Kaskus

Story

watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
AMURTI
AMURTI

Season 2 dari Awakening : Sixth Sense


Sinopsis : 


Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.

Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.

Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.




INDEKS :














UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU

Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita

Diubah oleh watcheatnsleep 12-04-2023 21:06
key.99Avatar border
xue.shanAvatar border
junti27Avatar border
junti27 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
8.9K
92
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
#15
CHAPTER 5
Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu berganti, hingga bulan demi bulan terlewatkan. Tak kusangka rutinitasku selama ini seakan berhasil mengelabui waktu. Tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja di restoran ini.

Semenjak melayani pertemuan antar keluarga Riska dan Viktor, aku resmi diangkat menjadi waiter di restoran itu. Sifatku yang introvert awalnya membuatku sulit untuk ramah dengan orang asing. Ada pepatah yang mengatakan, alah bisa karena biasa. Karena sudah terbiasa berjumpa dengan orang asing setiap harinya, aku pun perlahan bisa menyesuaikan dan membuka diri.

Hubunganku dengan karyawan lain pun kian membaik. Rasa tak nyaman yang kurasakan semenjak dulu telah berubah menjadi sebuah semangat. Tampaknya aku mulai bisa menikmati pekerjaan ini.

Di sisi lain, Viktor sudah jarang menegurku. Sejak pertemuan antara keluarganya dengan Riska, raut wajahnya selalu seperti tampak banyak pikiran. Di dalam hati aku berdoa, semoga dia tetap seperti itu saja, agar aku bisa bekerja dengan plong dan tanpa distraksi.

Gelapnya malam lantas tak mengurangi beratnya beban pekerjaan para karyawan di restoran. Malam itu, semua karyawan terpaksa menjalani kerja lembur, sebab harus menjamu tamu khusus yang tiba-tiba hadir. Walau para karyawan merasa jengkel, mereka tak memiliki nyali untuk mengungkapkannya, sebab para tamu itu adalah rombongan pejabat-pejabat elit yang bersemayam di negeri ini.

Aku panik karena aku sudah berjanji untuk menjemput Melissa malam ini. Tanpa berpikir panjang, kukirim sebuah pesan singkat ke nomor whatsapp Steven.

“Tolong jemput Melissa sekarang dong, Ven. Gua lagi lembur, nih.”

Tak lupa aku melantunkan sebuah missed call di ponselnya, berharap agar dia memperhatikan notifikasi yang muncul. Belum sempat aku memastikan persetujuan Steven, terdengar panggilan urgent dari arah dapur. Aku pun segera memasukkan ponselku ke dalam loker dan kembali bekerja.

“Antar ke private room nomor tiga,” perintah seniorku yang sedang sibuk mengecek hidangan.

Kalutnya malam itu membuatku tak sempat untuk mengecek ponsel. Aku sibuk mengantar hidangan demi hidangan serta melayani permintaan para tamu. Hingga pada saat mereka pulang, ternyata kami sudah bekerja lembur lebih dari dua jam. Samar-samar terdengar beberapa karyawan yang mengumpat karena harus pulang di waktu dini hari.

Saat membuka loker, aku terkejut melihat notifikasi yang telah memenuhi layar ponselku. Notifikasi itu berisikan puluhan missed call dari Steven. Selain itu, ada sebuah pesan singkat darinya yang berisikan ….

“CEPET BALIK!”

<><><>


Sesampainya di kos, aku segera memarkirkan motorku dengan buru-buru. Setelahnya, aku langsung bergegas berlari menuju kamar Steven. Saat posisiku sudah dekat, sekilas terdengar isak tangis seorang wanita dari dalam kamarnya. Jantungku berdebar semakin kencang dan kuberanikan diriku untuk melirik ke dalam.

Di dalam kamar Steven, tampak seorang wanita sedang duduk di pinggir kasur sembari menunduk dan mengusap air matanya. Wanita yang kupandang itu adalah Melissa. Aku menatap Steven dengan raut wajah bingung, seakan bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Steven menghela nafasnya sembari memasang ekspresi menahan emosi.

“Melissa kena jambret,” ucap Steven datar.

Bagai ada petir yang menyambar, aku kaget seketika. Yang pertama kali muncul di pikiranku saat itu adalah, ini pasti terjadi karena kelalaianku.

“Lo gak ada luka apa-apa kan, Mel?” tanyaku panik sembari berlutut mengecek apa ada luka di sekujur tubuhnya.

Melissa cuma bergeleng, masih dalam keadaan tangis sesenggukan.

Dia tiba-tiba memelukku dengan erat. “Tasku hilang, Ram. Semua barang-barang pentingku ada di dalam sana.”

Kuelus rambutnya dengan halus dan kutepuk pelan pundaknya, berharap itu bisa sedikit membantu menenangkan batinnya.

“Nanti aku ganti ya, Mel. Sekarang yang penting kamu tenangin diri dulu.”

Melissa mengangguk pelan. Tampaknya kejadian itu sangat mengejutkan baginya. Begitu juga dengan diriku yang mulai merasakan sesak di dada, yang telah penuh dengan rasa penyesalan.

Tiba-tiba Steven berceletuk, “Mulai seterusnya, gua aja yang antar jemput Melissa.”

Aku sadar bahwa aku salah dan tak ingin masalah ini semakin besar, aku pun menyetujui perkataannya. “Iya, seterusnya lo aja, Ven, tapi jangan sekarang omonginnya,”

“Jadi harus kapan? Waktu lo lembur lagi?” hardik Steven.

Emosiku seketika memuncak, sebab sejujurnya aku merasa situasi ini berada di luar kendaliku.

“Lo pikir gua sengaja lembur?”

“Kenapa gak lo tolak aja lemburnya!” bentak Steven. “Emang lebih penting lembur ketimbang temen lo sendiri?”

“Gua bukan orang tajir kayak elo!” Perlahan kulepaskan pelukan dari Melissa dan berdiri membalas bentakannya. “Gampang banget lo ngocehnya!”

Tangisan Melissa menjadi semakin menjadi-jadi. Samar-samar, terdengar suara pintu kamar lain yang mulai terbuka, tampaknya suara kami telah mengundang rasa penasaran, juga sekaligus menciptakan gangguan terhadap mereka.

Aku dan Steven pun seketika menghentikan pertikaian kami. Suasana menjadi canggung seketika. Berhubung sudah larut malam, aku pun menawarkan opsi bermalam bagi Melissa.

“Kamu tidur di kamarku aja, Mel,” bujukku halus. “Udah kemaleman, nih.”

“Aku mau pulang aja, Ram,” tolak Melissa.

Sambil memandang Melissa, Aku berpikir sejenak. Lantaran, keluar dini hari pastinya akan rawan. Aku sebenarnya ingin menolak dan memaksanya tidur di sini, tapi kurasa dia merasa lebih aman dan nyaman berada di rumah Nadia.

Mungkin karena otakku sedang tidak berpikir rasional, aku pun mengangguk dan bersedia mengantarnya pulang. Belum sempat aku keluar dari kamar, tiba-tiba Steven memegang tangan Melissa.

“Gua aja yang antar, Mel.”

Langkahku terhenti dan Melissa seketika menatap wajahku. Aku menghela nafas dan mengangguk pelan ke arah Melissa. Aku sadar, bahwa dia akan lebih aman dan tenang di mobil Steven, daripada harus kedinginan dan merasa terancam dibonceng oleh motor cicilanku.

Muncul ekspresi rumit di wajah Melissa, tapi dengan sekuat tenaga kukerahkan sebuah senyuman di bibirku, berharap agar dia tak merasa sedih, karena sesungguhnya aku lah yang salah, akibat tak bisa menepati sebuah janji.

<><><>


Semalaman mataku terjaga, tak bisa tidur akibat pikiran yang berkecamuk. Daripada aku lama-lama menjadi gila, jam enam pagi itu aku memutuskan pergi menuju kediaman Nadia.

Tiba di depan rumahnya, aku langsung menelpon nomornya. Syukurnya dia sudah bangun pagi itu. Dia mengangkat telponku dan tak lama kemudian, dia muncul di pandanganku.

Bukan hanya figur Nadia saja, tetapi ada figur wanita bercadar yang juga muncul mengikutinya. Dia adalah Lala, yang selama ini kutugaskan untuk menjaga Nadia, kapan pun dan di mana pun dia berada.

“Pagi banget datangnya, Ram,” ucap Nadia sembari menguap kecil. “Melissa masih bobok, tuh.”

Aku mengulurkan sebuah amplop ke arahnya. “Gua nitip dong, buat Melissa.”

“Kenapa gak kasih sendiri aja, Ram?” tanya Nadia heran.

“Dia bakal nolak kalau gua yang ngasih,” jawabku. “Tolong dong, Nad.”

Nadia menerima amplop yang kuulurkan. “Ya udah, seandainya kalo udah gue kasih tapi dia nolak juga, gimana?”

“Bantu bujuk atau paksa dong, Nad. Soalnya dia lagi bener-bener butuh,” pintaku memohon.

“Butuh kenapa, sih? Apa ada hubungannya sama dia nangis kemarin?”

Aku mengangguk dalam kebingungan. “Emangnya kemarin dia ga ngomong apa-apa ke lo?”

Nadia menggelengkan kepalanya. “Nggak sempat, soalnya dia langsung tiduran. Kayaknya udah kecapekan.”

“Oh, kalo gitu biar dia aja yang jelasin nanti. Soalnya gua lagi buru-buru nih, mau masuk ke kampus,” ucapku mengeles, sebenarnya aku hanya tak ingin membahasnya saja.

Nadia menatapku ragu. “Oke deh, bakal gue usahain.”

“Omong-omong, kalau lo gimana, Nad?”

Nadia malah bertanya balik. “Gimana apanya, nih?”

“Keadaan lo. Apa ada kebutuhan atau sesuatu yang bisa gua bantu?” ucapku dengan rasa canggung.

“Lo mau jadi sugar daddy gua, Ram?” tanya Nadia.

Mataku membelalak seketika, tak menyangka ucapan itu keluar dari bibirnya.

“Ha? Maksud gua bukan gitu, Nad.”

Nadia pun tersenyum melihat raut wajahku yang panik.

“Ga usah pikirin janji lo sama kakak gue, Ram. Gue bisa jaga diri sendiri kok,” ucap Nadia. “Jangan membebani diri sendiri, Ram. Hidup untuk memuaskan harapan semua orang itu capek loh, Ram. Kita ini cuma manusia yang sama-sama rapuh.”

Aku tertegun sejenak, mencerna isi perkataan dari Nadia. Muncul pertanyaan di benakku. Apakah selama ini aku sedang membebani diriku sendiri, atau sebaliknya, beban yang datang bertubi-tubi menghantam hidupku. Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalaku, bagaikan sebuah lagu yang berputar terus-menerus di telinga.

<><><>


Memori kemarin malam masih terngiang-ngiang di kepalaku. Bahkan saat sedang berada di kelas dan bekerja di restoran, pikiranku masih terpaku akan tangisan Melissa dan setiap ucapan Steven.

Syukurnya malam ini, pengunjung restoran tak seramai biasanya. Aku jadi bisa bekerja lebih santai, sebab sejujurnya tubuhku mulai terasa lemas, akibat tak tidur seharian. Saat aku berdiri di sudut lobby, muncul sosok Aryo yang mulai berjalan menghampiri posisiku.

“Muka lu kayak orang abis diputusin aja, Ram,” celetuk Aryo.

Aku hanya bisa tersenyum kecil dan menggelengkan kepala.

“Yaelah, Ram … masih banyak ikan di laut kali, bro.” Aryo berseloro sembari merangkulku.

Kutinju pelan perutnya. “Nih, ikan bogem!”

“Nah gitu dong, jangan bengong doang lo, entar kesurupan.”

Aku tertawa kecil. “Kebalik, malah hantunya yang kesurupan gua.”

“Bisa aje lu. Eh, besok malam ikut gua nge-club yok, entar gua yang jemput,” ajak Aryo.

“Duh, gua jarang ke tempat gituan,” balasku. “Lagian gua bokek juga, nih.”

“Tenang aja, gua banyak sponsor yang rela bayarin, kok. Lo tinggal ikut duduk cantik dan have fun aja,” ucap Aryo sembari mengedipkan matanya.

Aku berpikir sejenak lalu membalas, “Tapi gua gak bisa janji, Yo. Kalo pun bisa, gua datang belakangan, boleh?”

“Iya dah, kalo gak bareng gua, entar gua kasih alamatnya,” ucap Aryo. “Jangan lupa safety, Ram.”

“Safety apaan?” tanyaku bingung.

Aryo menunjuk ke arah selangkanganku. “Siapa tau lo mau ngebungkus,”

“Kampret!”

<><><>


Belum sempat aku memarkirkan motorku, aku terkejut oleh kehadiran seseorang di sana. Tak jauh dariku juga tampak mobil yang sepertinya tak asing. Toyota Agya adalah merek dan varian mobil itu. Walau warnanya silver yang sudah pasaran, aku mengenal mobil itu, mobil yang selalu terparkir di kos.

Dari kejauhan, tampak Steven yang sedang duduk meminum kopi di bagian outdoor. Pandangan matanya sibuk menatap figur seorang Melissa. Pandangan mata itu tak bisa berbohong, bahwa sang pemilik mata telah memendam rasa.

Tampak Melissa menyuguhkan piring kecil berisikan cake di meja Steven. Mereka berdua lantas bercakap-cakap dan melepas tawa. Dunia serasa milik berdua, mereka pun tak menyadari kehadiranku.

Dengan perasaan yang campur aduk, aku menatap pemandangan itu. Di satu sisi, aku bersyukur ada sosok Steven di dekatnya. Namun di sisi lain muncul perasaan tak rela, padahal selama ini aku selalu mengaku bahwa Melissa hanya seorang teman bagiku. Aku tak tahu sebenarnya apa yang kurasakan saat itu. Apakah sebuah rasa cemburu karena ingin memiliki atau hanya sebatas emosi sesaat.

Sekilas aku menatap layar ponselku. Sembari menatap figur Steven dan Melissa, akhirnya kuputuskan untuk menelpon dan menerima tawaran Aryo.

“Yo, besok malam jemput gua, ya.”

Bersambung …
Diubah oleh watcheatnsleep 04-04-2023 23:53
nomorelies
khodzimzz
masbawor
masbawor dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.