Kaskus

Story

watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
AMURTI
AMURTI

Season 2 dari Awakening : Sixth Sense


Sinopsis : 


Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.

Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.

Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.




INDEKS :














UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU

Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita

Diubah oleh watcheatnsleep 12-04-2023 21:06
key.99Avatar border
xue.shanAvatar border
junti27Avatar border
junti27 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
8.9K
92
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
watcheatnsleepAvatar border
TS
watcheatnsleep
#9
CHAPTER 3
Sekelebat angin riuh menerpa hangatnya senja kala itu. Mengusik dedaunan yang telah gugur digerus oleh musim. Tak ada pilihan lain untuk hidup selain dari mengikuti arus, atau mati dibawa arus. Begitulah takdir, kata mereka.

Suara langkah kaki mendekat. Menampakkan sosok wanita berkacamata bulat dengan wajah yang mungil sedang berjalan menghampiri posisiku. Kemeja loose-fit tosca yang dipadu dengan celana jeans biru memancarkan sebuah pesona elegan dari sosoknya. Bahkan tanpa pernak-pernik dan sentuhan make-up yang berlebih, dia telah memancarkan kesan yang berkelas. Sosok wanita yang kumaksud itu adalah Riska.

“Mau omongin apa, Kak?” tanyaku bingung.

“Kamu lagi butuh kerjaan, Ram?”

Aku cukup kaget, tak menyangka informasi telah menyebar secepat itu. “Tahu dari mana, Kak?”

“Dari Steven,” jawab Riska. “Aku ada lowongan nih, di restoran punya bokap.”

“Duh, aku gak mau ngerepotin, Kak,” balasku enggan.

Riska menggelengkan kepala. “Kita emang lagi butuh karyawan, Ram. Soalnya ada beberapa karyawan yang resign.“

“Tapi ini beneran gak bakal nyusahin kakak, kan?” tanyaku memastikan.

Riska menghela nafasnya. “Sekalipun nyusahin, bakal tetep aku bantu kok, Ram.“

“Ga perlu sungkan-sungkan, deh. Kayak orang baru kenal aja,” ucap Riska sembari menyikut pelan tubuhku.

Aku hanya bisa menggaruk rambutku yang sebenarnya tak gatal, karena merasa canggung dan tak enak. Muncul perasaan ingin menolak di batinku, namun mulutku tak bisa menolak, karena saat ini aku memang membutuhkannya.

“Omong-omong, posisi kerjanya apa ya, Kak?” tanyaku penasaran.

“Setauku, pelayan atau penerima tamu sih, Ram. Nanti detailnya bakal dijelasin sama manager,” jelas Riska.

“By the way, kapan kamu siap masuk kerjanya, Ram?”

Aku berpikir sejenak. “Hmmm … kalau bisa sih secepatnya, Kak.”

Belum sempat Riska menanggapi, tiba-tiba ponsel di kantong celanaku bergetar. Aku segera menariknya dan melihat tulisan Ibu muncul di layar. Sejenak aku menatap Riska, dan dia pun meresponku dengan anggukan kecil sebagai persetujuan. Aku pun menerima panggilan itu dan mendekatkan ponsel ke telingaku.

“Ada apa, Ma?” tanyaku dengan suara pelan.

Ada jeda beberapa detik, sebelum Ibu membalas.

“Nak … pulang,” ucap ibu dengan suara yang serak.

Aku merasa ada yang tidak beres dari suara Ibu. Suara serak Ibu yang kudengar terkesan seperti orang yang sudah lelah untuk menangis.

“Kenapa, Ma?” tanyaku dengan perasaan was-was.

“Bapak masuk rumah sakit.”

<><><>


Lorong dingin itu berhasil membangkitkan kenangan buruk di benakku. Kenangan yang sudah kucoba untuk menguburnya dalam-dalam. Trauma itu muncul dalam bentuk kucuran keringat yang membasahi seluruh tubuhku, hasil dari jantung yang terpacu akibat lari terburu-buru.

Tampak seorang perempuan yang duduk di seberang pintu. Wajahnya pucat, matanya sembab dan membengkak. Dia menoleh ke arahku dan seketika bibirnya bergetar menahan tangis.

Tak perlu berkata-kata, kupeluk tubuhnya dengan erat. Berharap secercah ketenangan muncul di batinnya. Tapi nyatanya aku cuma manusia lemah, yang juga tak bisa menahan kesedihanku. Air mata pun jatuh menetes hingga mengalir deras di luar kendaliku.

Malam itu, kuputuskan untuk menunggu di sana. Walau Ibuku menolak, aku tetap memaksanya untuk pulang. Aku yakin, panik dan tangisan yang dialaminya sudah menguras energi dari tubuhnya yang mulai renta. Biarlah aku yang menggantikannya untuk bermalam dan menunggu hasil.

Sepanjang malam itu, kuhabiskan waktuku untuk duduk merenung dan menyepi di lorong itu. Berharap supaya tak terjadi musibah di keluarga kecil kami. Detik demi detik hati kecilku memberontak. Pikiranku kian berandai-andai akan kemungkinan yang terburuk. Namun, batinku selalu membantahnya sembari berkata bahwa.

Aku belum siap.


<><><>


Derap langkah kaki terdengar samar. Rasa pegal di sekujur tubuh lantas membangunkanku. Saat aku membuka mata, tampak orang-orang yang sudah berlalu lalang di sekitarku. Terang telah menyambangi lorong ini, tak seperti malam kemarin, hanya ada kegelapan yang merasuki diri.

Dari sekian banyaknya orang yang berlalu lalang, seorang perawat masuk ke dalam ruang di mana Bapak dirawat. Tak lama kemudian, dia keluar dan akhirnya memperbolehkanku masuk.

Dinding putih menyambutku, lengkap dengan peralatan medis yang terpasang di dekat kasur. Tampak seorang pria paruh baya dengan wajah pucat sedang bersandar sambil memandangiku.

Kuangkat pelan kursi di sudut ruangan dan meletakkannya di dekat Bapak. Kududuki kursi itu dan kupandang wajahnya dengan seksama.

“Hasilnya gimana, Pak?” tanyaku khawatir.

Dengan raut wajah datar Bapak menjawab, “Belum ada hasil pasti dari Dokter, tapi tenang aja, Bapak cuma butuh istirahat aja, kok.”

Aku mengangguk lalu lanjut bertanya, “Bapak sebenarnya selama ini sakit apa?”

“Hipertensi,” jawab Bapak dengan santai bahkan terkesan tak peduli.

Aku heran sendiri, apa penyakit itu tergolong ringan atau memang Bapak yang anggap sepele. Reaksi Bapak berbanding terbalik dengan reaksi dari Ibu kemarin. Aku segera membuka ponselku, dan mengetik hipertensi di google. Membaca tulisan-tulisan yang tertera di berbagai artikel di sana, membuatku bergidik seketika.

Hipertensi merupakan pemicu dari berbagai macam penyakit. Serangan jantung, stroke, gangguan ginjal dan banyak penyakit lainnya. Aku pun seketika memandang Bapak dengan khawatir.

“Jangan ngelihat Bapak kayak gitu. Bapak belum mau mati, kok,” ucapnya santai.

Aku diam tak membalas ucapannya. Perasaanku masih kacau, menyadari betapa lalainya aku selama ini.

“Gak usah banyak mikirin Bapak. Fokus pikirin diri kamu dulu. Jaga kesehatan dan jaga pergaulan.”

Sejenak, aku hanya diam sembari menatapnya lesu. Hingga perlahan, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.

“Bapak dipecat, ya?” tanyaku pelan.

Bapak diam sesaat, lalu dia malah balik bertanya. “Kamu tahu dari Ibu?”

“Aku gak sengaja dengar obrolan Bapak sama Ibu,” jawabku.

Bapak menghela nafas sejenak, lalu menjawab, “Bapak bukan dipecat, tapi mengundurkan diri.”

Jawabannya tidak dapat memungkiri bahwa saat ini dia tak mempunyai pekerjaan. Sejujurnya aku bingung, kenapa Bapak mengundurkan diri. Padahal dia sudah lumayan lama bekerja di sana, seharusnya dia mendapat kompensasi yang cukup jika memilih untuk dipecat.

“Pasti Ibu marah karena Bapak gak dapat pesangon, ya?”

Bapak mengangguk pelan lalu membalas, “Kenapa? kamu mau ngikut omelin Bapak juga?”

Aku menggeleng kepala sembari lanjut bertanya, “Alasannya?”

Bapak diam sejenak, raut wajahnya tampak enggan untuk menjawab.

“Udah … kamu gak perlu tahu,” jawabnya pelan, seakan menutup sebuah rahasia.

“Rama udah dewasa, Pak. Mau sampai kapan Bapak nanggung semuanya sendirian?” ucapku frustasi.

Aku sadar bahwa diriku bukan anak yang penuh perhatian dan punya segudang prestasi untuk dibanggakan. Oleh karena itu, setidaknya aku ingin meringankan bebannya walau dengan hanya mendengarkan curhatan kecil yang terlepas dari bibirnya.

“Bapak tahu kalo niat kamu baik, tapi ini tanggungan Bapak, gak perlu dibagi-bagi sama siapa pun,” ucap Bapak tegas.

Pembicaraan seketika terhenti. Lagi-lagi, aku hanya bisa menyerah atas keras kepalanya sifat dari Bapak. Ia selalu menanggung semua beban dan menyembunyikannya dariku. Ia sudah terbiasa menjadikanku sebagai penonton. Menyaksikannya memilih pilihan yang sulit, agar tidak menodai prinsipnya.

Aku pun menghela nafas panjang, dan perlahan beranjat dari kursi yang kududuki. Bapak hanya memejamkan kedua matanya dan tampaknya tak menghiraukan ucapanku. Aku pun menyerah dan pergi keluar kamar untuk sekedar mencari udara segar.

Baru saja keluar kamar, tak jauh dariku tampak seorang pria paruh baya sedang menenteng sebuah bingkisan buah. Dia memandang ke arahku dan segera menghampiri posisiku.

“Keluarganya Pak Adi, ya?” tanyanya sembari mengulurkan tangan ke arahku.

Dengan wajah bingung aku membalas uluran tangannya. “Iya benar, kalau Bapak sendiri?”

“Saya rekan kerjanya Pak Adi. Kalo boleh tahu, keadaan pak Adi bagaimana, ya?”

Dengan sopan aku membalas ucapannya, “Sudah mulai pulih kembali, Pak. Makasih udah mau datang berkunjung ya, Pak.”

Dia menganggu sembari tersenyum lebar, seakan bersyukur atas informasi yang kuberikan.

Dia lalu memberikan bingkisan buah itu kepadaku. “Titip buat pak Adi, ya.”

“Oh, makasih, Pak. Gak mau langsung masuk ke dalam aja, Pak?” tawarku.

“Nggak usah,” balasnya dengan cepat. “Takutnya malah ngeganggu. Ini saya mau langsung pulang.”

“Oh, ya udah Pak, akan saya sampaikan,” ucapku sembari berniat untuk kembali masuk ke dalam ruangan.

Belum sempat aku kembali masuk ke kamar, aku langsung berbalik badan seraya berkata, “Maaf Pak, saya belum nanya nama Bapak dari tadi.”

Sesaat tampak keraguan di raut wajah pria paruh baya itu, tapi seketika tergantikan oleh senyuman tipis di bibirnya.

“Nama saya Iwan, tapi ga usah repot-repot kasih tahu ke Pak Adi, ya. Saya cuma mampir berhubung lagi dekat dari lokasi,” ucapnya ramah.

Dia lalu pamit dengan melambaikan tangannya. Dia pun pergi menjauh dan perlahan menghilang dari pandangan mataku. Aku pun masuk kembali ke kamar dan meletakkan bingkisan buah titipan dari Pak Iwan di meja.

“Titipan dari teman Bapak. Namanya Pak Iwan,” ucapku tanpa bertele-tele.

Seketika pandangan matanya berubah menjadi tajam. Suasana ruangan seperti membeku, hingga membuatku enggan untuk bergerak sedikit pun.

Bapak mengacungkan jarinya pada buah titipan yang kubawa masuk. “Buang ke tong sampah,” perintahnya.

Walau muncul banyak pertanyaan di benakku, aku pun tetap menuruti perintahnya. Sesuai dengan harapannya, aku tak mau mengorek lebih dalam lagi. Melihat kondisi emosinya yang tak stabil, aku tak ingin semakin memperburuk kondisi kesehatannya. Biarlah semua terkuak dengan sendirinya.

<><><>


Beberapa hari telah berlalu dan kondisi Bapak kian membaik. Hingga pada akhirnya Bapak diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Dengan catatan harus mengonsumsi obat dan mengikuti seluruh anjuran dokter.

Aku pun cukup lega dan akhirnya bisa kembali menjalani hidupku seperti semula. Setelahnya, aku mulai bersiap-siap untuk menerima dan menjalani tawaran pekerjaan dari Riska.

Hingga pada suatu siang, di saat aku berniat keluar kos untuk sekedar membeli makanan. Aku bertemu dengan orang yang tak kusangka-sangka. Saat membuka gerbang, tatapanku tak bisa lepas dari sebuah lamborghini merah yang terparkir, persis di seberang kos.

Tampak seorang pria mengenakan setelan serba hitam. Mulai dari kacamata, kaos, jaket kulit, dan celana ketat yang digunakannya mirip dengan musisi rock. Rambutnya yang panjang tergerai sampai ke leher, wajahnya putih pucat bagaikan kekurangan darah. Ia bersandar di mobil sembari menghisap sebatang rokok di mulutnya.

Kehadirannya berhasil mencuri semua perhatian orang di sana, termasuk diriku sendiri. Dia yang sedang sibuk menghisap sebatang rokoknya, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arahku. Dia menjauhkan rokok dari mulutnya dan tersenyum sembari melambaikan tangannya.

Orang-orang yang sedang berlalu-lalang pun spontan menengok ke arahku. Aku terdiam kaku, canggung akan situasi yang terjadi. Samar-samar, aku merasa ada yang familiar dari orang tersebut, tetapi aku tak bisa mengingatnya.

“Kamu masih belum ingat wajah saya?” ucapnya santai sembari memegang rokok dengan dua jari.

“Maaf, pernah ketemu di mana, ya?” balasku bingung.

Dia memasang ekspresi kecewa sambil menggelengkan kepalanya. “Saya kasih satu kata petunjuk.”

“Kelelawar.”

Aku berpikir sejenak dan seketika sadar siapa orang yang ada di hadapanku saat itu. Dia adalah eksekutor dari siluman kelelawar yang telah mencelakaiku dan Putra. Hawa yang terpancar dari pria yang ada di hadapanku mirip dengan sosok yang kutemui saat melakukan proyek astral terdahulu.

“Hendri … Hendra?” tanyaku memastikan, sebab aku telah lupa dan hanya ingat samar-samar tentang kejadian itu.

“Mahendra,” jawabnya singkat.

Tapi tak berhenti disitu saja, dia lanjut berbicara. “Sesuai perintah Mbah Gumelar, saya disuruh buat ngajarin kamu. Jadi, kapan kamu siap?”

Aku juga mengingat ucapan mereka pada saat itu. Sayangnya, sejak kematian Putra, aku memilih untuk tidak berkecimpung di dalam dunia mereka lagi.

“Maaf, saya gak berminat, Pak. Lagian saya lagi banyak urusan kedepannya,” jawabku datar.

“Kenapa? Kamu lagi butuh duit, kah? Kalo iya, tinggal ikut saya saja, beres,” ucap Mahendra lalu menghisap kembali rokoknya.

“Saya gak mau berurusan sama dunia sebelah lagi, Pak. Saya udah sibuk di dunia saya sendiri,” balasku kekeuh.

“Hah … hanya orang bodoh yang menolak bakat nalurinya,” cibirnya sambil tersenyum tipis.

Aku tak begitu peduli dengan omongannya, sebab hidupku sudah terlalu sibuk dengan banyak hal lain. “Terserah Bapak mau bilang apa, yang pasti saya tetap menolak.”

Dia menatapku iba, lalu mengucapkan kalimat misterius yang tak kumengerti. “Kamu persis seperti sebuah ukiran yang menempel di batu karang.”

“Maksudnya?” tanyaku spontan sembari mengernyitkan dahi.

Mahendra hanya tersenyum kecil. “Suatu saat kamu pasti mengerti akan maksud saya.”

“Cholilah, nanti kalau sudah butuh, hubungi saja nomor ini,” ucapnya sembari memberiku sebuah kartu nama berwarna hitam.

Mahendra tersenyum dan menepuk pundakku pelan. Tepukan itu seperti aliran listrik yang membuatku seketika kejang dan mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. Entah kenapa, batinku terasa terancam hingga spontan mengaktifkan ajian yang sudah lama tak kupakai. Ajian Gembala Geni.

Seketika energi berbentuk api yang membara keluar dari tubuhku. Api merah ganas tak terkendali yang langsung menyambar ke arah Mahendra.

Belum sampai menyentuh tubuhnya, tiba-tiba muncul kabut gelap yang dalam sekejap melahap habis, api merah itu sampai tak tersisa. Dari dalam kabut gelap itu, muncul sebuah ekor bersisik hitam yang meliuk-liuk.

Sejenak ekor itu berhenti meliuk, ekor itu lalu berdiri dan seketika melayang cepat menuju arahku. Aku bahkan tak sempat bereaksi, karena dalam sekejap mata, ujung ekor yang tajam seperti tombak itu berhenti tepat di depan bola mataku.

Nafas dan jantungku mendadak terhenti dalam beberapa saat. Perlahan, ekor itu mulai bergerak kembali ke dalam kabut gelap. Setelah ekor itu sepenuhnya masuk, kabut gelap itu kian memudar dengan sendirinya. Di sisi lain, Mahendra hanya tersenyum menyeringai, lalu dia perlahan melepas kacamata hitamnya.

Mahendra berjalan mendekatiku lalu berbisik, “Ditunggu kehadirannya.”

Mahendra lalu pergi melewatiku dan masuk ke dalam lamborghini merahnya. Dia pun pergi meninggalkanku yang masih membeku dalam posisi yang sama. Mulai kusadari, ternyata punggungku sudah banjir oleh keringat dingin.

Bersambung …
Diubah oleh watcheatnsleep 03-04-2023 00:01
khodzimzz
masbawor
erman123
erman123 dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.