- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
willdhan26 dan 198 lainnya memberi reputasi
195
278.4K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#46
#7 - The Past is Frozen, and the Present, it's all lit up
Spoiler for #7 - The Past is Frozen, and the Present, it's all lit up:
Setelah kejadian ‘banjir’, gua dan Lady beberapa kali bertukar kabar melalui chat. Awalnya ia hanya memberi komentar tentang display picture aplikasi chat gua yang menampilkan foto Anggi tengah berpose sambil tersenyum. Lalu topik semakin berkembang, tentu saja kebanyakan isinya adu argumen tentang siapa yang salah perkara komentar masing-masing di percakapan sebelumnya. Atau hanya obrolan absurd tentang hal-hal di luar kelaziman.
Tetapi dibalik sikapnya yang arogan, pongah dan zalim, Lady sebenarnya sosok yang baik. Gua dengan mudah bisa menilai kebaikan hatinya saat ia menghadapi Anggi. Anggi bukanlah tipe orang yang gampang membaur. Butuh waktu cukup lama baginya untuk menghilangkan rasa malu di depan orang asing atau yang baru dikenalnya. Tapi dengan Lady, ia nggak butuh lama untuk akrab. Hanya beberapa pertemuan, keduanya sudah bisa saling bercanda dan bermain bersama.
Namun, tetap saja sikap pongah-nya ke gua masih sama.
Nggak cuma baik, sejatinya Lady adalah perempuan yang cantik, modis, pintar dan sepertinya kaya. Sumpah! begitu melihatnya, gua yakin semua pria pasti setuju. Siapapun orangnya, tua atau muda, kaya atau miskin, lajang atau yang sudah berpasangan, akan dengan mudah jatuh hati padanya. Ya tapi siap-siap saja dengan ucapannya yang kadang ‘menyakiti hati’.
Tak terkecuali gua. Iya, sebagai pria ‘normal’ gua nggak menampik kalau ‘rasa suka’ mulai muncul di dalam hati. Tapi gua enggan membiarkan ‘rasa’ itu membesar. Enggan jatuh hati lagi, enggan untuk kembali kecewa. Apalagi sekarang sudah ada Anggi, Gua merasa nggak ada lagi ruang tersisa di dalam hati karena sudah dipenuhi seluruhnya oleh Anggi.
Suatu sore, menjelang maghrib, Lady datang ke Toko, sepertinya baru saja pulang bekerja. Belakangan ini ia memang kerap mampir ke toko untuk membeli bubble wrap atau hanya sekedar menyapa ‘Anggi’.
Saat itu, gua tengah duduk membungkuk di hadapan Anggi, menemaninya menyelesaikan tugas mewarnai. Anggi yang sejak awal terlihat serius dan antusias mengerjakan tugas mewarnainya, langsung berdiri begitu mendengar suara mobil milik Lady berhenti di depan toko. Ia langsung meninggalkan buku menggambar dan crayon yang berserakan di lantai untuk menghampiri Lady.
“Tante cantik…”Teriaknya seraya mencoba memeluk Lady. Entah sejak kapan mereka bersepakat di belakang gua dengan memanggilnya ‘Tante Cantik’.
“Halo Anggi…” Balas Lady, ia berlutut, merendahkan posisi tubuhnya agar Anggi mampu memeluknya.
Anggi lantas menarik tangan Lady, membawanya masuk ke dalam toko dan memberi kode agar duduk di sebelahnya. “Tante bantuin aku gambar yah…” Pinta Anggi ke Lady.
“Lho kan ada Papah?” Tanya Lady seraya menunjuk ke arah gua yang masih duduk di tempat yang sama.
“Papah ngga mau bantuin…” Jawab Anggi dengan ekspresinya yang menggemaskan. Iya, gua memang enggan memberinya bantuan saat mengerjakan tugas. Biar ia mengerjakan semuanya sendiri, Kalaupun memberinya bantuan pasti bentuknya sebuah informasi bukan menggantikan dirinya mengerjakan tugas.
“Jahat ya, Papah kamu nggi.. Kok bisa ya orang jahat bisa punya anak sebaik dan secantik kamu..” Ucap Lady seraya melirik ke arah gua.
Ia lantas duduk, mengambil salah satu crayon dan mulai membungkuk, membantu Anggi menyelesaikan tugas mewarnainya. Mereka lalu sibuk menggores crayon, mengisi outline-outline hitam putih dengan warna yang tak dipedulikan kecocokannya.
Sesekali, Lady menatap gua dan bertanya; “Bagus kan?” seraya menunjuk ke arah buku menggambar.
Deg! Barulah sekarang gua sadar kalau wajah dan tatapannya begitu membius. Nggak mau terlalu terlena, gua berdiri dan menghampiri Rohman yang tengah duduk di kursi plastik di balik etalase.
Dari tempat gua berdiri, lalu terdengar celotehan Anggi kepada Lady. Ia bercerita dengan gayanya yang lucu. Begitu mereka berdua selesai dengan tugas mewarnai, gua mulai membereskan peralatan milik Anggi dan memasukkannya kedalam tas. Sementara Anggi kini duduk tenang menonton televisi. Lady duduk di sebelahnya, dengan mata menatap layar televisi dan tangannya membantu mengumpulkan crayon yang berserakan.
Tangan kami lalu bersentuhan. Gua buru-buru menarik tangan dan beralih mengambil buku gambar lalu memasukannya ke dalam tas. Lady juga melakukan hal yang sama; ia terdiam.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Lady. Ia membuka tas jinjing dan mengeluarkan ponsel miliknya. Gua sempat melirik sebentar ke arah layar ponsel yang menampilkan sebuah nama; ‘Andri’. Menyadari hal tersebut, Lady buru-buru menolak panggilan. Gua cukup yakin kalau yang menghubunginya barusan adalah pacar atau gebetan Lady. Semua perempuan pasti akan melakukan hal yang sama; menolak panggilan telepon dari pacar saat tengah bersama pria lain.
Nggak berapa lama, ponselnya kembali berdering.
Ia lantas berdiri, melangkah keluar dari toko dan menjawab panggilan tersebut. Gua lalu mengajak Anggi untuk bersiap pulang. Sementara, di luar terlihat rintik hujan mulai turun.
Lady duduk di kursi kayu di luar toko, masih terlibat perbincangan melalui ponsel. Ekspresinya terlihat kesal, dan langsung menurunkan volume suaranya begitu melihat gua dan Anggi keluar dari toko.
“Gua balik ya” Ucap gua dengan suara pelan kepadanya seraya membuka payung. Lady, lalu buru-buru mengakhiri panggilan dan berjalan menyusul kami.
“Gue anterin aja, ujan…” Ujar Lady.
Belum sempat gua menjawab, Anggi lantas berpindah ke sisi Lady; “Asik, naik mobil tante cantik ya?” Anggi bicara seraya tersenyum girang.
“Yuk” Ajak Lady, dan mulai menuntun Anggi masuk ke dalam mobilnya. Gua menghela nafas, menutup payung dan masuk ke dalam mobil melalui pintu penumpang sebelah kiri. Begitu masuk ke dalam, terlihat Anggi tengah berdiri dengan sepatunya di atas jok mobil bagian belakang.
“Anggi, duduk dong nak. Itu nanti kursinya kotor” Ucap gua. Mendengar ucapan gua, Anggi lantas terdiam dan mulai duduk tenang.
“Gapapa, ntar bisa dibersihin. Ribet amat jadi orang” Lady merespon. Ia lalu menoleh ke belakang, menatap ke arah Anggi dan bicara; “Gapapa nggi, nggak usah dengerin Papah…”
Karena jarak dari toko dan rumah yang nggak begitu jauh, nggak butuh waktu lama untuk kami tiba di depan gang rumah. “Udah disini aja” Ucap gua sambil menunjuk sisi jalan yang sedikit lapang.
Lady nggak menggubris ucapan gua, ia memutar kemudi dan mulai mengarahkan mobilnya masuk ke dalam gang.
“Yang mana rumah lo?” Tanyanya begitu kami sudah berada di dalam gang. Gua lantas menunjuk ke arah sebuah bangunan rumah yang diapit dua kebon kosong. Rumah yang kini terlihat gelap gulita, sepertinya gua lupa menyalakan lampu.
Lady kembali memutar kemudi, memasukkan moncong mobil ke arah pelataran rumah.
“Thank you… Anggi bilang apa sama Tante…” Ucap gua.
“Makasih tante cantik..”
Gua turun, membuka payung dan membantu Anggi keluar dari mobil, kemudian menurunkannya di teras rumah. Masih berada dalam naungan payung, gua kembali ke arah mobil yang terparkir, berniat untuk membantu Lady parkir, memutar mobil untuk kembali ke arah jalan raya.
Namun Lady malah mematikan mesin mobil. Pintu bagian pengemudi terbuka. Gua bergegas mendekat ke arah pintu, mencoba berada sedekat mungkin dengan Lady yang baru turun dari mobil agar terlindung dari hujan. Kini, kami berada di bawah payung yang sama, begitu dekat, saking dekatnya gua mampu melihat pantulan diri sendiri di bola matanya yang indah.
“Papah, gelap…” Teriakan Anggi, menyadarkan gua. Gua lantas berjalan menuju ke teras rumah, Lady mengikuti gua, berusaha tetap dekat agar nggak basah terkena air hujan.
Gua bergegas membuka pintu, masuk ke dalam rumah dan menyalakan semua lampu. Anggi meraih ujung jari Lady dan mengajaknya masuk ke dalam; “Masuk yuk tante cantik”
Dengan penuh keraguan Lady masuk, melangkah pelan mengikuti Anggi ke dalam rumah. Matanya menatap sekeliling, seakan tengah melakukan screening ke sekeliling ruangan yang sederhana. Anggi lalu meminta Lady untuk duduk di kursi ruang tamu. Sementara, gua menuju ke dapur.
Sekembalinya dari dapur dengan segelas teh hangat, gua mendapati Lady sudah terduduk di lantai sementara Anggi baru saja menuang semua mainan miliknya tepat di hadapan Lady. Satu persatu, ia memperkenalkan mainan dan boneka-boneka miliknya ke Lady.
“Minum…” Ucap gua seraya meletakkan gelas berisi teh hangat di meja ruang tamu.
“Teh? nggak ada yang lain?” Tanyanya.
“Nggak ada! emang lo berharap apa? Martini?” Gua balik bertanya.
Ia nggak menjawab, kemudian kembali berpaling ke Anggi yang masih sibuk menunjukkan semua mainannya.
“Gua mandi dulu sebentar”
Begitu selesai mandi dan berganti pakaian, gua kembali ke ruang tamu. Kini terlihat Anggi tengah berbaring di pangkuan Lady, kedua matanya terpejam.
“Nggi, Anggi..” Panggil gua seraya mendekat ke arahnya.
“Sssttt” Lady memberi kode ke gua dengan menempelkan telunjuknya ke bibir. Sementara tangan satunya sibuk membelai kepala Anggi.
“Sini gua pindahin, berat” Ucap gua seraya berusaha mengangkat Anggi dari pangkuannya. Namun dengan cepat, Lady menepuk tangan gua; “Biarin dulu” Ucapnya ketus.
Gua lalu membereskan mainan Anggi yang berantakan, memasukkannya satu persatu ke kotak mainan.
Di tengah keheningan, tiba-tiba Lady buka suara; “Seandainya, dengan kondisi kayak sekarang ini. Anggi tidur di pangkuan gue, dan nggak ada siapa-siapa selain kita disini. Terus nyokapnya Anggi dateng, gimana kira-kira?” Tanya Lady pelan, sementara matanya sibuk berkeliling menatap ke arah frame-frame foto yang tertempel di dinding. Frame yang hanya berisi foto-foto Anggi dan Reni.
Gua nggak menjawab, hanya terus memasukkan mainan milik Anggi ke dalam kotak. Setelah selesai, gua meletakkan kotak mainan di kamarnya, sekalian menyiapkan ranjang. Begitu kembali ke ruang tamu, gua membungkuk tepat di hadapan Lady, mencoba mengangkat Anggi dari pangkuannya. Kali ini Lady nggak menolak, gua mengangkat tubuh mungil Anggi dan membawanya ke dalam kamar.
Di ruang tamu terlihat, Lady tengah meluruskan kedua kakinya seraya memberi pijatan kecil.
“Pegel?” Tanya gua.
“Kesemutan” Jawabnya.
“Bangun”
Lady nggak menjawab, ia hanya mendongak dan menatap ke arah gua. Sambil meringis, menahan kesemutan, ia berdiri. Gua meraih tas miliknya yang berada di salah satu kursi ruang tamu lalu menyerahkan tas tersebut kepadanya; “Udah malem…”
“Gue diusir?” Tanyanya.
“Udah malem. Nggak enak diliat sama tetangga” Ucap gua.
“Tetangga? Tetangga yang mana? jangkrik? kodok?” Tanyanya kesal. Merujuk ke tanah kosong yang berada di kedua sisi rumah gua.
Ia lalu berjalan tertatih menuju ke luar.
Gua menyusulnya, menarik tangannya agar ia duduk di kursi bambu teras rumah.
“Kaki yang mana yang kesemutan?” Tanya gua sambil membungkuk di hadapannya yang kini duduk di kursi bambu.
“Dua-duanya” Jawabnya.
Gua meraih kedua ujung kakinya dan mulai menggoyangkannya perlahan, agar sirkulasi darah menjadi lancar. Sementara, Lady hanya terdiam.
“Udah?” Tanya gua sambil mendongak, menatap ke arahnya. Mata kami saling bertemu, Tak seperti biasa, kali ini seperti ada keteduhan dari tatapannya. Gua berpaling, menunduk, mencoba menghindar.
“Udah..” Jawabnya pelan.
Tanpa bicara lagi, ia berdiri, berjalan menuju ke halaman, masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Sementara, gua masih terdiam dan menatap kepergiannya.
Lalu terasa ada yang aneh dalam diri ini. Seperti ada yang bergejolak; hebat. Gua duduk di kursi bambu, bersandar dan mulai menghela nafas panjang sambil menatap kosong ke arah langit-langit.
—
Emma Bunton - What Took You So Long
Oh, talk to me, can't you see
I'll help you work things out.
Oh, don't wanna be your enemy
And I don't want to scream and shout.
'Cos, baby, I believe in honesty
And then be strong and true.
I shouldn't have to say now, baby,
That I believe in you.
What took you so long?
What took you all night?
What took you forever to see I'm right?
You know, I treat you so good;
I make you feel fine.
You know, I'll never give it up this time.
Oh, no, no.
Oh, you touched my heart right from the start,
You didn't know what to say.
But, honey, I understand
When you take my hand everything's OK.
'Cos, baby, I believe reality,
It's never far away.
I've had enough, so listen, baby,
I've got something to say.
What took you so long?
What took you all night?
What took you forever to see I'm right?
You know, I treat you so good;
I make you feel fine.
You know, I'll never give it up this time.
What took you so long? (What took you so long?)
What took you all night? (What took you all night?)
What took you forever to see I'm right?
You know, I treat you so good; (I treat you so good)
I make you feel fine. (I make you feel fine)
You know, I'll never give it up this time.
Oh, no, no.
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 03:01
jiyanq dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup