- Beranda
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
...
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
rukawa.erik dan 197 lainnya memberi reputasi
194
278.3K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#2
#2 - A Man and The Lady
Spoiler for #2 A Man and The Lady:
Masih dengan menatap layar ponsel, gua berjalan keluar, berniat untuk membeli rokok di minimarket dekat gang depan rumah.
Saat tiba di depan gang menuju ke jalan utama. Gua masih mendapati mobil sedan hitam berada di sisi jalan. Sementara, perempuan pemiliknya terlihat berdiri dan bersandar pada body mobil. Gua melirik jam digital pada layar ponsel; sudah hampir dua jam perempuan tersebut terjebak dalam kondisi seperti itu, mungkin lebih.
Ada sedikit keibaan yang menyelimuti hati. Namun, karena ia sempat memberikan penolakan saat gua ingin memberi bantuan, gua abaikan keibaan tersebut dan melanjutkan langkah menuju ke minimarket untuk membeli sebungkus rokok.
Sekembalinya dari minimarket, perempuan tersebut masih berada di sisi jalan.
"Hhh…"Gua menghela nafas, mengabaikan penolakan darinya tadi, lalu bergegas menghampiri mobil tersebut.
Gua berjalan mendekat dan memeriksa ke arah ban mobilnya yang memang nampak seperti bocor atau kurang angin. Namun, setahu gua, mobil dengan tipe ini sudah punya teknologi RFT atau Run Flat Tyre yang memungkinkan mobil bisa terus melaju walaupun bannya bocor.
Perempuan tersebut sedikit terkejut begitu melihat kehadiran gua. Ia yang tengah menatap layar ponselnya lalu melangkah sedikit menjauh. Gua mengabaikan sikapnya, hanya berjongkok tepat di sisi ban depan sebelah kiri, masih sambil merokok. Gua mengeluarkan sebotol air mineral yang tadi sempat gua beli di minimarket dan menyodorkan ke arahnya. Ia nggak merespon pemberian gua, hanya terdiam sambil menatap gua penuh curiga.
Gua meletakkan botol air mineral di bawah, tepat di atas tepian aspal. Kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya; "Baru pake mobil ini?"
"Kenapa emang?" ia balik bertanya, nadanya terdengar sedikit ketus.
"Mobil ini nggak ada ban serepnya. Soalnya walaupun bannya bocor, masih tetep bisa dipake. Asal nggak ngebut aja.." Gua menjelaskan, seraya melirik ke arah bagasi belakang mobil yang terbuka.
Mendengar penjelasan gua tersebut ekspresi wajahnya langsung berubah dan mulai menyanggah; "Gue tau kok.." ucapnya lalu menutup bagasi bagian belakang.
"Oh… kirain nggak tau" Gua merespon sambil berdiri lalu melangkah pergi meninggalkannya.
Saat baru beberapa meter gua menjauh, perempuan tersebut memanggil gua. "Mas.." Gua menghentikan langkah dan berbalik.
Seraya menundukkan kepala, dan memainkan ujung jarinya ia bicara; "Tapi tadi pas gue mau nyalain, mesinnya nggak mau nyala.." Ujarnya pelan.
Gua menatap mobilnya yang sepertinya seri keluaran terbaru.
"... Padahal sebelumnya normal-normal aja.." ia menambahkan.
"Boleh gua masuk?" Tanya gua, meminta izin untuk masuk ke bagian dalam mobil.
Perempuan itu nggak langsung menjawab. Ia masih menatap gua penuh kecurigaan.
Barulah setelah beberapa saat, ia memberikan persetujuan dengan anggukan kepala. Gua lalu masuk ke mobil bagian pengemudi dan mengecek pada layar di panel instrumen. Gua meraih tuas pada bagian belakang kemudi di sisi kiri, menekan tombol pada bagian ujungnya, yang lantas mengubah tampilan pada panel instrumen.
Kini panel instrumen menampilkan lampu RFT yang berkedip. Dengan menekan tombol pada palang kemudi yang bisa di scroll, tombol yang biasa digunakan untuk menambah atau mengurangi kecepatan dalam mode cruise control dan menonaktifkan RFT safety mode. Mode yang mencegah mesin mobil menyala saat ban kempes setelah penggunaan yang cukup lama.
Gua menekan tombol start dan ‘Brmmm…’ terdengar suara mesin menderu pelan.
Nampak kelegaan terpancar dari wajahnya. Gua keluar dari mobil, sementara ia berjalan memutar dan masuk, menutup pintu mobil lalu pergi. Meninggalkan gua yang berdiri sendirian di tepi jalan yang gelap. Ia bahkan nggak menyentuh botol air mineral yang tadi gua berikan. Botol tersebut masih berdiri tepat di atas tepian aspal jalan.
Gua merogoh saku, mencoba mengambil ponsel namun tak menemukannya. Setelah beberapa lama, barulah gua menyadari kalau ponsel gua tertinggal di dalam mobil perempuan tersebut bersama dengan dompet dan sebungkus rokok yang berada dalam plastik.
"Sial! mana tuh rokok baru diisep sebatang…" Gumam gua pelan.
Di dalam kamar, gua mengeluarkan laptop dari laci meja kayu dan mulai melanjutkan urusan ‘pekerjaan’ dengan laptop; menjawab email dan melakukan panggilan video.
—
Besoknya, gua mengawali hari seperti biasa. Mengerjakan urusan rumah, beres-beres, memasak bekal dan membantu Anggi bersiap untuk sekolah. Setelah mengantar Anggi ke Daycare, langsung menuju ke toko.
"Man, coba telpon nomor gua deh.." Ucap gua ke Rohman begitu tiba di toko.
"Mau ngapain, centil amat?" Tanyanya seraya mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
"Hape gua kebawa orang…"
"Oh.."
Rohman lantas mencoba menghubungi nomor ponsel gua, ia mengubah mode panggilan dengan pelantang suara. Alih-alih nada sambung yang terdengar, justru suara operator selular yang bicara; ‘Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau diluar jangkauan’
"Nggak bisa. Abis kali batrenya" Asumsi si Rohman.
Baru saja selesai Rohman menghubungi nomor gua, kini ponsel Rohman berdering. Terlihat nama ‘Reni’ pada layar ponselnya.
"Reni nih Je.." Ucap Rohman seraya menyodorkan ponsel miliknya ke arah gua.
Reni adalah adik perempuan gua satu-satunya. Ia baru saja menikah dan kini tinggal bersama dengan suaminya di daerah Tangerang. Gua dan Reni memiliki perbedaan usia 9 tahun, kami sama-sama dibesarkan oleh almarhum Kakek, setelah Ibu meninggal saat melahirkan Reni. Sementara, Bapak nggak lama menyusul kepergian Ibu beberapa bulan setelahnya.
Saat gua kelas 1 SMA, giliran Kakek menyusul Ibu dan Bapak. Terlatih yatim piatu sejak dini membuat hubungan gua dan Reni begitu dekat. Gua merasa punya tanggung jawab menjadi orang tua baginya dan Reni yang begitu mandiri karena sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian.
Gua meraih ponsel tersebut dan menjawab panggilan.
"Halo kenapa Ren" Sapa gua melalui ponsel.
Reni yang tentunya sudah mengenal suara gua, langsung nyerocos; "Ih, Hape lo kemana sih bang? dari semalem di Chat, di telpon nggak bisa?" Ucap Reni dari ujung sana, suaranya cempreng terdngar bising. Gua menjauhkan ponsel sebentar dan begitu ia selesai bicara barulah gua kembali mendekatkan ponsel ke telinga.
"Hape Abang kebawa orang, mungkin mati kali sekarang. Abang coba telpon juga nggak bisa.." Gua menjawab, mencoba menjelaskan.
"Oh.. pantes.."
"Ada apaan?" Tanya gua.
"Ya pengen nanya kabar kalian aja.." Jawabnya santai.
"Oh.."
"Abang sehat kan?"
"Sehat"
"Anggi juga kan?"
"Sehat"
"Yaudah nanti kalo HP-nya masih belom ketemu kabarin ya.."
"Iya, salam buat Robby ya.." Jawab gua, kemudian mengakhiri panggilan. Lalu mengembalikan ponsel ke Rohman
—
Saat di Daycare untuk menjemput Anggi, Miss Rina menyempatkan diri memberitahu gua kalau tadi Anggi sempat jatuh dari ayunan. Begitu gua bertanya ke Anggi ia hanya tertawa.
"Ada yang sakit nggak?" Tanya gua seraya memeriksa kedua lengan dan kakinya untuk mengecek apakah ada luka.
"Nggak Papah" Jawabnya sambil tetap tersenyum.
"Coba, tadi jatuhnya gimana?"
Anggi lalu berhenti berjalan dan mempraktekkan ulang kejadian saat ia jatuh dari ayunan. Dari reka ulang tersebut, gua merasa kalau lengan kanannya pastilah sakit karena menjadi tumpuan tubuh saat jatuh.
Sepulang dari menjemput Anggi, gua menyempatkan diri mampir ke rumah Rohman untuk memijat lengan kanan Anggi. Iya, nyokapnya Rohman merupakan tukang pijat bayi yang terkenal seantero daerah. Almarhum bokapnya merupakan seorang tukang jagal hewan di pasar, sementara kedua abangnya berprofesi sebagai polisi. Yang paling tua kini berpangkat Kombes, sedangkan yang kedua berpangkat AKP.
Rohman dan keluarganya bukanlah ‘orang jauh’ buat gua. Sejak kecil Rohman merupakan salah satu teman sepermainan, ia sering bermain di rumah gua dan begitu pula sebaliknya. Gua mengenal baik keluarganya. Nggak hanya Rohman, karena sejak lahir hingga SMA gua tinggal di daerah sini, gua banyak mengenal dan dekat dengan Akamsi; Anak Kampung Sini.
"Assalamualaikum…" Sapa gua sambil duduk di dipan bambu yang berada di pelataran rumah Rohman yang biasa dipakai sebagai arena pijat. Sementara Anggi langsung kabur menuju ke kolam ikan yang berada dekat dengan posisi dipan.
"Waalaikumsalam…" Jawab Nyak Embun, yang terdengar suaranya dari samping rumah. Ia melongok lalu menghampiri gua, masih dengan tampah berisi beras di tangannya.
"Lah, elu Je.. Tumben…" Ucapnya.
Gua meraih dan mencium tangannya. Kemudian memanggil Anggi yang sibuk berjongkok melempari kolam ikan dengan kerikil kecil. "Anggi, salam dulu ke nenek…"
Ia lantas berlari, mencium tangan Nyak Embun dan kembali ke kolam.
"Lah, Anggi udah gede aja yak…"
"Iya, kan di kasih makan nyak…"
"Lha iya yak, ayam bae dikasih makan gasik gede.." Ucapnya kemudian duduk di dipan bambu.
Gua lantas menyampaikan maksud dan tujuan gua datang, juga menceritakan kronologi jatuhnya Anggi dari ayunan. Biasanya, Nyak Embun, nyokapnya Rohman, enggan melayani pasien yang bukan bayi, karena tenaganya sudah nggak se-prima dulu. Tapi, untuk Anggi ia memberikan pengecualian.
"Sini neng…" Panggil Nyak Embun ke Anggi seraya menepuk dipan bambu dimana ia duduk. Anggi yang sudah terlalu excited dengan kolam ikan bergeming. Gua lantas menghampiri dan mengangkat tubuh mungilnya.
Anggi hanya terdiam sambil sesekali meringis saat Nyak Embuk memijat tangannya dengan minyak kelapa. Sejak bayi, Anggi memang bukan tipikal gadis yang cengeng. Ia nggak bakal menangis kalau rasa sakitnya nggak luar biasa.
Selesai memijat Anggi, gua merogoh uang dari saku celana dan berniat untuk memberikannya ke Nyak Embun. Namun, dia menolak; "Nggak ah, udah buat jajan Anggi aja…"
"Yaah, nyak.."
"Pulang gidah, gantiin bajunya tuh, ntar olesin minyak kelapa di rumah…" Ucap Nyak Embun.
Gua mengangguk, dan setelah berterima kasih padanya, gua bergegas pergi kembali ke toko.
"Lama banget?" Tanya Rohman begitu melihat gua dan Anggi datang ke toko.
"Gua tadi ke rumah lo, eh si Anggi jatuh dari ayunan…." Gua menjelaskan.
"Ngapa? keseleo?…" Tanya Rohman sambil mulai melayani beberapa pembeli yang datang.
"Nggak.." Jawab gua lalu mulai memindahkan catatan barang dagangan yang hampir habis dan harus di re-stock. Begitu selesai, gua menempelkan catatan barang yang harus dibeli di bagian dalam etalase toko, kemudian memberi instruksi ke Rohman agar besok pagi langsung pergi belanja sebelum membuka toko.
Dan rutinitas harian berjalan normal seperti biasa. Anggi memenuhi toko dengan suara riangnya dan Rohman yang sibuk melayani pembeli sambil sesekali duduk di kursi kayu depan toko untuk ngopi sambil merokok.
Selepas Maghrib, Gua menemani Anggi menonton acara kartun di televisi, sambil menunggu Rohman yang tumben pergi ke Mushola karena sedang mengincar gadis anak pak ustad yang biasa jadi imam di mushola.
Biasanya toko akan ditutup Rohman sekitar pukul 8 atau 9 malam, tergantung mood-nya dia aja. Sebelumnya, gua menginstruksikan Rohman agar menutup toko selepas Maghrib. Tapi, menurut Rohman, banyak pembeli yang datang setelah Isya. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang keliling yang membeli kebutuhan dagang mereka di toko sebelum pulang.
Jadi, gua membebaskan Rohman untuk menutup Toko kapanpun dia mau. Secara teori, memang toko ini atas nama gua. Tapi pada prakteknya, Rohman lah yang mengatur segalanya.
—
Di rumah gua berpikir keras, bagaimana cara menemukan perempuan yang ‘membawa’ ponsel dan dompet milik gua di mobilnya. Untuk urusan ponsel tentu saja bukan masalah besar, gua bisa dengan mudah datang ke gerai provider untuk mengganti nomor ponsel yang hilang. Yang bakal jadi masalah besar tentu saja nomor kontak yang berada di ponsel dan tentu saja surat-surat yang berada di dompet gua seperti KTP, SIM, ATM dan kartu lainnya. "Duh pasti ribet deh ngurus-ngurusnya" gumam gua pelan seraya memegangi kepala dan menyandarkan tubuh pada kursi.
‘Ting’ Sebuah notifikasi muncul pada sudut kanan atas layar laptop. Email dari Claire yang isinya meminta persetujuan pemindahan dana rekening. Setelah membaca detail email, gua membalasnya; ‘Hi Claire, Please proceed. Thx J.J’
Gua menutup layar laptop, memasukkannya ke dalam laci meja kayu dan bergegas untuk tidur.
Besoknya, setelah mengantar Anggi ke Daycare, gua langsung menuju ke salah satu mall di sekitar Lebak Bulus, Jakarta Selatan, untuk mengurus nomor ponsel yang hilang di gerai provider dan membeli ponsel dengan tipe dan merk yang sama dengan milik gua sebelumnya.
Sementara, untuk KTP dan SIM mungkin gua bakal urus besok atau lusa. Karena takut nggak keburu menjemput Anggi dari Daycare.
"Akhirnya beli HP?" Tanya Rohman begitu gua kembali ke Toko bersama Anggi.
"Iya.." Jawab gua singkat.
"Mana liat…" Pintanya. Gua lantas mengeluarkan ponsel baru dari saku celana dan menyerahkannya ke Rohman.
"Sekalian masukin nomor lo, Reni, Haji Ramlan sama yang lain-lain man.." Ucap gua. Yang lantas di respon dengan anggukan kepala olehnya.
Sementara Rohman mulai sibuk memindahkan kontak dari ponselnya ke ponsel gua. Dan gua menemani Anggi bermain, sambil sesekali melayani pembeli yang datang. Kini ia mengajak kembali bermain peran; gua diberinya titah untuk menjadi pelanggan dan Anggi menjadi tukang pangkas rambut yang tengah mencukur rambut.
Selepas maghrib, sebelum pulang ke rumah, gua keluar dari toko dan berjalan menuju ke tukang pecel ayam yang baru saja buka; membeli makan untuk kami bertiga.
Sekembalinya dari membeli pecel ayam, terlihat plastik bening berisi dompet, bungkusan rokok dan ponsel milik gua di atas meja kasir. Disebelahnya terdapat sebuah amplop putih yang cukup tebal.
Gua memeriksa isi kantong tersebut, meraih dompet dan memasukkannya ke dalam saku celana belakang. Lalu mendapati ponsel gua dalam kondisi layarnya retak dan tombol volume di sisi ponsel terlepas.
Rohman yang tengah bermain dengan Anggi menyadari kehadiran gua, lantas mendekat.
"Tadi ada cewek kesini, nganterin barang-barang lo…" Rohman memberi informasi.
"Sama ini dari dia juga?" Tanya gua seraya mengangkat amplop putih.
"Iya… katanya sih buat ganti HP lo.." Jawab Rohman.
Gua lalu membuka amplop dan melihat lembaran uang pecahan seratus ribu yang mungkin nilainya hingga 4 sampai 5 juta.
"Dia nggak ngomong apa-apa lagi?" Tanya gua lagi.
"Nggak, tapi dia nulis nomor HP di belakang amplop kayaknya deh.." Jawab Rohman.
Gua membalik amplop dan mendapati sebuah tulisan tangan berisi deretan angka, yang sepertinya nomor ponsel. Pada belakang nomor tertulis sebuah nama; ‘Lady’.
"Kok HP sama dompet lo bisa sama dia?" Kini Rohman yang gantian mengajukan pertanyaan. Gua lalu menjawab dengan menjelaskan secara singkat kejadian tempo hari.
"Nih…" Gua menyerahkan seporsi bungkusan pecel ayam ke Rohman, lalu mengajak Anggi untuk pulang.
Di rumah, setelah menidurkan Anggi, gua masuk ke dalam kamar, duduk di kursi kayu dan memandangi amplop berisi uang dari perempuan bernama Lady yang kini berada di genggaman tangan. Gua membolak-balik amplop, lalu mulai menginput nomor ponsel yang berada di balik amplop dan memberinya nama; ‘Lady’.
Nada sambung terdengar beberapa kali, namun tak ada jawaban. Gua kembali mengulanginya sampai beberapa kali dan masih belum ada jawaban.
‘Ah besok aja deh’ Batin gua dalam hati. Lalu melirik ke arah jam dinding dan mulai membuka laptop untuk mengecek email.
Beberapa saat kemudian, dering ponsel mengagetkan gua. ‘Fiuh’ Lupa mengganti nada dan volume dering di ponsel baru. Layarnya menunjukkan nama Lady.
"Halo.." Sapa gua.
"Halo, ini siapa ya?" Tanyanya.
"Lady ya?"
"Iya, ini siapa?" Tanyanya lagi untuk kedua kalinya.
"Mmm Gua yang kemarin di Toko plastik, yang HP nya ketinggalan di mobil lo.."
"Oh.. kenapa? kurang duitnya?" Tanyanya, nadanya terdengar sedikit merendahkan.
"Bukan, bukan itu.."
"Terus apa?"
"Gua nggak minta ganti HP yang rusak kok"
"Haha, nggak mungkin lah. Orang-orang kayak lo tuh gampang ketebak. Bilang nggak mau diganti, nggak taunya nanti obral cerita ke sosmed, merasa dizalimi.. Udah lah, kalo kurang bilang aja.."
Gua langsung mengernyitkan dahi begitu mendengar ucapannya barusan. ‘What the Hell! This harmful and discriminatory attitude!’
"Maksudnya ‘orang-orang kayak gua’ tuh gimana ya?" Tanya gua, mencoba mendapatkan konfirmasi.
"Yaa, kayak lo, berlagak nggak perlu uang. Terus nantinya ngemis-ngemis biar dapet uang lebih banyak. Banyak kok orang yang kayak gitu. Memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.. Lagian, uang dari gue itu kayaknya cukup buat beli HP baru yang lebih bagus dari punya lo yang rusak kok"
"Oh wow.. Are you just stereotyping me?"
"Nggak, emang nyatanya gitu kok.." Ia menjawab dengan santai.
"Ok, gini aja deh, sebelum malah jadinya berdebat, gua cuma mau bilang Makasih udah balikin barang-barang gua yang ketinggalan. Terus gua mau balikin duit yang lo kasih karena gua merasa nggak perlu. Bisa nggak lo kirim nomor rekening ke gua?"
"Duh udah deh mas, ambil aja. Repot banget jadi orang…"
Gua menghela nafas panjang, mencoba bersabar. Lalu kembali bicara; "Atau kirimin alamat lo, gua balikin duitnya."
"Idih ngeri banget, pake nanya-nanya alamat.. udah deh. Gua tuh sibuk ya, nggak ada waktu ngurusin orang-orang kayak lo. Udah ambil aja duitnya, anggap aja rejeki dari langit.." Balasnya.
"Wah.. I think you're taking it too far.." balas gua pelan.
"Yaaa, whatever lah…" Ia bicara singkat lalu mengakhiri panggilan.
‘Waaah… gila sih!’ batin gua dalam hati. Baru kali ini gua menghadapi orang dengan pola pikir yang super negatif kayak gini.
Sebelum meneruskan pekerjaan, gua mencoba peruntungan dengan mengirim pesan kepadanya; ‘No. Rekening lo’
Diubah oleh robotpintar 29-03-2023 16:06
jiyanq dan 56 lainnya memberi reputasi
55
Kutip
Balas
Tutup