- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
willdhan26 dan 198 lainnya memberi reputasi
195
278.4K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#25
#4 - What a Rainy Day
Spoiler for #4 - What a Rainy Day:
Ia sepertinya juga nggak kalah terkejut dengan gua. "Ngapain lo?”Tanyanya.
Gua mengernyitkan dahi, lalu menjawab dengan pertanyaan yang sama; "Lo ngapain?”
"Gue kerja disini..” Jawabnya. Gua melirik ke arah kartu pengenal yang ia gunakan. Kartu pengenal berisi foto dirinya, Nama, Nomor karyawan, divisi kerja yang tertulis; ‘Digital Marketing’. Sebuah logo perusahaan yang begitu familiar berada pada bagian atas kartu pengenal tersebut.
Seorang perempuan berjilbab dengan kacamata bulat yang berdiri persis di belakangnya terlihat berbisik. Walau gayanya seperti tengah berbisik namun suaranya mampu didengar seisi ruangan; "Temen lo, Lad?”
"Idih. Bukan!” Jawab Lady seraya menunjukkan ekspresi kejijikan yang hakiki.
Gua kembali berbalik dan menghadap ke antrian. Lady kembali bicara ke gua, kini suaranya terdengar sedikit lebih ramah. Ya, karena ada maunya; "Mas Jeje, Mas boleh nggak gue duluan. Gue tinggal pickup doang..” Ucapnya.
"Nggak” jawab gua singkat, tanpa berpaling.
Antrian di depan gua bergerak dengan cepat, sepertinya mereka telah melakukan pemesanan secara daring dan kini tinggal mengambil pesanan dengan menunjukkan QR code melalui ponselnya. Tiba giliran gua berada di tepat di depan konter pelayanan. Pramusaji yang tak terlihat ramah bertanya kopi apa yang ingin gua pesan, sementara jarinya sibuk menari diatas layar touchscreen dihadapannya.
"Pesen apa?”
"Hmmm…” Gua melihat ke atas, ke arah layar lebar yang menampilkan berbagai menu kopi.
"...”
Saat gua tengah berusaha memutuskan menu apa yang ingin gua pesan, terdengar decak keluhan dari Lady yang berdiri tepat di belakang gua; "Ck.. Lama”
"Iced Americano dua…” Ucap gua, seraya menyerahkan kartu pembayaran ke pramusaji. Setelah selesai memesan gua lalu bergeser dan duduk di salah satu kursi yang terdekat dengan konter pelayanan.
Lady dan temannya bergerak maju, ia menunjukkan layar ponselnya, memindai QR Code dan langsung menerima kopi pesanannya. Sebelum pergi ia sempat menatap gua lalu menyeringai.
"Mas.. Kopinya nih” Ucap si pramusaji dengan nada datar, seraya menyerahkan dua gelas plastik berisi kopi pesanan gua. ‘Buset ini kualitas pelayanannya super jelek’ batin gua dalam hati.
Nggak seberapa lama, Rossi datang dan langsung duduk di kursi tepat di sebelah gua. "Sorry, macet banget” Ucapnya seraya membuka tas dan mengeluarkan tablet.
Gua menyodorkan segelas Iced Americano ke arahnya.
"Wah, buat gue?” Tanyanya.
"Iya…”
"Thankyou”
"Ini Coffee shop punya lo?” Tanya gua sambil menatap sekeliling.
"Iya. Kok tau?”
"Ya namanya aja Le Rossi…” Gua menjawab dan menunjuk ke arah plang nama di depan yang terlihat dari tempat kami duduk sekarang.
"Hahaha… Biasa iseng-iseng..” Ujarnya. Rossi lalu menggeser duduknya mendekat ke arah gua, ia sempat melirik ke arah plastik berisi belanjaan milik gua; "Punya lo?”
"Iya..”
"Belanja dulu?”
"Iya..”
"Dikit amat belanjaan lo?”
"Yang makan juga dikit”
"Oh iya ya, lo cuma berdua kan?”
"Iya..”
"Oke, jadi gini Je…” Ucap Rossi memulai diskusi dengan menyalakan tablet miliknya lalu mulai menunjukkan deck strategic plan yang pernah gua buat sebelumnya. Diskusi kami berlangsung lancar, Rossi banyak bertanya mengenai alasan dibalik angka-angka yang gua munculkan pada plan. Saat gua memberi jawaban, ia terlihat mengangguk sambil mencatat pada sebuah notes kecil bersampul merah mudah.
"Udah clear?” Tanya gua begitu kami selesai.
"As a crystal” jawabnya sambil tersenyum.
Gua melirik jam pada layar ponsel di atas meja, lalu bersiap untuk pulang.
"Mumpung lo disini.. Gimana, berubah pikiran nggak Je?” Tanyanya.
"Nggak…” Jawab gua singkat lalu berdiri.
"Seminggu lagi. Gue kasih kesempatan seminggu lagi…” Ucapnya.
"Hahaha… die hard banget… Oiya by the way, harusnya lo pisahin konter pelayanan buat yang mau beli langsung sama yang cuma mau ambil pesanan, biar nggak antri” Gua bicara seraya menunjuk ke arah konter pelayanan dengan antrian yang mengular.
"Iya, tapi kan dulu lo pernah bilang kalau antrian keliatan buat bisnis…” Sanggah Rossi.
"Konteks-nya beda. Antrian keliatan bagus kalau lo ada di ekosistem yang tepat. Misalnya di pinggir jalan, di area yang terekspos banyak orang. Nah sekarang lo ada di lobby belakang gedung. Siapa yang mau liat tuh antrian…” Ucap gua.
"Iya ya..”
"Oke, gua balik ya.. Salam buat bokap lo”
"Iya, Thank you ya Je”
"No Worries Ross..”
Gua berjalan keluar dari coffee shop dan mendapati Lady bersama temannya masih duduk-duduk di area Lobby sambil cekikikan. Saat gua melintas tepat di depan mereka berdua, terdengar ia bicara ke arah temannya dengan volume sengaja di keraskan; "Duh, kantor berasa pasar ya ghin?”
Nggak menggubrisnya, gua hanya berlalu seraya menggenggam erat kantong plastik berisi tempe, kacang panjang, bayam dan bawang di tangan gua. Tak sedikit pun gua percaya tentang reinkarnasi, tapi jika reinkarnasi itu ada, mungkin gua dan Lady adalah musuh bebuyutan di kehidupan sebelumnya.
Terbukti dari takdir yang selalu mempertemukan kami berdua.
"Papah hari ini Anggi mau Sosis boleh?” Tanya Anggi begitu kami tiba dirumah.
"Hmmm… Kemaren bukannya udah makan sosis. Emang nggak bosen?”
"Nggak kok” Jawabnya.
"Oke.. Tapi pake sayur ya”
"Iya, tapi Anggi nggak mau brokoli ya papah”
"Kalo sayur bayem mau kan?”
"Mau..”
Gua lantas ke dapur, menggoreng sosis dan memasak sayur bayam untuk makan kami berdua. Begitu selesai makan, Anggi merengek minta kembali ke toko untuk mengambil salah satu bonekanya yang tertinggal.
"Iya tapi udah malem, besok aja ya?”
"Nggak mau papah, Anggi mau ambil Dini sekarang..” Rengeknya, iya boneka beruang yang tertinggal bernama Dini, boneka yang diberikan Reni beberapa waktu yang lalu.
"Nggi.. Anggi.. Sini Papah bilangin”
"Nggak mau…”
Gua lalu mendekat dan mulai memeluknya. "Anggi, nggak semua yang kita mau tuh bisa kita dapetin. Anggi boleh marah, Anggi boleh kesel, tapi Anggi juga harus sabar. Ya?”
Ia lalu menoleh dan menatap gua dengan matanya yang berlinang.
"Udah sekarang Anggi beresin mainannya, cuci kaki, gosok gigi terus tidur. Nanti Papah telepon Om Oman. Kalo Om Oman masih di toko nanti Papah minta tolong Om Oman anterin bonekanya kesini. Tapi kalo Om Oman udah pulang ya Anggi tunggu sampe besok ya..”
"Iya Papah…” Jawabnya, lalu menyeka air matanya, dan bergegas menuju ke kamar mandi untuk cuci kaki dan menggosok gigi.
Setelah melakukan semuanya, Anggi mengecup kedua pipi gua dan masuk ke dalam kamarnya untuk tidur. Sementara gua keluar menuju ke teras, meraih bungkusan rokok dari atas kusen pintu, dan menyulutnya sebatang.
Gua mencari nama Rohman pada layar ponsel dan mulai menghubunginya. "Man, lo udah balik belom?”
"Udah.. Kenapa?” Ia balik bertanya.
"Bonekanya Anggi ketinggalan di toko”
"Oh, mau gua ambilin?”
"Nggak usah. Gua ambil sendiri aja…”
"Yaudah…” Jawabnya, lantas mengakhiri panggilan. Setelahnya gua kembali masuk ke dalam, meraih kunci rolling door toko yang tergantung pada dinding kamar dan kembali keluar.
Gua berjalan cepat menyusuri tepi jalan raya, berharap agar cepat sampai dan kembali ke rumah. Takut Anggi bangun dan nggak mendapati papahnya. Begitu selesai mengambil boneka dari toko, gua menyempatkan diri mampir ke minimarket untuk membeli kebutuhan rumah yang habis sekalian membeli rokok.
Saat tengah antri untuk membayar, sebuah tepukan membuat gua berpaling. Seorang perempuan berjilbab dengan kacamata bundar berdiri seraya tersenyum di belakang gua. Tangannya tengah memegang keranjang belanja yang dipenuhi dengan berbagai macam snack dan minuman. Gua menatapnya, seperti pernah melihatnya; Ah, temannya Lady yang tadi gua sempat lihat di Coffee shop.
Perempuan berjilbab tersebut menunjuk ke arah gua, dengan penuh keraguan ia menebak; "Mas Temennya Lady kan?” Tanyanya.
"Eh bukan, bukan” Jawab gua.
"Ah bohong..”
"Maksudnya ‘bukan’, Bukan temannya Lady”
"Bohong ah. Kalo bukan temen Lady nggak mungkin ngeledekin kayak tadi pas di lobby” Ucapnya.
Gua nggak merespon ucapannya, hanya tersenyum dan kembali berbalik menghadap ke antrian. Setelah selesai membayar, gua bersiap untuk keluar. Lalu perempuan berjilbab tersebut memanggil gua; "Mas, tunggu sebentar mas”
"Hah, ngapain?” Tanya gua.
"Bentaar aja…”
Gua lalu keluar, duduk di teras minimarket dan menunggunya sambil merokok. Begitu ia keluar dari minimarket, gua langsung berdiri; "Kenapa?” Tanya gua.
Ia lalu menjulurkan tangan, mengajak berjabat tangan. Gua menyambut tangan dan menyebutkan nama, begitu juga dengan dirinya; "Ghina…” Ucapnya.
"Mas, aku boleh minta tolong kah?” Tanyanya.
"Tolong apa?” Gua balik bertanya, penasaran.
"Kata Lady, Mas kan punya usaha ya?”
"Iya?”
"Nah jadi gini mas, aku lagi butuh testimoni sama survey dari penggiat UMKM buat tesis aku. Mau nggak mas?”
"Oh boleh… Tapi nggak harus sekarang kan?”
"Nggak Mas, santai kok.. Boleh minta nomer HP nya mas? Nanti aku kirim link form survey-nya via chat”
"Boleh..” Gua lalu menyebutkan nomor ponsel kepadanya. Sementara Ghina mulai memasukkan nomor yang gua sebutkan ke ponselnya. Ia lalu menghubungi nomor ponsel gua yang baru di inputnya.
"Masuk nggak mas?” Tanyanya dengan ponsel masih ditelinga.
"Harusnya masuk sih, tapi gua nggak bawa HP” Gua menjawab
.
"Oh yaudah, nanti aku langsung kirim link-nya ya Mas. Makasih ya”
"Sama-sama…”
Gua lalu pergi, dan berjalan kembali ke rumah.
Begitu tiba di rumah, dengan hati-hati gua membuka kamar tidur Anggi dan menyelipkan boneka beruang miliknya dalam dekapan. Kemudian keluar, meraih ponsel dan mengecek panggilan masuk dari Ghina tadi, lalu menyimpannya dalam kontak ponsel. Rupanya, ia sudah mengirimkan link berupa form survey dan testimoni yang harus gua isi. Hanya butuh nggak sampai 15 menit buat gua untuk menyelesaikannya.
‘Done ya’ Gua membalas pesan ke Ghina, yang lalu segera dibalasnya dengan; ‘Thank You ya Mas Jeje’
Setelah selesai dengan urusan survey gua masuk ke kamar, Membuka jendela lebar-lebar dan menyulut sebatang rokok. Sambil merokok, gua membuka laptop dan mulai mengecek email masuk. Notifikasi permintaan video conference muncul di sudut kanan atas layar laptop. Gua mengklik notifikasi tersebut, disusul sebuah aplikasi video call terbuka dan wajah Claire hadir menyapa gua.
"Hi, How's your day going?” Sapanya sambil tersenyum.
"Not bad...”
Claire tersenyum begitu mendengar jawaban gua.
"Are you doing fine?”
"Ya.. Let’s go. What happened?”
Lalu terlihat Claire sibuk mengklik disana sini, dan mulai membagikan layar laptopnya yang menampilkan performance report akhir kuartal kedua tahun ini. Setelah selesai dengan performance report, Claire kini beralih dan membuka dokumen tentang beban produksi yang semakin meningkat.
Gua menggaruk kepala sambil mencoba mencari solusi untuk mengurangi jumlah beban produksi yang semakin lama semakin naik. Di kuartal ini saja, beban produksi bengkak hingga dua setengah kali lipat.
"Hey Claire, Can you find out how much it will cost if we do the production here in Jakarta compared to the current wage budget of the production team?”
"Well, okay. But we will have extra costs for export and customs. Is that okay?"
"I think that will be more cost-effective."
Setelah hampir dua jam berdiskusi dan menyadari bahwa gua sudah beberapa kali menguap karena mengantuk, Claire akhirnya pamit dan mengakhiri panggilan.
—
Saat baru saja gua menutup layar laptop, ponsel gua berdering. Layarnya menampilkan nama Lady. ‘Hhh.. apalagi sih?’ batin gua dalam hati.
“Halo..” Sapa gua.
“Lo abis ketemu sama Ghina ya?”
“Iya…”
“Ngapain dia?” Tanyanya. Sebuah pertanyaan yang menurut gua adalah retorika belaka. Menurut Ghina, ia tahu profesi gua darinya, jadi mustahil Lady nggak tahu Ghina ngapain.
“Duh, lo telpon gua cuma nanya ini doang? atau seneng dapet bahan debat baru?”
“Nggak. Gue cuma khawatir aja takut lo ngerayu Ghina, dia kan cakep.” Ucap Lady dari ujung sana. Gua sudah menebak kemana arah bicaranya. Ia sengaja ingin membuat gua naik pitam dan melayani perdebatan darinya.
Tapi, tenaga gua sudah terlanjur habis untuk berdebat. “Udah? Gua tutup ya”
“Eh, bentar, bentar…”
“Apa lagi?”
“Mmm.. “ Terdengar ia hanya menggumam dan tak bicara. Gua lantas mengakhiri panggilan.
Saat bersiap untuk tidur, ponsel gua bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Lady; ‘Gitu aja marah!’ Gua mengabaikan pesan tersebut dan nggak berencana membalasnya. Buat apa?
—
Hujan mengguyur Jakarta sejak tengah malam. Cuaca dingin terasa menembus kulit menusuk tulang. Gua bangun, mematikan alarm yang sengaja gua set menyala tepat pukul 5 dini hari. Gua membuka pintu kamar Anggi perlahan dan masuk hanya untuk menatap wajah mungilnya yang tengah tertidur pulas.
Gua membetulkan posisi tidurnya yang kini melintang. Ia memang terbiasa tidur seperti ini, kalau kata orang Jawa ‘Rungsang’, rusuh. Setelah menarik selimut kembali menyelubungi tubuh kecilnya, gua duduk tepat di sebelah ranjang, kembali memandangnya.
Kamar yang ia tempati saat ini sebelumnya adalah kamar Reni; adik perempuan gua. Setelah Reni menikah dan tinggal dengan suaminya, gua mulai membiasakan Anggi untuk tidur sendiri. Awalnya cukup sulit membiasakannya untuk tidur sendiri; sulit buatnya dan tentu sulit buat gua. Ada rasa sedikit nggak tega membiarkan anak sekecil Anggi untuk tidur sendirian. Tapi, gua harus melakukannya. Untuk mengajarkan arti kemandirian sejak dini.
Setelah puas memandangi Anggi, gua mulai memasak nasi untuk bekal Anggi ke Daycare. Biasanya, selain nasi gua juga menyiapkan sosis, telur dadar, atau nugget untuknya. Sementara, Jika kehabisan stok sayur atau gue terlalu malas untuk memasak, kami membeli lauk dan sayur di warteg seberang toko, dengan nasi yang gua bawa sendiri dari rumah.
Sambil menunggu nasi tanak, gua mulai mencuci pakaian dan sekalian menyetrika baju milik Anggi. Kalau baju gua sendiri sih jarang gua setrika karena males. Kalaupun memang harus tampil kinclong dan necis, gua baru akan menyetrika pakaian saat akan dikenakan.
Semua pekerjaan rumah selesai sebelum pukul tujuh pagi. Termasuk menyapu dan mengepel lantai. Setelah Anggi bangun, gua lantas membiarkannya untuk mandi.
“Anggi mau pake baju yang mana hari ini?” Tanya gua seraya membuka lemari pakaian miliknya.
Ia terbiasa memilih baju yang ingin dia pakai sendiri. Dan setelahnya gua akan membiarkannya mencoba memakai bajunya, saat kesulitan barulah gua berusaha membantunya. Sambil menunggu Anggi berpakaian, gua menyalakan televisi, menonton berita pagi. ‘Breaking news’ langsung menyambut gua, tentang kondisi jalan Ibu Kota yang banyak di rendam banjir akibat intensitas hujan yang tinggi sejak semalam.
Gua melongok keluar, hujan masih turun dengan derasnya. Jika terus-terusan seperti ini, banjir bakal semakin merajalela.
“Anggi nggak usah sekolah dulu deh.. Ujan gini…” Ucap gua begitu Anggi keluar dari kamar. Lalu nampak kekecewaan tersirat di wajahnya.
“Yaah…”
Nggak tega melihatnya kecewa, gua lantas mengubah keputusan; “Yaudah, kalo mau sekolah pake jas hujan ya?”
“Iya papah…” Jawabnya.
Sejatinya, Anggi bukan kecewa karena nggak masuk sekolah. Ia justru sedih karena nggak bisa main hujan-hujanan.
Gua lantas memakaikan jas hujan kepadanya lengkap dengan sepatu boots berwarna kuning; kado ulang tahunnya yang ke empat dari Reni. Dengan payung berukuran besar gua dan Anggi mulai menyusuri gang berliku untuk menuju ke Daycare.
Begitu keluar dari gang kecil tepat di sebelah Daycare, gua merasakan ada kejanggalan. Jalan raya terlihat sepi dan lengang. Tak terlihat satupun mobil yang melintas, kalaupun ada; hanya motor yang berjalan pelan menembus hujan, itupun hanya satu dua biji.
Kondisi di Daycare pun terbilang sepi, sangat sepi. Kami lalu disambut satpam yang berjaga di depan gerbang Daycare; “Libur pak… Guru-gurunya pada kebanjiran” Ucap si Satpam.
“Oh.. yaudah, makasih ya pak” Jawab gua, lalu berbalik sambil menuntun Anggi untuk menuju ke Toko.
Saking kosongnya jalan raya, terlihat banyak anak-anak bermain sepak bola di tengah jalan sambil bermandikan hujan.
“Nggak biasanya ya Man, ujan jadi sepi?” Tanya gua ke Rohman begitu kami tiba di Toko. Sementara, Anggi melepas tangan gua dan bergegas berlari ke area belakang toko untuk bermain hujan, masih dengan mantel dan sepatu botnya.
“Banjir soalnya” Jawab Rohman tanpa memalingkan wajah.
“Banjir dimana?” Tanya gua lagi.
“Disana sama disana” Jawab Rohman seraya menunjuk ke dua arah jalan raya. Arah Selatan dan Utara. Barulah gua sadari kenapa jalan tiba-tiba terlihat sepi. Karena akses ke area ini terputus akibat banjir. Bisa dibilang sekarang lokasi area kami terisolasi total.
“Yang di sana kok tumben banjir man?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah utara.
“Iya, tanggulnya jebol” Jawab Rohman.
“Oh.. Kalo yang disana, pas jembatan ya?” Tanya gua lagi, kini menunjuk ke arah selatan.
“Iya deket gang rumah Haji Ramlan…” Jawab Rohman. Barulah gua teringat akan jalan dekat rumah Haji Ramlan. Jalan yang landai, menurun, menuju sebuah jembatan dengan sebuah sungai dibawahnya, kemudian kembali menanjak. Posisinya mirip sebuah lembah dimana tepat pada dasarnya terdapat jembatan. Tentu saja jadi tempat yang nyaman buat air menggenang.
Saat hujan deras, lokasi tersebut memang kerap banjir. Apalagi saat ini, terhitung hujan sudah mengguyur Jakarta sejak semalam dan sampai kini belum berhenti. Gua menatap ke arah jalan depan toko.
“Apa tutup toko aja kali ya Man?” Gua memberikan usul.
“Ya elo kalo mau pulang, pulang aja. Gua ntar kayak biasa, jam 8an” Jawabnya.
“...”
“... Lagian di rumah gua juga nggak ngapa-ngapain” Tambahnya.
Gua lantas kembali keluar dari toko untuk mengecek Anggi yang terlihat tengah berlarian dibawah hujan bersama dengan Galih; anak pemilik konter ponsel dan anak-anak lainnya.
Seharian itu, hujan belum juga mereda, malah semakin deras. Sementara tak ada satupun pelanggan yang datang ke toko. Tak ada sama sekali. Gua lantas membereskan tas milik Anggi dan bersiap untuk pulang. Sementara, si pemilik tas masih asyik menonton televisi seraya berbaring sambil minum susu.
Ponsel gua berdering, Layarnya menunjukkan nama Lady. Gua mengernyitkan dahi, dan berdecak pelan; “Ck, ngapain lagi sih…” Setelah beberapa minggu nggak ada komunikasi, tiba-tiba ia menghubungi gua.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Jeje? Ini gue Lady…” Jawabnya dari ujung sana.
“Iya gua tau…”
“Je, lo di toko nggak?” Tanyanya.
“Iya, kenapa?” Gua balik bertanya.
“Je, gue udah 3 jam kejebak macet deket toko lo nih. Mau puter balik nggak bisa…” Keluh Lady.
“Iya, Banjir. Nggak bisa lewat sama sekali…”
“Yaaah, gue gimana nih?”
“Ya paling tunggu surut banjirnya…” Jawab gua santai.
“Kapan surutnya?”
“Nggak tau” Gua menjawab ketus.
“Yah terus gue gimana nih” Lady merespon, suaranya terdengar putus asa dan kelelahan.
Gua lalu mengakhiri panggilan.
junti27 dan 51 lainnya memberi reputasi
52
Kutip
Balas
Tutup