- Beranda
- Stories from the Heart
Nan and Sexaworld
...
TS
beavermoon
Nan and Sexaworld

Spoiler for Peringatan:
Cerita ini mengandung unsur seksual vulgar.
Jika belum boleh, disarankan untuk tunggu sampai waktunya.
Jika sudah boleh, mainkan imajinasimu.
Jika belum boleh, disarankan untuk tunggu sampai waktunya.
Jika sudah boleh, mainkan imajinasimu.
Pernahkah kalian menggunakan aplikasi kencan? Apa alasannya? Mencari jodoh? Mencoba peruntungan? Atau mencari pelarian dari sakit hati?
Nanda mulai pengalamannya dengan aplikasi kencan untuk pertama kalinya. Bukan tanpa sebab, sakit hati menjadi alasannya. Ia pun mencoba mencari pelarian di aplikasi tersebut, hingga tak diduga, ia kembali menemukan perasaannya di sana.
Lantas, apakah ia akan kembali jatuh cinta setelah sakit hati sebelumnya?
Spoiler for Episode:
1. Bersemi dengan Indah.
2. Terlalu Lama? Tidak, bahkan Terlalu Cepat. (Part 1)
3. Terlalu Lama? Tidak, bahkan Terlalu Cepat. (Part 2)
4. Terlalu Lama? Tidak, bahkan Terlalu Cepat. (Part 3)
5. Langit Abu-Abu. (Part 1)
6. Langit Abu-Abu. (Part 2)
7. Pelampiasan dari Sisa Kenangan. (Part 1)
8. Pelampiasan dari Sisa Kenangan. (Part 2)
9. When The World Is Yours...
10. Take Your Time...
11. Semua Orang Punya Rahasia.
12. Nan... (Part 1)
13. Nan... (Part 2)
14. Perdebatan Batin. (Part 1)
15. Perdebatan Batin. (Part 2)
16. Tak Sengaja...
17. Di Bawah Hujan, Semuanya Terungkap.
18. Upaya Maksimal. (Part 1)
19. Upaya Maksimal. (Part 2)
20. Dilema. (Part 1)
21. Dilema. (Part 2)
22. Maaf, dan Terima Kasih... (Part 1)
23. Maaf, dan Terima Kasih... (Part 2)
24. When The World is Mine... (FINALE)
Behind The Nan...
2. Terlalu Lama? Tidak, bahkan Terlalu Cepat. (Part 1)
3. Terlalu Lama? Tidak, bahkan Terlalu Cepat. (Part 2)
4. Terlalu Lama? Tidak, bahkan Terlalu Cepat. (Part 3)
5. Langit Abu-Abu. (Part 1)
6. Langit Abu-Abu. (Part 2)
7. Pelampiasan dari Sisa Kenangan. (Part 1)
8. Pelampiasan dari Sisa Kenangan. (Part 2)
9. When The World Is Yours...
10. Take Your Time...
11. Semua Orang Punya Rahasia.
12. Nan... (Part 1)
13. Nan... (Part 2)
14. Perdebatan Batin. (Part 1)
15. Perdebatan Batin. (Part 2)
16. Tak Sengaja...
17. Di Bawah Hujan, Semuanya Terungkap.
18. Upaya Maksimal. (Part 1)
19. Upaya Maksimal. (Part 2)
20. Dilema. (Part 1)
21. Dilema. (Part 2)
22. Maaf, dan Terima Kasih... (Part 1)
23. Maaf, dan Terima Kasih... (Part 2)
24. When The World is Mine... (FINALE)
Behind The Nan...
Diubah oleh beavermoon 01-04-2023 20:22
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
4K
Kutip
30
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#12
Spoiler for 10. Take Your Time...:
“Pagi Mas…”
Nanda berkedip beberapa kali dengan cepat, ia menatap ke arah samping dimana Diandra sudah duduk di sampingnya. Kemudian ia menatap ke arah tangan Diandra yang menyuguhkannya secangkir kopi.
“Buat aku?” Tanya Nanda.
Diandra mengangguk, “Buat siapa lagi Mas? Kan cuma ada Mas di sini. Kalau ada Bang Batak, kayaknya bakalan diambil sama dia. Diminum Mas biar ngga gampang ngelamun.”
“Ngelamun?” Tanya Nanda bingung.
“Udah lumayan lama Mas ngelamun sendirian di sini, sampai aku bisa beli kopi dulu di sebelah.” Jelas Diandra.
Nanda masih memikirkan apa yang baru saja ia lakukan, namun ia tidak menemukan jawabannya. Ia pun meminum kopi yang sudah diberikan oleh Diandra, kemudian mereka menyalakan sebatang rokok secara bersamaan.
“Soal mantan tunangan Mas lagi?...” Diandra menatap Nanda, “atau ada masalah lain? Aku siap kok jadi pendengar kalau Mas mau cerita.”
Nanda menghela nafas, “Jujur aja, aku masih suka dibayang-bayangi sama kejadian beberapa hari lalu, terlebih kemarin aku ketemu lagi sama dia.”
“Ketemu? Kok bisa Mas?” Tanya Diandra.
Nanda menghembuskan asap rokok dari mulutnya, “Pulang kerja kemarin tuh dia nunggu aku di lobi bawah rumah, ternyata dia mau bawa barang-barangnya dia yang masih ada di kamar. Beres semuanya, ngga ada masalah, kita sempet ngobrol sebentar di ruang tamu. Sampai akhirnya pacarnya yang sekarang dateng buat jemput, yang ngga diduga sih pas dia sengaja cium mantan tunangan aku di depan mataku persis.”
“Serius Mas?” Tanya Diandra terkejut.
Nanda mengangguk, “Agak sulit buat kamu percaya soalnya kamu ngga di sana, yang bisa aku pastiin sih aku dalam keadaan sadar kemarin, bener-bener di depan mataku, entah tujuannya apa ya.”
“Kayak ada yang pengen dibuktiin ngga sih Mas…?”
Nanda melihat dengan seksama ke dua mata Diandra.
“...menurutku aja sih ya, kayak ada yang pengen dibuktiin sama laki-laki itu ke si mantan tunangan Mas. Sayangnya kan kita ngga ada yang bisa buktiin apa motifnya, yang jelas dia cuma mau bikin Mas Nanda cemburu bukan main.” Jelas Diandra.
Nanda mengangkat bahunya, “Itu aja sih yang sempet jadi beban pikiran, mungkin itu juga alasannya yang bikin aku ngelamun tadi.”
“Tenang aja Mas, mungkin emang butuh waktu buat bener-bener pulih dari ini semua. Peran Bang Batak juga penting tuh buat menghibur Mas Nanda, ada baiknya kalau lebih sering-sering main sama Bang Batak.” Sahut Diandra.
“Ada apa nih sebut-sebut namaku?...”
Mereka menatap ke arah Andreas yang berjalan mendekat ke arah mereka, tentu saja dengan ekspresinya yang senyum sumringah entah karena apa.
“...kalian lagi ngomongin aku kan?” Tanya Andreas.
“Jangan penasaran Mas, nanti hidupnya ngga tenang.” Sahut Diandra.
“Ngeri kali omongan adek Abang satu ini…” Andreas menatap ke cangkir kopi, “loh kok cuma dua? Punyaku mana Bang?”
“Bukan gue yang beli, coba lo minta sama Diandra, berani ngga.” Ucap Nanda.
“Oh, jangan lah kalau gitu, segan kali. Harusnya aku yang traktir dia makan. Nah,cemana kalau siang ini kita makan bersama ke Lapo? Rindu kali aku sama saksang.” Ucap Andreas.
“Aku dibayarin Bang Batak kan?” Tanya Diandra.
“Sudah pasti, tapi kalau Bang Nanda biar dia bayar sendiri aja lah. Bahkan kalau bisa, dia yang bayar makanan kita.” Jawab Andreas.
Mereka pun tertawa pada pagi hari ini. Setelah perbincangan singkat sebelum memulai waktu kerja, mereka memutuskan untuk masuk ke ruang kerja. Tidak banyak perbincangan yang terjadi antara Nanda dan juga Andreas, mereka masih terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Waktu pun berhasil terbunuh begitu saja, hingga jam makan siang pun tiba.
Nanda, Andreas dan juga Diandra sudah duduk di kursi masing-masing, dan tak berapa lama berselang pesanan mereka disajikan di atas meja.
“Wah, beneran menggugah banget.” Ucap Diandra.
“Betul kan apa yang kubilang. Paket komplit lah kalau udah ada saksang, minumnya bir kaleng macam ini. Kita baca doa dulu lah biar berkah.” Kata Andreas.
Nanda memandang heran, “Tumben banget lo mau baca doa dulu? Oh iya ada Diandra, lupa gue.”
Diandra hanya bisa tertawa sementara Andreas menatap Nanda dengan malasnya. Akhirnya mereka mulai makan siang kali ini.
“Bang Batak ada acara apa nanti malem?” Tanya Diandra.
“Nanti malam? Aku belum ada acara apa-apa, ada apa gerangan kau nanya-nanya? Mau ikut?” Tanya Nanda.
“Gimana kalau nanti malem kita main ke Midori? Kalian belum pernah ke sana kan?” Ajak Diandra.
“Midori?...” Nanda menatap Diandra, “belum pernah sih, malah ini baru denger namanya. Kamu pernah ke sana atau udah langganan?”
“Kalau dibilang langganan sih ngga juga, baru beberapa kali ke sana. Tempatnya enak banget buat ngobrol, sekalipun ngga sebesar Paladin ya.” Jawab Diandra.
“Macam seru kali nampaknya, setuju lah aku. Tapi…” Andreas menatap Nanda, “pastikan dulu angkang aku ini ikut, kemarin kuajak menolak dia.”
Diandra menatap Nanda, “Gimana Mas? Aku kan belum pernah ikut ngumpul sama kalian nih, kebetulan malam ini kayaknya momen yang pas.”
Nanda menghela nafas, “Kek mana caranya aku nolak Anggi kita satu ini.”
“Alamak…” Andreas terkejut, “Tak tau aku kau bisa bahasaku, tak pernah aku dengar kau begini. Terharu kali aku dengarnya. Memang aman sudah aku punya angkang macam ini.”
“Loh Mas Nanda bisa bahasa Batak?” Tanya Diandra heran.
“Boi saotik-saotik.” Jawab Nanda.
“Alamak!” Sahut Andreas.
“Kalian ngomong apa sih? Aku ngga ngerti.” Protes Diandra.
Andreas dan Nanda pun tertawa melihat ekspresi Diandra yang kebingungan dengan bahasa yang baru saja ia dengar. Sebagai penutup dari kegiatan makan siang ini, mereka meminum sekaleng bir untuk menyegarkan badan.
Hari berjalan dengan semestinya, dengan kesibukan-kesibukan masing-masing yang berhasil membunuh waktu begitu saja, hingga tak terasa malam pun berlanjut. Andreas sedang membereskan barang-barangnya, kemudian ia berlalu menuju Nanda dan juga Diandra yang sedang berdiri menunggunya di depan pintu lift.
“Berangkat kita?” Tanya Andreas.
“Segala nanya lagi.” Sahut Nanda.
“Eh Bang, cakap bahasaku lagi lah. Terkesima aku dengar kau begitu.” Pinta Andreas.
“Banyak minta lagi, udah ayo berangkat keburu makin rame.” Ucap Nanda.
Andreas berdiri di samping Diandra, “Itulah Abang kita, memang baik cuma kadang menyebalkan. Bikin sakit hati mulutnya.”
“Gue denger loh Tak.” Ucap Nanda.
Diandra hanya bisa tertawa mendengar apa yang mereka ucapkan. Akhirnya mereka pergi meninggalkan Kantor menggunakan mobil milik Andreas. Tidak banyak yang mereka perbincangkan selama di perjalanan, sampai akhirnya mereka memarkirkan mobil di basement salah satu gedung. Mereka keluar dari mobil dan berjalan menuju sudut basement.
“Bener ini tempatnya Di?” Tanya Nanda.
Diandra mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka terus berjalan sampai akhirnya ada sebuah pintu yang terbuat dari besi berwarna hitam yang dijaga oleh dua orang pihak keamanan.
“Selamat malam, boleh ditunjukkan kartu identitasnya?” Tanya salah satu petugas.
Mereka pun menunjukkan kartu identitas mereka masing-masing. Setelah melewati pemeriksaan, akhirnya petugas yang satu lagi membukakan pintu untuk mereka.
“Selamat datang di Doremi.” Ucapnya.
Mereka masuk ke dalam lorong yang cukup gelap, namun setelah beberapa langkah, bias lampu temaram cukup untuk menerangi mereka. Dari ujung lorong dapat terlihat satu meja bar yang cukup besar, sampai akhirnya terlihat dengan jelas beberapa meja yang sudah diisi oleh pengunjung lain.
Mereka memilih satu meja yang masih tersedia, bersamaan dengan itu pula seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawa buku menu.
“Selamat datang di Doremi, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Pelayan tersebut.
“Mas Nanda sama Bang Batak mau pesen apa?” Tanya Diandra.
“Abangku ini sudah pasti pesan Scotch, betul kan?...”
Nanda mengangguk pertanda setuju.
“...kalau aku Dirty Martini, kau mau apa?” Ucap Batak.
“Negroni aja deh, itu dulu aja.” Jawab Diandra.
Pelayan tersebut mencatat pesanan mereka kemudian pergi. Andreas menyalakan sebatang rokok lalu menghembuskan asap putih dari mulutnya, sementara Nanda melihat-lihat seisi ruangan.
“Bagus juga tempatnya, kok kamu bisa tau tempat ini?” Tanya Nanda.
“Lebih ke ngga sengaja aja sih Mas, iseng-iseng sama temen waktu itu masuk ke gedung ini. Kita liat ada beberapa orang yang jalan ke sudut, akhirnya kita ikutin. Eh ternyata ada tempat tersembunyi kayak gini.” Jelas Diandra.
“Beruntung kali kau Di, ngga pernah aku jalan-jalan dan ketemu tempat macam ini. Sekalipun ada juga macam remang-remang pinggir tol saja.” Sahut Andreas.
Mereka pun tertawa, bersamaan dengan itu pula pesanan mereka disajikan di atas meja. Kling! Gelas mereka beradu dengan sengaja, kemudian mereka minum secara perlahan. Nanda dan Diandra bersamaan menyalakan sebatang rokok.
“Jadi, ada apa gerangan kau ajak kita malam ini?” Tanya Andreas.
“Bang Batak udah kenal Mas Nanda berapa lama?” Tanya Diandra.
“Berapa lama ya Bang? Kalau aku ngga salah 4 tahun lah. Eh 5 tahun sama tahun ini.” Jawab Andreas.
“Nah ini nih yang nilai matematikanya selalu remedial. Jelas-jelas kita udah kenal 6 tahun, dari lo masih magang sampai sekarang.” Sahut Nanda.
“6 tahun?...” Andreas menghitung dengan jarinya, “oh iya betul juga kau Bang. Tak terasa juga sudah 6 tahun. Ada apa gerangan?”
Diandra minum perlahan, “Nggapapa, aku cuma penasaran aja. Soalnya aku cukup jarang nemuin kayak kalian di Kantor, apalagi divisi aku. Palingan cuma say hai gitu-gitu doang, ngga ada yang segininya.”
“Ah masa ngga ada?” Tanya Diandra.
“Tapi bener juga sih. Buktinya Diandra main sama kita, kalau dia punya circle satu divisi pasti dia bakalan main sama mereka. Terlebih dia kalau istirahat suka makan sendiri.” Sahut Nanda.
“Mas Nanda suka merhatiin juga ternyata.” Ucap Diandra.
“Masa iya sendiri? Ngga merhatiin kali aku, tau-tau ketemu kau lagi naik lift atau mau pulang saja. Cemana bisa kau tak akrab?” Tanya Andreas penasaran.
“Sepengalamanku sih mereka agak susah buat diajak main bareng, atau mungkin emang mereka ngga mau main sama aku kali.” Jawabnya.
“Masih ada kita kok, kamu bisa ngajak kita main kapan aja selagi ada waktunya. Semisal udah ngga sekantor juga masih bisa.” Ucap Nanda.
Diandra tersenyum mendengar ucapan Nanda. Mereka kembali menyalakan sebatang rokok lalu minum secara perlahan, tanpa terasa tempat ini sudah hampir terisi oleh pengunjung lain.
“Mas Nanda ngga mau cerita ke Bang Batak?” Tanya Diandra.
“Cerita? Cerita apa?” Sahut Andreas.
Nanda menghela nafasnya, “Gue udah sempet cerita ini ke Diandra. Jadi kemarin Naya ketemu sama gue lagi, dia mau ngambil barang-barangnya yang masih ada di kamar gue.”
“Bagus lah kalau begitu.” Sahut Andreas lagi.
“Belum selesai Tak. Abis semuanya selesai, kita sempetin buat ngobrol sebentar di sofa. Ngga lama si pacar barunya dia jemput ternyata. Gue bukain pintu dan Naya nyamperin dia, yang ngga gue sangka kalau dia bakalan cium Naya di depan mata gue.” Lanjut Nanda.
Andreas menegakkan duduknya, “Alamak, baik juga dia. Sengaja kali rupanya, kutumbuk baru tau rasa nanti kalau ketemu lagi. Abis itu cabut aja mereka?”
Nanda mengangguk dengan pasti. Diandra menghisap rokoknya yang sudah menyala, “Kalau menurut aku sih, kayak ada yang mau dibuktiin dengan kelakukan dia yang kayak gitu, tapi ini menurut pendapat aku aja ya.”
“Setujulah aku sama kau, jelas-jelas dia mau buktikan kalau dia berhasil merebut Naya dari Bang Nanda. Kebaca kali lah orang-orang macam itu.” Jawab Andreas.
“Nah, itu dia yang aku maksud.” Sahut Diandra.
“Kau tak ada rasa mau balas Bang?” Tanya Andreas.
“Mau bales apa Tak?” Tanya Nanda balik.
“Kita tumbuk ramai-ramai pakai ujung pagar, kita seret pakai kereta, atau kita siram dia pakai air kali belakang Kantor yang bau macam neraka.” Jawab Andreas.
Ucapan Andreas justru membuat Nanda dan Diandra tertawa cukup keras, Andreas pun dibuat bingung dengan apa yang baru saja ia ucapkan, “Apa yang lucu dari ucapanku barusan? Kenapa kalian tertawa kencang kali?”
“Gini ya Andreas Ezekiel Rajagukguk, kalau lo mau nyiram dia pakai air kali belakang Kantor, berarti lo juga harus turun ambil itu air. Lo juga kan yang kena baunya nanti.” Jelas Nanda.
“Lebih lucu lagi mau diseret pakai kereta, kan jauh kita harus ke Stasiun dulu.” Sahut Diandra.
“Bukan kereta api Di. Kereta di bahasanya dia artinya motor.” Jawab Nanda.
“Oalah, aku salah ternyata.” Ucap Diandra malu.
Mereka kembali tertawa bersama-sama. Malam semakin menjadi, ada beberapa gelas kosong yang baru saja diangkat oleh pelayan, digantikan dengan gelas baru yang terisi. Andreas sudah tidak berada di kursinya, ia sudah berdiri di samping seorang perempuan yang berada di depan meja bar. Nanda kembali menyalakan sebatang rokok lalu minum secara perlahan.
“Is everything good?” Tanya Diandra.
Nanda mengangguk, namun pandangannya kosong menatap gelas yang sedang ia genggam. Diandra mendekatkan kursinya untuk duduk lebih dekat dengannya.
“Mas marah ya?” Tanya Diandra lagi.
“Bisa jadi…” Nanda menatap Diandra, “cuma ngga tau marah karena apa, marah sama siapa. Tiba-tiba aja ada yang aneh, muncul tiba-tiba gitu aja.”
“Take your time, kalau emang mau marah ya luapin aja semuanya. Jangan ditahan, apalagi sendirian.” Ucap Diandra.
Nanda mengangguk beberapa kali. Kepalanya semakin miring, bukan karena konsumsi alkohol yang terlalu banyak, tangan Diandra menuntun kepala Nanda untuk bersandar pada bahunya.
“Take your time Mas.” Ucap Diandra sekali lagi.
Nanda menghela nafasnya cukup dalam. Pikirannya kembali berputar-putar dengan liar, kembali mengingat apa yang sudah menderanya beberapa hari belakangan. Rasanya, apa yang sudah ia lakukan selama ini nampak kembali percuma.
“Jangan mikir gitu Mas…”
Semuanya buyar begitu saja, ia kembali pada realita. Nampaknya Diandra tau apa yang sedang ia rasakan.
“...kadang emang ngga adil bagi sebagian orang. Apa yang udah kita perjuangin dengan susah payah bisa sirna sekali jentikan jari, tapi kita bisa apa lagi? Protes? Ngga akan ngerubah apa-apa…”
Nanda menegakkan kepalanya untuk kembali menatap Diandra.
“...semuanya butuh waktu, jangan buru-buru.” Jelas Diandra.
“Makasih ya Di, kayaknya emang butuh waktu tambahan entah sampai kapan.” Jawab Nanda.
Diandra pun memeluk Nanda terlebih dahulu, Nanda pun membalas kemudian. Pelukan singkat cukup untuk meredam apa yang sedang bergejolak, hingga akhirnya mereka saling tatap dengan senyuman.
“Eh, aku dapat kenalan baru…”
Nanda dan Diandra menatap ke arah Andreas secara bersamaan.
“...namanya Silvi, anak Kantor pajak yang di ujung sana. Jomblo, cantik, seleraku lah. Cemana menurut kalian?” Tanya Andreas.
“Pertanyaannya, dia mau ngga sama lo?” Tanya Nanda.
“Kau ini Bang…” Andreas memukul lengan Nanda pelan, “bukannya kasih aku semangat, tapi malah kau jatuhkan aku begitu saja.”
Nanda dan Diandra hanya bisa tertawa mendengar ucapan Andreas. Malam ini berlalu begitu saja, membiarkan emosi yang terpendam dengan sengaja, berharap untuk lupa, namun kenyataannya berkata tidak.
Take your time, bukan untuk mengulur waktu untuk semakin lama. Ada kalanya kita memang membutuhkan waktu lebih untuk sekedar memberikan ruang kepada emosi yang sudah lama terpendam, ia pun akan keluar entah kapan dan bagaimana caranya.
Nanda berkedip beberapa kali dengan cepat, ia menatap ke arah samping dimana Diandra sudah duduk di sampingnya. Kemudian ia menatap ke arah tangan Diandra yang menyuguhkannya secangkir kopi.
“Buat aku?” Tanya Nanda.
Diandra mengangguk, “Buat siapa lagi Mas? Kan cuma ada Mas di sini. Kalau ada Bang Batak, kayaknya bakalan diambil sama dia. Diminum Mas biar ngga gampang ngelamun.”
“Ngelamun?” Tanya Nanda bingung.
“Udah lumayan lama Mas ngelamun sendirian di sini, sampai aku bisa beli kopi dulu di sebelah.” Jelas Diandra.
Nanda masih memikirkan apa yang baru saja ia lakukan, namun ia tidak menemukan jawabannya. Ia pun meminum kopi yang sudah diberikan oleh Diandra, kemudian mereka menyalakan sebatang rokok secara bersamaan.
“Soal mantan tunangan Mas lagi?...” Diandra menatap Nanda, “atau ada masalah lain? Aku siap kok jadi pendengar kalau Mas mau cerita.”
Nanda menghela nafas, “Jujur aja, aku masih suka dibayang-bayangi sama kejadian beberapa hari lalu, terlebih kemarin aku ketemu lagi sama dia.”
“Ketemu? Kok bisa Mas?” Tanya Diandra.
Nanda menghembuskan asap rokok dari mulutnya, “Pulang kerja kemarin tuh dia nunggu aku di lobi bawah rumah, ternyata dia mau bawa barang-barangnya dia yang masih ada di kamar. Beres semuanya, ngga ada masalah, kita sempet ngobrol sebentar di ruang tamu. Sampai akhirnya pacarnya yang sekarang dateng buat jemput, yang ngga diduga sih pas dia sengaja cium mantan tunangan aku di depan mataku persis.”
“Serius Mas?” Tanya Diandra terkejut.
Nanda mengangguk, “Agak sulit buat kamu percaya soalnya kamu ngga di sana, yang bisa aku pastiin sih aku dalam keadaan sadar kemarin, bener-bener di depan mataku, entah tujuannya apa ya.”
“Kayak ada yang pengen dibuktiin ngga sih Mas…?”
Nanda melihat dengan seksama ke dua mata Diandra.
“...menurutku aja sih ya, kayak ada yang pengen dibuktiin sama laki-laki itu ke si mantan tunangan Mas. Sayangnya kan kita ngga ada yang bisa buktiin apa motifnya, yang jelas dia cuma mau bikin Mas Nanda cemburu bukan main.” Jelas Diandra.
Nanda mengangkat bahunya, “Itu aja sih yang sempet jadi beban pikiran, mungkin itu juga alasannya yang bikin aku ngelamun tadi.”
“Tenang aja Mas, mungkin emang butuh waktu buat bener-bener pulih dari ini semua. Peran Bang Batak juga penting tuh buat menghibur Mas Nanda, ada baiknya kalau lebih sering-sering main sama Bang Batak.” Sahut Diandra.
“Ada apa nih sebut-sebut namaku?...”
Mereka menatap ke arah Andreas yang berjalan mendekat ke arah mereka, tentu saja dengan ekspresinya yang senyum sumringah entah karena apa.
“...kalian lagi ngomongin aku kan?” Tanya Andreas.
“Jangan penasaran Mas, nanti hidupnya ngga tenang.” Sahut Diandra.
“Ngeri kali omongan adek Abang satu ini…” Andreas menatap ke cangkir kopi, “loh kok cuma dua? Punyaku mana Bang?”
“Bukan gue yang beli, coba lo minta sama Diandra, berani ngga.” Ucap Nanda.
“Oh, jangan lah kalau gitu, segan kali. Harusnya aku yang traktir dia makan. Nah,cemana kalau siang ini kita makan bersama ke Lapo? Rindu kali aku sama saksang.” Ucap Andreas.
“Aku dibayarin Bang Batak kan?” Tanya Diandra.
“Sudah pasti, tapi kalau Bang Nanda biar dia bayar sendiri aja lah. Bahkan kalau bisa, dia yang bayar makanan kita.” Jawab Andreas.
Mereka pun tertawa pada pagi hari ini. Setelah perbincangan singkat sebelum memulai waktu kerja, mereka memutuskan untuk masuk ke ruang kerja. Tidak banyak perbincangan yang terjadi antara Nanda dan juga Andreas, mereka masih terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Waktu pun berhasil terbunuh begitu saja, hingga jam makan siang pun tiba.
Nanda, Andreas dan juga Diandra sudah duduk di kursi masing-masing, dan tak berapa lama berselang pesanan mereka disajikan di atas meja.
“Wah, beneran menggugah banget.” Ucap Diandra.
“Betul kan apa yang kubilang. Paket komplit lah kalau udah ada saksang, minumnya bir kaleng macam ini. Kita baca doa dulu lah biar berkah.” Kata Andreas.
Nanda memandang heran, “Tumben banget lo mau baca doa dulu? Oh iya ada Diandra, lupa gue.”
Diandra hanya bisa tertawa sementara Andreas menatap Nanda dengan malasnya. Akhirnya mereka mulai makan siang kali ini.
“Bang Batak ada acara apa nanti malem?” Tanya Diandra.
“Nanti malam? Aku belum ada acara apa-apa, ada apa gerangan kau nanya-nanya? Mau ikut?” Tanya Nanda.
“Gimana kalau nanti malem kita main ke Midori? Kalian belum pernah ke sana kan?” Ajak Diandra.
“Midori?...” Nanda menatap Diandra, “belum pernah sih, malah ini baru denger namanya. Kamu pernah ke sana atau udah langganan?”
“Kalau dibilang langganan sih ngga juga, baru beberapa kali ke sana. Tempatnya enak banget buat ngobrol, sekalipun ngga sebesar Paladin ya.” Jawab Diandra.
“Macam seru kali nampaknya, setuju lah aku. Tapi…” Andreas menatap Nanda, “pastikan dulu angkang aku ini ikut, kemarin kuajak menolak dia.”
Diandra menatap Nanda, “Gimana Mas? Aku kan belum pernah ikut ngumpul sama kalian nih, kebetulan malam ini kayaknya momen yang pas.”
Nanda menghela nafas, “Kek mana caranya aku nolak Anggi kita satu ini.”
“Alamak…” Andreas terkejut, “Tak tau aku kau bisa bahasaku, tak pernah aku dengar kau begini. Terharu kali aku dengarnya. Memang aman sudah aku punya angkang macam ini.”
“Loh Mas Nanda bisa bahasa Batak?” Tanya Diandra heran.
“Boi saotik-saotik.” Jawab Nanda.
“Alamak!” Sahut Andreas.
“Kalian ngomong apa sih? Aku ngga ngerti.” Protes Diandra.
Andreas dan Nanda pun tertawa melihat ekspresi Diandra yang kebingungan dengan bahasa yang baru saja ia dengar. Sebagai penutup dari kegiatan makan siang ini, mereka meminum sekaleng bir untuk menyegarkan badan.
Hari berjalan dengan semestinya, dengan kesibukan-kesibukan masing-masing yang berhasil membunuh waktu begitu saja, hingga tak terasa malam pun berlanjut. Andreas sedang membereskan barang-barangnya, kemudian ia berlalu menuju Nanda dan juga Diandra yang sedang berdiri menunggunya di depan pintu lift.
“Berangkat kita?” Tanya Andreas.
“Segala nanya lagi.” Sahut Nanda.
“Eh Bang, cakap bahasaku lagi lah. Terkesima aku dengar kau begitu.” Pinta Andreas.
“Banyak minta lagi, udah ayo berangkat keburu makin rame.” Ucap Nanda.
Andreas berdiri di samping Diandra, “Itulah Abang kita, memang baik cuma kadang menyebalkan. Bikin sakit hati mulutnya.”
“Gue denger loh Tak.” Ucap Nanda.
Diandra hanya bisa tertawa mendengar apa yang mereka ucapkan. Akhirnya mereka pergi meninggalkan Kantor menggunakan mobil milik Andreas. Tidak banyak yang mereka perbincangkan selama di perjalanan, sampai akhirnya mereka memarkirkan mobil di basement salah satu gedung. Mereka keluar dari mobil dan berjalan menuju sudut basement.
“Bener ini tempatnya Di?” Tanya Nanda.
Diandra mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka terus berjalan sampai akhirnya ada sebuah pintu yang terbuat dari besi berwarna hitam yang dijaga oleh dua orang pihak keamanan.
“Selamat malam, boleh ditunjukkan kartu identitasnya?” Tanya salah satu petugas.
Mereka pun menunjukkan kartu identitas mereka masing-masing. Setelah melewati pemeriksaan, akhirnya petugas yang satu lagi membukakan pintu untuk mereka.
“Selamat datang di Doremi.” Ucapnya.
Mereka masuk ke dalam lorong yang cukup gelap, namun setelah beberapa langkah, bias lampu temaram cukup untuk menerangi mereka. Dari ujung lorong dapat terlihat satu meja bar yang cukup besar, sampai akhirnya terlihat dengan jelas beberapa meja yang sudah diisi oleh pengunjung lain.
Mereka memilih satu meja yang masih tersedia, bersamaan dengan itu pula seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawa buku menu.
“Selamat datang di Doremi, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Pelayan tersebut.
“Mas Nanda sama Bang Batak mau pesen apa?” Tanya Diandra.
“Abangku ini sudah pasti pesan Scotch, betul kan?...”
Nanda mengangguk pertanda setuju.
“...kalau aku Dirty Martini, kau mau apa?” Ucap Batak.
“Negroni aja deh, itu dulu aja.” Jawab Diandra.
Pelayan tersebut mencatat pesanan mereka kemudian pergi. Andreas menyalakan sebatang rokok lalu menghembuskan asap putih dari mulutnya, sementara Nanda melihat-lihat seisi ruangan.
“Bagus juga tempatnya, kok kamu bisa tau tempat ini?” Tanya Nanda.
“Lebih ke ngga sengaja aja sih Mas, iseng-iseng sama temen waktu itu masuk ke gedung ini. Kita liat ada beberapa orang yang jalan ke sudut, akhirnya kita ikutin. Eh ternyata ada tempat tersembunyi kayak gini.” Jelas Diandra.
“Beruntung kali kau Di, ngga pernah aku jalan-jalan dan ketemu tempat macam ini. Sekalipun ada juga macam remang-remang pinggir tol saja.” Sahut Andreas.
Mereka pun tertawa, bersamaan dengan itu pula pesanan mereka disajikan di atas meja. Kling! Gelas mereka beradu dengan sengaja, kemudian mereka minum secara perlahan. Nanda dan Diandra bersamaan menyalakan sebatang rokok.
“Jadi, ada apa gerangan kau ajak kita malam ini?” Tanya Andreas.
“Bang Batak udah kenal Mas Nanda berapa lama?” Tanya Diandra.
“Berapa lama ya Bang? Kalau aku ngga salah 4 tahun lah. Eh 5 tahun sama tahun ini.” Jawab Andreas.
“Nah ini nih yang nilai matematikanya selalu remedial. Jelas-jelas kita udah kenal 6 tahun, dari lo masih magang sampai sekarang.” Sahut Nanda.
“6 tahun?...” Andreas menghitung dengan jarinya, “oh iya betul juga kau Bang. Tak terasa juga sudah 6 tahun. Ada apa gerangan?”
Diandra minum perlahan, “Nggapapa, aku cuma penasaran aja. Soalnya aku cukup jarang nemuin kayak kalian di Kantor, apalagi divisi aku. Palingan cuma say hai gitu-gitu doang, ngga ada yang segininya.”
“Ah masa ngga ada?” Tanya Diandra.
“Tapi bener juga sih. Buktinya Diandra main sama kita, kalau dia punya circle satu divisi pasti dia bakalan main sama mereka. Terlebih dia kalau istirahat suka makan sendiri.” Sahut Nanda.
“Mas Nanda suka merhatiin juga ternyata.” Ucap Diandra.
“Masa iya sendiri? Ngga merhatiin kali aku, tau-tau ketemu kau lagi naik lift atau mau pulang saja. Cemana bisa kau tak akrab?” Tanya Andreas penasaran.
“Sepengalamanku sih mereka agak susah buat diajak main bareng, atau mungkin emang mereka ngga mau main sama aku kali.” Jawabnya.
“Masih ada kita kok, kamu bisa ngajak kita main kapan aja selagi ada waktunya. Semisal udah ngga sekantor juga masih bisa.” Ucap Nanda.
Diandra tersenyum mendengar ucapan Nanda. Mereka kembali menyalakan sebatang rokok lalu minum secara perlahan, tanpa terasa tempat ini sudah hampir terisi oleh pengunjung lain.
“Mas Nanda ngga mau cerita ke Bang Batak?” Tanya Diandra.
“Cerita? Cerita apa?” Sahut Andreas.
Nanda menghela nafasnya, “Gue udah sempet cerita ini ke Diandra. Jadi kemarin Naya ketemu sama gue lagi, dia mau ngambil barang-barangnya yang masih ada di kamar gue.”
“Bagus lah kalau begitu.” Sahut Andreas lagi.
“Belum selesai Tak. Abis semuanya selesai, kita sempetin buat ngobrol sebentar di sofa. Ngga lama si pacar barunya dia jemput ternyata. Gue bukain pintu dan Naya nyamperin dia, yang ngga gue sangka kalau dia bakalan cium Naya di depan mata gue.” Lanjut Nanda.
Andreas menegakkan duduknya, “Alamak, baik juga dia. Sengaja kali rupanya, kutumbuk baru tau rasa nanti kalau ketemu lagi. Abis itu cabut aja mereka?”
Nanda mengangguk dengan pasti. Diandra menghisap rokoknya yang sudah menyala, “Kalau menurut aku sih, kayak ada yang mau dibuktiin dengan kelakukan dia yang kayak gitu, tapi ini menurut pendapat aku aja ya.”
“Setujulah aku sama kau, jelas-jelas dia mau buktikan kalau dia berhasil merebut Naya dari Bang Nanda. Kebaca kali lah orang-orang macam itu.” Jawab Andreas.
“Nah, itu dia yang aku maksud.” Sahut Diandra.
“Kau tak ada rasa mau balas Bang?” Tanya Andreas.
“Mau bales apa Tak?” Tanya Nanda balik.
“Kita tumbuk ramai-ramai pakai ujung pagar, kita seret pakai kereta, atau kita siram dia pakai air kali belakang Kantor yang bau macam neraka.” Jawab Andreas.
Ucapan Andreas justru membuat Nanda dan Diandra tertawa cukup keras, Andreas pun dibuat bingung dengan apa yang baru saja ia ucapkan, “Apa yang lucu dari ucapanku barusan? Kenapa kalian tertawa kencang kali?”
“Gini ya Andreas Ezekiel Rajagukguk, kalau lo mau nyiram dia pakai air kali belakang Kantor, berarti lo juga harus turun ambil itu air. Lo juga kan yang kena baunya nanti.” Jelas Nanda.
“Lebih lucu lagi mau diseret pakai kereta, kan jauh kita harus ke Stasiun dulu.” Sahut Diandra.
“Bukan kereta api Di. Kereta di bahasanya dia artinya motor.” Jawab Nanda.
“Oalah, aku salah ternyata.” Ucap Diandra malu.
Mereka kembali tertawa bersama-sama. Malam semakin menjadi, ada beberapa gelas kosong yang baru saja diangkat oleh pelayan, digantikan dengan gelas baru yang terisi. Andreas sudah tidak berada di kursinya, ia sudah berdiri di samping seorang perempuan yang berada di depan meja bar. Nanda kembali menyalakan sebatang rokok lalu minum secara perlahan.
“Is everything good?” Tanya Diandra.
Nanda mengangguk, namun pandangannya kosong menatap gelas yang sedang ia genggam. Diandra mendekatkan kursinya untuk duduk lebih dekat dengannya.
“Mas marah ya?” Tanya Diandra lagi.
“Bisa jadi…” Nanda menatap Diandra, “cuma ngga tau marah karena apa, marah sama siapa. Tiba-tiba aja ada yang aneh, muncul tiba-tiba gitu aja.”
“Take your time, kalau emang mau marah ya luapin aja semuanya. Jangan ditahan, apalagi sendirian.” Ucap Diandra.
Nanda mengangguk beberapa kali. Kepalanya semakin miring, bukan karena konsumsi alkohol yang terlalu banyak, tangan Diandra menuntun kepala Nanda untuk bersandar pada bahunya.
“Take your time Mas.” Ucap Diandra sekali lagi.
Nanda menghela nafasnya cukup dalam. Pikirannya kembali berputar-putar dengan liar, kembali mengingat apa yang sudah menderanya beberapa hari belakangan. Rasanya, apa yang sudah ia lakukan selama ini nampak kembali percuma.
“Jangan mikir gitu Mas…”
Semuanya buyar begitu saja, ia kembali pada realita. Nampaknya Diandra tau apa yang sedang ia rasakan.
“...kadang emang ngga adil bagi sebagian orang. Apa yang udah kita perjuangin dengan susah payah bisa sirna sekali jentikan jari, tapi kita bisa apa lagi? Protes? Ngga akan ngerubah apa-apa…”
Nanda menegakkan kepalanya untuk kembali menatap Diandra.
“...semuanya butuh waktu, jangan buru-buru.” Jelas Diandra.
“Makasih ya Di, kayaknya emang butuh waktu tambahan entah sampai kapan.” Jawab Nanda.
Diandra pun memeluk Nanda terlebih dahulu, Nanda pun membalas kemudian. Pelukan singkat cukup untuk meredam apa yang sedang bergejolak, hingga akhirnya mereka saling tatap dengan senyuman.
“Eh, aku dapat kenalan baru…”
Nanda dan Diandra menatap ke arah Andreas secara bersamaan.
“...namanya Silvi, anak Kantor pajak yang di ujung sana. Jomblo, cantik, seleraku lah. Cemana menurut kalian?” Tanya Andreas.
“Pertanyaannya, dia mau ngga sama lo?” Tanya Nanda.
“Kau ini Bang…” Andreas memukul lengan Nanda pelan, “bukannya kasih aku semangat, tapi malah kau jatuhkan aku begitu saja.”
Nanda dan Diandra hanya bisa tertawa mendengar ucapan Andreas. Malam ini berlalu begitu saja, membiarkan emosi yang terpendam dengan sengaja, berharap untuk lupa, namun kenyataannya berkata tidak.
Take your time, bukan untuk mengulur waktu untuk semakin lama. Ada kalanya kita memang membutuhkan waktu lebih untuk sekedar memberikan ruang kepada emosi yang sudah lama terpendam, ia pun akan keluar entah kapan dan bagaimana caranya.
*
i4munited dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas