- Beranda
- Stories from the Heart
AMURTI
...
TS
watcheatnsleep
AMURTI

Season 2 dari Awakening : Sixth Sense
Sinopsis :
Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.
Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.
Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.
Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.
Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.
INDEKS :
UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU
Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita
Diubah oleh watcheatnsleep 12-04-2023 21:06
junti27 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
8.9K
92
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
watcheatnsleep
#1
CHAPTER 1
Dengungan yang melekit di telinga diselingi oleh suara gemuruh tiba-tiba menghamparkanku di tengah kerumunan manusia berseragam putih hitam. Mereka tampak duduk manis di kursi besi dengan mulut yang berkomat-kamit. Ada juga beberapa pria dan wanita yang mondar-mandir sembari melirik kanan-kiri. Mereka mengenakan jas biru dongker yang rasanya tampak tak asing bagiku.
Pelan-pelan aku memandang setiap sudut ruang tempatku terdampar. Aku pun menyadari bahwa tempat ini adalah aula kampus. Terbesit di benakku bahwa manusia yang serempak memakai setelan putih hitam ini adalah para mahasiswa yang sedang melakukan ospek. Sedangkan beberapa orang yang mondar-mandir itu adalah para panitia penyelenggara.
Sejenak kemudian, pintu yang berada tak jauh dari podium tiba-tiba terbuka. Semua peserta secara serempak menutup mulut, seiring munculnya seorang pria paruh baya dari balik pintu. Seorang pria berkacamata yang mengenakan jas almamater berwarna biru dongker.
Yang setelah kulirik dengan seksama, adalah dekan dari fakultas ekonomi kampusku. Beliau berjalan diiringi oleh beberapa dosen yang tampak tersenyum dan bertingkah canggung. Seperti biasanya, mereka pun memulai acara dengan kata sambutan secara bergantian di atas podium.
Semua gerak-gerik dan situasi yang terjadi berjalan dengan sangat cepat. Bagaikan video yang diputar dua sampai tiga kali lebih cepat dari kecepatan normal. Saking cepatnya situasi berjalan, aku bahkan tak sempat untuk memberi reaksi apa pun. Hingga beberapa saat kemudian, muncul satu persatu keanehan di sekitarku.
Bermula dari berbagai macam suara aneh yang muncul dari segala penjuru arah. Seperti campuran dari suara tawa yang dibalut dengan isak tangis. Ada pula suara teriakan kemarahan dibalik rintihan kesakitan. Aku merasakan emosi dan energi negatif perlahan membesar hingga berhasil menyelimuti seisi ruangan.
Sebuah gumpalan bayangan besar secepat kilat menyambar seorang Pria bertubuh mungil yang sedang duduk bengong di kursi. Gumpalan bayangan besar itu dalam sekejap mata menembus tubuh pria itu, lalu melayang di belakangnya.
Perlahan bayangan itu samar-samar membentuk dan memperlihatkan wujudnya. Makhluk bertubuh layaknya seorang manusia, tetapi di bagian kepalanya hanya ada api merah yang membara. Mungkin kebanyakan orang mengenal makhluk itu dengan sebutan Banaspati.
Lalu aku memperhatikan Pria mungil itu beranjak dari kursi yang didudukinya dan berdiri tegap di tengah kerumunan. Orang yang berada di sekitarnya pun kian menatapnya dengan bingung.
Dia tiba-tiba mengacungkan jari telunjuknya kepada pembicara yang berdiri di podium.
“PENDUSTA!” teriaknya yang seketika memecah keheningan ruangan.
Suara tawa menggelegar pun keluar dari mulutnya, di tengah reaksi heboh kerumunan di sekelilingnya. Situasi seketika menjadi kacau. Dosen pembicara dan panitia berusaha menenangkan para peserta, tapi usaha mereka sia-sia, hanya ada kebisingan yang memenuhi ruangan.
Semakin kacau situasi, semakin menjadi-jadi pula tawa dari Pria bertubuh mungil itu. Anehnya, walau dia sedang tertawa, aku bisa mendengar suara Banaspati yang menyusupi tubuhnya di benakku.
“Dasar manusia-manusia munafik!” ucapnya geram. “Ucapannya semanis gula, tapi hati dan kelakuannya sebusuk bangkai.”
Di sisi lain, tampak tiga orang pria beralmamater biru dengan tergopoh-gopoh mencoba untuk mengamankan situasi yang kacau. Mereka pun mencoba menarik paksa tubuh mahasiswa mungil tersebut.
Di saat ketiga pria itu mencoba untuk menarik mahasiswa itu keluar, seketika tertempel ekspresi panik dan ketakutan pada wajah mereka. Alasannya karena tubuh mahasiswa mungil itu tak bergeming sedikit pun, kendati mereka sudah mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkatnya. Mahasiswa bertubuh mungil itu tetap berdiri tegak dan tertawa lepas seakan mencemooh usaha mereka yang sia-sia.
Kekacauan itu seakan mengundang entitas-entitas yang sudah lama mengintai. Terbukti dari semakin banyaknya sekelebat bayangan hitam yang muncul dan menyambar para peserta ospek lainnya. Tak tahu kenapa, kebanyakan dari bayangan itu mengincar para peserta perempuan.
Bayangan hitam itu tampak memasuki tubuh para peserta, tetapi anehnya, jika kuperhatikan, bayangan itu lalu muncul melayang di bagian belakang para korban. Hingga pelan-pelan, bayangan yang mulanya tampak samar mulai menunjukkan sosok aslinya dengan berbagai rupa yang menyeramkan. Mulai dari siluman, kuntilanak, genderuwo, pocong dan banyak jenis lainnya lengkap hadir untuk memeriahkan acara.
Kepanikan lekas menyebar layaknya setitik api yang disandingkan dengan kertas. Satu-persatu peserta mulai jatuh pingsan. Beberapa kembali bangkit, tapi dengan persona yang berbeda.
Ada yang melotot sembari berteriak murka kepada semua orang. Ada yang menangis histeris dan tersedu-sedu seakan menjadi makhluk paling menderita di dunia ini. Ada pula yang tertawa dan memaki para panitia yang mencoba menahannya.
Tingkah kacau mereka pun merefleksikan emosi dari suara yang kudengar sejak awal tadi. Emosi negatif terpendam, yang tak tahu kapan berakhirnya.
“Kesurupan massal ….” Dua kata itu yang seketika muncul di benakku.
Pintu demi pintu terbuka dan orang-orang berlarian untuk keluar dari sana. Meninggalkan para panitia yang sibuk berperang menaklukkan para peserta kesurupan, yang ditunggangi musuh tak kasat mata.
Aku diam mematung di tengah situasi kacau itu. Aku hanya bisa menyaksikan pemandangan aneh itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Hingga tiba-tiba, sang Banaspati berhenti tertawa dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Di balik api yang berkobar itu, tampak pandangan mata sinis yang seakan mengartikan kehadiranku sebagai tamu yang tak di undang.
Tiba-tiba, suasana hening seketika. Para makhluk tak kasat mata lainnya secara serempak menghentikan aksinya. Mata mereka yang bersinar merah, kini terpusat kepadaku, layaknya sedang memandangi seekor mangsa yang empuk.
Tanpa aba-aba, sang Banaspati diikuti oleh para makhluk halus lainnya seketika menerjangku posisiku.
Aku pun terperanjat dari penglihatan itu dan bangun kembali pada realita, dengan nafas yang tergesa-gesa. Suasana hening, tiada bunyi selain suara keran air yang sedang mengucuri tumpukan gelas dan piring.
Kuseka keringat dingin yang mengalir di dahiku. Sejenak aku memperbaiki pola nafasku yang tak teratur. Lalu perlahan aku menoleh ke samping. Di saat itu juga, tatapanku tertancap pada seorang pria bertampang muda yang mengenakan setelan jas hitam formal layaknya seorang CEO.
Pandangan matanya sibuk memelototiku. Raut wajahnya yang dingin pun menjawab alasan kenapa dapur yang biasanya berisik tiba-tiba menjadi hening bagai kuburan. Detik itu juga aku tersadar, bahwa aku sedang dalam masalah.
“Woi!” Bentakan Pria itu seketika memenuhi seisi ruangan. “Dari tadi kamu dengar apa yang saya omongin, gak!”
“Maaf pak…,” balasku spontan sembari menundukkan wajahku.
“Coba kamu ulangin apa yang saya omongin tadi!” perintahnya.
Sialnya, pria judas yang ada di hadapanku adalah seorang manager restoran bernama Viktor. Selain owner, dia adalah atasan berpangkat paling tinggi di restoran ini. Entah kenapa, aku merasa dia tak senang akan keberadaanku di restoran ini.
Beberapa detik berlalu, tapi aku hanya diam tak bisa menjawab. Saat itu, aku hanya bisa pasrah menerima nasib sialku. Semua itu gara-gara penglihatan sialan yang belakangan ini selalu muncul secara acak.
Seingatku, sebelumnya aku sedang mencuci tumpukan piring di dapur. Anehnya, pandanganku tiba-tiba berubah menjadi gelap, dan mendapati diriku berada di kerumunan tadi. Aku sendiri tak habis pikir, kenapa aku bisa-bisanya mendapat penglihatan itu.
“Bener-bener kamu, ya!” Viktor mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku. “Masih anak baru tapi udah berani bertingkah kamu!”
Selanjutnya aku tetap diam tak berkutik, menerima omelan panjang atas kelalaian yang tak bisa kukendalikan. Terbesit di batinku untuk membabarkan alasan, tetapi otakku segera menyangkalnya. Aku sadar menjawab bukanlah tindakan yang bijak, sebab itu hanya akan memperburuk keadaanku.
Viktor tampaknya sadar, bahwa kegiatan di dalam dapur mulai terhambat akibat konflik ini. Dia pun mau tak mau harus menyudahi ceramah panjangnya. Walau tampak belum puas untuk mempermalukanku di depan para rekan kerja lainnya, dengan terpaksa dia harus melepaskan mangsanya.
Viktor menepuk pundakku sembari berbisik di telingaku, “Ingat lo cuma anak baru, jangan macem-macem kalau masih mau kerja di sini.” Lalu dia tersenyum sinis dan pergi berlalu meninggalkan area dapur.
Terjangan para makhluk halus dengan rupa menyeramkan tadi, rasanya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Rupa seseram apa pun tak akan lebih berbekas daripada sebuah kalimat yang menyakiti hati.
Langit kian gelap dan jarum jam dinding telah mengarah pada angka sepuluh, artinya bahwa saatnya untuk restoran tutup. Waktunya para pekerja untuk membereskan seisi restoran.
Dimulai dari bagian terdepan yaitu pintu masuk, kursi dan meja para pengunjung, hingga bagian dapur hingga toilet harus dibersihkan dan di cek satu persatu. Jika ada salah satu yang terlupa, maka sanksi dan denda akan dijatuhkan kepada semua pekerja. Termasuk aku juga.
Sebelum tengah malam tiba, semua karyawan berusaha secepat mungkin untuk membereskan restoran agar cepat pulang. Dari dapur, seorang pria berseragam batik hitam bercorak parang, datang mendekatiku yang sedang membersihkan meja bundar restoran. Pria itu adalah Aryo, rekan kerjaku yang juga baru saja bergabung ke dalam restoran ini.
Dengan secarik kain lap di genggamannya, Aryo berdiri di sampingku sembari berpura-pura membantuku membersihkan meja.
“Tadi lo kenapa bengong doang sih, Ram?” bisiknya pelan.
“Emangnya gua bengongnya selama apa, sih?” tanyaku heran.
Aryo berpikir sejenak. “Hmmm … sekitar lima menitan kayaknya nyampe, deh.”
Bukan pertama kalinya hal itu terjadi padaku. Semenjak kecelakaan itu, hal seperti ini terus-menerus terjadi. Layaknya rekaman yang diputar secara acak, aku dipaksa untuk menontonnya.
“Lo lagi banyak pikiran, ya?” tukas Aryo.
“Nggak, kok. Mungkin karena kecapekan doang,” balasku mengelak.
“Yah … padahal baru mau gua ajakin nongkrong, nih. Mumpung besok lagi libur kerja loh,” gerutu Aryo.
Sudah beberapa kali Aryo mengajakku nongkrong, tetapi jadwalku tak pernah sesuai untuk menerimanya. “Lain kali deh, Yo. Soalnya besok gua lagi ada banyak kelas di kampus.”
“Iya deh, si paling sibuk,” ejek Aryo. “Si paling sibuk pacaran.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hingga tiba-tiba, terdengar ucapan seseorang dari belakang kami.
“Lagi asik ngomongin apa, nih?”
Kami spontan menoleh kebelakang, dan menunduk seketika. Ternyata, suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang ternyata manajer kami. Pria itu berwajah ramah dan berdandan serba rapi, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dia memakai setelan jas hitam pekat, selaras dengan warna celana panjang yang dikenakannya.
Pria paruh baya itu adalah pak Eka. Selain Viktor, dia adalah pemegang jabatan manajer di restoran ini. Dia juga karyawan paling tua dan paling lama bekerja di sini.
Dia pun tertawa kecil melihat kepanikan kami. “Santai saja, nggak usah takut. Nggak ada pak Viktor, kok.”
“Iya, Pak,” ucapku dan Aryo bersamaan.
Pak Eka pun tersenyum melihat respon tegang kami.
“Omongan pak Viktor jangan dimasukin ke hati ya, Rama.” ucap Pak Eka halus. “Pak Viktor mah dari dulu juga udah galak sama karyawan lain.”
Aku pun tersenyum tipis, memahami usaha beliau untuk menghiburku. “Iya gapapa kok, Pak. Lama-lama juga nanti saya terbiasa, kok.”
“Nah, gitu dong, jangan patah semangat, ya,” ucapnya hangat sembari menepuk pundakku. Persis dengan apa yang dilakukan oleh Viktor, walau makna dan rasanya berbanding terbalik. Setelah itu, beliau berlalu pergi meninggalkan kami, membiarkan kami menyelesaikan sisa pekerjaan malam itu.
Pembicaraan itu berhasil membuatku merasa sedikit lega. Keberadaan Aryo dan pak Eka setidaknya dapat sekilas membuatku lupa akan tekanan hidup yang kualami saat ini.
Bersambung ….
Pelan-pelan aku memandang setiap sudut ruang tempatku terdampar. Aku pun menyadari bahwa tempat ini adalah aula kampus. Terbesit di benakku bahwa manusia yang serempak memakai setelan putih hitam ini adalah para mahasiswa yang sedang melakukan ospek. Sedangkan beberapa orang yang mondar-mandir itu adalah para panitia penyelenggara.
Sejenak kemudian, pintu yang berada tak jauh dari podium tiba-tiba terbuka. Semua peserta secara serempak menutup mulut, seiring munculnya seorang pria paruh baya dari balik pintu. Seorang pria berkacamata yang mengenakan jas almamater berwarna biru dongker.
Yang setelah kulirik dengan seksama, adalah dekan dari fakultas ekonomi kampusku. Beliau berjalan diiringi oleh beberapa dosen yang tampak tersenyum dan bertingkah canggung. Seperti biasanya, mereka pun memulai acara dengan kata sambutan secara bergantian di atas podium.
Semua gerak-gerik dan situasi yang terjadi berjalan dengan sangat cepat. Bagaikan video yang diputar dua sampai tiga kali lebih cepat dari kecepatan normal. Saking cepatnya situasi berjalan, aku bahkan tak sempat untuk memberi reaksi apa pun. Hingga beberapa saat kemudian, muncul satu persatu keanehan di sekitarku.
Bermula dari berbagai macam suara aneh yang muncul dari segala penjuru arah. Seperti campuran dari suara tawa yang dibalut dengan isak tangis. Ada pula suara teriakan kemarahan dibalik rintihan kesakitan. Aku merasakan emosi dan energi negatif perlahan membesar hingga berhasil menyelimuti seisi ruangan.
Sebuah gumpalan bayangan besar secepat kilat menyambar seorang Pria bertubuh mungil yang sedang duduk bengong di kursi. Gumpalan bayangan besar itu dalam sekejap mata menembus tubuh pria itu, lalu melayang di belakangnya.
Perlahan bayangan itu samar-samar membentuk dan memperlihatkan wujudnya. Makhluk bertubuh layaknya seorang manusia, tetapi di bagian kepalanya hanya ada api merah yang membara. Mungkin kebanyakan orang mengenal makhluk itu dengan sebutan Banaspati.
Lalu aku memperhatikan Pria mungil itu beranjak dari kursi yang didudukinya dan berdiri tegap di tengah kerumunan. Orang yang berada di sekitarnya pun kian menatapnya dengan bingung.
Dia tiba-tiba mengacungkan jari telunjuknya kepada pembicara yang berdiri di podium.
“PENDUSTA!” teriaknya yang seketika memecah keheningan ruangan.
Suara tawa menggelegar pun keluar dari mulutnya, di tengah reaksi heboh kerumunan di sekelilingnya. Situasi seketika menjadi kacau. Dosen pembicara dan panitia berusaha menenangkan para peserta, tapi usaha mereka sia-sia, hanya ada kebisingan yang memenuhi ruangan.
Semakin kacau situasi, semakin menjadi-jadi pula tawa dari Pria bertubuh mungil itu. Anehnya, walau dia sedang tertawa, aku bisa mendengar suara Banaspati yang menyusupi tubuhnya di benakku.
“Dasar manusia-manusia munafik!” ucapnya geram. “Ucapannya semanis gula, tapi hati dan kelakuannya sebusuk bangkai.”
Di sisi lain, tampak tiga orang pria beralmamater biru dengan tergopoh-gopoh mencoba untuk mengamankan situasi yang kacau. Mereka pun mencoba menarik paksa tubuh mahasiswa mungil tersebut.
Di saat ketiga pria itu mencoba untuk menarik mahasiswa itu keluar, seketika tertempel ekspresi panik dan ketakutan pada wajah mereka. Alasannya karena tubuh mahasiswa mungil itu tak bergeming sedikit pun, kendati mereka sudah mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkatnya. Mahasiswa bertubuh mungil itu tetap berdiri tegak dan tertawa lepas seakan mencemooh usaha mereka yang sia-sia.
Kekacauan itu seakan mengundang entitas-entitas yang sudah lama mengintai. Terbukti dari semakin banyaknya sekelebat bayangan hitam yang muncul dan menyambar para peserta ospek lainnya. Tak tahu kenapa, kebanyakan dari bayangan itu mengincar para peserta perempuan.
Bayangan hitam itu tampak memasuki tubuh para peserta, tetapi anehnya, jika kuperhatikan, bayangan itu lalu muncul melayang di bagian belakang para korban. Hingga pelan-pelan, bayangan yang mulanya tampak samar mulai menunjukkan sosok aslinya dengan berbagai rupa yang menyeramkan. Mulai dari siluman, kuntilanak, genderuwo, pocong dan banyak jenis lainnya lengkap hadir untuk memeriahkan acara.
Kepanikan lekas menyebar layaknya setitik api yang disandingkan dengan kertas. Satu-persatu peserta mulai jatuh pingsan. Beberapa kembali bangkit, tapi dengan persona yang berbeda.
Ada yang melotot sembari berteriak murka kepada semua orang. Ada yang menangis histeris dan tersedu-sedu seakan menjadi makhluk paling menderita di dunia ini. Ada pula yang tertawa dan memaki para panitia yang mencoba menahannya.
Tingkah kacau mereka pun merefleksikan emosi dari suara yang kudengar sejak awal tadi. Emosi negatif terpendam, yang tak tahu kapan berakhirnya.
“Kesurupan massal ….” Dua kata itu yang seketika muncul di benakku.
Pintu demi pintu terbuka dan orang-orang berlarian untuk keluar dari sana. Meninggalkan para panitia yang sibuk berperang menaklukkan para peserta kesurupan, yang ditunggangi musuh tak kasat mata.
Aku diam mematung di tengah situasi kacau itu. Aku hanya bisa menyaksikan pemandangan aneh itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Hingga tiba-tiba, sang Banaspati berhenti tertawa dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Di balik api yang berkobar itu, tampak pandangan mata sinis yang seakan mengartikan kehadiranku sebagai tamu yang tak di undang.
Tiba-tiba, suasana hening seketika. Para makhluk tak kasat mata lainnya secara serempak menghentikan aksinya. Mata mereka yang bersinar merah, kini terpusat kepadaku, layaknya sedang memandangi seekor mangsa yang empuk.
Tanpa aba-aba, sang Banaspati diikuti oleh para makhluk halus lainnya seketika menerjangku posisiku.
<><><>
Aku pun terperanjat dari penglihatan itu dan bangun kembali pada realita, dengan nafas yang tergesa-gesa. Suasana hening, tiada bunyi selain suara keran air yang sedang mengucuri tumpukan gelas dan piring.
Kuseka keringat dingin yang mengalir di dahiku. Sejenak aku memperbaiki pola nafasku yang tak teratur. Lalu perlahan aku menoleh ke samping. Di saat itu juga, tatapanku tertancap pada seorang pria bertampang muda yang mengenakan setelan jas hitam formal layaknya seorang CEO.
Pandangan matanya sibuk memelototiku. Raut wajahnya yang dingin pun menjawab alasan kenapa dapur yang biasanya berisik tiba-tiba menjadi hening bagai kuburan. Detik itu juga aku tersadar, bahwa aku sedang dalam masalah.
“Woi!” Bentakan Pria itu seketika memenuhi seisi ruangan. “Dari tadi kamu dengar apa yang saya omongin, gak!”
“Maaf pak…,” balasku spontan sembari menundukkan wajahku.
“Coba kamu ulangin apa yang saya omongin tadi!” perintahnya.
Sialnya, pria judas yang ada di hadapanku adalah seorang manager restoran bernama Viktor. Selain owner, dia adalah atasan berpangkat paling tinggi di restoran ini. Entah kenapa, aku merasa dia tak senang akan keberadaanku di restoran ini.
Beberapa detik berlalu, tapi aku hanya diam tak bisa menjawab. Saat itu, aku hanya bisa pasrah menerima nasib sialku. Semua itu gara-gara penglihatan sialan yang belakangan ini selalu muncul secara acak.
Seingatku, sebelumnya aku sedang mencuci tumpukan piring di dapur. Anehnya, pandanganku tiba-tiba berubah menjadi gelap, dan mendapati diriku berada di kerumunan tadi. Aku sendiri tak habis pikir, kenapa aku bisa-bisanya mendapat penglihatan itu.
“Bener-bener kamu, ya!” Viktor mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku. “Masih anak baru tapi udah berani bertingkah kamu!”
Selanjutnya aku tetap diam tak berkutik, menerima omelan panjang atas kelalaian yang tak bisa kukendalikan. Terbesit di batinku untuk membabarkan alasan, tetapi otakku segera menyangkalnya. Aku sadar menjawab bukanlah tindakan yang bijak, sebab itu hanya akan memperburuk keadaanku.
Viktor tampaknya sadar, bahwa kegiatan di dalam dapur mulai terhambat akibat konflik ini. Dia pun mau tak mau harus menyudahi ceramah panjangnya. Walau tampak belum puas untuk mempermalukanku di depan para rekan kerja lainnya, dengan terpaksa dia harus melepaskan mangsanya.
Viktor menepuk pundakku sembari berbisik di telingaku, “Ingat lo cuma anak baru, jangan macem-macem kalau masih mau kerja di sini.” Lalu dia tersenyum sinis dan pergi berlalu meninggalkan area dapur.
Terjangan para makhluk halus dengan rupa menyeramkan tadi, rasanya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Rupa seseram apa pun tak akan lebih berbekas daripada sebuah kalimat yang menyakiti hati.
<><><>
Langit kian gelap dan jarum jam dinding telah mengarah pada angka sepuluh, artinya bahwa saatnya untuk restoran tutup. Waktunya para pekerja untuk membereskan seisi restoran.
Dimulai dari bagian terdepan yaitu pintu masuk, kursi dan meja para pengunjung, hingga bagian dapur hingga toilet harus dibersihkan dan di cek satu persatu. Jika ada salah satu yang terlupa, maka sanksi dan denda akan dijatuhkan kepada semua pekerja. Termasuk aku juga.
Sebelum tengah malam tiba, semua karyawan berusaha secepat mungkin untuk membereskan restoran agar cepat pulang. Dari dapur, seorang pria berseragam batik hitam bercorak parang, datang mendekatiku yang sedang membersihkan meja bundar restoran. Pria itu adalah Aryo, rekan kerjaku yang juga baru saja bergabung ke dalam restoran ini.
Dengan secarik kain lap di genggamannya, Aryo berdiri di sampingku sembari berpura-pura membantuku membersihkan meja.
“Tadi lo kenapa bengong doang sih, Ram?” bisiknya pelan.
“Emangnya gua bengongnya selama apa, sih?” tanyaku heran.
Aryo berpikir sejenak. “Hmmm … sekitar lima menitan kayaknya nyampe, deh.”
Bukan pertama kalinya hal itu terjadi padaku. Semenjak kecelakaan itu, hal seperti ini terus-menerus terjadi. Layaknya rekaman yang diputar secara acak, aku dipaksa untuk menontonnya.
“Lo lagi banyak pikiran, ya?” tukas Aryo.
“Nggak, kok. Mungkin karena kecapekan doang,” balasku mengelak.
“Yah … padahal baru mau gua ajakin nongkrong, nih. Mumpung besok lagi libur kerja loh,” gerutu Aryo.
Sudah beberapa kali Aryo mengajakku nongkrong, tetapi jadwalku tak pernah sesuai untuk menerimanya. “Lain kali deh, Yo. Soalnya besok gua lagi ada banyak kelas di kampus.”
“Iya deh, si paling sibuk,” ejek Aryo. “Si paling sibuk pacaran.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hingga tiba-tiba, terdengar ucapan seseorang dari belakang kami.
“Lagi asik ngomongin apa, nih?”
Kami spontan menoleh kebelakang, dan menunduk seketika. Ternyata, suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang ternyata manajer kami. Pria itu berwajah ramah dan berdandan serba rapi, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dia memakai setelan jas hitam pekat, selaras dengan warna celana panjang yang dikenakannya.
Pria paruh baya itu adalah pak Eka. Selain Viktor, dia adalah pemegang jabatan manajer di restoran ini. Dia juga karyawan paling tua dan paling lama bekerja di sini.
Dia pun tertawa kecil melihat kepanikan kami. “Santai saja, nggak usah takut. Nggak ada pak Viktor, kok.”
“Iya, Pak,” ucapku dan Aryo bersamaan.
Pak Eka pun tersenyum melihat respon tegang kami.
“Omongan pak Viktor jangan dimasukin ke hati ya, Rama.” ucap Pak Eka halus. “Pak Viktor mah dari dulu juga udah galak sama karyawan lain.”
Aku pun tersenyum tipis, memahami usaha beliau untuk menghiburku. “Iya gapapa kok, Pak. Lama-lama juga nanti saya terbiasa, kok.”
“Nah, gitu dong, jangan patah semangat, ya,” ucapnya hangat sembari menepuk pundakku. Persis dengan apa yang dilakukan oleh Viktor, walau makna dan rasanya berbanding terbalik. Setelah itu, beliau berlalu pergi meninggalkan kami, membiarkan kami menyelesaikan sisa pekerjaan malam itu.
Pembicaraan itu berhasil membuatku merasa sedikit lega. Keberadaan Aryo dan pak Eka setidaknya dapat sekilas membuatku lupa akan tekanan hidup yang kualami saat ini.
Bersambung ….
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup