Ia menatap kami berdua bergantian. Lalu kembali bicara; “Kok kayak abis nangis?”
“Ini abis ngomongin drama korea yang sedih” Reni menjawab, bohong.
Ia lalu berpaling ke gua; “Terus lo ngapain nontonin orang nyuci?” Tanyanya.
“Yee, orang dibilang lagi ngobrolin drama korea..”
“Nih, martabak…” Ujarnya seraya mengangkat plastik putih di tangannya.
“Asyik…” Seru Reni.
Selepas Reni selesai mencuci pakaian, kami bertiga kembali ke ruang tamu. Duduk di kursi sambil menikmati martabak manis yang baru saja dibeli Jeje sekembalinya dari Rumah Haji Ramlan.
“Lo nggak makan?” Tanya gua saat melihat Jeje hanya duduk terdiam sambil menatap layar ponselnya. Sementara gua dan Reni sibuk menjilati sisa coklat keju pada ujung jari.
“Ntar, lo pada makan aja duluan” Ia menjawab, tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
Benar apa kata Reni. Jeje lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Makin jatuh hati gua dibuatnya.
Reni mengambil potongan martabak lalu berdiri; “Reni jemurin baju dulu ya”.
“Besok aja Ren, udah malem…” Ucap Jeje.
“Idih, ntar bau lah bajunya. Orang tinggal jemur doang” Jawab Reni lalu pergi kembali ke belakang.
Kini tinggal kami berdua yang duduk dalam diam di kursi ruang tamu. Gua menikmati potongan martabak, dan Jeje masih sibuk menatap layar ponselnya. Cahaya terang memantul di wajahnya, dengan tatap matanya yang sendu. Barulah gua sekarang mengerti, apa arti dari ekspresi wajahnya yang selalu terlihat penuh beban.
Beban hidup yang selama ini ia tanggung, tanpa pernah beristirahat.
—
Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Reni sudah sejak tadi masuk ke dalam kamar, sementara gua dan Jeje masih duduk berdua di kursi ruang tamu, masih dengan sedikit perbincangan.
“Gue pulang ya”
“Mau dianterin nggak?” Tanya Jeje.
“Dianter? terus lo ntar baliknya naik apa?” Gua balik bertanya.
“Ojek…”
“Nggak usah deh…” Respon gua, lalu meraih kunci mobil dari atas meja dan bersiap untuk pulang.
Jeje berjalan mengikuti langkah gua dari belakang, menuju ke pelataran rumahnya dimana mobil gua terparkir. Saat baru keluar dari teras rumah, tiba-tiba ia meraih lengan dan membuat gua berbalik menghadap ke arahnya. Ia menaikkan hoodie sweater yang gua kenakan hingga menutupi kepala.
“Lo kenapa?” Tanya nya pelan.
“Apanya yang kenapa?” Gua balik bertanya, sambil menunduk, nggak punya nyali untuk menatapnya.
“Biasanya lo ketus. Kok sekarang tiba-tiba jadi ramah?”
“Mmm.. ya gue ketus kan kalo lagi kesel aja..” Jawab gua beralasan.
“Good to know. Gua pikir ketus dan nyebelin itu tabiat lo. Ternyata, cuma lagi kesel aja”
“Iya…”
“Berarti selama ini lo kesel sama gua?” Tanya Jeje.
“Dikit..” Gua menjawab singkat.
Ia lalu meraih kunci mobil dari genggam gua, menekan tombol digital berlogo gembok untuk membuka kunci. Terdengar suara ‘beep’, kemudian Jeje membuka pintu dan membiarkan gua masuk. Ragu, gua masuk dan duduk di kursi depan bagian penumpang. Jeje kembali ke arah rumah, menutup dan mengunci pintu lalu masuk ke dalam mobil melalui pintu pengemudi.
Mobil tak langsung dinyalakan. Kami hanya terdiam, menatap kosong ke depan.
“Gue kan bisa pulang sendiri” Gumam gua pelan.
“Gapapa, gua sekalian mau ngomong sama lo” Jawabnya. Ia lalu menekan tombol power, suara deru mesin mobil menderu pelan. Kami lalu pergi.
'Duh mampus! Jangan-jangan dia mau nembak gue malam ini. Gimana dong? langsung terima apa tarik ulur dulu ya?' Gua membatin dalam hati seraya berlagak membetulkan rambut.
Walaupun sudah cukup larut, jalan yang membawa kami menuju ke tempat kost gua masih terbilang ramai dipadati kendaraan. Mungkin dampak hujan deras seharian yang meninggalkan genangan membuat antrian akibat kendaraan tersendat. “Untung nggak banjir” Jeje menggumam pelan saat kami melewati genangan air setinggi tumit.
“Lo mau ngomong apa?” Tanya gua sambil menatap air yang menggenang di sekitar mobil melalui jendela.
“Reni tadi cerita apa aja?” Ia balik bertanya. Rupanya Jeje sudah mengira kalau kami terlibat dalam obrolan tentang dirinya.
“Orang dibilang lagi bahas drakor…” Gua berbohong lagi. Masih berusaha mencari jawaban yang tepat jika ia benar-benar menyatakan cintanya malam ini.
“Bohong”
Gua terdiam sebentar, sebelum memberi jawaban. “Gue cuma nanya-nanya tentang lo ke Reni aja kok…” Kali ini gua menjawab jujur.
“Emang apa sih yang menarik dari hidup gua sampe lo pengen tau” Tanyanya.
“Nggak tau deh, penasaran aja”
“Kalo ada yang lo mau tau, tanya langsung ke gua aja”
“Udah, gue udah pernah nanya ke elo dan nggak dapet jawaban”
“Kapan?”
“Waktu itu, gue pernah beberapa kali tanya tentang ibunya Anggi dan lo nggak pernah ngasih jawaban”
“Oh… Tapi sekarang udah tau jawabannya kan?” Tanyanya.
“Udah tapi nggak komplit”
“Ya nanti kapan-kapan gua ceritain”
“Kapan-kapan itu kapan? kenapa nggak cerita sekarang aja?”
“Ya kapan-kapan”
“Ih…”
Kami lalu kembali terdiam. Jeje fokus mengemudi, sementara gua sengaja pasang tampang cemberut dan memandang ke luar jendela.
“Seberapa suka lo sama profesi lo yang sekarang?” Tiba-tiba Jeje bertanya, jauh dari topik sebelumnya.
“Hah?”
“Seberapa suka lo sama profesi lo yang sekarang?” Ia mengulang pertanyaannya.
“Kok tiba-tiba belok banget topik pembicaraan kita” Gua memprotes karena merasa topik pembicaraan jadi semakin jauh dari apa yang gua harapkan.
“Udah jawab aja”
“Kasih skala dong, biar gue gampang jawabnya”
“Mmm.. oke dari satu sampe sepuluh, seberapa suka lo sama profesi lo yang sekarang?”
“Delapan, eh.. sembilan deh…” Gua menjawab cepat.
“Oke, sekarang, dari satu sampai sepuluh, seberapa suka lo kerja di perusahaan sekarang?”
“Mmm.. enam, nggak, enam setengah deh..”
“Oh wow, berarti nggak begitu seneng dong lo kerja di kantor yang sekarang?”
“Kalo lo nanya itu kemarin, mungkin gue bakal kasih angka 8 atau 9. Baru hari ini penilaian gue akan kantor turun jadi 6..”
“Gara-gara surat peringatan, karena kesalahan lo sendiri?” Tanyanya lagi.
“Iya dan tidak…”
“Hah?”
“Hari ini gue udah ngaku salah dan fine-fine aja kalo emang harus dapet surat peringatan. Tapi ternyata, gua malah dapet Final warning. Sedangkan temen-temen yang lain, yang juga pernah dapet punishment cuma dapet surat peringatan biasa aja.. Berarti, cuma butuh satu kesalahan kecil lagi buat bikin gue dipecat..”
“Oya? Tapi kan lo juga cuma ngasih nilai enam setengah buat kantor lo. Jadi, lo tetep bisa cari kerja di tempat lain…”
“Iya sih. Tapi gue kayaknya bakal sakit hati kalo sampe dipecat cuma gara-gara kesalahan sepele..”
“Sepele kan menurut lo. Buat perusahaan bisa aja beda..”
Gua berpaling dan menoleh ke arahnya; “Lo tuh sebenernya belain siapa sih?”[/I]
“Belain elo. Tapi kan gua harus objective juga…”
“Udah ah, males gue ngomongin itu lagi” Gue merespon dengan ketus.
Tiba-tiba Jeje tertawa.
“Kenapa?” Tanya gua saat melihatnya tertawa.
“Gapapa. Ternyata bener. Lo cuma ketus pas lagi kesel aja. Jadi penasaran, apa yang selama ini bikin lo kesel sama gua..”
“Rahasia.. ntar kapan-kapan gue kasih tau” Ucap gua, membalas perkataannya tadi.
“Kapan-kapan itu kapan?” Kini Jeje yang balik bertanya.
“Ya kapan-kapan” Gua menjawab sambil tersenyum.
Beberapa menit berikutnya, kami sudah tiba di depan bangunan kost. Jeje menghentikan mobil dan bersiap untuk keluar. Namun, dengan cepat gua menarik lengannya agar ia nggak langsung keluar; “Disini aja..”
“Ya gua kan mau balik, mau pesen ojek dulu..” Ucapnya.
Gua mengangkat ponsel dan menunjukkan layarnya ke Jeje. Layar ponsel yang menunjukkan aplikasi ojek online; “Ini gue lagi pesenin ojeknya. Tunggu aja disini..”
“Gua mau ngerokok…”
“Yaudah tinggal buka aja jendelanya”
Jeje lantas menurunkan jendela, meraih bungkusan rokok dari saku celana, mengambil sebatang dan mulai menyulutnya. Gua merubah posisi duduk, menghadap ke arahnya yang tengah merokok. Sementara tangan kanannya yang memegang rokok dikeluarkan melalui jendela.
“Kalo seandainya gue dipecat, gimana?” Tanya gua pelan.
“Masih banyak perusahaan lain..” Jeje menjawab pelan. Nada suaranya penuh keyakinan.
Entah kenapa kali ini gua merasakan ketenangan saat mendengarnya. Nada suaranya, gaya bicaranya, ekspresinya, berhasil memberi keyakinan di dalam hati. Selang beberapa saat, seorang pengendara ojek online datang. Ia berhenti tepat di depan gerbang kost, mengeluarkan ponsel sementara kepalanya celingukan.
“Udah dateng tuh ojeknya…” Ucap gua seraya menunjuk ke si pengendara ojek.
“Oh.. yaudah gua balik ya..”
"Je..." Panggil gua sebelum ia keluar dari mobil.
"Ya?"
"Udah, itu aja yang mau lo omongin?"
"Iya.."
"Bener?"
"Bener"
"Yakin nggak ada hal lain yang mau lo omongin ke gue?"
"Nggak ada" Jeje menjawab cepat.
"Ih.. Yaudah sana, sana.." Balas gua seraya mendorong tubuhnya keluar dari mobil
"Bye"
“Ati-ati…” Gua berseru pelan.
—
ADA BAND - Bilakah
Sejenak ku sadar
Harapku mulai sirna
Mengguncang sisi jiwaku
Hasratpun meronta, merebak dalam tanya
Adilkah dunia bawaku melangkah
Tatap cermin diri
Cari jawab akan tanya
Gelap hampa tiada warna
Sudah hapus saja bila raga lelah 'tuk mencari
Adilkah dunia bawa ku melangkah
Oh .. bilakah semua kan menjadi nyata dalam hidup ini
Oh .. bilakah cintaku selalu terasa abadi
Selamanya
Pudar hilang sudah
Anganku kan dirimu
Tinggal luka batinku
Laraku mendera, mendekam dalam rasa ini
Adilkah dunia bawaku melangkah
Bayang dirimu mendekap manja
Menjelma mesra bak mentari menyapa dunia
junti27 dan 57 lainnya memberi reputasi
58
Kutip
Balas
Tutup