- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
gumzcadas dan 196 lainnya memberi reputasi
193
277K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#116
#15 - The Gorgeous
Spoiler for #15 - The Gorgeous:
Senin pagi.
Memikirkan kalau hari ini bakal kena omel, gua langsung kehilangan semangat. Selesai berpakaian, gua meraih tas jinjing juga tas laptop dan bersiap berangkat. Sesaat sebelum keluar dari kamar, mata gua tertuju ke arah sweater hitam milik Jeje yang tergantung di dinding. Gua meraihnya dan segera berangkat. Seperti hari kerja lainnya, gua bakal do the make-up in the car, sambil membunuh bosan akibat macet.
Jakarta, Senin pagi dan kebetulan pagi ini hujan turun cukup lebat, jadilah kemacetan luar biasa menyambut gua. Satu setengah jam berikutnya, gua sudah tiba di kantor. Gua berjalan menyusuri lantai coran basement menuju ke lobby lift. Begitu masuk ke dalam lobby basement, terlihat pintu lift hampir menutup, sontak gua berteriak dan berlari; “Tunggu…”
Dengan cepat seorang perempuan mengulurkan tangannya, mencoba menahan pintu lift yang hampir saja menutup.
“Thank you”Ucap gua begitu masuk ke dalam lift.
“Udah sehat, Lad?”
Gua berdiri, menatap perempuan yang berdiri di hadapan gua. Perempuan yang merupakan atasan gua langsung, Head of Marketing. Perempuan yang terkenal karena cantik dan pintar luar biasa; Kak Dina.
“Udah Kak, makasih ya kemaren makanannya” Jawab gua tanpa berani membalas tatapannya.
“Iya sama-sama..” Jawabnya singkat. Awalnya, gua pikir Kak Dina bakal langsung ngomel begitu bertemu gua. Nyatanya, ia bersikap seperti biasa, layaknya tak terjadi apa-apa.\
Selain pintar dan cantik, ia juga merupakan sosok yang cukup eksentrik. Kadang Kak Dina mewarnai rambutnya dengan warna merah, bulan berikutnya warna hijau, bulan berikutnya warna biru. Mungkin sudah tak ada lagi pilihan warna yang kini bisa digunakan saking seringnya ia berganti warna rambut.
Kak Dina juga sering terlihat menggunakan kacamata hitam saat berada di dalam ruangan. Entah ingin terlihat keren atau apa. Anehnya, ia selalu mengenakan kacamata yang sama, kacamata hitam usang dengan tambalan plester luka pada kedua tangkainya. “Dengan gajinya sebagai Head of Marketing, gue rasa dia mampu lho ganti kacamata” ucap Ghina, suatu saat.
Ia juga sempat tertimpa gosip tak sedap. Kak Dina pernah digosipkan ada affair dengan CEO perusahaan; Mas Izar. Jujur, diluar itu gosip atau bukan, Kak Dina dan Mas Izar merupakan pasangan yang cocok. Kak Dina-nya cantik dan pintar, sementara Mas Izar kaya, ganteng dan ramah.
“Ting” pintu lift terbuka. Namun tak ada siapapun di luar. Kak Dina dengan cepat menekan tombol ‘tutup’ di sisi lift. Saat ia tengah menekan tombol, terlihat sebuah tato di punggung tangan sebelah kanannya, tepat diantara ibu jari dan telunjuk. Sebenarnya gua sudah lama tahu tentang tato tersebut, Tato berukuran kecil yang selama ini jadi tebakan para karyawan lain karena bentuknya yang abstrak.
Lift sudah sampai ke lantai yang kami tuju. Begitu pintu lift terbuka, gua langsung menghambur keluar dan berjalan cepat menuju ke meja kerja, Tak mau berlama-lama berduaan dengan Kak Dina. Ghina yang duduk tepat di sebelah gua terlihat tengah merapikan makeup di wajahnya. Begitu melihat gua datang, ia langsung melotot dan memukul bahu gua berkali-kali. Pukulannya berhenti ketika gua berbisik kepadanya; “Gue ketemu Kak Dina di lift”
“Hah, Terus-terus?”
“Tapi dia biasa aja, nggak ngomong apa-apa” Jawab gua sambil mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Layar laptop berpendar sebentar dan mulai menampilkan desktop. Sebuah notifikasi kalender muncul di sudut kanan atas layar. Gua meng-klik notifikasi pesan tersebut yang lalu memunculkan detail jadwal meeting yang akan berlangsung beberapa menit lagi.
“Meeting Ghin…” Ucap gua ke Ghina, yang masih sibuk memoles wajahnya.
“Hah, meeting apaan sih pagi-pagi?” Keluh Ghina kemudian membereskan perlengkapan make up miliknya.
Gua menutup layar laptop, berdiri dan bersiap menuju ke ruang meeting. Sementara Ghina berjalan cepat menyusul gua sambil sesekali membetulkan posisi jilbabnya. Ruang meeting sudah hampir penuh begitu kami berdua masuk, hanya menyisakan bangku di bagian paling depan dekat dengan white board, gua dan Ghina terpaksa duduk di bangku tersebut.
Nggak berselang lama, Kak Dina masuk. Ia melangkah anggun dengan laptop dalam dekapannya lalu berdiri di depan kami semua. Kak Dina tersenyum sebentar, membuka laptop miliknya dan mulai bicara. Ia mempresentasikan draft campaign untuk bulan depan yang diproyeksikan dengan target dua kali lipat dari campaign bulan sebelumnya.
Sementara, gua hanya berlagak mencatat pada buku catatan, nggak sekalipun berani menatap ke arahnya.
“Oke nanti berarti masing-masing tim bikin draft planning nya ya. Kalo bisa sih Jumat udah kelar. Kalo bisa ya…” Ucapnya sambil tersenyum.
“Oke kak…” Jawab para peserta meeting termasuk Ghina.
“CRM ada pertanyaan nggak?” Tanya Kak Dina dan menatap ke arah gua. Karena suhu yang dingin gua sibuk menggosok telapak tangan seraya menatap layar laptop yang menampilkan prakiraan cuaca hari ini, berharap hujan segera berhenti, agar toko Jeje nggak sepi akibat banjir. Saat itu gua sama sekali nggak tau Kak Dina tengah bertanya ke arah gua.
Ghina dengan cepat menyenggol lengan gua sambil berbisik; “Lad.. Lad”
“Hah” Gua merespon dan berpaling ke arahnya. Namun yang gua dapati malah tatapan Kak Dina dan hampir seluruh peserta meeting mengarah ke gua.
Kak Dina lantas mengulang pertanyaannya; “CRM ada pertanyaan nggak?” Tanyanya pelan sambil tersenyum.
“Oh, so far belum ada sih kak” Jawab gua pelan.
Begitu meeting selesai, satu persatu peserta meeting yang mayoritas adalah tim digital marketing mulai berhamburan keluar. Gua dan Ghina menunggu hingga cukup sepi barulah bersiap untuk keluar. Kak Dina menghampiri, menepuk pelan pundak gua dan mulai bicara; “Lad, ngobrol sebentar yuk” Ucapnya, lalu keluar dari ruang meeting.
“Oh iya kak, bentar gue taro laptop dulu..” Ucap gua, lalu berlari menuju ke meja kerja. Saat tengah meletakkan laptop di meja, gua meraih Sweater hitam milik Jeje pada sandaran kursi kerja dan mulai memakainya; dingin.
“Good luck ya Lad” Ucap Ghina saat melihat gua bersiap menyusul Kak Dina. Gua mengangguk pelan dan bergegas pergi.
Gua berjalan cepat, mencoba mengikuti langkah Kak Dina yang berjalan menyusuri koridor kantor menuju ke ruang meeting yang lebih kecil. Ia membuka pintu kaca ruang meeting dan masuk, gua menyusulnya.
Saat berpaling ke arah gua, ia terlihat cukup kaget. Kaget dengan penampilan gua yang kini sudah memakai sweater kebesaran hingga telapak tangan gua nggak terlihat. Sebagai pribadi yang modis, tentu saja style seperti ini nggak cocok di matanya?
Setelah cukup lama terdiam sambil menatap ke arah gua, ia duduk dan mempersilahkan gua untuk ikut duduk.
“Lad, ini pertama dan terakhir gue ngomong ini ke elo ya. Gue nggak mau kejadian kayak kemaren terulang lagi. Apapun alasannya. Gue bukannya nggak berempati kalo lo sakit atau temen-temen yang lain ada yang sakit. Gue cuma minta dikabarin aja. Jadi, kita bisa prepare segala sesuatunya. Coba kalo kayak kemaren, kita masih berpikir lo bakal dateng, sementara lo sama sekali nggak bisa dihubungi…”
[/I]“Iya kak, So Sorry…”[/I]
“Urusan maaf sih gue udah terima. Lo tau gue kan? Kalo kerjaan lo bagus, gue biasa kasih reward, tapi sebaliknya, kalo ada kejadian kayak kemaren, gue juga harus kasih punishment..” Ucapnya. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas dari lipatan laptopnya dan menyerahkannya ke gua.
Gua menerima kertas tersebut dan membaca judulnya; ‘Letter of Final Warning’.
“Tapi kak, aku kan baru gini sekali. Ini kok udah Final Warning?” Tanya gua, mencoba mencari keadilan.
“Di kamus gue nggak ada surat peringatan kesatu, kedua dan seterusnya. Gue cuma mau kasih kesempatan satu kali. Nggak ke elo doang kok, temen-temen yang lain juga sama…” Kak Dina menjelaskan.
Gua menghela nafas panjang dan dengan berat hati menandatangani surat tersebut.
“Thank You..” Ucap Kak Dina saat menerima kembali surat yang sudah gua tanda tangani.
“...” Sementara gua hanya terdiam, nggak menjawab.
“... Well, nothing personal ya Lad. Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan hubungan pribadi kita. Ini murni urusan kerjaan…” Kak Dina menjelaskan.
“Iya Kak..”
“Ok. Udah gitu aja sih..”
“Gue boleh pergi nih?” Tanya gua seraya menunjuk ke arah pintu ruang meeting. Kak Dina lalu mengangguk sambil tersenyum.
Saat gua baru saja akan keluar dari ruangan, Kak Dina kembali bicara; “Lad, style oversize Sweater kayak gitu emang lagi hype ya?”
“Hahaha…” Gua merespon dengan tertawa, lalu bergegas keluar.
Begitu kembali ke meja kerja, Ghina langsung menyambut gua dengan pertanyaan; “Gimana? apa katanya?”
“Di SP gue..” Gua menjawab seraya menjatuhkan diri di kursi.
“Gapapa, santai.. Gue juga udah pernah dapet SP dari dia”
“Hah, kapan? kok lo nggak pernah cerita..”
“Dulu, waktu lo belum masuk sini. Sebulan setelah gua dapet ‘surat cinta’ dari dia, baru lo masuk…” Ghina menjelaskan.
“Gara-gara apaan?” Tanya gua.
“Salah input budget ads…” Jawab Ghina sambil tersenyum.
“Wah, kalo gue jadi Kak Dina sih lo gue pecat..”
Menjelang sore, Mas Andreas dari divisi People Ops datang ke meja gua dengan membawa amplop coklat besar. “Mbak Lady ya?”
“Iya..”
“Ini salinan surat peringatannya ya mbak” Ucapnya seraya menyerahkan amplop coklat tersebut ke gua.
“Oh iya, makasih ya mas” Balas gua dan meraih amplop coklat tersebut.
Begitu Mas Andreas pergi, Ghina langsung merebut amplop coklat tersebut dari tangan gua dan mengeluarkan isinya. Ia langsung menampilkan ekspresi super terkejut begitu melihat isi surat tersebut; “Final Warning?” Gumamnya.
“Iya, emang pas lo di SP, bukan Final Warning?” Gua balik bertanya.
Ghina lalu menoleh ke arah gua dan menggelengkan kepalanya.
“Kemaren si Aci juga dapet SP tapi, bukan Final warning kok” Ghina menambahkan.
‘What the fuck! Kak Dina bilang semua diperlakukan sama’ batin gua dalam hati. Lalu meraih lembaran surat tersebut dari tangan Ghina dan bergegas menghampiri Kak Dina di mejanya.
Terlihat Kak Dina tengah duduk di meja kerjanya sambil melakukan panggilan dengan ponsel di telinganya. Gua mendekat dan berdiri tepat di sebelahnya. Ia melirik ke arah gua sebentar, kemudian memberi tanda agar gua menunggu.
Begitu ia selesai dengan panggilan teleponnya, gua lantas meletakkan surat peringatan di atas mejanya. “Kata lo, semua diperlakukan sama? terus kenapa cuma gue doang yang dapet Final Warning. Yang lain nggak” Seru gua ke Kak Dina.
Ia nggak menjawab, hanya terdiam lalu menatap gua.
“... Kata lo, nothing personal. Tapi, kenapa gue di treat berbeda?” Gua menambahkan, kini dengan nada sedikit lebih tinggi.
“Ya, gue baru bikin peraturan itu hari ini…” Kak Dina menjawab dengan santai. Ia bahkan nggak menatap gua.
“Gue nggak mau. Gue mau diperlakukan sama kayak yang lain..”
“Oh, gitu? jadi lo nggak mau nerima ini? tapi lo udah tanda tangan lho, Lad?”
“Nggak, pokoknya gue nggak mau”
“Yaudah, gini aja deh.. Karena gue juga nggak bisa nih langsung nyabut surat yang udah masuk ke People Ops. Jadi tunggu dua sampe tiga hari kedepan, gue bakal revisi suratnya…” Ucap Kak Dina.
Gua hanya diam, nggak mau langsung percaya dengan ucapannya. Lalu mengambil kembali surat peringatan di atas mejanya dan pergi.
Sisa hari itu, gua sudah kehilangan mood untuk bekerja. Sambil duduk, menopang dagu dengan tangan, gua menatap layar laptop yang menampilkan kompilasi video lucu. Dan gua terus seperti itu hingga sore menjelang.
“Hhh…” Gua menghela nafas seraya meregangkan tangan ke atas.
“Kenapa? capek?” Tanya Ghina.
“Pegel…” Gua menjawab singkat.
“Cuma nonton youtube aja pegel” Balasnya.
“Emang lo pikir nonton youtube nggak pake tenaga” Gua merespon. Lalu menutup layar laptop, memasukkannya ke dalam tas dan bersiap untuk pulang.
“Lo udah mau balik?” Tanya Ghina.
“Iya…”
“Ah baru juga jam 4…”
“Ya ngapain, gue disini juga nggak bisa kerja, mending pulang, tidur..” Gua menjawab. ‘Atau ketemu sama Jeje’
Gua berjalan cepat melalui koridor kantor menuju ke lobby lift. Dari sudut terjauh ruangan terlihat Kak Dina tengah duduk sambil menatap ke arah gua. Kali ini gua nggak lagi menghindari tatapannya, gua justru dengan santai balik memandangnya. Ingin menunjukkan kalau gua tengah ‘mencari’ keadilan. Iya gua tau dan setuju kalau gua salah. Gua nggak mendebat hal itu. Hanya merasa ‘dibohongi’ dengan ucapannya tadi.
Nggak langsung pulang, gua mampir ke coffee shop di Lobby lantai dasar gedung untuk membeli Kopi. Gua tertegun saat tiba di depan coffee shop, terlihat Jeje tengah duduk bersama dengan seorang wanita cantik berpenampilan kece. Sementara, Anggi juga terlihat duduk diantara mereka.
Gua menghentikan langkah. Sambil memeluk tas, gua berdiri di depan dinding kaca depan coffee shop menatap ke arah mereka bertiga. Pikiran gua mulai berasumsi, menebak kalau jangan-jangan perempuan yang tengah bersama Jeje saat ini adalah mantan istrinya. Tebakan gua semakin mendekati kenyataan saat melihat ketiganya ngobrol begitu cair, si perempuan bahkan beberapa kali membelai kepala Anggi.
Rasa cemburu, marah, kesal dan kecewa bercampur menjadi satu. Gua membatalkan niat untuk membeli kopi, berbalik dan pergi ke area lobby, lalu duduk di salah satu sofa panjang disana.
Baru beberapa menit duduk di area Lobby lantai dasar gedung, sebuah tepukan pelan membuat gua berpaling. Dan mendapati Anggi tengah berdiri sambil tersenyum ke arah gua; “Tante Cantik…”
Gua tersenyum dan langsung memeluknya. Sementara, Jeje terlihat berdiri di belakang Anggi. Ia terlihat mengenakan kaos oblong dan celana jeans yang biasa ia kenakan saat berjualan di toko. Di tangan kanannya ia menggenggam botol air minum berwarna pink milik Anggi.
“Lo ngapain?” Tanya gua ke Jeje.
“Ada urusan” Jawabnya singkat.
“Urusan apa?” Tanya gua lagi, penasaran dengan jawaban apa yang akan ia berikan ke gua.
Tiba-tiba, Anggi menarik lengan gua, mengajak untuk melihat dekorasi akuarium besar di salah satu sudut lobby gedung. Gua berdiri dan mengikuti Anggi, namun mata gua tetap mengarah ke Jeje; ingin segera mendapat jawaban darinya.
Jeje mendekat dan berdiri tepat di sebelah gua, sementara Anggi sibuk berlarian kesana kemari mengikuti gerakan ikan berukuran super besar yang berada di akuarium. “Dingin?” Tanya Jeje sambil melirik ke arah sweater hitam miliknya yang gua kenakan.
“Eh.. Mmm, iya.. tadi pagi pas berangkat kan ujan, dingin, jadi gue pake aja sweater lo. Gapapa kan?” Ucap gua. Kali ini gua bertekad untuk nggak lagi bicara ketus padanya. Sekarang gua sudah siap untuk ‘bertarung’, berkompetisi dengan perempuan cantik mantan istri Jeje.
“Gapapa, pake aja…” Jawabnya singkat.
“...”
“.. Anggi, ayo nak pulang. Nanti keburu hujan lagi..” Ajak Jeje ke Anggi.
“Yuk gue anterin…”
“Nggak usah, kita naik bis aja…”
“Gapapa, gue kan sekalian pulang”
Jeje lalu menatap ke arah tas laptop dan tas jinjing yang gua bawa. Lalu mengangkat lengan, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Baru jam 4 lo udah mau balik?” Tanyanya.
“Iya, lagi nggak mood kerja” Jawab gua.
“Oiya, gimana jadinya? diomelin nggak?”
“Diomelin.. di kasih surat peringatan pula”
“Gapapa, cuma dikasih surat peringatan doang. Nggak sampe potong gaji apalagi di pecat kan?”
“Udah ah, males bahas itu. Yuk..” Gua lalu berpaling ke Anggi dan memanggilnya; “Anggi.. Yuk..”
---
TIKET - Abadilah
Aku telah jatuh hati
Hanya kepadamu yang membasuh perih ini
Jujurkanlah hati, takkan dusta mengalir
'Tuk dirimu
Duhai pemaisuriku
Kan kuletakkan engkau di tempat yang terindah
Menemani aku, menepis sendiriku
Bersamamu
Demi waktu yang berlalu
Demi hasrat memanggilku
Untuk mengungkapkan rasa
Cinta
Duhai pemaisuriku
Kan kuletakkan engkau di tempat yang terindah
Menemani aku, menepis sendiriku
Bersamamu
Demi waktu yang berlalu
Demi hasrat memanggilku
Untuk mengungkapkan rasa
Cinta
Endapkan sepi laraku
Mohon singkirkan takutmu
Abadilah rasa cinta
Selamanya
Demi waktu yang berlalu
Demi hasrat memanggilku
Untuk mengungkapkan rasa
Endapkan sepi laraku
Mohon singkirkan takutmu
Abadilah rasa cinta
Selamanya
Diubah oleh robotpintar 05-04-2023 16:43
jiyanq dan 58 lainnya memberi reputasi
59
Kutip
Balas
Tutup